Semua Bab Tuan, Aku Hamil!: Bab 41 - Bab 50

52 Bab

Kehilangan Kendali

Talitha mengusap lembut pipiku, matanya menatapku dengan penuh kasih. "Nggak usah takut, sayang," katanya pelan. "Apa pun yang kamu rasakan, kau nggak sendirian, ada Aku di sini."Dia tersenyum kecil, senyum yang menghangatkan sekaligus menggoda. "Kalau kamu nggak bisa menahan diri... mungkin itu artinya kamu sedang menemukan sesuatu yang baru tentang dirimu sendiri," lanjutnya, matanya berbinar penuh keyakinan.Aku menghela napas, merasa jantungku masih berdebar kencang. "Tapi gimana kalau aku kehilangan kendali?" tanyaku dengan nada ragu, masih takut dengan perubahan yang mulai tumbuh di dalam diriku.Talitha mendekatkan wajahnya ke wajahku lagi, dan berbisik lembut, "Mungkin, justru saat kamu kehilangan kendali… adalah saat kamu benar-benar menemukan dirimu."“Seperti ini?” bisikku, lalu jariku menyentuh bagian paling intimnya membuatnya mengerang pelan. Matanya terpejam, bibirnya terbuka sedikit saat desahan keluar dari mulutnya, na
Baca selengkapnya

Kabar Duka

Devan tersenyum kembali, mengedipkan matanya, memberikan persetujuan tanpa berkata apa-apa. Ada kilatan nakal di matanya, tapi juga lembut, seolah mengamati setiap reaksi yang terjadi di antara kami.Talitha menatapku, bibirnya mendekat perlahan. Jantungku berdegup semakin kencang, perasaanku campur aduk antara bingung dan tertarik. Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Apakah ini pengaruh alkohol yang membuatku merasa begitu terhanyut?Talitha menciumku dalam-dalam, matanya terpejam seolah benar-benar menikmati momen itu. Aku merasa tubuhku mulai melemas di bawah kelembutan ciumannya, tapi mataku tidak bisa lepas dari Devan. Sorot matanya sangat lembut, penuh dengan perhatian, dan mungkin sedikit terpesona dengan apa yang dia lihat. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuatku merasa lebih tenang dan semakin tenggelam dalam ciuman Talitha, seolah dunia di sekitar kami perlahan-lahan memudar.Talitha semakin menekan ciumannya, merapatkan tubuhnya ke tubuhku, dan a
Baca selengkapnya

Disangka Talitha

Aku menggelengkan kepala, masih merasa bingung dengan pembicaraan mereka. Melihat ekspresi wajahku yang mungkin tampak sedikit linglung, Talitha tertawa kecil, sepertinya terhibur dengan kebingunganku."Ini loh, mami tiriku," Talitha mulai menjelaskan, sambil terus membalas chat di ponselnya. "Dia biasanya tinggal di Belanda bersama keluarganya," katanya. "Sudah bertahun-tahun nggak pulang karena terakhir kali ada masalah dengan Opa. Aku takut dia datang-datang ini mau mengutak-atik soal warisan.""Opa minta kamu ke Kediri, Pap," Talitha menatap Devan sambil menunjukkan pesan di layar ponselnya.“Ya, pergi saja, Babe. Pakai pesawat juga nggak sampai dua jam,” jawab Devan, mengangkat bahu dengan santai.“Dibilangin, malas!” Talitha menghela napas p
Baca selengkapnya

Ingat Ibu

Talitha segera menghampiri Tuan Darius dan memeluknya erat, wajahnya berubah menjadi lebih ceria seketika. “Opa, aku kangen sekali!” serunya, seakan mengabaikan kehadiran Mami Tere. Mami Tere hanya mendengus pelan, matanya berkilat penuh kecemburuan dan kekesalan melihat kedekatan mereka.Tuan Darius tertawa kecil, menepuk-nepuk punggung Talitha dengan lembut. "Aku juga, Litha… Aku juga," jawabnya dengan suara bergetar, tapi jelas penuh kasih. Talitha melirik Mami Tere dengan senyum puas di wajahnya, seolah ingin menunjukkan bahwa hubungannya dengan opa lebih kuat daripada apa pun yang bisa dilakukan Mami Tere untuk merusaknya.Mami Tere mengalihkan pandangannya ke arah lain, berusaha menyembunyikan kekesalannya, sementara Tuan Edward berdeham pelan, mencoba meredakan ketegangan. 
Baca selengkapnya

