Semua Bab Wanita Gila Mencari Cinta: Bab 51 - Bab 60

120 Bab

Dia Menjadi Dingin

Dini mengamati Aster dari mejanya. Wanita sedari pagi diam saja. Bekerja tanpa menunjukkan emosi apa pun. Sempat Dini bertanya tapi hanya dijawab singkat. Itu pun persoalan pekerjaan. Diajak mengobrol santai tidak merespons. "Ada apa sih? Sejak tunangan, malah kayak gitu," bisik Fuad. Dia menyerahkan laporan ke Dini tapi pandangannya tak lepas dari Aster. Tingkah rekannya membuat berbagai prasangka timbul. "Apa ada masalah sama tunangannya? Calon mertua?" tebak Fuad. "Mungkin saja. Dia tidak mau cerita. Aku ikut sedih. Tapi dianya mengunci bibir terus. Gimana coba? Kalau besok masih kayak gini, aku bakal beraksi," sahut Dini. "Itu ide yang bagus." Brak! Sesuatu terantuk benda keras. Fuad dan Dini menoleh ke arah Aster. Bosnya itu berdiri dari kursi tiba - tiba. Kemudian berjalan cepat meninggalkan kantor.
Baca selengkapnya

Tak Kunjung Datang

Semalam David mengantarnya sampai rumah. Tapi tidak turun dari mobil. Dia bilang hendak ada meeting. Sudah pukul tujuh malam pun. Namun Aster tidak berani membantah. Apa lagi menggoda David soal pekerjaan. Dia tidak lagi memiliki hak tersebut. Karena kebodohannya sendiri. David pastinya memiliki harga diri tinggi sebagai pria. Dan dia sangat mencintai pekerjaannya. Pekerjaan yang membuatnya kebal atas sakit hati. "Mbak, kamu mau meeting tidak? Apa masih biar dilanjut Fuad?" tanya Dini menuju meja Aster. Aster menyadarkan diri dari lamunan. Dia menatap kaget pada Dini. "Meeting dengan siapa?" "Calon klien baru. Kemarin sudah ditemui Fuad sih." "Kalau begitu biar dilanjutkan Fuad saja. Nanti biar aku ikut kalau sudah mulai masuk pengajuan." Dini mengamati Aster terang - terangan. Dia mengambil berkas dari meja. "Ada apa lagi, Din?" Dini menggeleng. "Kamu
Baca selengkapnya

Mencari ke Sana Kemari

"Mas!" seru Aster terbangun dari mimpinya. Hening. Tiada sahutan. Rumah itu asing. David tidak datang. Bahkan setelah mentari terbit. Aster pun memeriksa ponsel. Benar - benar nihil berita David. Dia bangun menuju kamar utama. Dia perlu ke kamar mandi. Di kamar mandi, telah ada perlengkapan mandi. Seakan kapan pun dihuni, sudah siap. Aster pun tenang memenuhi hajat. Selesai mandi, Aster membawa pakaiannya ke luar. Dia hendak memakainya kembali. Namun tebersit pikiran untuk membuka lemari. Lemari dengan model build in yang besar itu menampakkan isinya. Beberapa potong baju pria dan wanita. Semua masih baru. Ada pula sepatu dan sandal. Model pria dan wanita. Dan baru. Aster mengambil salah satu pakaian. Sebuah gaun formal panjang yang indah. Dan pas di tubuhnya. Dia pun memakai gaun tersebut. Lalu dia memeriksa isi lemari lain. Ada laci berisi asesoris dan perhiasaan. Juga selembar kertas berwarna merah muda. - Aster cintaku, sementara ini dulu ya. Kamu bisa pakai
Baca selengkapnya

