Tujuan Nadia sebenarnya datang ke kantor itu hanya untuk mencari pekerjaan untuk menghidupi hidupnya yang kini seorang diri sepeninggal sang Papa. Namun, seorang HRD berusia 35 tahun bernama Rendra, sering memperhatikan Nadia. Awalnya, Nadia merasa biasa saja. Namun semakin lama, perhatian Rendra semakin terlihat dan akhirnya, Rendra nekat mengungkapkan perasaannya pada Nadia. Perbedaan usia? Bukan masalah besar bagi Nadia walau umur mereka terpaut lima belas tahun. Yang menjadi keraguan Nadia disini adalah, apakah dirinya yang pertama dinikahi Rendra, atau sebelumnya,ada wanita yang telah dinikahi Rendra mengingat usia Rendra yang sudah sangat matang. Dan ketika Rendra menjawab kalau Nadia lah yang pertama, Nadia pun memutuskan untuk menerima lamaran Rendra dan mereka pun menikah. Namun, kehidupan rumah tangga tak selamanya manis. Nadia harus menerima kenyataan miris saat usia pernikahan mereka menginjak satu tahun. Sebuah kenyataan yang membuat Nadia harus memilih, antara meninggalkan Rendra atau memaafkannya.
View More"Kerja, Nad. Berduka boleh, tapi nggak terus-terusan juga. Itu sama aja lo nggak nerima takdir Allah yang udah ngambil bokap lo. Dengan kerja 'kan seenggaknya lo nggak terlalu kepikiran almarhum."
Kalimat sakti dari Agung, teman satu sekolahku itulah yang membuatku bangkit dari mati suri. Duniaku baru saja runtuh setelah ditinggal papa selama-lamanya satu bulan yang lalu.
Makan hanya diingatkan. Kegiatanku di rumah hanya diisi dengan menangis dan menangis, teringat Papa setiap hari. Dan sayangnya, Papa itu anak tunggal. Jadi aku tak punya siapapun yang bisa aku panggil om, tante atau siapapun lah itu. Kakek nenek dari pihak papa sudah lama tidak ada dan.dan mamaku, sudah meninggal lima tahun lalu. Sama halnya dengan papa, mamaku pun wanita yang sebatang kara.
Oooh, betapa mengerikannya hidupku. Sepertinya tertakdir sendirian.
Aku yang terbiasa hidup sama papa tiba-tiba duniaku menggelap saat mendengar kabar bahwa papa meninggal karena kecelakaan tunggal.
Tapi, biarlah. Mungkin ini sudah takdir dari yang Maha Kuasa. Sekarang, aku akan mencoba bangkit.
Dan disinilah aku sekarang, di depan sebuah perusahaan properti yang sedang berkembang. Tiga hari lalu aku mengantar lamaran kerja dengan posisi sebagai Admin di kantor ini. Dan alhamdulillah, hari ini aku dipanggil. Semoga saja lolos seleksi.
Thanks to Agung yang sudah memberi informasi lowongan ini padaku.
Aku pun masuk. Sampai di depan salah satu ruangan khusus rekrutmen pegawai sepertinya, aku melihat sudah banyak para pelamar yang duduk menunggu. Lebih kurang sepuluh orang sepertinya. Tiga laki-laki dan tujuh perempuan termasuk aku. Semuanya sama, berpakaian formal khas pelamar kerja, hitam dan putih.
Aku merasa insecure saat melihat enam perempuan lain berdandan cantik dan sempurna. Sementara aku, hanya ber-make up ala kadarnya yang penting wajahku tidak pucat.
Keenam perempuan itu juga terlihat banyak pengalaman kerja sepertinya. Dan lagi-lagi, pikiran itu membuatku down. Aku sama sekali tak punya pengalaman kerja karena setelah lulus sekolah tiga tahun yang lalu, aku tak kemana-mana. Hanya di rumah mengurus papa yang seorang pensiunan TNI. Kalau papa sedang ada kerjaan menjaga proyek, aku dirumah saja, tak kemana-mana.