Talitha Terancam

Kami tiba di sebuah restoran klasik yang terletak di pusat kota Kediri. Restoran itu memiliki suasana yang elegan dengan meja-meja kayu berlapis kain putih bersih, lampu gantung bergaya vintage yang memberikan cahaya lembut, dan musik jazz yang mengalun pelan di latar belakang. Di luar, suara hiruk-pikuk jalanan kota terasa jauh, seolah ada batas antara dunia luar dan kenyamanan tempat ini.Talitha, Tuan Edward, Tuan Darius, dan aku duduk di meja besar di sudut ruangan. Hidangan lokal yang lezat, seperti nasi goreng, sate, dan ayam bakar, memenuhi meja, aromanya menggoda selera. Tapi suasana di meja makan terasa agak tegang."Litha, kamu harus sering-sering ke sini kalau mau handle pabrik. Kalau nggak, mana bisa?" ujar Tuan Edward, matanya tajam menatap Talitha. Tangannya memegang secangkir kopi, dan suaranya tegas, seolah memberikan peringatan.Talitha menghela napas, meletakkan garpu dan pisau dengan perlahan di atas piring. "Daddy tahu kan, aku punya anak dan
Baca selengkapnya

Pesona Gavin

Tanpa kusadari, Gavin bergerak lebih cepat, menghimpit tubuhku ke tembok di belakangku. Ruangan terasa semakin sempit, meski hanya ada kami berdua di koridor itu.“Mau ke mana buru-buru?” tanya Gavin dengan nada dingin, hampir seperti sebuah perintah. Tatapannya penuh intensitas, memaku tubuhku di tempat.Aku berusaha menenangkan diri, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Ke kamar Prince, Tuan," jawabku, suaraku nyaris bergetar.Dia menatapku lebih dalam, mata liarnya yang menelusuri wajahku hingga rasanya seperti menyelami pikiranku. "Kenapa? Kamu takut sama saya?" bisiknya, nadanya rendah namun menggoda, seperti permainan yang hanya dia tahu aturannya.Jantungku berdegup kencang, terasa berat di dalam dada. Tapi bukan rasa takut yang menguasai pikiranku saat ini. Aku tidak merasa takut sama sekali. Justru sebaliknya—aku takut bahwa pesona Gavin sedang menyeretku dalam arah yang berbeda, bahwa sesuatu di dalam diriku perlahan-lahan mulai goyah. Keringat yang menetes dari tubuhnya,
Baca selengkapnya

Celetukan

Aku menundukkan kepala sedikit, merasa pipiku mulai memanas. “Eh… maaf kalau saya melantur…” kataku, suaraku bergetar sedikit karena gugup. Aku mencoba tersenyum, tetapi suasana di ruangan terasa semakin intens.Devan, Talitha, dan Gavin saling bertatapan tanpa berkata apa-apa. Tatapan mereka seolah menyampaikan sesuatu yang tak kumengerti, seakan ada bahasa rahasia di antara mereka yang tidak pernah kuketahui.Talitha adalah yang pertama memecah keheningan. "Melantur?" gumamnya pelan, sedikit tertawa dengan nada menggoda. "Justru kamu punya poin bagus, Ratih."Devan tersenyum tipis, matanya masih fokus padaku. "Kamu boleh juga, ya. Nggak semua orang mikir sampai ke situ," katanya, suaranya tenang tapi penuh arti.Aku merasa semakin tak nyaman dengan tatapan mereka yang intens. "Saya cuma... nggak sengaja kepikiran," jawabku, berusaha mengalihkan perhatian, tetapi Gavin yang duduk di seberang mencondongkan tubuhnya sedikit ke dep
Baca selengkapnya

