Aster membeliak melihat nama di layar ponsel. Untuk apa pula dia nekat menelepon.
Apa belum kapok juga. Atau dia memang seorang yang terjepit kondisi. Aster mengabaikan telepon tersebut. Dia tidak mau membuat hatinya makin sakit. "Siapa? Kenapa tidak diangkat?" "Bukan siapa - siapa. Biarkan saja." Namun orang itu kembali menelepon. Suara dering makin memekakkan telinga Aster. Seakan berteriak langsung ke telinga Aster. Dia menggeram kesal. "Siapa sih? Ganggu banget. Angkat saja. Atau kamu mau aku yang angkat?" sergah Tomy. "Mantan pacarku. Dia punya utang padaku, tapi tingkahnya seakan aku yang berutang padanya," ungkap Aster pasrah. Tomy menepikan mobil. Dia lalu meminta ponsel Aster. Begitu telepon dari Reno kembali masuk, Tomy menekan tombol angkat. "Lama sekali kamu angkat. Jangan sok sibuk, Aster. Bukan kHari kemarin Tomy tidak melanjutkan menuju tempat sahabat David yang lain. Dia membawa Aster kembali ke rumah. Dia sendiri lantas mengunci diri di kamar. Sementara Aster masuk ke kamar David. Namun Aster tidak tinggal lama. Dia pamit pulang ke rumahnya sendiri. Ibu mertuanya pun menyuruh sopir mengantar Aster pulang. Dia tidak mau ada apa - apa pada Aster. Terlebih Rendra memberitahu kalau kiriman makanan tempo waktu ternyata ada racun. Bukan racun yang mematikan. Namun tetap saja berbahaya. Rendra masih melacak bagaimana makanan tersebut bisa diracuni dan diantar. Aster tidak mengerti ada orang yang sampai berbuat demikian pada dirinya. Salah apa Aster pada orang itu? Lantas siapa orang tersebut? "Mbak Aster, mau berangkat sendiri apa sama aku?" tanya Fuad mengaburkan lamunan
Pesan Aster dibalas sendiri oleh nomor baru. Meski tidak perlu ada keterangan, Aster tahu milik siapa. Dia pun menyimpan nomor tersebut sebelum menjawab. Agaknya perlu berpikir panjang terlebih dahulu. Dia tidak bisa mengedepankan perasaan semata. /Saya harap kita bisa bertemu besok di hotel Semilir pukul 10 pagi. Saya perlu segera membereskan urusan rebranding ini./ Aster seakan mendengar nada tajam penuh tekanan. Sebuah perintah yang tak bisa diabaikan. Jelas harus dipatuhi tanpa tapi - tapi. Dan lama kelamaan Aster membenci hal tersebut. "Ayo pulang, Mbak," ajak Dini. Dia berdiri di dekat meja Aster, membelai perutnya. "Ayo, Din. Sudah ditunggu ya?" sahut Aster beranjak dari area kerjanya. Dini membenarkan. Mereka hendak memeriksakan kandungan Dini. Sampai di bawah, Dini menuju suaminya. Berpisah dengan Aster yang melanjut
"Kapan?" cicit Aster. "Dia tidak mengatakan. Tiba - tiba dia mendapat telepon lalu pamit pergi," hela Tomy. Aster memejam mata sejenak. Dia menautkan tangan di pangkuan. Dia geram sendiri. Satu hal, dua hal, dia menemukan. Namun itu hanyalah potongan yang berbeda. Tidak dapar disatukan. Bagai keping puzzle yang berbeda posisi. Ditemukan acak tanpa adanya gambaran besar. "Kamu punya nomor telepon Andre?" tanya Aster. Sayangnya Tomy menggeleng. Dia bisa memotret Andre, tapi tidak mendapat kontaknya. Membuat Aster mengangguk pasrah. Dia mengaduk kopinya. Diminum perlahan beberapa teguk. "Dia tidak mengatakan apa pun soal perusahaannya? Nama? Alamat? Mungkin bisa kita cari," usul Aster. "Belum. Dia belum menyebutkan detail. Kurasa kita perlu kebetulan lain untuk bertemu Andre. A-pa..., mbak Aster tidak ada nomor y