Tidak Ada Di Mana Pun

Aster terbangun kaget. Dia duduk dengan nafas terengah - engah. Matanya mengedarkan pandang ke sana kemari. Kamar tidur asing tempatnya berbaring tadi. Besar dan penuh dengan rak tertutup. Namun tidak sumpek dan hangat. Dia tidak tahu berada di kamar siapa. Maka dia pun menoleh ke samping kanan kiri. Ada pigura di nakas. Aster meraihnya. Ada foto David bersama Rendra dan Safira. Juga ada seorang anak laki - laki. "Mas David," sebut Aster sadar. Dia tadi pingsan karena sedih memikirkan David. Kini dia berada di kamar David di rumah papa dan mamanya. Aster pun menaruh kembali pigura. Dia turun dari tempat tidur. Mencari tasnya. Ponselnya tidak menerima pesan atau pun telepon dari David. Tetap nihil. Malah pesan dan telepon lain. Aster mengabaikan. Dia menggenggam ponsel dan menyandang tas. Keluar kamar segera. "Aster, kamu sudah sadar?" seru Safira menghampiri Aster. "Mana mas David, Ma?" balas Aster. Safira merangkulnya. Diajak masuk kembali ke kamar. Duduk berdua
Baca selengkapnya

Tidak Ingin Melakukan Apa Pun

Rendra pergi ke kantor. Safira tinggal sejenak bersama Aster di kamar David. Keduanya duduk diam. Sibuk dalam pikiran masing - masing. Menjalin kesedihan dalam diri. Aster mengangkat ponsel setelah Safira pamit keluar. Ada pekerjaan yang harus dilakukan. Safira tetap bekerja dari rumah. Jam di ponsel menunjukkan pukul satu siang. Waktu pun bergulir cepat tanpa terasa. Pagi terasa panjang ketika tak kunjung ada kabar. Tiba - tiba sudah siang. Kembali kenyataan lebih mengejutkan. Aster tidak berniat untuk sadar. Sebab hatinya ngilu tiap tahu tak ada kabar dari David. Benda tipis yang disebut cerdas itu tak berarti baginya. Namun tampaknya dia tidak bisa mengabaikan terlalu lama. Dia tidak mau membuat orang lain khawatir. Kontak Dini dan Fuad bergantian meneleponnya. Juga berduyun - duyun pesan. "Mbakkk!!!!" jerit Dini begitu Aster meneleponnya. "Aku libur mendadak ya," ujar Aster.
Baca selengkapnya

Pulang Dengan Tangan Hampa

Rendra pulang malam. Dua wanita di rumahnya tidak tidur sampai dia tiba. Mereka menunggu di ruang keluarga. "Jimmy masih berusaha. Papa sedang menunggu kabar dari rekan - rekan. Sebaiknya kalian berdua istirahat," ujar Rendra. Safira mengangguk. Dia menyuruh Aster kembali ke kamar David. Sementara dia hendak mengurus suaminya. Mau tak mau Aster masuk ke kamar yang beberapa tahun belakang sudah jarang dihuni pemiliknya. Tak tertinggal banyak jejak David di kamar. Baju - baju di lemari masih bersih. Meja tak terlapis debu. Aster pun memandangi foto David bersama orang tuanya. Sepertinya foto lama. David terlihat jauh lebih muda dan tirus. Begitu pula Rendra dan Safira. Dan sosok yang tidak dikenal Aster. Di rumah yang besar itu pun Aster hanya bertemu mertua serta staff pengurus rumah. Anggota keluarga lain tak ada yang di sana. Sepi dan hening. Hati Aster tercekam oleh kekalutan. Juga betapa kosongnya rumah besar ini. Pada akhirnya Aster bisa memejamkan mata. Dia jatu
Baca selengkapnya

Dalam Penantian

Ponsel Aster berdering nyaring. Dia tersentak bangun. Badannya pun terasa pegal - pegal. Jatuh sampai tertidur di tepi sofa dalam posisi yang tidak mengenakkan. Hanya separo badan yang berada di atas sofa. Aster pun bergegas mengambil ponsel. Dia takut kalau itu David yang memerlukan bantuan. Namun hatinya mencelos melihat nama penelepon. Meski kemudian menggeleng. Dia tidak boleh begitu. "Papa, ada apa?" angkat Aster. "Kenapa suaramu? Kamu flu?" balas Huda. Aster berdeham. Tak sadar kalau tenggorokannya serak. "Enggak, Pa. Aster nggak apa - apa. Papa gimana? Papa nggak sakit kan? Mama?" "Papa dan mama kamu sehat bugar. Papa merasa perlu bicara denganmu. Sudah beberapa hari kamu nggak kontak papa atau mama." "Maaf, Pa. Aster ada urusan ini itu."
Baca selengkapnya

