"Maap ya, Nad, hari pertama lo kerja gue nggak bisa nganterin."
Nadia melihat kalender. Ini bukan lebaran. Kenapa Agung terus mengucap maaf sejak tadi? Padahal Nadia sudah memaafkan.
"Sekali lagi minta maap, gue bawa Densus 88 ya kerumah lo, Gung!!"
Agung terkekeh di sebrang sana.
Ini hari pertama Nadia bekerja setelah sekian tahun menganggur. Nadia super excited. Pasalnya tiga hari ia gelisah tak tahu waktu menanti panggilan telpon dari HRD. Hari ketiga menjelang sore, Nadia mulai pupus harapan. Di pikirannya kala itu, mungkin ia kalah saing. Namun tak disangka, panggilan yang ia nanti itu muncul di ponsel berlambang apel tergigitnya tepat pukul 16.00.
Nadia mengucap syukur ribuan kali. Akhirnya, ia tak pusing lagi masalah biaya hidupnya kedepan.
"Tapi janji ntar sore gue temenin pulang."
"Nggak ngerepotin, nih?" tanya Nadia. Tangan kirinya sibuk melapisi bulu mata dengan mascara.
"Kayak sama siapa aja sih, lo!"
Nadia terkekeh. "Ya udah, ntar sore gue tunggu ya."
"Oke. Gue duluan ya, Nad-Nad. Takut telat."
"Oke, bye."
Agung Hendrawan.
Teman super karibnya sejak SMA. Ah, sebenarnya mereka dulunya sepasang kekasih. Namun hubungan yang dijalin sejak kelas 11 itu harus kandas saat Agung melanjutkan pendidikan di Universitas di Malaysia. Nadia tak suka LDR.
Tapi walaupun sudah putus, hubungan mereka masih terjalin amat baik seolah tak pernah terjadi apa-apa di antara mereka sebelumnya.
Lulus kuliah, Agung kembali ke Indonesia. Dan mereka pun menjadi semakin akrab dari sebelumnya. Agung sudah menemukan pengganti Nadia yang merupakan teman kuliahnya, gadis Malaysia bernama Ros.
Lain dengan Agung, Nadia hingga saat ini masih betah sendiri. Yeah, walaupun kadang-kadang dia ingin menikah, tapi Nadia masih betah sendiri. Setidaknya sampai saat ini.
Usai berdandan seadanya, Nadia pun bergegas. Mengunci pintu rumah dan mulai melajukan motor scoopy berwarna hitam milik almarhum papanya. Membelah jalanan ibukota yang mungkin sudah dipenuhi penduduk.
Di atas motor, Nadia masih terngiang akan suara si HRD ganteng di telpon tempo hari. Laki-laki sipit itu mempunyai suara yang super macho sekali di telinga Nadia. Bikin Nadia melted sendiri saat mendengar suara itu. Ya, tapi Nadia mencoba untuk tahu diri. Walaupun ia manis, tapi rasanya tidak mungkin ia bisa membuat Rendra jatuh hati padanya.
Nadia menggelengkan kepalanya kuat-kuat saat sampai di parkiran kantor.
"Kerja, Nad. Jangan ngebucin mulu otak lu!"
Nadia masuk lewat pintu utama. Saat di telpon, Rendra tak menyuruhnya langsung bekerja melainkan diperintah untuk menunggu dulu di depan ruang HRD kemarin. Dan saat di sana, ada satu orang laki-laki dan satu orang perempuan yang Nadia jumpai kemarin.
Yang artinya yang diterima sebagai Admin ada tiga orang. Dari sepuluh orang, hanya tiga yang diterima. Termasuk dirinya.
"Hai, dipanggil juga?" tanya si perempuan yang Nadia ingat bernama Acha. Untunglah gadis ini tidak terlalu menor seperti teman-temannya kemarin. Kalau Nadia lihat-lihat, Acha ini cantik. Mirip Ariel Noah. Eh, maksudnya Ariel Tatum.
"Iya nih, Alhamdulillah. Ditelponnya sore. Padahal udah nunggu dari pagi," jawab Nadia, tersenyum renyah.