Tapi aku tak boleh menyerah. Teringat pesan papa padaku kalau kita tak boleh kalah sebelum perang.
Satu persatu para pelamar itu pun dipanggil masuk ke kantor HRD. Mungkin aku yang ada di urutan terakhir.
Satu hal yang ingin kubilang kalau proses perekrutan di perusahaan ini dimulai dari interview dulu baru psikotes.
Aneh. Walaupun aku belum pernah mengalami, tapi yang dari aku dengar dari teman-temanku yang sudah bekerja, bukankah psikotes dulu baru interview dengan HRD?
Ya tapi sudahlah. Aku bisa apa? Bukan aku yang punya perusahaan ini.
"Nadia Annisa Wardani?"
Namaku dipanggil. Hatiku berdebar luar biasa. Sumpah, aku belum pernah interview sebelumnya. Kalau kata Agung, saat ditanya HRD itu jangan jawab jujur-jujur amat. Harus berbohong sedikit biar keterima masuk kerja.
Ya, tapi masa aku harus bohong sih? Papa dulu selalu mengingatkanku agar selalu jujur agar hidup tidak hancur. (Sedikit meniru perkataan babe benyamin di film Si Doel Anak Sekolahan, karena papaku suka sekali dengan sinetron legenda itu.)
Ah, masa bodoh. Pokoknya pertanyaan dari HRD nanti akan kujawab sebisaku.
"Selamat Pagi."
Eh benar 'kan ini masih pagi?
"Pagi. Silahkan masuk."
Ruangan mini ini ... serius, suasananya mencekam sekali. Suhu ruangan mendadak dingin padahal tadi sebelum masuk aku kepanasan. Padahal HRD nya ganteng. Tapi aku kok serasa di penjara?
"Silahkan duduk."
Aku meremas-remas tanganku. Berusaha mewajarkan senyumku agar tak terlihat berlebihan di mata HRD ganteng ini.
Si HRD yang kubaca dari name tag nya bernama Rendra ini sudah melancarkan berbagai macam pertanyaannya padaku. Pertanyaan yang kebanyakan menjebak sekali. Ya, kalian tahu sendiri 'kan bagaimana sulitnya pertanyaan dari interviewer ?
Tinggal satu pertanyaan lagi.
"Kenapa kamu ingin bergabung dengan perusahaan ini? "
Ya karena mau punya uang, lah.
Tapi kata Agung, aku harus menjawab pertanyaan jebakan ini dengan sedikit bumbu kebohongan. Tapi serius, aku tidak bisa berbohong, walau sedikit.
"Ya karena mencari uang, Pak."
"Kalo sekedar cari uang mah, nggak harus di perusahaan ini 'kan? Di tempat lain juga bisa."
Mati.
Skak mat. Benar juga apa katanya.
Papa, tolong aku.
"Ya karena saya ingin berkarir juga, Pak. Saya tuh dari dulu pengen kerja kantoran. Dan menurut saya, perusahaan inilah yang ingin saya jadikan tempat untuk mengembangkan karir saya," jawabku dengan cengiran selebar cengiran kuda.
Entah aku yang terlalu polos atau bodoh, jawaban itu meluncur saja dari mulutku.
Masa bodoh diterima atau tidak aku nantinya. Kalaupun tidak lolos seleksi wawancara, aku masih bisa jadi driver ojek online nantinya.
"Kamu tinggal sama siapa? "
"Sendiri, Pak."
"Orang tua kamu? "
Kok pribadi sekali sih ini pertanyaannya?
"Mama sudah meninggal lima tahun lalu pak, dan papa saya baru saja satu bulan yang lalu meninggalkan saya."
Kulihat raut wajah Pak Rendra berubah."Maaf, turut berduka cita."
Aku pun tersenyum "Nggak apa-apa, Pak. Saya yakin papa mama saya sudah ada di tempat yang lebih baik."
Bohong. Padahal sebulan yang lalu kamu seperti mayat hidup, Nadia.
