Semua Bab Mari Berpisah, Aku Menyerah: Bab 31 - Bab 40

55 Bab

31. Perjanjian

Zelda tersenyum. “Kamu tenang aja. Aku udah bilang ke mereka kalau aku ada acara keluarga di luar kota yang wajib dihadiri. Orang tuaku juga sedang ke luar kota sekarang meski dengan urusan yang berbeda.” “Aku udah kasih pesan ke para pekerja di rumah jika ada orang yang datang, bilang aja semuanya sedang pergi ke luar kota karena ada acara keluarga. Jadi, dijamin aman,” jelasnya sambil mengacungkan kedua jempol.Naina terperangah dan menggelengkan kepala takjub. “Wow! Ternyata kamu udah mempersiapkannya dengan matang, ya.”“Pastinya dong. Aku udah memprediksi semua itu,” balas Zelda semangat.Naina melihat ke arah jalanan lewat jendela samping kiri. Ia mengerutkan kening ketika menyadari arah jalannya menuju luar kota. “Kita mau kemana?” tanyanya kembali menatap Zelda.“Ke rumah Uncle Albern.”“Tapi ini kok kayak mau ke–” “Luar kota?” potong Zelda yang dijawab anggukan oleh Naina.“Rumah Uncle memang ada di daerah pinggiran kota. Aku yakin Dhafin nggak akan mencarimu sampai di san
Baca selengkapnya

32. Hanya Orang Asing

“Siapa yang wanita yang kau bawa itu Albern?” Semua orang menoleh ke arah sumber suara, tak terkecuali Naina. Tak jauh dari posisi mereka, ada seorang wanita tua yang berdiri tegap. Ia masih tampak sehat dan bugar. Meski terdapat banyak kerutan, wajahnya terlihat masih cantik di usianya yang senja. Pakaian yang dikenakan pun sederhana, tetapi tampak elegan dan pas sesuai usia. Hanya daster batik panjang dilengkapi dengan kerudung yang menutupi rambutnya. Meskipun begitu, sudah dipastikan harganya bukan kaleng-kaleng. Naina menebak jika beliau merupakan ibu dari Tuan Albern. Ia mengerutkan keningnya merasa terheran-heran. Benarkah dirinya akan menjadi perawat untuk wanita tua itu? Namun, beliau kelihatannya masih sehat-sehat saja. “Apa kau membawa istri baru atau wanita simpananmu ke sini?” Zelda berdiri dan menghampiri wanita itu. “Bukan, Oma. Dia itu sahabatku.” Naina tersenyum sopan dan langsung beranjak dari duduknya lantas mencium tangan wanita tua itu dengan taw
Baca selengkapnya

33. Rencana Perceraian

“Emm….” Naina mengarahkan kedua bola matanya ke atas tanda berpikir, kemudian menggeleng. “Nggak ada sih. Aku bahkan jarang posting. Paling cuma story aja.”Zelda manggut-manggut paham. “Nanti aku bakal bantu kamu menghapus akunnya, oke?”“Iya, aku serahkan semuanya sama kamu. Asalkan nggak membuatmu repot aja.”Zelda tertawa kecil. “Ya, enggak lah, Naina. Kamu ini masih aja nggak enakan.”Naina hanya membalas dengan senyuman manis saja.“Sebelum ke rencana selanjutnya. Aku mau tanya sama kamu sekali lagi.” Zelda menatap Naina dengan raut wajah serius.“Apa kamu yakin dengan keputusanmu yang akan menggugat cerai Dhafin?” tanyanya. Naina terdiam selama beberapa detik. Ia menarik napas dalam-dalam lantas mengangguk mantap. “Yakin!”“Baiklah, lalu berkas-berkasnya udah siap belum?” tanya Zelda lagi. “Udah ada.” Naina beranjak untuk mengambil dokumen penting dari dalam lemari pakaian yang sudah ditata. Ia lantas menunjukkannya kepada Zelda.“Ini aku udah fotokopi semuanya. Untuk buku ni
Baca selengkapnya