"Masih mending lo ditelponnya sore, gue menjelang Maghrib tau, nggak? Tapi syukur deh, sekarang keterima. Soalnya sekarang susah nyari kerjaan, apalagi cuma tamat SMA."
Acha melirik si cowok yang nampak canggung berdiri di depan pintu HRD.
"Lo, ngelamar jadi Admin juga?"
Si cowok itu menggeleng. "Jadi CS."
Alis Nadia bertaut."Customer Service atau Cleaning Service?"
"Customer Service. Oh iya, kenalin, nama gue Danu."
Dan mereka pun saling berkenalan kemudian bercerita tentang apa saja yang mungkin nanti mereka kerjakan.
"Gue rasa sih di training dulu entah beberapa bulan gitu. Dan mungkin nanti kita nggak langsung kerja, paling cuma bahas kontrak kerja doang ama Pak Rendra," jelas Danu.
Acha dan Nadia saling menggumam kata "ooh". Ternyata Acha sama saja, minim ilmu dalam dunia kerja. Maklum, anak itu baru tamat sekolah dua bulan yang lalu.
"Gue juga gak habis pikir kenapa perusahaan ini nerima karyawan yang cuma tamat SMA. Padahal 'kan biasanya butuh sarjana," gumam Nadia.
"Mungkin CEO nya suka sama tamatan SMA yang gemesh-gemesh," balas Acha sembari terkekeh.
"Gue sih sebenernya bukan anak SMA tapi SMK, kebetulan jurusan Administrasi Perkantoran juga."
"Wah serius?" tanya Nadia dan Acha pun mengangguk.
"Bagi-bagi ilmunya sama gue ya ntar, Cha," rengeknya.
"Aman kalo itu, mah."
Nadia tersenyum. Bersyukur di hari pertamanya bekerja sudah mendapat teman sebaik Acha dan Danu. Semoga saja hubungan ketiganya semakin membaik nanti.
Tak lama, Rendra datang. Ia tersenyum tipis saat melihat tiga manusia yang sejak tadi menunggunya.
"Masuk."
Ketiganya pun mengikuti langkah kaki Rendra.
"Maaf saya telat. Jakarta ramai."
Ketiganya hanya merespon dengan anggukan kaku. Aroma parfum maskulin Rendra menyengat sekali di hidung mereka. Membuat Acha dan Nadia mabuk kepayang sementara Danu menggosok-gosok hidungnya. Danu benci aroma parfum yang terlalu menyengat seperti ini.
Rendra membagikan kontrak kerja yang akan ditanda tangani ketiga orang ini. Pria berusia 35 tahun ini memang seperti itu. Anti basa-basi dan langsung to the point.
Rendra hanya memberi sedikit wejangan untuk bekerja yang baik yang disambut ketiga manusia ini dengan anggukan kaku.Namun tidak dengan Nadia.
Ia tersenyum tulus disaat dua orang di sampingnya hanya mengangguk kaku. Dan lagi-lagi, senyum itu mampu menyedot perhatian pria didepannya.
Senyuman itu membuat hati Rendra tergelitik. Membuatnya ingin lebih jauh mengenal Nadia.
"What the hell!! Apa yang lo pikirin, Ndra? Dia baru 20 tahun!! Sadar goblok. Bisa-bisa lo dibilang pedofil sama orang-orang!! "
Rendra diam-diam menepuk pelan pipinya agar tersadar. Kesambet apa dia sejak kemarin? Kenapa gadis ini bisa merebut perhatiannya? Kenapa gadis ini bisa membuatnya mati-matian menyingkirkan calon karyawan lain yang nilai hasil psikotesnya lebih tinggi dibanding gadis ini hanya agar gadis ini bisa bekerja disini?
Kenapa?
Kenapa?
"Nanti ruangan dimana kalian akan bekerja akan ditunjukkan oleh asisten saya. Sekarang kalian boleh keluar dari ruangan saya."
Pusing.
Rendra ingin waktu sendirian. Karena jika Nadia masih ada di depannya, ia akan gila. Perasaannya akan semakin membuncah.
♥♥♥
"Pulang ama siapa lo ntar? "
Nadia menyeruput kopi nya sebelum menjawab pertanyaan Acha.
"Sama temen."
