Mata Aster dapat terpejam menjelang tengah malam. Tidur pun tidak nyenyak. Mimpi gedung runtuh masih mengunjunginya. Di depan wastafel, dia memandangi wajah. Tampak layu. Begitu menyedihkan. Dia kehilangan berat badan sebanyak dua kilogram. Pipinya jadi cekung. Kantong mata pun menggelap. Kalau begini, apa David akan membencinya? Dia menjadi jelek dan tidak sedap dipandang. Tidak pula bersemangat seperti Aster biasanya. Aster mencuci ulang wajah. Dia menggosok keras. Pipinya memerah. Sedikit perih. /Ma, Aster boleh datang ke rumah?/ Aster mengirim pesan kepada Safira. Dia tetap memerlukan ijin sekalipun Safira selalu mengatakan dia bebas datang kapan saja. Aster menunggu jawaban Safira sambil merapikan pakaian. Dia akan tetap pergi bekerja. Ke rumah Safira nanti sepulang kerja. Pagi hari calon mertuanya itu juga sudah sangat sibuk. /Boleh, Nak. Kapan mau kamu datang?/ Aster tersenyum. Dia melirik album sambil mengetik jawaban. /Pukul enam sore, Ma. Mama mau a
Jimmy membawanya ke lantai dua belas. Di sana ruangan yang biasa David gunakan berada. Gedung ini tidak hanya digunakan oleh BaseFood. Melainkan juga perusahaan lain yang dimiliki keluarga David berkantor pusat di sana. Jimmy memberitahu kalau Safira tidak menempati ruangan David. Dia memiliki ruangannya sendiri. Maka, Aster pun diantar ke ruangan tersebut. Ada sekretaris yang berada di meja luar. Dia bukan Yessi. Tentunya Safira memiliki sekretaris sendiri. Mungkin malah sekretaris pribadi seperti Jimmy. Sekretaris itu yang mengumumkan kedatangan Aster pada Safira. Dia juga yang mengantar Aster masuk ke dalam. "Duduklah, Sayang. Aku tanda tangan sebentar," sambut Safira. Safira duduk tegap dan penuh wibawa di kursinya. Aura berkuasa terpancar tak terelakkan. Dia memberi senyum lembut yang menenangkan. Kontras dengan keangkuhan seorang pemimpin tinggi perusahaan. "Baik, Ma," jawab Aster. Sekretaris itu menatap Aster penasaran sebelum undur diri. Aster menunggu
"Mulai sekarang, kalau ada apa - apa kamu harus langsung beritahu papa," titah Rendra. Aster mengangguk pelan. Dia mengucap iya amat pelan. Dia mengulang cerita pada Rendra yang datang ke ruangan Safira. Album foto kembali dibuka - buka. Cerita Fiora yang meninggalkan David diputar. "Hal mencurigakan sekecil apa pun, Nak. Tidak ada yang boleh terlewat," imbuh Rendra. "Iya, Pa. Aster mengerti," ujar Aster. Safira berpindah duduk ke sebelah Aster. Serta merta merangkul wanita muda kesayangan anaknya. "Kamu tidak perlu memikirkan soal Fiora mau pun apa yang telah terjadi pada masa lalu David. Apa yang harus kita pikirkan sekarang adalah menemukan David. Mama minta kamu tidak teralihkan. Juga kamu harus ingat kalau ada mama dan papa. Meski kita belum resmi menjadi keluarga lewat ikatan pernikahan, kamu sudah menjadi anak mantu kami." Aster menatap lekat pada wanita yang tak terlalu jauh umurnya dari mama Aster sendiri. Dia merasa dekat dengan Safira. Seakan telah bertahun
Aster tergopoh - gopoh menuju kantor. Dia kesiangan karena sejak semalam Jimmy sudah mengirim catatan kegiatan David. Mereka memiliki catatan dalam bentuk digital. Saking banyak pekerjaan, David sampai perlu mencatat kegiatan. Bahkan ada rincian notulen. Tentu Aster tidak diberi akses pada rincian. Dia pun tidak membutuhkannya. Dia hanya perlu tahu pola kegiatan David. Agar dia tahu kemana harus mencari sang kekasih hati. "Jangan lari - lari, Mbak!" seru Dulah. Pemuda itu malah itu lari mengejar Aster. Sampai ikut masuk ke kantor. "Ada apa, Dul?" heran Aster. Sebuah kantong kertas besar warna coklat polos diulurkan. "Ada kiriman buat mbak Aster. Diantar kurir. Katanya dari Teman Makan," beritahu Dulah. Aster mengerutkan dahi. Dia tidak punya teman makan. Kalau teman melihat bintang-- Apa mungkin ini juga seperti kiriman album tempo hari? "Oke