Aster mengerjakan tugas sebelum pergi ke tempat pertemuan. Dia memeriksa laporan yang Dini serahkan. Dini sempat memberitahu kalau Brian berada di luar negeri selama empat tahun belakangan. Dia kembali belum ada sebulan, dan langsung menjadi direktur baru. Pustaka Gemilang merupakan perusahaan besar di bidang penerbitan dan pendidikan. Juga merupakan bagian dari Antasena Grup. Nama grup yang membuat Aster berpikir keras. Dia pernah mendengarnya. "Papa Rendra," sebut Aster tercekat. Dia pun ingat pula kalau perusahaan ATK David juga menginduk pada Antasena Grup. Termasuk BaseFood. Semua masih terhubung dalam satu raksasa perusahaan. "Apa, Mbak?" heran Dini. "Knotty Papery dan BaseFood juga berada di bawah Antasena Grup kan? Sama seperti Pustaka Gemilang," kata Aster. Dini membekap mulut. Dia menoleh pada anak magang yang terkejut mendengarnya
"Kamu diam - diam menyelidikiku, kan?" bisik Brian. Aster bergidik. Nafas Brian terasa begitu dekat dengan kulitnya. "Saya tidak mengerti maksud Anda. Mungkin Anda keliru dengan proses pengumpulan data kami?" bantah Aster. "Oh, ya? Mengapa tidak kamu tanyakan langsung padaku saja, nona Aster? Tidak perlu lewat orang - orang sekitarku. Aku akan dengan senang hati memberitahu Anda apa pun," dengus Brian. Dia melepas tangan Aster. Lekas Aster mendekap tangannya. "Saya rasa Anda salah paham. Saya akan pergi dan meluruskan hal tersebut." "No, no! Tidak usah, nona Aster. Tidak ada yang perlu diluruskan. Kali ini aku memaklumi. Mungkin karena kamu belum mengenalku. Sudah kubilang di awalkan? Kita harus mengenal baik." Brian menggeser kursinya mendekat ke kursi Aster. Dia menaruh lengan ke belakang punggung Aster pula. "Tante Safira tidak mengatakan apa pun padamu?" Aster menelan ludah. Dia menggeleng lemah. Tanpa bermaksud menjadikan Sa
"Aarggh!" Aster menjerit ketika dia hempas keras ke lantai. Dia jatuh menimpa lantai. Terpental lantas terguling. Seketika dia kehilangan orientasi. Lambat laun kesadarannya pun turut lenyap. * Suara ribut menyeruak ke dalam kesadaran Aster. Dia mencium aroma herbal yang kuat. Dengan berat dia mengangkat kelopak mata. Samar - samar terlihat sosok yang dia kenal. Pria tinggi kurus dengan rambut agak panjang berantakan. Pria itu menatapnya penuh kecemasan. "Mbak Aster," panggil Tomy. Aster terperanjat. Dia sadar ada yang aneh. Pandangannya melayang liar ke sekeliling. Tidak lagi berada di ruang VIP restoran hotel. Dia berada di sebuah kamar. Dan tengah berbaring di tempat tidur. Aster refleks mendorong Tomy. Dia menjauh dan memeluk dirinya. "Aku tidak akan menyakitimu, Mbak. Tenanglah. Aku akan beritahu apa yang terjadi," terang Tomy pelan. Dia masih diam memperhatika
"Aster, kamu sudah bangun?" tanya Safira lembut. Aster mengerjapkan mata. Dia masih merasa seperti di awang - awang. Ringan namun berat untuk bergerak. "Ini di mana, Ma?" balas Aster. "Di rumah sakit, Nak. Tadi ada tindakan untuk kepalamu. Sudah selesai. Kamu merasa lebih baik?" "Kepala? Brian, Ma!" Aster mengernyit sakit. Dia memegang selimut. "Tenanglah dulu. Anak itu membantingmu cukup keras. Kita akan menuntut balas padanya," cetus Safira. Aster hanya memandang ibu mertuanya. Tiada daya hendak menyahut. Meski dia bisa merasakan betapa marahnya Safira. Tiba - tiba Aster sadar, Safira membenci Brian. Sejak bertemu di pesta amal, jelas terlihat betapa Safira selalu ketus pada pria itu. Seakan tidak mau berurusan dengan Brian sama sekali. Berada satu ruangan pun tak sudi. "Mengapa, Ma?" tanya Aster tak mengerti.