"Kapan-kapan pulang bareng gue,ya? " ajak Acha walaupun matanya tak lepas dari layar komputer dan jemarinya yang tak lepas dari keyboard.
"Sip. Gampang itu, mah."
Nadia melirik jam. Lebih kurang dua puluh menit lagi waktunya pulang. Gadis itu mengeluarkan ponselnya dan mengetik pesan untuk Agung.
Acha mendongak saat melihat Rendra mondar-mandir sejak tadi.
"Nad!"
"Oy?"
"Lo liat tuh!"
Nadia mengikuti arah pandang Acha. Rendra, si HRD ganteng yang masuk wishlist nya, terlihat sibuk mendatangi ruangan Finka yang tak jauh dari tempat mereka. Mundar-mandir sejak tadi. Entah apa yang dilakukannya di ruangan Finka.
"Pacaran kali dia sama kak Finka," jawab Nadia asal.
Acha berdecak."Ya nggak gitu juga kali. Kan bisa nanti pas pulang kerja, gak mondar-mandir kayak gosokan begitu."
Nadia terkekeh pelan. "Kenapa lo yang sewot? Cembokur? "
Acha mencibir.
"Yeee ... gue gak demen ya ama yang tua!"
"Tapi 'kan ganteng, Cha," goda Nadia.
Acha memutar bola matanya, membuat Nadia tertawa geli. Selesai menggoda Acha, ia kembali mendapati Pak Rendra mundar-mandir sambil sesekali melirik ke arah meja kerjanya.
Membuat Nadia bertanya-tanya.
Apa sih yang sebenarnya dilakukan pria ini? Sepertinya bukan hal pekerjaan. Pria itu nampak kikuk dan selalu melirik ke arah meja kerjanya tiap kali Nadia tak sengaja memergokinya.
Apa dirinya membuat kesalahan?
♥♥♥
Rendra kesal sendiri saat mendapati pemandangan yang tak ingin dilihatnya sore ini.
Incarannya, sedang mengobrol dengan seorang laki-laki di depan kantor. Pemandangan yang membuat hati dan matanya super panas.
Rendra mengalihkan pandangannya cepat-cepat. Berjalan ke parkiran mobil dengan tergesa-gesa. Pupus sudah harapannya saat melihat gadis itu tertawa dengan riangnya di atas motor dengan laki-laki muda itu.
"Shit. Gue mati-matian ternyata kayak gini hasilnya."
Rendra merasa bodoh sekarang. Ia sudah berbuat curang kemarin demi agar gadis itu bisa selalu dilihatnya dari dekat. Ia menukar rejeki orang lain demi gadis itu.
"Super idiot lo Ndra! "
Rendra memaki dirinya sendiri. Membanting pintu mobilnya kuat-kuat kemudian memukul setirnya juga keras-keras. Ia seperti orang gila di dalam mobil di basement yang sepi.
Baru saja ia ingin merasakan jatuh cinta, namun selalu saja dipatahkan.