34. Menyesuaikan Diri

Naina terbungkam dengan kepala tertunduk. Tebakan Oma Hira sangat tepat sasaran. Ia tidak tahu harus menjawab apa, takut salah bicara yang membuat Oma Hira semakin tidak menyukai. Oma Hira mengangguk paham. “Baiklah, aku mengizinkanmu tinggal di sini selama beberapa hari. Setelah itu, kau harus kembali kepada suamimu. Kalau bisa secepatnya.”Wanita tua itu lantas bangkit dari duduknya karena telah menyelesaikan makan malam. “Oma pamit ke kamar duluan. Selamat malam.”“Tapi Oma–”Ucapan Zelda terpotong ketika Oma mengangkat sebelah tangannya kemudian berlalu meninggalkan meja makan. “Ibu memang sangat membenci yang namanya perceraian,” ucap Tuan Albern lantas ikut beranjak pergi.Deg!Naina semakin menunduk seraya meremas jemarinya yang berkeringat. Hatinya mencelos. Sama seperti Tuan Albern, Oma memintanya kembali kepada Dhafin. Namun, dirinya sungguh-sungguh tidak ingin kembali. Mendengar namanya saja ia sudah bergetar ketakutan.Zelda menggenggam tangan Naina. “Oma bilang sepert
Baca selengkapnya

35. Pagi Pertama

“Kan Mbak Nai udah klarifikasi,” ucap Mira menyahuti ucapan Gayatri sebelumnya. “Tapi berita itu memang ndak bener kan, Mbak?” tanya Gayatri kepada Naina untuk mengonfirmasi langsung. “Tidak! Saya difitnah,” jawab Naina tegas membuat semuanya mengucapkan syukur serentak.“Iya, sih. Tuan Albern nggak mungkin membawa seseorang tanpa tau seluk-beluknya. Kita aja masuk ke sini pakai seleksi ketat,” timpal Arum.“Udah, nggak usah bahas masalah itu. Kasihan Mbak Nai jadi keingat,” kata Mira.Naina tersenyum. “Makasih pengertiannya.”“Sama-sama, Mbak Nai,” balas mereka bebarengan kemudian melanjutkan kegiatannya untuk memasak sarapan.“Kalian mau masak apa? Boleh saya membantu?” tanya Naina menawarkan bantuan. Ia melihat mereka yang sepertinya sudah memiliki tugas masing-masing.“Jangan, Mbak, ndak usah,” tolak Gayatri.Seketika, raut wajah Naina berubah sedih. “Kenapa? Apa kalian takut makanannya akan saya kasih racun?”Wanita itu kembali teringat kejadian dimana dirinya dituduh memasukka
Baca selengkapnya

36. Sore Bersama Oma

“Mbak Nai mau pergi ke sana sendirian atau perlu diantar?”Pertanyaan dari Mira itu membuat Naina sedikit tersentak. “Diantar saja, saya takut kesasar. Tunggu, ya, Mbak. Saya bersiap-siap dulu.”Tak membutuhkan waktu lama, Naina sudah selesai. Ia menutup pintu kamarnya lalu mengikuti langkah Mira menuju arah kolam renang.Selama perjalanan, Naina memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan dihadapinya ketika bertemu dengan Oma Hira. Ia menjadi overthinking sendiri. Apakah Naina melakukan kesalahan lagi? Apakah Oma Hira akan berubah pikiran dan malah mengusirnya? Kalau itu beneran terjadi, bagaimana selanjutnya?“Mbak Nai nggak perlu khawatir. Oma nggak gigit kok. Saya tadi melihat raut wajah Oma kelihatannya bersahabat. Insyaallah, aman,” kata Mira.Naina tidak menyahut. Ia masih terlarut dalam pikirannya sendiri.Sampai di teras samping rumah, Mira menunjuk ke arah satu gazebo yang sudah ditempati Oma Hira.“Itu Oma di sana. Kalau gitu saya pamit, ya. Semangat, Mbak Nai,
Baca selengkapnya

37. Bayangan Masa Lalu

“Saya merasa tidak aman, Oma. Sudah cukup putra saya yang menjadi korban.” Naina mengangkat kepala membalas tatapan Oma Hira.“Saya tidak ingin anak yang ada dalam kandungan saya ini bernasib sama dengan kakaknya. Saya ingin menyelamatkan diri dulu,” ujarnya seraya mengusap perut.Oma Hira menangguk paham. Sorot matanya terlihat sendu. “Apa karena itu kau ingin bercerai, Nak?”“Iya, Oma.”Oma Hira memegang tangan Naina. “Apa tidak bisa dibicarakan baik-baik? Apalagi kan kamu sedang hamil.” Naina menggeleng dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Saya merasa lelah, Oma. Mas Dhafin menerima perjodohan dengan Freya, mantannya.”“Mereka bahkan akan melangsungkan pertunangan dalam waktu dekat. Mas Dhafin sangat mencintai Freya.”“Saya ini hanya istri pengganti yang hanya dijadikan bayang-bayang masa lalunya. Saya tidak lagi dibutuhkan. Selain itu…”Dengan suara bergetar menahan tangis, Naina pun menceritakan semua perlakuan yang ia dapatkan selama berada di rumah mertuanya. Rasa sesak
Baca selengkapnya