Harapan Itu Pasti Ada

Hari berlalu. Tetap belum ada perubahan pasti. Malam menjelang, tidur tak nyenyak. Pagi tiba. Makan pun terpaksa. Dan hari pun berganti minggu. Safira bicara dengan Aster hampir tiap hari. Entah pagi, siang, terlebih malam. Telepon beberapa belas menit yang memilukan. Mereka telah menyisir banyak rumah sakit, klinik, kantor polisi. Tak ada yang bisa ditemukan. Namun Aster tak menyerah. Begitu pula kedua orang tua David. "Mbak, tim dari perusahaan Pustaka Gemilang minta direktur ikut. Mbak Aster besok siang bisa?" tanya Dini. Aster juga telah memaksa masuk kerja. Di rumah dia sangat menyedihkan. Benar kata David, pekerjaan membuatnya hanyut. Setidaknya selama beberapa jam dia bisa hidup normal. Setelah dan sebelum kerja, biarlah Aster membersamai kehilangannya. "Baiklah. Atur saja, Din. Aku akan ikut," jawab Aster. Dia tentu tidak bisa mengabaikan permintaan klien besar. Pustaka Gemilang adalah grup perusahaan yang banyak memakai jasa mereka selama dua tahun belak
Baca selengkapnya

Tidak Ada Pilihan Lain

Aster baru pulang dari kantor. Dia membuka gerbang untuk memasukkan mobil. Seseorang datang di belakangnya. Kurir barang yang menyerahkan sebuah paket kecil. Aster menerimanya begitu saja. Meskipun dia tidak ingat telah membeli sesuatu. Atau diberitahu seseorang akan ada kiriman. Dia membawa paket tersebut masuk ke dalam rumah. Rumah sepi seperti biasa. Panji telah kembali. Dia perlu mengurus warungnya. "Siapa ini?" ucap Aster mengamati label pada paket. - Pengirim : Teman Melihat Bintang - Deg! Nafas Aster tercekat membaca nama tersebut. Hanya itu pula yang tertulis. Dia meneruskan membaca label. Label paket dicetak lima hari yang lalu. Itu belum lama. Setelah David menghilang. "David," sebut Aster pilu. Apa dia mengirim ini dari tempatnya berada sekarang? Sekali lagi Aster membaca label. Asal ekspedisi, kota yang sama tempat dia berada. Aster menunduk frustasi. Jika benar ini dari David dan dikirim dari kota ini, maka di mana dia bersembunyi. "Pan, apa ka
Baca selengkapnya

Tidak Ada Yang Mendukung

Mata Aster dapat terpejam menjelang tengah malam. Tidur pun tidak nyenyak. Mimpi gedung runtuh masih mengunjunginya. Di depan wastafel, dia memandangi wajah. Tampak layu. Begitu menyedihkan. Dia kehilangan berat badan sebanyak dua kilogram. Pipinya jadi cekung. Kantong mata pun menggelap. Kalau begini, apa David akan membencinya? Dia menjadi jelek dan tidak sedap dipandang. Tidak pula bersemangat seperti Aster biasanya. Aster mencuci ulang wajah. Dia menggosok keras. Pipinya memerah. Sedikit perih. /Ma, Aster boleh datang ke rumah?/ Aster mengirim pesan kepada Safira. Dia tetap memerlukan ijin sekalipun Safira selalu mengatakan dia bebas datang kapan saja. Aster menunggu jawaban Safira sambil merapikan pakaian. Dia akan tetap pergi bekerja. Ke rumah Safira nanti sepulang kerja. Pagi hari calon mertuanya itu juga sudah sangat sibuk. /Boleh, Nak. Kapan mau kamu datang?/ Aster tersenyum. Dia melirik album sambil mengetik jawaban. /Pukul enam sore, Ma. Mama mau a
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
45678
...
12
DMCA.com Protection Status