"Ya sudah. Kamu bisa menunggu tes psikotesnya di luar."
Jadi begini saja prosesnya? Apa aku sudah lolos seleksi tahap wawancara?
Tapi pertanyaan itu hanya tertahan di batinku saja tentunya."Baik, Pak. Terima kasih."
Dan untuk pertama kalinya, kami pun berjabat tangan.
♥♥♥
AGadis itu, polos sekali.
Membuat Rendra tak henti-hentinya melamunkan gadis bernama Nadia itu.
Setiap kali ditanya, gadis itu akan menjawab jujur apa adanya tanpa ada dibuat-buat. Dandanannya juga polos sekali. Tidak seperti pelamar wanita lainnya yang ber-make up ala Kim Kardashian. Padahal yang dinilai dari perusahaan ini jika perekrutan karyawan adalah otak, bukan fisiknya. Ya, penampilan memang perlu, tapi tidak berlebihan seperti itu.
"Make up tebal, penampilan mahal. Tapi kalau otaknya kosong buat apa?"
Itulah yang selalu diingatkan Jerry Andrean, pemilik perusahaan ini untuk seluruh bawahannya. Sekaligus, motto dari perusahaan ini.
Gadis itu, sudah berhasil merebut perhatian Rendra. Sedikit, tapi sudah berhasil.
Dan kini Rendra pun melangkahkan kaki nya ke ruangan khusus psikotes calon karyawan. Di tangannya ada setumpuk berkas psikotes yang lumayan tebal untuk setiap calon pelamar.
Seisi ruangan yang tadinya heboh dengan suara cekikian para perempuan menor tadi mendadak senyap saat Rendra masuk. Lagi, para perempuan kembaran Kardashian Family itu mengagumi ketampanan Rendra dari jauh. Kecuali Nadia tentunya. Sebagai perempuan biasa, ia juga kagum pada ketampanan Rendra, tapi Nadia gadis yang pandai bersikap. Tak berlebihan seperti enam wanita itu.
"Waktunya 30 menit ya. Pada bawa pena masing-masing 'kan?" ujar Rendra setelah menyerahkan lembar tes psikotes itu pada kesepuluh orang calon karyawan itu.
Semuanya mengangguk.
"Oke, langsung dikerjakan saja. Dimulai dari sekarang."
Semuanya langsung sibuk dengan lembar tes masing-masing. Rendra memutuskan untuk menunggu sambil berdiri. Ia perhatikan satu-satu ke sepuluh orang itu.
Dan pandangannya terhenti lama pada seorang gadis bernama Nadia.
Nadia kali ini berhasil lagi merebut perhatiannya. Rendra jelas sekali bisa melihat bagaimana bingungnya Nadia dalam mengerjakan soal itu tapi ia tetap berusaha tenang dan tak bertanya kanan kiri.
Rendra asyik memperhatikan Nadia hingga tak sadar tiga puluh menit sudah berlalu.
"Oke waktu habis, ya!"
Semua calon pelamar maju kedepan untuk menyerahkan lembar tes pada Rendra dan kembali duduk.
"Ini saya periksa dulu. Kalau misalnya ada yang lolos, akan kami panggil lagi via telepon. Pastikan nomor anda tetap aktif. Jika dalam waktu tiga hari kedepan ada yang belum dipanggil, artinya anda tidak lolos seleksi. Paham?"
Lagi, semuanya mengangguk. Termasuk Nadia.
"Baik, terima kasih sudah mengikuti proses seleksi ini dan anda semua boleh pulang. Sekali lagi saya ingatkan agar nomor ponselnya tetap aktif selama tiga hari kedepan."
Satu persatu keluar ruangan. Nadia ada di urutan terakhir.
"Terima kasih, Pak."
Dari sepuluh orang, hanya Nadia yang mengucapkan terima kasih pada Rendra sebelum ia keluar ruangan. Membuat Rendra tertegun. Tuhan menyelipkan satu perempuan yang tahu sopan santun diantara sembilan orang lain yang pergi begitu saja saat meninggalkan ruangan.