Senyuman Rendra mengembang lagi setelah dua hari belakangan ia bermuram durja. Semangatnya seolah ter-charge lagi saat mendengar sesuatu yang menyenangkan pagi ini. "Bukan, pak. Dia teman saya. Lagi pula dia sudah punya tunangan, kok." Itulah yang dijawab Nadia saat Rendra menanyakan siapa laki-laki yang pulang dengan gadis itu tempo hari. Karena didorong rasa cemburu yang amat sangat, Rendra pun memberanikan diri untuk menanyakannya langsung saat mendapati Nadia diantar laki-laki itu lagi pagi tadi. Untunglah jawabannya membahagiakan, menyenangkan hatinya. Semangat itu bersemi lagi. Semangat untuk mendapatkan perhatian gadis berusia 20 tahun itu. Karena beberapa hari belakangan Rendra berpikir, ia tak mungkin semati-matian itu berusaha untuk memasukkan Nadia untuk bekerja disini kalau tidak punya perasaan lebih pada gadis itu. Dan kini di ruangan kerjanya y
Selepas salat subuh, Nadia yang biasanya tidur lagi tapi kali ini langsung buru-buru mandi. Gadis manis itu rindu papanya. Nadia ingin datang ke makam untuk sekedar menyapa dan menabur bunga kesukaan papanya. Terkadang di saat sunyinya malam mulai datang, Nadia meneteskan air matanya. Rindu ini berat sekali untuk ia tahan. Agung bilang, wajar, baru satu bulan lebih. Sakit atas rasa kehilangannya masih terasa. Tapi Nadia berani bertaruh kalau rindu pada papanya akan menghantuinya selamanya. Selang beberapa menit, ia sampai di pemakaman yang tak jauh dari daerah rumahnya. "Assalamualaikum, Papa." Segera Nadia meletakkan buket bunga melati itu di atas makam. Jemarinya kemudian mengusap batu nisan yang baru saja diganti dua minggu lalu. Dinginnya udara menjelang matahari terbit seperti ini tak Nadia gubris. Perhatiannya kini tertuju seluruhnya pada makam sang papa, cinta pertamanya
Rendra POV Udah satu minggu lebih Nadia ada di kantor itu dan kemajuan gue ngedeketin dia cuma gerak dikit. Itupun cuma sebatas ngirimin sarapan misterius doang sama ngajak makan malem. Itupun modus nganterin dia pulang. Malu gue sebenernya. Umur udah 35 tahun tapi cara ngedeketin cewek aja masih minim. Soalnya gini, gue dari dulu terbiasa ama cewek yang ngedeketin atau ngegoda gue, bukannya dorongan dari gue sendiri. Ya jadi wajar 'kan kalau sekarang gue begini? Ngedeketin cewek umuran Nadia aja gue gemeter. Dan sekarang, ini gue malu banget ngasih tau ke kalian. Percaya nggak kalau sekarang gue lagi minta saran Reza gimana caranya ngedeketin Nadia? Percaya nggak percaya kalian harus percaya. Buktinya ini sekarang gue lagi sama Reza di kamar gue sambil sesekali gue cek obrolan tentang rencana gathering di grup W******p kantor yang isinya gue dan staf petinggi-petinggi kantor. "Heran gue lo
Nadia POV Malem minggu. Hari dimana anak muda keliaran nggak tau arah, ketawa ngakak-ngikik nggak inget mati, pada keluar dari sarangnya. Atau tipe yang kayak gue yang kalo keluar di malem minggu itu karena emang ada yang ngajak dan kebetulan lagi gabut. Contohnya kali ini. Gue itu paling males ama yang namanya malem mingguan. Jaman pacaran sama Agung aja dulu ogah banget gue diajak dia saturday night nggak jelas begitu. Apaan. Kalo mau nge-date 'kan bisa di hari yang lain, nggak cuma malem minggu doang. Mungkin itu juga penyebab kenapa Agung sama gue itu putus dulu. Agung anaknya blingsatan, aktif kayak dede bayi dalem perut. Sementara gue kaku, pendiem, nggak banyak omong. Bagus deh tuh anak sama Ros sekarang. Cocok, sefrekuensi, sepemahaman. Dan malem ini karena gue gabut dan nggak tau mau ngapain, gue iyain ajakan Acha