Pustaka Gemilang berada di gedung perkantoran besar di pusat kota. Rupanya dekat dengan gedung Antasena. Tahu begitu Aster bisa ikut Jimmy saja sekalian. Dia tinggal sedikit jalan kaki. Selama ini mereka meeting di luar kantor. Aster tidak terlalu mencari tahu fisik kantor Pustaka Gemilang. Seorang staff menyambut Aster di lobi bawah. Dia memandu Aster naik ke lantai delapan belas. "Sila masuk ruang meeting, Bu. Direktur baru akan hadir sepuluh menit lagi. Mohon maaf membuat Anda menunggu," ujar staff tersebut. Di dalam sudah ada tiga pejabat perusahaan yang Aster kenal. Direktur lama, manager produksi dan sekretaris direktur lama. Mereka saling menyapa. Aster pun duduk di kursi yang ditunjukkan untuknya. Punggungnya membelakangi pintu masuk. Tampak tenang mengobrol dengan direktur lama. Pria paruh baya yang ramah itu menanyakan bagaimana kemajuan perusahaan Aster. Cerita ringan disampaikan. Lalu pintu berderit amat pelan. Terasa angin berembus di belakang Aster. K
Mereka menuju lift menuju basement. Keluar tak jauh dari spot parkir bertanda khusus. Brian membukakan pintu untuk Aster. Sebelum dia memutar masuk ke kursi kemudi. "Tenanglah. Saya tidak akan berbuat macam - macam. Kita hanya makan siang bersama dalam rangka mempererat hubungan bisnis," ujar Brian tiba - tiba. Aster tercenung. Merasa ditohok oleh perkataan Brian. Dia pun beringsut duduk lebih santai. Senyum ramah dia ulas. "Sepertinya Anda keliru, pak Brian. Saya tidak akan salah paham kok," sanggah Aster. "Baguslah. Saya jadi tenang. Kalau tidak, saya merasa sedang melarikan istri orang saja," kelakar Brian. Senyum Aster lenyap. Nafasnya tercekat mendengar itu. Untung Brian tidak melihatnya. Pria itu tengah menerima telepon yang baru saja masuk. "Taru
Aster mengangkat telepon yang masuk. Nama Safira menyala di layar. "Halo, Mama. Ada apa?" "Kamu masih di kantor?" tanya Safira lembut. "Baru selesai meeting, Ma. Mama memerlukan sesuatu?" "Tidak, Sayang. Ya, sudah kalau masih kerja. Mama cuma mau memberi kabar, akhir pekan nanti ada pesta amal. Mama mau ajak kamu. Kamu mau, Nak? Nanti sama papa juga." "Boleh, Ma. Nanti Aster temani papa sama mama. Di mana tempatnya?" "Nanti mama jemput kamu dari kantor, kita bersiap di salon langganan mama. Tempatnya di hotel Sanctuary Green. David biasa datang ke acara ini, Nak. Siapa tahu ada yang bisa memberi kita kabar." Aster mengusap mata. Air mata tiba - tiba menetes. "Iya, Ma," ujar Aster sendu. "Ya, sudah, kamu hati - hati nyetirnya. Kabari mama kalau sudah di rumah. Jangan lupa istirahat ya, sayang," sahut Safira. "Baik, Mama. Terima kasih. Mama juga istirahat," tutup Aster. Dia meneruskan menyetir menuju kantor. Dia masih s
Safira mengirim pesan untuk mengingatkan Aster. Pukul empat sore Jimmy akan menjemput Aster. Dia akan mengantar Aster ke tempat yang sudah Safira reservasi. Jadwal Aster pun sudah diatur ulang. Dia tidak memiliki meeting lain seusai makan siang. Bekerja normal tanpa tergesa di kantor. Begitu pula rekan - rekannya. "Mbak, kamu mau ada acara apa?" tanya Dini sebelum Aster dijemput. "Pesta amal. Bu Safira yang ajak. Gimana, Din?" jawab Aster apa adanya. "Ya, nggak apa - apa, Mbak. Baik - baik di sana. Siapa tahu bisa sama ngenalkan perusahaan kita," ujar Dini sambil meringis. Aster menunjukkan kotak kartu nama. Dia ikut meringis. "Tenang, Din. Mama sudah memberiku ijin untuk memberikan kartu nama ini jika ada yang mengajak berkenalan." "Senangnya mendapat calon mertua yang baik. Kuharap..., kuharap pak David segera kembali." Senyum Aster surut. Dia hanya mengangguk lemah. Itu harapan Aster. Dia ingin saat ini juga David datang padanya. Bukan Jimmy yang hendak mengant