"Ooh, iya sama-sama. Hati-hati di jalan."
Gadis itu tersenyum dan lagi-lagi, sedikit-sedikit perhatian Rendra seolah tersedot semuanya untuk Nadia.
Gadis itu berbeda.
"Selain otak, perusahaan ini juga perlu pegawai yang tau attitude. Sebab sepintar apa pun seseorang, kalau attitude nya nol besar nggak ada gunanya juga sama sekali."
"Fix! Ini mah karyawan idaman Pak Jerry banget. Tapi gue belum tau hasil psikotesnya dia kayak gimana. Semoga aja bisa sesuai dan dia bisa lolos."
Karena yang Rendra tak tahu, hati kecilnya sudah terpesona pada Nadia.
♥♥♥
"Mau ke mana, Rena?"Gadis manis berusia 15 tahun itu langsung menoleh saat ayahnya bertanya dari teras. Aroma menyedapkan dari dapur, sempat menyapa indra penciumannya. Selesai memakai sepatu, gadis manis bernama lengkap Renata Eka Hardhani itu langsung saja menghampiri ayahnya."Mau ke rumahnya Bella, Pa.""Kemarin ke rumahnya Bella, sekarang juga ke rumahnya Bella. Memang di rumahnya Bella ada apa, sih? Tom Cruise?" tanya Rendra penasaran karena hampir setiap hari, anak gadisnya ini pergi ke rumah sahabatnya sejak SD. Diledek seperti itu, Rena hanya tersenyum tipis dan duduk di sebelah ayahnya. Tangannya tak tinggal diam karena gorengan bakwan ibunya terlalu menggoda untuk dilewatkan. "Di rumah udah ada Joe Taslim, ngapain ngeliat Tom Cruise lagi?"Rena berharap ayahnya akan terkekeh dengan candaannya, namun ternyata tidak. Rendra hanya menatapnya dengan tatapan tajam setajam elang. Rena kemudian teringat pesan ibunya yang mengatakan bahwa Rendra akan sedingin cuaca di antartika s
Jika dinikmati, waktu rasanya begitu cepat berlalu. Semuanya mengalir begitu cepat, namun peristiwa yang dialami, akan membekas sepanjang waktu. Tak terasa, enam bulan berlalu. Rena, anak putri semata wayangnya Rendra dan juga Nadia, kini sudah berumur 1 tahun. Sudah bisa menyebut "Mama" walau masih terbata-bata. Membuat Rendra terkadang gemas sendiri karena Rena masih belum bisa menyebut kata "Papa"."Mas?"Nadia menyapa saat Rendra mematung di depan cermin. Sudah hampir 10 menit lamanya Rendra mematung di sana, memperhatikan dirinya yang hari ini jauh lebih menawan dari hari biasanya. Setelan tuxedo yang Nadia belikan kemarin, sengaja ia pakai hari ini, hari yang mungkin akan membekas di seumur hidupnya. "Kamu bakalan kangen pasti pake jas-jas begini, gaya-gaya kantoran kayak gini."Kedua tangan Nadia, kini melingkar di perut Rendra. Wangi maskulin yang selalu membuat Nadia mabuk kepayang sejak pertama kali mereka bertatap muka, langsung saja menyapa indra penciuman Nadia yang sem
Karena Rendra yang masih belum bisa menyembunyikan rasa kecewa dan kesalnya, jadilah Nadia yang menyetir. Sebelum pulang, mereka harus menjemput Rena dulu yang mereka titipkan pada Acha. "Mas, udah dulu cemberutnya. Mau ketemu anak, mukanya jangan asem-asem."Rendra tak menjawab. Ini rasa kecewa terbesar yang ia alami selama hidupnya. Fahri telah membuatnya berprasangka buruk pada Syifa selama bertahun-tahun. "Mas nggak nyangka, Nadia. Tujuan dia nggak mau liat kakaknya menderita, tapi kenyataannya, dia yang semakin membuat kakaknya menderita. "Rasa penasaran itu kini telah terjawab di waktu yang tidak tepat. Masih teringat jelas betapa kecewanya wajah mantan mertuanya saat Fahri membongkar semuanya secara mendadak. Tak lama, mereka pun sampai di rumah Acha. Karena kondisi yang tak memungkinkan untuk berlama-lama, maka setelah berpamitan dengan Acha pun, Nadia langsung membawa anak dan suaminya pulang. Nadia ingin menyelesaikan dan membicarakan hal ini di rumah. "Biar Mas yang m