Terhanyut

Aku sejenak terdiam, tubuhku tegang, namun entah bagaimana, aku membalas ciumannya, membiarkan diriku terhanyut dalam momen tersebut.Bibir kami bersatu dengan intensitas yang membuatku lupa akan semua hal yang terjadi di sekeliling. Waktu seolah berhenti, dan yang ada hanya kami berdua. Tangan Gavin, yang tadinya di pinggangku, kini mulai bergerak naik, jemarinya menyentuh kulitku dengan lembut namun tegas, memancing reaksi yang tak bisa kutahan. Suara gemericik napas kami berbaur dengan keheningan malam yang semakin mendalam.Saat kejadian itu berlangsung begitu cepat, tiba-tiba semuanya berubah menjadi kabur di kepalaku. Gavin, dengan gerakan yang begitu terampil dan tanpa ragu, telah melepaskan dalamanku. Aku terkejut, tetapi tubuhku seakan menyerah pada momen tersebut. Nafasku semakin berat, dan detak jantungku terasa memukul dinding-dinding dada dengan keras. Sensasi yang datang begitu mendadak, begitu intens, membuat pikiranku sulit fokus pada apapun selain apa
Baca selengkapnya

Kunjungan Mendadak

Pagi itu, setelah membersihkan tubuhku dari sisa-sisa malam yang terasa begitu intens, aku membuat dua gelas air jahe hangat—satu untuk diriku dan satu lagi untuk Talitha. Rasanya menenangkan, sedikit memberikan kelegaan pada tubuh yang masih lelah dan pikiran yang terus berputar. Suara ketel yang mendidih dan aroma jahe segar memenuhi udara, menenangkan perasaanku sejenak.Aku berjalan menuju kamar Talitha dengan hati-hati, mengetuk pintu dengan lembut. Pintu terbuka, dan Devan keluar lebih dulu, sudah rapi dan siap untuk bekerja. Senyum kecil muncul di wajahnya saat melihatku dengan gelas-gelas air jahe."Masuk aja, Ratih. Kayaknya Talitha masih tepar. Bagus juga itu, air jahenya. Terima kasih ya," ucap Devan, sambil mengusap lembut tanganku dengan kehangatan yang membuatku sedikit tertegun.Aku hanya mengangguk, sedikit gugup, lalu masuk ke kamar dengan hati-hati. Kamar itu masih gelap, hanya diterangi sedikit cahaya dari jendela yang tertutup tirai. Aku menghampiri Talitha yang ma
Baca selengkapnya

Talitha VS Tere

Untuk sejenak, aku terdiam, membiarkan kata-kata yang barusan Widodo lontarkan menggantung di udara. Suasana terasa canggung dan penuh keraguan. Aku mencoba tersenyum kecil, berharap bisa mengurangi ketegangan di antara kami."Aku baik-baik saja, Mas. Mas nggak perlu khawatir. Pekerjaanku di sini bukan pekerjaan yang berisiko tinggi seperti Mas," kataku, mencoba terdengar meyakinkan.Widodo mengangguk pelan, meski aku bisa melihat jelas bahwa pikirannya masih bergelayut di tempat lain. Matanya menatap jauh ke depan, seolah memikirkan sesuatu yang lebih dalam, lebih berat. Entah dia sedang memikirkan diriku, kehidupanku, atau mungkin beban hidupnya sendiri. Hanya dia yang tahu apa yang benar-benar sedang berkecamuk dalam pikirannya.Kami kembali terdiam, hanya ditemani suara angin sore yang berhembus pelan, diselingi suara kendaraan yang sesekali lewat di jalan depan rumah. Aku menatap ke langit yang mulai berwarna oranye tua, menandakan hari sudah hampir usai.Adzan maghrib berkumanda
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status