Aster diantar ke kantor oleh Jimmy. Secara resmi Safira memerintah Jimmy sebagai asisten sekaligus penjaga Aster. Dia tidak menerima tolakan Aster sama sekali. Safira bersikeras pada Aster harus mengikuti semua perintahnya. "Dini, bisa bicara sebentar?" panggil Aster. Dini yang tengah berdiskusi dengan anak magang menyahut. Dia segera menuju meja Aster. Duduk dan menatap cemas pada Aster. Sejak masuk kantor pagi tadi Aster tidak mengatakan apa pun soal ijin 3 harinya. Dia pun tidak membahas pertemuannya dengan Brian. Hanya laporan dari Dini tentang pengajuan desain ke Pustaka Gemilang belum mendapat respons saja yang Aster terima. Berita apakah Brian membatalkan kerja sama atau tidak, sama sekali tidak ada. Kesannya Brian pun tidak mengungkit pertemuan mereka ke pekerjaan. Setidaknya untuk saat ini. Entah nanti apakah Brian akan berubah pikiran. "Maaf aku absen terlalu lama. Apa ada hal yang terjadi? Sesuat
"Aster," sebut Brian. Dia maju meraih tangan Aster, yang langsung ditampik oleh David. Keduanya lantas beradu pandang. Aster ditarik mendekat oleh David. Lengan David melingkar di pundaknya. "Jaga tanganmu dari istriku!" desis David penuh ancaman. Brian menyeringai. "Sebentar lagi dia akan meninggalkanmu karena tempramen labilmu, Dav. Aku sih mau saja menerima anakmu juga." Gerakan David begitu cepat. Dia mendorong Brian sampai terhempas menabrak dinding. Lekas Jimmy menahan Brian. Menariknya menjauh dari David yang berdiri dengan nafas menderu. Tanpa takut Aster menyentuh tangan suaminya. "Mas... sudah." Seketika David menoleh. Nafasnya melembut. "Sayang, maaf. Aku... ayo kita masuk saja. Tidak perlu bicara dengan pria konyol ini." Brian tertawa. Dia berusaha melepaskan diri dari kuncian Jimmy. "Aster, kembalilah padaku saja. David tidak pantas mendapat dirimu. Aku bisa menyayangimu dan anakmu." David sudah hampir merangsek maju. Namun cengkeraman kuat tangan Aster
Aster mencubit tangan David. "Mengaku saja! Aku menemukan buku harian mas David di sini." David menegakkan diri. Dia mengusap leher Aster yang berdenyut lembut. "Wah... ternyata istriku. Kamu penasaran ya?" Aster mencubit makin sering. Dia jadi jengkel kalau digoda begitu. Dia menarik diri dari suaminya. Tanpa mengindahkan David yang membujuk, Aster berbaring. Dia memejamkan mata tidak mau mendengar David. Sang suaminya turut berbaring di sebelahnya. Tangannya melingkar di pinggang Aster yang berbaring miring. "Jangan marah, Sayang. Aku bercanda." Aster menggumam. Dia menyuruh David bergeser. "Anakku bilang ruangannya sempit." David tertawa pelan. Dengan rela bergeser sejengkal di belakang Aster. Sebentar lagi akan berubah keinginan istrinya. "Sayang... sudah tidur?" bisik David. Dia mendekat lagi. Namun Aster menggeram pelan. * David memegang tangan dan menyangga punggung Aster. Telaten membantu istrinya berjalan. "Awas lantainya tidak rata, Sayang." Mereka tengah
David berkacak pinggang. Dia mengerutkan dahi ke arah Jimmy. Asisten kepercayaannya tidak berani mengarahkan pandang pada David. Hanya ke arah leher David, yang sayangnya malah membuat Jimmy salah tingkah. Dia memutar mata ke pundak David saja. David memicingkan mata. "Kenapa kamu? Ada kesalahan yang tengah terjadi?" "Tidak, Bos. Semua berjalan lancar. Hanya saja... Anda yakin berangkat ke kantor hari ini?" Jimmy mengulas senyum hormat. "Memang kenapa? Aku sudah siap kembali menjadi David seperti sebelum hilang. Kamu mulai meragukanku, Jim? Apa Tomy semakin baik dan kamu mau beralih pada adikku?" Jimmy menggeleng cepat. "Tidak, Bos! Bos Tomy sudah punya asisten sendiri. Lagi pula beliau masih staf." "Kau sudah memanggilnya bos." David menerima tas yang Aster serahkan. Istrinya memberi senyum paling manis yang membuat David bersemangat. Namun tiba - tiba Aster berubah membelalak. Wajahnya memerah. "Mas, ke kamar sebentar." David mengerutkan dahi. Tapi dia mengikuti Aste