"Sampai kapan Akak nak macam ni? Akak mengandung anak dari seorang yang tak Akak cinta?"Emosi Fahri kala itu semakin menjadi ketika ia mendengar kabar kehamilan Syifa. Fahri dibuat bingung. Pasalnya, Syifa pernah berkata bahwa dirinya dan Rendra tak saling mencintai, dan untuk saling menyentuh, itu pun jarang sekali kecuali dalam keadaan terpaksa. Tentu saja Fahri dibuat terkejut dengan kehamilan ini. "Kak, janganlah Akak buat Fahri sakit kepala. Akak kate, Akak dan Bang Rendra tak pernah saling sentuh satu sama lain. Ha, cemana pula sekarang ni Fahri dengar bahwa Akak tengah pregnant? Akak gurau, keu?"Yang Fahri tak tahu, bahwa sekitar satu bulan yang lalu, di saat Syifa sedang berada dalam masa suburnya, Yuni memasukkan obat perang*** ke dalam minuman Rendra dan juga Syifa. Yuni nekat berbuat seperti itu karena tak melihat progress apa pun dalam hubungan keduanya. "Soal tu, kau tak payah tahu, Fahri. Yang jelas sekarang ni, Akak bahagia sangat karena Akak nak jadi seorang ibu. S
Rendra benar-benar dibuat terkejut oleh pernyataan Syifa yang terkesan seperti menyudutkan dan menyalahkan itu. Ingin marah, namun Rendra kembali teringat dan belajar dari kesalahan di masa lalu bahwa kemarahan tak akan menyelesaikan apa pun selain memperburuk keadaan. Dan dengan menarik napas dalam-dalam dan juga berusaha mengendalikan emosinya, Rendra pun menjawab pernyataan Syifa dengan nada selembut mungkin. "Ya, bukannya gitu, Syifa. Gue bukan nggak anggep lo. Tapi ... pas Mama meninggal, keadaan di sini juga lagi kacau. Bahkan keluarga kita sendiri pun juga nggak sempet kita kabarin karena saking kalutnya."Bagai menjelaskan pada anak kecil, Rendra pun menceritakan secara detail agar Syifa bisa langsung memahami. Dirinya juga pernah merasakan bagaimana keadaan mental seseorang selama sakit. Itu sebabnya Rendra bisa memahami bagaimana sensitifnya perasaan Syifa saat ini. "Dahlah tu, Kak. Jangan marah-marah macam ni, ye? Takde salah siapapun kat sini."Fahri ikut berusaha menen
Sembari menjaga Rena bermain, kedua mata Rendra juga ikut mengamati Nadia yang sedang sibuk memasak di dapur. Rendra perhatikan istrinya itu lekat-lekat sembari ia juga bertanya, entah terbuat dari apa hati istrinya itu hingga bisa setulus ini. "Rena, mainannya nggak boleh dimasukin ke mulut, Sayang."Ocehan kecil Rendra, membuat perhatian Nadia teralih sebentar, lalu sesaat kemudian, ia tersenyum kecil. Masakan sederhana, sebentar lagi akan matang dan siap disajikan di meja makan untuk menyambut kedatangan Syifa dan Fahri yang akan datang malam ini. "Udah siap, Nadia?""Bentar lagi, Mas."Dengan susah payah untuk berdiri lalu memasukkan Rena ke baby walker karena kakinya yang masih terasa sedikit ngilu, akhirnya Rendra pun berhasil lalu ikut membawa Rena untuk menemui Nadia. Nadia yang menyadari kehadiran Rendra pun, sempat heran dan bertanya-tanya kenapa suaminya memandangnya dengan tatapan sendu saat ini. "Kenapa, Mas? Mau mandi?"Tak ada jawaban, baik berupa suara, maupun gera
