Mereka menuju lift menuju basement. Keluar tak jauh dari spot parkir bertanda khusus.
Brian membukakan pintu untuk Aster. Sebelum dia memutar masuk ke kursi kemudi. "Tenanglah. Saya tidak akan berbuat macam - macam. Kita hanya makan siang bersama dalam rangka mempererat hubungan bisnis," ujar Brian tiba - tiba. Aster tercenung. Merasa ditohok oleh perkataan Brian. Dia pun beringsut duduk lebih santai. Senyum ramah dia ulas. "Sepertinya Anda keliru, pak Brian. Saya tidak akan salah paham kok," sanggah Aster. "Baguslah. Saya jadi tenang. Kalau tidak, saya merasa sedang melarikan istri orang saja," kelakar Brian. Senyum Aster lenyap. Nafasnya tercekat mendengar itu. Untung Brian tidak melihatnya. Pria itu tengah menerima telepon yang baru saja masuk. "TaruAster mengangkat telepon yang masuk. Nama Safira menyala di layar. "Halo, Mama. Ada apa?" "Kamu masih di kantor?" tanya Safira lembut. "Baru selesai meeting, Ma. Mama memerlukan sesuatu?" "Tidak, Sayang. Ya, sudah kalau masih kerja. Mama cuma mau memberi kabar, akhir pekan nanti ada pesta amal. Mama mau ajak kamu. Kamu mau, Nak? Nanti sama papa juga." "Boleh, Ma. Nanti Aster temani papa sama mama. Di mana tempatnya?" "Nanti mama jemput kamu dari kantor, kita bersiap di salon langganan mama. Tempatnya di hotel Sanctuary Green. David biasa datang ke acara ini, Nak. Siapa tahu ada yang bisa memberi kita kabar." Aster mengusap mata. Air mata tiba - tiba menetes. "Iya, Ma," ujar Aster sendu. "Ya, sudah, kamu hati - hati nyetirnya. Kabari mama kalau sudah di rumah. Jangan lupa istirahat ya, sayang," sahut Safira. "Baik, Mama. Terima kasih. Mama juga istirahat," tutup Aster. Dia meneruskan menyetir menuju kantor. Dia masih s
Safira mengirim pesan untuk mengingatkan Aster. Pukul empat sore Jimmy akan menjemput Aster. Dia akan mengantar Aster ke tempat yang sudah Safira reservasi. Jadwal Aster pun sudah diatur ulang. Dia tidak memiliki meeting lain seusai makan siang. Bekerja normal tanpa tergesa di kantor. Begitu pula rekan - rekannya. "Mbak, kamu mau ada acara apa?" tanya Dini sebelum Aster dijemput. "Pesta amal. Bu Safira yang ajak. Gimana, Din?" jawab Aster apa adanya. "Ya, nggak apa - apa, Mbak. Baik - baik di sana. Siapa tahu bisa sama ngenalkan perusahaan kita," ujar Dini sambil meringis. Aster menunjukkan kotak kartu nama. Dia ikut meringis. "Tenang, Din. Mama sudah memberiku ijin untuk memberikan kartu nama ini jika ada yang mengajak berkenalan." "Senangnya mendapat calon mertua yang baik. Kuharap..., kuharap pak David segera kembali." Senyum Aster surut. Dia hanya mengangguk lemah. Itu harapan Aster. Dia ingin saat ini juga David datang padanya. Bukan Jimmy yang hendak mengant
Ketiga tidak bisa membahas hal tersebut di depan Irawan. Rendra dan Safira sepakat untuk tidak membawa hilangnya David sampai ke umum. Mereka masih menyimpannya. Demi menjaga stabilitas perusahaan. Jika ada yang mencari, maka dikatakan bahwa David tengah ke luar kota. Karena itu pula Aster pun kesulitan mengorek informasi dari Irawan lebih jauh. Bisa saja David pun hanya menelepon singkat. Tidak ada yang akan dapat menjadi petunjuk. Aster pun memberikan kartu namanya sebelum Irawan beralih ke tamu lain. Calon mertuanya lalu mengajak Aster bertemu kolega - kolega yang lain. Mereka sehalus mungkin mencari - cari hal yang berkaitan dengan David. Remah - remah yang barangkali David tebarkan di belakang langkah..... "Wah, cantik ya calon mantunya, jeng Safira. Boleh dong kapan - kapan diajak kumpul. Makan siang gitu, jeng," ujar salah satu istri kolega Safira. "Iya, nanti kapan - kapan aku ajak Aster. Kalau David memberinya ijin," sahut Safira. Aster berdiri mematung di