Aster duduk lemas di bawah tempat tidur. Bersandar ke kasur dengan kaki diluruskan. Suaminya turut duduk di sebelah Aster. Dengan telaten menyeka keringat yang membasahi muka. "Masih mual?" Kepalanya diangguk pelan. Itu pun tetap terasa tidak nyaman. Dia menarik tangan David dan digenggam kuat. "Mas... apa aku hamil ya? Harusnya sudah datang bulan. Rasanya juga enggak nyaman mau apa - apa." David melebarkan mata. Raut riang menyeruak. "Kita ke dokter langsung ya, Sayang? Kita pastikan ke ahlinya langsung. Karena ini pertama buat kita." Aster mendekat ke suaminya, menyandar manja. "Mas daftar dulu ke dokternya, aku masih lemah." David mengecup dahi Aster. Dia terkekeh pelan. Tangannya agak gemetaran karena begitu antusias. Selesai bersiap dan Aster sudah merasa lebih baik, mereka pun berangkat ke rumah sakit. David sudah mendaftar ke dokter kandungan yang ternyata adalah temannya. Aster menggamit lengan David saat memasuki rumah sakit. Dia memandang ke sekeliling dengan c
Dari David yang segera memberi perintah pada Jimmy untuk mencari informasi, Aster jadi tahu kalau selama ini Ari lebih sering tinggal di luar negeri. Di sana dia tinggal bersama seorang wanita yang sekarang sudah diceraikan. Karena itu dia kembali. Aster harap dia tidak mencoba mendekati Aster lagi. Dalam lubuk hatinya Aster tak memiliki rasa rindu. Sama sekali tak tergerak untuk mengetahui lebih soal sosok ayah kandung. Seakan ruang dalam hati Aster telah hampa. Dia tak lagi mau tahu. Tak mau bertemu pula. David yang baru pulang kerja selesai mandi. Sambil mengeringkan rambut dia duduk di sebelah istrinya. "Ayo kita pergi bulan madu saja." Istrinya malah menggeleng pelan. "Di rumah saja. Atau ke hotel." David meringis. Handuk ditaruh sebelum merangkul pinggang istrinya. "Kau perlu melihat dunia luar yang lain, Aster sayang." "Belum ingin. Di sini saja." Aster menaruh kepala ke dada David. "Aku mau datang ke persidangan." "Kamu yakin, Sayang?" David mengusap kepala
Aster merapat ke David. Dia tidak berani menyentuh kue yang diberikan. Pikiran ada orang di sana yang tengah memperhatikan membuatnya merinding. Dingin tengkuknya terasa. David melingkarkan tangan ke pinggang Aster. Memberinya tekanan lembut menenangkan. "Kita tunggu sebentar." "Apa ya, Mas? Kenapa aku merasa tidak nyaman." Aster menautkan jari - jemari dengan gelisah. Senyum hangat David sedikit menenangkan Aster. Dia pun tak malu mengecup pelipis Aster di tempat umum. Sampai suara langkah kaki berhenti di dekat meja mereka. Pegawai restoran datang dan mengangguk sopan. "Maaf, Bapak dan Ibu sudah menunggu. Saya Edwin manager restoran," ujar pria itu mengulurkan tangan. David melepas Aster. Dia menjabat kuat tangan Edwin. "Terima kasih sudah berkenan menemui kami, pak Edwin. Saya David, dan ini istrinya Aster." Tanpa berbasa - basi manager restoran itu mempersilakan David dan Aster mengikuti dirinya. Mereka diajak ke ruang meeting kecil. Seseorang sudah ada di sana.