"Pelan-pelan aja, Mas."Rendra mengangguk ketika Nadia mewanti-wanti dirinya agar melangkah lebih perlahan-lahan. Setiap hari, memang seperti ini rutinitasnya setelah terkena penyakit stroke, satu bulan yang lalu. Melatih otot-otot kakinya dengan berjalan kecil di taman belakang rumah, lumayan membantu proses pemulihan. Syukurnya, Allah masih beri kesempatan Rendra untuk sembuh dan kesempatan hidup setelah ia jatuh tak sadarkan diri di kamar mandi waktu itu. Tak bisa Nadia bayangkan jika ia harus kehilangan suaminya di waktu yang singkat setelah kematian Yuni. "Alhamdulillah, Mas udah mulai lancar jalannya. Udah nggak terlalu keliatan banget pincangnya," ujar Nadia setelah mendudukkan suaminya di kursi. Rendra memang masih belum sanggup untuk lama-lama berjalan. Paling lama hanya sekitar 15 menit saja. "Iya, Sayang. Alhamdulillah. Mudah-mudahan aja bisa lebih cepet lagi biar Mas bisa kerja lagi. Serasa makan gaji buta suamimu ini jadinya."Rasa-rasanya, Rendra harus banyak bersyuku
Walau rasanya raga tak lagi kuat untuk sekedar berdiri, namun Rendra tetap menjalankan kewajiban terakhirnya sebagai seorang anak laki-laki dengan ikut masuk ke liang lahat dan memasukkan jenazah Yuni. Air mata tak henti-hentinya mengalir dari matanya, begitu juga dengan Regi dan Reza. Kini, mereka telah kehilangan cahaya hidup. Tanpa meninggalkan tanda apa pun, Yuni pergi untuk selamanya."Ma, kenapa pergi? Eka baru aja mau resign dari kerjaan dan nemenin Mama di Aceh. Tapi kenapa sekarang Mama malah pergi?"Ketika tubuh kaku Yuni mulai ditimbun tanah, pertanyaan itu terlontar sendiri, menggema di relung hati Regi. Si sulung ini begitu tak percaya bahwa tahun ini ia akan kehilangan ibunya. Padahal, banyak rencana yang ia ingin wujudkan dengan ibunya."Mama, katanya mau liat Dwi nikah. Dwi udah nemu calon menantu Mama dan Dwi udah ada niat buat kenalin dia sama Mama. Tapi, Mama kok udah pergi aja? Hati Dwi hancur, Ma. Rasa sedih karena kehilangan Pap
Rumah besar itu mulai ramai. Sebagai menantu, Nadia menyambut kedatangan orang-orang di pintu rumahnya. Orang-orang itu menyampaikan kalimat yang sama.Turut berduka cita.Ya. Yuni telah meninggalkan mereka semua, sembilan jam yang lalu. Pembuluh darah yang pecah, membuat pihak rumah sakit tak bisa menyelamatkannya. Tak ada yang bisa dilakukan selain menangis dengan hati yang hancur. Seorang perempuan yang telah melahirkan dan membesarkan mereka itu, kini telah meninggalkan dunia ini."Makasih banyak ya, Bu.""Sama-sama. Yang sabar ya, Nadia. Semua cobaan ini, Allah kasih buat nguatin kalian semua. Kematian udah jadi takdirnya Allah."Nadia hanya mengangguk kecil. Memang betul apa yang dinasihati tetangganya itu tapi, tak mudah untuk dilakukannya sekarang. Rasa terkejut, syok karena tiba-tiba dikejutkan oleh kepergian yang mendadak, membuat ketiga anak-anak dan menantu Yuni, belum bisa untuk berpikir jernih.Terutama Rendra
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments