"Aster!" namanya tiba - tiba dipanggil.
Baik Aster maupun Brian menoleh ke arah pintu aula. Dan mata - mata yang terkejut berserobok. "Mama," balas Aster. Brian mengernyit. Dia memandang aneh pada Safira yang menghampiri Aster. Safira merangkul Aster. Sedikit menariknya menjauh dari Brian. "Lama sekali. Aku kira ada apa - apa padamu, Nak," ujar Safira. Namun pandangannya terarah ke Brian. "Aster tidak apa - apa, Tante. Anda tidak perlu khawatir," Brian angkat bicara. Aster mengerutkan dahi. Dia memandang Safira dan Brian bergantian. "Mama kenal pak Brian?" celetuk Aster. "Mama?" ulang Brian. Aster menelengkan kepala. Dia mengusap"Ya, ampun!" Aster terkesiap. Dia memandang penuh rasa ingin tahu. Foto di tangannya. David begitu dekat dengan orang di sebelah. Mereka berangkulan mesra. Tertawa lebar. Keduanya berdiri di depan rumah besar yang tidak dikenali Aster. Bukan rumah ini. Dia mengusap wajah David. Senyumnya begitu lepas. Rasanya sangat jarang David membuat senyum semacam itu. Hati Aster menjadi ngilu. Kapan lagi dia akan bisa melihat David. David yang tersenyum dan bisa dia peluk erat. Aster menjatuhkan diri ke kasur. Dia menarik lutut mendekat. David bersama Brian. Mereka berangkulan erat. Apakah mereka saling mengenal baik? Namun mengapa Safi
"Arrggh!" jerit Aster tangannya disambar sosok tersebut. Panci terayun. Jatuh ke lantai dan berbunyi gaduh. Sosok berbaju hitam itu lebih dulu memutar badan sebelum panci mengenai dirinya. Dia lebih gesit. Dia seorang pria muda yang menatap tajam pada Aster. Masih mencengkeram tangan Aster. "Siapa kamu?" seru orang itu. Aster mengernyitkan dahi. Dia berusaha menyentakkan tangan. "Aster! Tomy!" seru Safira. Aster menoleh ke arah Safira yang berjalan masuk ke dapur. Masih memakai jubah tidur tebal. Segera menarik tangan Safira lepas dari pria asing tadi. "Apa yang lakukan, Tomy? Kamu pulang subuh - subuh membuat gempar rumah," marah Safira. Anti juga datang tergopoh - gopoh. Dia mengucek mata ketika mendapati majikannya sudah ada di sana. "Lho, tuan Tomy pulang?" celetuknya. "Nah, bu Anti! Tolong
"Mana mas David?" tanya Tomy untuk kesekian kalinya. Dan tak ada jawaban pula. Baik Safira mau pun Rendra memilih diam. Tomy menggeser duduknya di sofa. Dia menopang dagu ke arah Aster. "Sejak kapan mas David punya pacar secantik ini? Dia tidak pernah memberitahuku. Apa dia khawatir aku akan merebut calon kakak ipar?" ujar Tomy malas - malasan. Rendra berdeham. Dia membuat Tomy memperbaiki cara duduk santainya. "Kakakmu sangat sibuk sampai tidak ingat memberimu kabar. David dan Aster sudah bekerja sama lama, tapi mereka memutuskan menikah baru - baru saja," beritahu Rendra. "Oh, cinlok ya. Emang sih. Kalau aku kerja sama mbak Aster lama - lama juga jatuh cinta. Baguslah mas David akhirnya menikah. Aku tidak sabar punya keponakan," komentar Tomy. "Tapi, Tomy, sudah dua minggu ini David menghilang," ungkap Rendra berat hati. Tomy terperanjat. Dia menggeram kencang. "Papa jangan bercanda.
Tomy mengamati Aster tanpa jeda. Dia tidak menyembunyikan ekspresi penuh tanya. Aster sampai berdiri kikuk. Sabar menunggu Tomy bergerak masuk ke mobil. "Ada yang ingin kamu katakan?" Aster memberanikan diri bertanya. Tomy menggumam tidak. Dia pun naik ke mobil. Juga membiarkan Aster turut naik. "Apa kamu keberatan aku ikut?" kembali Aster bertanya. Tomy hanya melirik. Lebih sibuk menjalankan mobil. "Kita akan mengunjungi sejumlah teman mas David. Apa yang akan kamu katakan kalau mereka bertanya kamu siapa?" ujar Tomy. "Menurutmu apa yang harus aku katakan? Bicara jujur kalau aku tunangan mas David? Atau hanya karyawan yang ikut kamu adiknya?" balas Aster. Tomy mengusap dagu. Dia memandang ke jalan berpikir sesuatu. "Aku belum tahu mas David sudah memberitahu teman - temannya atau belum. Kalian belum mengumumkan ke kolega?" tanya Tomy.