Aster terkesiap. Dia membuka bibir ragu. "Mas... waktu Brian...." David menaruh bibirnya di atas bibir Aster. Seketika membungkam perkataan istrinya. "Dia tidak menyentuhmu," desis David dengan mata menyala. Tangan David melingkar ke pinggang Aster erat - erat. "Kalau dia sudah sentuh kamu, maka sudah kupatahkan pula kedua tangannya." "Mas...." David kembali menghentikan kegelisahan Aster dengan lumatan lembut. Sentuhan tangannya mengusap lembut punggung sang istri. "Cukup, Sayang. Aku percaya kamu tidak melakukan apa pun dengan brengsek itu. Kekerasan yang dia lakukan padamu akan dibayar. Simpan rapat memori itu, Sayang. Pikirkan saja kebahagian kita berdua. Hehm... oke?" Pelan - pelan Aster membalas pelukan David. Dia sandarkan dirinya pada dada bidang pria yang menjadi rumahnya kini. Arin pergi ke rumah David menjelang malam. Ada penjaga yang mengantar dan menjemputnya. Tinggallah hanya Aster dan David di rumah baru tersebut. Penjaga ada luar rumah. Tidak ada yang men
Safira tampak kaget. Dia berdeham. "Mama mau lanjut masak. Tidak usah dibantu. Kalian istirahat saja sana." David bergeming. "Ma... apa yang mama sembunyikan?" "Tidak ada!" Safira kembali menyiapkan bahan masakan. Langsung sibuk tak mau diganggu. Aster pun menyentuh lengan suaminya. Dia jadikan topangan untuk berdiri. Serta mengajak David naik ke kamar. "Aku rasa mama tahu lebih banyak soal ayah kandungku," ujar Aster lelah. Dia mendudukkan diri ke tepi tempat tidur. David ikut duduk di sebelahnya setelah menutup pintu. "Tidak heran, Sayang. Mamaku itu, dia sangat mengerikan. Dia memiliki sumber daya yang tak disangka," ungkap David. Dia menghela nafas. "Karena itu, Sayang, aku kesal kenapa mereka tidak bisa segera menemukanku sewaktu diculik. Seakan mereka memiliki rencana tersendiri sampai membiarkan anaknya menderita." Aster memutar badan. Tangan kecilnya menyentuh rahang kokoh David. "Sudah, Sayang. Maafkan papa dan mama. Yang penting, sekarang kita sudah bersama." D
Fuad memandang muram pada Aster. Lalu beralih ke David. Bahunya luruh turun. "Lakukan saja, Mas David. A-ku... kami pantas mendapatkannya." Fadil menoleh marah. Dia berseru lantang pada saudaranya. "Bodoh! Kamu sudah gila, Fu! Aku saudaramu!" Fuad mengangkat muka, memandang lekat pada Fadil. "Karena itu... itulah alasanku, Fad. Kamu saudara yang aku tak sampai hati membiarkanmu terperosok makin dalam." Aster mendekat ke suaminya. "Mas, ada apa ini? Kalian bicara soal apa?" Suami Aster merangkulnya. Dia mengajak mereka semua keluar dari pantry. Tak terduga, Fadil berjalan lebih dulu. Dia berlari ke arah pintu. Fuad berseru kaget. Namun David mencegah Fuad berlari mengejar saudara kembarnya. "Ada orangku di bawah. Fadil tidak akan bisa kemana - mana." Lelaki muda itu mengangguk pasrah. Dia beralih menghadap pada Aster yang masih tidak memahami keadaan. Tak ada keberanian dalam diri Fuad memandang Aster. Dia mengarahkan mata ke bayangan Aster. "Mbak ... aku menyesal. Ini semua