"Aster!" namanya tiba - tiba dipanggil. Baik Aster maupun Brian menoleh ke arah pintu aula. Dan mata - mata yang terkejut berserobok. "Mama," balas Aster. Brian mengernyit. Dia memandang aneh pada Safira yang menghampiri Aster. Safira merangkul Aster. Sedikit menariknya menjauh dari Brian. "Lama sekali. Aku kira ada apa - apa padamu, Nak," ujar Safira. Namun pandangannya terarah ke Brian. "Aster tidak apa - apa, Tante. Anda tidak perlu khawatir," Brian angkat bicara. Aster mengerutkan dahi. Dia memandang Safira dan Brian bergantian. "Mama kenal pak Brian?" celetuk Aster. "Mama?" ulang Brian. Aster menelengkan kepala. Dia mengusap
"Ya, ampun!" Aster terkesiap. Dia memandang penuh rasa ingin tahu. Foto di tangannya. David begitu dekat dengan orang di sebelah. Mereka berangkulan mesra. Tertawa lebar. Keduanya berdiri di depan rumah besar yang tidak dikenali Aster. Bukan rumah ini. Dia mengusap wajah David. Senyumnya begitu lepas. Rasanya sangat jarang David membuat senyum semacam itu. Hati Aster menjadi ngilu. Kapan lagi dia akan bisa melihat David. David yang tersenyum dan bisa dia peluk erat. Aster menjatuhkan diri ke kasur. Dia menarik lutut mendekat. David bersama Brian. Mereka berangkulan erat. Apakah mereka saling mengenal baik? Namun mengapa Safi
"Arrggh!" jerit Aster tangannya disambar sosok tersebut. Panci terayun. Jatuh ke lantai dan berbunyi gaduh. Sosok berbaju hitam itu lebih dulu memutar badan sebelum panci mengenai dirinya. Dia lebih gesit. Dia seorang pria muda yang menatap tajam pada Aster. Masih mencengkeram tangan Aster. "Siapa kamu?" seru orang itu. Aster mengernyitkan dahi. Dia berusaha menyentakkan tangan. "Aster! Tomy!" seru Safira. Aster menoleh ke arah Safira yang berjalan masuk ke dapur. Masih memakai jubah tidur tebal. Segera menarik tangan Safira lepas dari pria asing tadi. "Apa yang lakukan, Tomy? Kamu pulang subuh - subuh membuat gempar rumah," marah Safira. Anti juga datang tergopoh - gopoh. Dia mengucek mata ketika mendapati majikannya sudah ada di sana. "Lho, tuan Tomy pulang?" celetuknya. "Nah, bu Anti! Tolong
"Mana mas David?" tanya Tomy untuk kesekian kalinya. Dan tak ada jawaban pula. Baik Safira mau pun Rendra memilih diam. Tomy menggeser duduknya di sofa. Dia menopang dagu ke arah Aster. "Sejak kapan mas David punya pacar secantik ini? Dia tidak pernah memberitahuku. Apa dia khawatir aku akan merebut calon kakak ipar?" ujar Tomy malas - malasan. Rendra berdeham. Dia membuat Tomy memperbaiki cara duduk santainya. "Kakakmu sangat sibuk sampai tidak ingat memberimu kabar. David dan Aster sudah bekerja sama lama, tapi mereka memutuskan menikah baru - baru saja," beritahu Rendra. "Oh, cinlok ya. Emang sih. Kalau aku kerja sama mbak Aster lama - lama juga jatuh cinta. Baguslah mas David akhirnya menikah. Aku tidak sabar punya keponakan," komentar Tomy. "Tapi, Tomy, sudah dua minggu ini David menghilang," ungkap Rendra berat hati. Tomy terperanjat. Dia menggeram kencang. "Papa jangan bercanda.
Tomy mengamati Aster tanpa jeda. Dia tidak menyembunyikan ekspresi penuh tanya. Aster sampai berdiri kikuk. Sabar menunggu Tomy bergerak masuk ke mobil. "Ada yang ingin kamu katakan?" Aster memberanikan diri bertanya. Tomy menggumam tidak. Dia pun naik ke mobil. Juga membiarkan Aster turut naik. "Apa kamu keberatan aku ikut?" kembali Aster bertanya. Tomy hanya melirik. Lebih sibuk menjalankan mobil. "Kita akan mengunjungi sejumlah teman mas David. Apa yang akan kamu katakan kalau mereka bertanya kamu siapa?" ujar Tomy. "Menurutmu apa yang harus aku katakan? Bicara jujur kalau aku tunangan mas David? Atau hanya karyawan yang ikut kamu adiknya?" balas Aster. Tomy mengusap dagu. Dia memandang ke jalan berpikir sesuatu. "Aku belum tahu mas David sudah memberitahu teman - temannya atau belum. Kalian belum mengumumkan ke kolega?" tanya Tomy.