halooo, maap telat dari biasanya. kebawa suasana nih. ikutan galau. dukung terus Aster yaa! kita cari David sampai ketemu. makasih.
Aster terbangun kaget. Dia duduk dengan nafas terengah - engah. Matanya mengedarkan pandang ke sana kemari. Kamar tidur asing tempatnya berbaring tadi. Besar dan penuh dengan rak tertutup. Namun tidak sumpek dan hangat. Dia tidak tahu berada di kamar siapa. Maka dia pun menoleh ke samping kanan kiri. Ada pigura di nakas. Aster meraihnya. Ada foto David bersama Rendra dan Safira. Juga ada seorang anak laki - laki. "Mas David," sebut Aster sadar. Dia tadi pingsan karena sedih memikirkan David. Kini dia berada di kamar David di rumah papa dan mamanya. Aster pun menaruh kembali pigura. Dia turun dari tempat tidur. Mencari tasnya. Ponselnya tidak menerima pesan atau pun telepon dari David. Tetap nihil. Malah pesan dan telepon lain. Aster mengabaikan. Dia menggenggam ponsel dan menyandang tas. Keluar kamar segera. "Aster, kamu sudah sadar?" seru Safira menghampiri Aster. "Mana mas David, Ma?" balas Aster. Safira merangkulnya. Diajak masuk kembali ke kamar. Duduk berdua
Rendra pergi ke kantor. Safira tinggal sejenak bersama Aster di kamar David. Keduanya duduk diam. Sibuk dalam pikiran masing - masing. Menjalin kesedihan dalam diri. Aster mengangkat ponsel setelah Safira pamit keluar. Ada pekerjaan yang harus dilakukan. Safira tetap bekerja dari rumah. Jam di ponsel menunjukkan pukul satu siang. Waktu pun bergulir cepat tanpa terasa. Pagi terasa panjang ketika tak kunjung ada kabar. Tiba - tiba sudah siang. Kembali kenyataan lebih mengejutkan. Aster tidak berniat untuk sadar. Sebab hatinya ngilu tiap tahu tak ada kabar dari David. Benda tipis yang disebut cerdas itu tak berarti baginya. Namun tampaknya dia tidak bisa mengabaikan terlalu lama. Dia tidak mau membuat orang lain khawatir. Kontak Dini dan Fuad bergantian meneleponnya. Juga berduyun - duyun pesan. "Mbakkk!!!!" jerit Dini begitu Aster meneleponnya. "Aku libur mendadak ya," ujar Aster.
Rendra pulang malam. Dua wanita di rumahnya tidak tidur sampai dia tiba. Mereka menunggu di ruang keluarga. "Jimmy masih berusaha. Papa sedang menunggu kabar dari rekan - rekan. Sebaiknya kalian berdua istirahat," ujar Rendra. Safira mengangguk. Dia menyuruh Aster kembali ke kamar David. Sementara dia hendak mengurus suaminya. Mau tak mau Aster masuk ke kamar yang beberapa tahun belakang sudah jarang dihuni pemiliknya. Tak tertinggal banyak jejak David di kamar. Baju - baju di lemari masih bersih. Meja tak terlapis debu. Aster pun memandangi foto David bersama orang tuanya. Sepertinya foto lama. David terlihat jauh lebih muda dan tirus. Begitu pula Rendra dan Safira. Dan sosok yang tidak dikenal Aster. Di rumah yang besar itu pun Aster hanya bertemu mertua serta staff pengurus rumah. Anggota keluarga lain tak ada yang di sana. Sepi dan hening. Hati Aster tercekam oleh kekalutan. Juga betapa kosongnya rumah besar ini. Pada akhirnya Aster bisa memejamkan mata. Dia jatu
Ponsel Aster berdering nyaring. Dia tersentak bangun. Badannya pun terasa pegal - pegal. Jatuh sampai tertidur di tepi sofa dalam posisi yang tidak mengenakkan. Hanya separo badan yang berada di atas sofa. Aster pun bergegas mengambil ponsel. Dia takut kalau itu David yang memerlukan bantuan. Namun hatinya mencelos melihat nama penelepon. Meski kemudian menggeleng. Dia tidak boleh begitu. "Papa, ada apa?" angkat Aster. "Kenapa suaramu? Kamu flu?" balas Huda. Aster berdeham. Tak sadar kalau tenggorokannya serak. "Enggak, Pa. Aster nggak apa - apa. Papa gimana? Papa nggak sakit kan? Mama?" "Papa dan mama kamu sehat bugar. Papa merasa perlu bicara denganmu. Sudah beberapa hari kamu nggak kontak papa atau mama." "Maaf, Pa. Aster ada urusan ini itu."