"Brian? Kamu tahu Brian dari Pustaka Gemilang?" Pertanyaan itu bagai menabrak dinding kokoh. Sebuah angin yang terpelanting. Kembali tak terjawab. Tomy memilih bungkam. "Mama dan papa bilang aku nggak boleh dekat - dekat sama dia. Padahal dia klien aku," lanjut Aster. "Nanti aja. Aku mau nyetir dulu," sahut Tomy Maka Aster pun diam. Dia tidak akan lagi membahas Brian kalau keluarga David tidak memulai. Meski dia dalam dilema juga menanggapi permintaan Brian untuk bertemu dalam rangka pekerjaan. Tak berapa lama kemudian Tomy berhenti di suatu rumah besar dengan pagar tinggi. Tomy turun, menuju pagar yang kemudian terbuka oleh seorang sekuriti. Aster pun menyusul turun. "Pak, mas Lucky ada di rumah?" tanya Tomy santai. Sekuriti mengangguk. Tampaknya dia sudah mengenal Tomy, jadi tidak banyak bertanya. Malah mempersilakan Tomy masuk. Juga mengantar sampai ke ruang tamu. Tomy dan Aster duduk menunggu tuan rumah. Ruang tamu itu tidak lah terlalu terang. Cahaya han
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Lucky lirih. Tomy tercenung. Dia memutar leher. Aster pun mematung di luar pintu. Tidak sanggup mengangkat muka ke arah sahabat calon suaminya. "Kalau mas Lucky mendengar apa pun soal mas David, tolong segera memberitahuku," jawab Tomy samar. Lucky mengernyit. Dia menelangkan kepala. "Sudah berapa lama?" sahutnya. Tomy menatapnya lekat. Agak berat baginya membagi informasi tersebut. "Dua minggu. Aku akan mencoba ke Kota S," ujar Tomy. "Baiklah. Aku juga akan memasang mata dan telinga. Dia akan baik - baik saja. Jaga calon kakak iparmu. Pastinya David tidak mau sesuatu hal buruk menimpa calon istrinya," tandas Lucky. Tomy mengangguk. Dia pun berpamitan. Begitu pula dengan Aster. Keduanya menuju mobil di luar pagar. Diam dalam proses masuk ke mobil. Aster menarik sabuk pengam
Aster membeliak melihat nama di layar ponsel. Untuk apa pula dia nekat menelepon. Apa belum kapok juga. Atau dia memang seorang yang terjepit kondisi. Aster mengabaikan telepon tersebut. Dia tidak mau membuat hatinya makin sakit. "Siapa? Kenapa tidak diangkat?" "Bukan siapa - siapa. Biarkan saja." Namun orang itu kembali menelepon. Suara dering makin memekakkan telinga Aster. Seakan berteriak langsung ke telinga Aster. Dia menggeram kesal. "Siapa sih? Ganggu banget. Angkat saja. Atau kamu mau aku yang angkat?" sergah Tomy. "Mantan pacarku. Dia punya utang padaku, tapi tingkahnya seakan aku yang berutang padanya," ungkap Aster pasrah. Tomy menepikan mobil. Dia lalu meminta ponsel Aster. Begitu telepon dari Reno kembali masuk, Tomy menekan tombol angkat. "Lama sekali kamu angkat. Jangan sok sibuk, Aster. Bukan k
Hari kemarin Tomy tidak melanjutkan menuju tempat sahabat David yang lain. Dia membawa Aster kembali ke rumah. Dia sendiri lantas mengunci diri di kamar. Sementara Aster masuk ke kamar David. Namun Aster tidak tinggal lama. Dia pamit pulang ke rumahnya sendiri. Ibu mertuanya pun menyuruh sopir mengantar Aster pulang. Dia tidak mau ada apa - apa pada Aster. Terlebih Rendra memberitahu kalau kiriman makanan tempo waktu ternyata ada racun. Bukan racun yang mematikan. Namun tetap saja berbahaya. Rendra masih melacak bagaimana makanan tersebut bisa diracuni dan diantar. Aster tidak mengerti ada orang yang sampai berbuat demikian pada dirinya. Salah apa Aster pada orang itu? Lantas siapa orang tersebut? "Mbak Aster, mau berangkat sendiri apa sama aku?" tanya Fuad mengaburkan lamunan