"Aster, kamu sudah bangun?" tanya Safira lembut.
Aster mengerjapkan mata. Dia masih merasa seperti di awang - awang. Ringan namun berat untuk bergerak. "Ini di mana, Ma?" balas Aster. "Di rumah sakit, Nak. Tadi ada tindakan untuk kepalamu. Sudah selesai. Kamu merasa lebih baik?" "Kepala? Brian, Ma!" Aster mengernyit sakit. Dia memegang selimut. "Tenanglah dulu. Anak itu membantingmu cukup keras. Kita akan menuntut balas padanya," cetus Safira. Aster hanya memandang ibu mertuanya. Tiada daya hendak menyahut. Meski dia bisa merasakan betapa marahnya Safira. Tiba - tiba Aster sadar, Safira membenci Brian. Sejak bertemu di pesta amal, jelas terlihat betapa Safira selalu ketus pada pria itu. Seakan tidak mau berurusan dengan Brian sama sekali. Berada satu ruangan pun tak sudi. "Mengapa, Ma?" tanya Aster tak mengerti.Aster diantar ke kantor oleh Jimmy. Secara resmi Safira memerintah Jimmy sebagai asisten sekaligus penjaga Aster. Dia tidak menerima tolakan Aster sama sekali. Safira bersikeras pada Aster harus mengikuti semua perintahnya. "Dini, bisa bicara sebentar?" panggil Aster. Dini yang tengah berdiskusi dengan anak magang menyahut. Dia segera menuju meja Aster. Duduk dan menatap cemas pada Aster. Sejak masuk kantor pagi tadi Aster tidak mengatakan apa pun soal ijin 3 harinya. Dia pun tidak membahas pertemuannya dengan Brian. Hanya laporan dari Dini tentang pengajuan desain ke Pustaka Gemilang belum mendapat respons saja yang Aster terima. Berita apakah Brian membatalkan kerja sama atau tidak, sama sekali tidak ada. Kesannya Brian pun tidak mengungkit pertemuan mereka ke pekerjaan. Setidaknya untuk saat ini. Entah nanti apakah Brian akan berubah pikiran. "Maaf aku absen terlalu lama. Apa ada hal yang terjadi? Sesuat
Perasaan yang mengganjal dia abaikan. Dia merasa telah menjadi terlalu sensitif sejak David hilang. Aster sulit mengendalikan pikiran negatifnya. Terlebih dengan adanya Brian dan segala misteri yang menyelubungi. Aster menjadi geram tiap teringat Brian pun. Pria macam apa dia yang tega menyakiti wanita. Seperti pria arogan yang merasa memiliki segalanya. Aster mengutuk hal tersebut. Kini dia yakin untuk menjauh dari sosok tersebut. Bahkan soal pekerjaan sekali pun."Mbak Aster," panggil suara tak asing. Aster menoleh. Dia mendapat seorang pria yang melambai ceria padanya. "Fadil! Kamu ada apa ke sini? Nyari Fuad?" balas Aster. Fadil menggeleng. "Kebetulan lewat, Mbak. Terus aku lihat mbak Aster kok duduk di depan minimarket sendirian," terang Fadil. Aster mendengkuskan senyum. Dia mengangkat gelas kopi. Baru saja dia masuk ke minimarket langganan dekat kantor. Sesak memikirkan Brian di kantor, Aster memutuskan mencari udara dengan pergi
"Mama, aku akan membawa Jimmy," ujar Aster. Air muka Safira keruh. Dia masih mencengkeram selembar memo yang ditulis tangan oleh Brian. "Tidak. Kamu tidak usah datang. Biarkan saja dia duduk sendirian di sana," seru Safira. "Tapi, Ma, dia mengancam nasib perusahaanku. Nasib teman - temanku, Ma. Aku nggak bisa diam saja. Karena itu, aku ijin mama untuk membawa Jimmy. Kali ini Aster nggak akan menghadapi pria itu sendirian," kata Aster beralasan. Safira menggeram jengkel. Dia melempar memo ke meja. "Tomy juga akan menemanimu. Kurasa dia memang ingin memancingku keluar," desis Safira penuh amarah. "Tapi Tomy bukan bagian dari perusahaan, Ma. Nanti dia malah berpikir yang tidak - tidak." "Ck! Biar dia ada di dekatmu. Jangan mau di ruang VIP. Pokoknya lebih baik kamu tidak bertemu bocah itu." "Mama, aku akan berhati - hati." Safira mendesah kesal. Dia menatap memo itu seakan melihat benda menjijikan. Aster pun menarik memo dan menyimpannya jauh dari pandangan Safira. "D