Hari berlalu. Tetap belum ada perubahan pasti. Malam menjelang, tidur tak nyenyak. Pagi tiba. Makan pun terpaksa. Dan hari pun berganti minggu. Safira bicara dengan Aster hampir tiap hari. Entah pagi, siang, terlebih malam. Telepon beberapa belas menit yang memilukan. Mereka telah menyisir banyak rumah sakit, klinik, kantor polisi. Tak ada yang bisa ditemukan. Namun Aster tak menyerah. Begitu pula kedua orang tua David. "Mbak, tim dari perusahaan Pustaka Gemilang minta direktur ikut. Mbak Aster besok siang bisa?" tanya Dini. Aster juga telah memaksa masuk kerja. Di rumah dia sangat menyedihkan. Benar kata David, pekerjaan membuatnya hanyut. Setidaknya selama beberapa jam dia bisa hidup normal. Setelah dan sebelum kerja, biarlah Aster membersamai kehilangannya. "Baiklah. Atur saja, Din. Aku akan ikut," jawab Aster. Dia tentu tidak bisa mengabaikan permintaan klien besar. Pustaka Gemilang adalah grup perusahaan yang banyak memakai jasa mereka selama dua tahun belak
Aster baru pulang dari kantor. Dia membuka gerbang untuk memasukkan mobil. Seseorang datang di belakangnya. Kurir barang yang menyerahkan sebuah paket kecil. Aster menerimanya begitu saja. Meskipun dia tidak ingat telah membeli sesuatu. Atau diberitahu seseorang akan ada kiriman. Dia membawa paket tersebut masuk ke dalam rumah. Rumah sepi seperti biasa. Panji telah kembali. Dia perlu mengurus warungnya. "Siapa ini?" ucap Aster mengamati label pada paket. - Pengirim : Teman Melihat Bintang - Deg! Nafas Aster tercekat membaca nama tersebut. Hanya itu pula yang tertulis. Dia meneruskan membaca label. Label paket dicetak lima hari yang lalu. Itu belum lama. Setelah David menghilang. "David," sebut Aster pilu. Apa dia mengirim ini dari tempatnya berada sekarang? Sekali lagi Aster membaca label. Asal ekspedisi, kota yang sama tempat dia berada. Aster menunduk frustasi. Jika benar ini dari David dan dikirim dari kota ini, maka di mana dia bersembunyi. "Pan, apa ka
Mata Aster dapat terpejam menjelang tengah malam. Tidur pun tidak nyenyak. Mimpi gedung runtuh masih mengunjunginya. Di depan wastafel, dia memandangi wajah. Tampak layu. Begitu menyedihkan. Dia kehilangan berat badan sebanyak dua kilogram. Pipinya jadi cekung. Kantong mata pun menggelap. Kalau begini, apa David akan membencinya? Dia menjadi jelek dan tidak sedap dipandang. Tidak pula bersemangat seperti Aster biasanya. Aster mencuci ulang wajah. Dia menggosok keras. Pipinya memerah. Sedikit perih. /Ma, Aster boleh datang ke rumah?/ Aster mengirim pesan kepada Safira. Dia tetap memerlukan ijin sekalipun Safira selalu mengatakan dia bebas datang kapan saja. Aster menunggu jawaban Safira sambil merapikan pakaian. Dia akan tetap pergi bekerja. Ke rumah Safira nanti sepulang kerja. Pagi hari calon mertuanya itu juga sudah sangat sibuk. /Boleh, Nak. Kapan mau kamu datang?/ Aster tersenyum. Dia melirik album sambil mengetik jawaban. /Pukul enam sore, Ma. Mama mau a
Jimmy membawanya ke lantai dua belas. Di sana ruangan yang biasa David gunakan berada. Gedung ini tidak hanya digunakan oleh BaseFood. Melainkan juga perusahaan lain yang dimiliki keluarga David berkantor pusat di sana. Jimmy memberitahu kalau Safira tidak menempati ruangan David. Dia memiliki ruangannya sendiri. Maka, Aster pun diantar ke ruangan tersebut. Ada sekretaris yang berada di meja luar. Dia bukan Yessi. Tentunya Safira memiliki sekretaris sendiri. Mungkin malah sekretaris pribadi seperti Jimmy. Sekretaris itu yang mengumumkan kedatangan Aster pada Safira. Dia juga yang mengantar Aster masuk ke dalam. "Duduklah, Sayang. Aku tanda tangan sebentar," sambut Safira. Safira duduk tegap dan penuh wibawa di kursinya. Aura berkuasa terpancar tak terelakkan. Dia memberi senyum lembut yang menenangkan. Kontras dengan keangkuhan seorang pemimpin tinggi perusahaan. "Baik, Ma," jawab Aster. Sekretaris itu menatap Aster penasaran sebelum undur diri. Aster menunggu