38. Tanda Tangan

“Naina, apa kamu yakin ingin bercerai dari Dhafin, Nak? Pikirkan sekali lagi. Oma nggak ingin kamu menyesal nantinya.”Naina menatap lekat-lekat kertas yang berisi gugatan cerai di tangannya. Ia membaca satu-perasatu kalimat yang tertera di sana. Hari yang dinanti pun tiba. Hari dimana Naina harus menandatangani surat perceraian yang dirinya ajukan beberapa hari yang lalu. Ia memejamkan mata sejenak lalu menarik napas dalam-dalam. “Yakin, Oma, karena ini kutunggu-tunggu.”Naina meletakkan kertas itu di atas meja kemudian meraih bolpoin bertinta hitam di dekatnya. Jantung yang berdetak sangat cepat membuatnya dilingkupi rasa gugup luar biasa.Saat akan membubuhkan tanda tangan, tangannya tremor dan gemetaran hebat. Keringat dingin membasahi wajahnya disertai napas yang terdengar memburu.Zelda segera memegang tangan Naina dan meletakkan bolpoin. “Ada apa denganmu, Nai?” tanyanya panik.Naina menggeleng. Ia juga tidak mengerti kenapa tubuhnya bereaksi sedemikian rupa. Perasaannya tib
Baca selengkapnya

39. Ingin Bekerja

“Taraaa....!”Zelda menunjukkan satu box berisi ponsel baru dengan merek terkenal lantas menyerahkannya pada Naina.Naina tentu saja sangat terkejut saat menerima box itu. “Ini....”“Ponsel baru untukmu. Biar kita bisa komunikasi lagi,” sahut Zelda penuh semangat dan antusias.Beberapa hari tinggal di sini Naina memang sama sekali tidak memegang ponsel. Ponsel lama sudah benar-benar ia nonaktifkan setelah selesai menghapus akun sosial medianya.“Suka nggak?”Naina mengangguk menjawab pertanyaan Zelda. “Ini pasti mahal banget. Berapa harganya? Nanti aku akan ganti.”Zelda menggeleng. “Nggak usah. Ini memang sengaja aku belikan untukmu.”“Nggak enak aku, Zel. Kamu udah bantu aku banyak banget. Pokoknya yang ini aku mau menggantinya.”Zelda menggenggam tangan Naina. “Aku ikhlas, Nai. Anggaplah ini sebagai hadiah atas kehamilanmu dan kamu yang udah bertahan sejauh ini.”Naina tetap menggeleng dan mengembalikan ponsel itu pada Zelda. “Aku nggak mau menerimanya dengan cuma-cuma.”“Udahlah,
Baca selengkapnya

40. Morning Sickness

“Jangan-jangan apa?” “Jangan-jangan memang bukan kamu yang mengidam, tapi si Dhafin,” tebak Zelda. Naina terperangah tidak percaya. “Hah?! Kok bisa?” “Bisa! Kan di luar sana, ada kasus yang seperti itu. Dimana istri yang hamil, tapi suami yang merasakan ngidam. Masa nggak tau?” “Ya, aku tau. Maksudnya, itu kan terjadi karena rasa empati suami pada istrinya. Sedangkan aku? Kamu tau sendiri hubunganku sama Mas Dhafin gimana.” Naina menyangkal perkataan Zelda yang menurutnya sangat tidak masuk akal itu. Namun, Zelda tetap keukeuh dengan praduganya. “Bisa jadi loh, Nai, buktinya kamu nggak merasakan apa-apa kan?” Naina menghela napas lelah. “Aku nggak merasa ngidam bukan berarti berpindah ke Mas Dhafin, Zelda. Mustahil Mas Dhafin mengalami yang namanya ngidam.” “Nggak ada yang mustahil kalau Allah udah berkehendak, Nak. Mungkin dari luar suamimu tampak cuek dan nggak peduli. Tapi dalam hatinya, siapa yang tahu?” Oma Hira yang sedari tadi hanya diam kini angkat suara mengemukakan
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status