Rendra melempar kantong beserta isinya ke lantai. Sebab terkejut begitu isinya terlihat. Dengan kaki dia menyenggol kantong. Isinya terdorong keluar dengan sempurna. Bau busuk langsung menguar. Cairan merah bercampur kuning kehijauan mengalir mengotori karpet. Bangkai angsa kecil yang masih berwarna kuning. Lehernya terkoyak. "Apa itu, Pa? Siapa yang mengirim?" cicit Safira. Rendra bergegas pergi. Dia mencari Anti dan Ari. Hendak menginterogasi keduanya. Aster masih berdiri terbelalak di sana. Di sebelahnya Safira yang semula ketakutan, menjadi menggerutu berapi - api. "Mama tahu sesuatu?" tanya Aster ragu. "Mungkin. Mungkin saja benar apa yang tebersit di pikiran mama. Mama beritahu mas Rendra dulu," jawab Safira. Dia menyusul suaminya. Jadilah Aster sendirian. Aster mengambil majalah dari rak. Dia menggulungnya untuk mendorong bangkai angsa menjauh dari mulut kantong. Dia melihat sesuatu yang lain. Dia pun menarik kantong, menjatuhkan barang lain yang masih ada d
Safira memandang plafon kamar. Dia baru saja bangun. Ingatlah dia kalau seharusnya dia berada di ruang keluarga. Dan ada bangkai. Aster berlari ke kamar mandi. Dia muntah - muntah. Lemas dia menyeret badan kembali ke kasur. Terbujur lemah di tepi tempat tidur. "Non, sudah bangun?" tanya Anti berseru dari balik pintu. "I-ya," ujar Aster sekencang dia mampu. Anti membuka pintu. Dia masuk dan menghampiri Aster. "Non Aster kenapa? Mau saya bantu apa?" cemas Anti. "Ti-dak. J-jam be-rapa?" tanya Aster. "Jam 7, Non. Non Aster sakit? Mau makan atau minum? Pucat gini." Aster tak bisa menjawab. Dia tersungkur ke bawah. Dan muntah kembali. Anti pun sigap mengurus. Dia membantu Aster muntah dengan nyaman terlebih dahulu. Lalu membersihkan Aster dari muntahan. Membantunya naik ke tempat tidur untuk berbaring. Barulah membersihkan lantai. "Saya ambilkan makan lalu minum obat ya, Non?" Anti menawarkan. "Roti tawar saja," lirih Aster menyahut. Anti bergegas menuju dapur.
Aster mematut diri di depan cermin. Dia mengusap gaun hitam panjang semata kaki yang dipinjamkan Safira. Gaun itu sudah lama tapi masih bagus. Lengan longgarnya sampai siku. Aster pun memakai gelang dan jam tangannya. Dia tidak akan tampil menyedihkan. Aster telah menguncir kuda rambutnya tinggi - tinggi. Terlihatlah leher jenjang bersemat kalung tipis. Dia akan mendongakkan dagu. Setidaknya dia harus menjadi wanita kuat malam ini. Dia tidak akan memberi celah bagi Brian untuk menyakitinya lagi. Juga tidak akan membuat malu keluarga calon suaminya. "Mbak, sudah siap?" tanya Tomy yang melongokkan kepala ke pintu kamar. "Iya, Tom," jawab Aster. Dia mengambil memo yang kucel di meja rias. Juga tas tangan dan tas berkas. Tadi siang Fuad datang mengantar berkas yang diperlukan. Dia masih sedikit lemas, tapi bisa menemui Fuad di teras. Lalu seg
"Terlebih kamu membawa Tomy. Apa dia anak buahmu? Atau David mengirimnya sebagai pelindung? Kekasihmu tidak berani datang sendiri dan menghadapiku?" ujar Brian lirih. Dia tersenyum, tapi begitu dingin menusuk. Dengan suara yang begitu jauh. Membuat tengkuk Aster merinding. Dia menautkan tangan di bawah meja. "Semua tidak perlu saya jawab. Saya pamit. Tidak ada urusan lain yang perlu kita bicarakan," balas Aster. "Oh, ya? Kamu yakin? Asal kamu tahu, aku bisa dengan mudah membuat pernikahanmu dengan David batal," ancam Brian. Aster membelalak. Dia mengepalkan tangan. Dadanya sesak menahan emosi. "Ya, kamu tidak salah dengar. Aku bisa menyingkirkanmu. Atau menggeser David. Harusnya kamu lebih berhati - hati. Apa David tidak mengatakan apa pun padamu?" kata Brian penuh kesombongan. "Jika mas David tidak pernah menyebut namamu, maka itu berarti bukan hal pen
"Maksud kamu apa, Tomy?" ulang Safira. Tomy mendesah kesal. Dia sudah menerangkan pada ibunya sebanyak dua kali. "Pelayan menumpahkan saus ke bajuku. Aku terpaksa ke kamar mandi. Lalu saat aku kembali, mereka sudah tidak ada. Aku melihat sekretaris Brian di sana tengah membayar. Saat kutanyai, dia bilang kalau mbak Aster keluar bersama seorang pria. Sementara Brian dia baru saja pergi," ulang Tomy. "Kamu tidak meminta CCTV? Kamu sudah memeriksa di luar?" "Aku sudah berkeliling di luar. Tapi pihak restoran tidak memberiku akses CCTV. Sekuriti bilang dia melihat mbak Aster keluar sendiri." Rendra berkacak pinggang. "Aku akan menemui anak itu," putus Rendra. Dia bergegas pergi dari rumah. Putra bungsu menyusul. "Aku ikut, Pa. Dia tadi tahu aku ada di sana," ujar Tomy. Ren