Nadia POV "Ih, lo makhluk hidup apa bukan sih, Nad?? Masa nggak peka terhadap rangsangan.. eh, maksud gue, nggak peka sama keadaan sekitar. Dari ekspresi Pak Rendra semalem jelas banget tau nggak kalo dia tuh naksir elu." Sumpah demi apa, gue kepikiran ama omongan Acha pas kami mau pulang semalem. Ya Allah, masa sih Pak Rendra naksir gue? Dia ganteng, dewasa gitu masa demen ama gue yang masih bocil belum banyak pengalaman hidup gini??? Ceburin aja Acha ke Bengawan Solo! Dan karena kata-katanya dia itu, gue jadi gemeter mau pergi ke kantor pagi ini. Gila, cepet banget sih udah hari Senin aja. Perasaan baru kemaren malem minggu.Eh tapi, kalo gue nggak ke kantor, alamat bakalan kena SP. Ergghh, Acha sialan! Danu lagi, pake segala ngajak Pak Rendra buat gabung. Kalo nggak gitu 'kan nggak bakalan gini kejadian
"Emang ciri-ciri perempuan kalo udah pengen nikah apaan, Za? " Reza memandang adiknya tak paham. Kuno sekali adiknya ini. Sudah tua, tapi urusan perempuan masih nol besar. Tapi kalau urusan pekerjaan saja, nomor wahid berkuasanya. Tadi, Reza iseng masuk ke kamar Rendra saat anak itu sedang telponan dengan Nadia. Persis remaja labil yang baru mengenal cinta. Reza yang melihat itupun kontan mengejek Rendra dengan sebutan "tua-tua bocil". "Pertama ... " Rendra tersenyum antusias dan langsung melompat ke atas kasur."Apaan? " "Beliin gue mekdi dulu, gih. Komplit." Rendra yang tadinya antusias mendadak berwajah masam. "Udah bengkak masih aja makan pikiran lo! " "Ngasih saran ke lo tuh butuh tenaga, adik kecil! Buru! Gue laper!" Terpaksa Rendra menuruti. Pasalnya, abangnya itu saran percintaannya selalu berhasil. Apa-apa
Nadia POV Empat bulan berlalu. Di umur yang baru 20 tahun, 3 bulan, dan 45 hari, gue udah jadi ibu rumah tangga sejak dinikahin sama Mas Rendra empat bulan yang lalu. Gue nggak pernah nyangka bakal nikah di umur yang masih terbilang muda kayak sekarang. Apalagi nikah sama laki-laki yang umurnya beda lima belas tahun sama gue. Hubungan gue sama Mas Rendra itu kayak kereta super cepat yang ada di Jepang tau, nggak? Bayangin aja. Kenal di kantor baru seminggu dia udah nembak gue dan kita pun jadian. Dan baru pacaran dua minggu, Mas Rendra udah ngajak gue nikah. Dan satu setengah bulan setelahnya, kita pun resmi jadi suami istri. Gue pribadi sih sebenernya sah-sah aja ya ngejalanin hubungan ekspres kayak gini. Ya gue juga mikirnya, kalau cinta ngapain lama-lama 'kan? Apalagi gue bisa liat Mas Rendra itu udah mapan ekonominya. Plus, Mas Rendra juga udah dewasa yang bisa gue liat dari segi u
"Mas temenin ya, Nadia?" Nadia menggeleng. Suaminya ini terkadang keras kepala sekali. Sudah berapa kali Nadia menggeleng, menolak permintaannya sejak tadi. Tapi ia masih saja memaksa. "Temenin gimana? Jadi Mas batal pergi ke Bogor, terus dimarahin Pak Jerry cuma gara-gara mau temenin aku cari bahan buat usaha? Mas udah bosen kerja disana? Mas mau di pecat? Terus kita makan apa, kakanda?" Nadia itu memang jarang ngomong, tapi sekalinya dia ngomong, bisa sepanjang rel kereta api jurusan Cikampek-Tokyo. Panjang sekali. "Lagian itu Pak Jerry demen banget sih nyuruh Mas masuk weekend begini." "Lah 'kan biasanya juga begitu Mas?? Kenapa sekarang Mas ngeluh?" "Ya 'kan dulu sebelum Mas nikah, bebas mau pergi kapan aja, Mama pun jarang di rumah, jadinya Mas nggak khawatir mau ninggalin. Ini sekarang Mas udah ada tanggung jawab, kamu. Mana kamu lagi hamil."
"Mau ke mana, Rena?"Gadis manis berusia 15 tahun itu langsung menoleh saat ayahnya bertanya dari teras. Aroma menyedapkan dari dapur, sempat menyapa indra penciumannya. Selesai memakai sepatu, gadis manis bernama lengkap Renata Eka Hardhani itu langsung saja menghampiri ayahnya."Mau ke rumahnya Bella, Pa.""Kemarin ke rumahnya Bella, sekarang juga ke rumahnya Bella. Memang di rumahnya Bella ada apa, sih? Tom Cruise?" tanya Rendra penasaran karena hampir setiap hari, anak gadisnya ini pergi ke rumah sahabatnya sejak SD. Diledek seperti itu, Rena hanya tersenyum tipis dan duduk di sebelah ayahnya. Tangannya tak tinggal diam karena gorengan bakwan ibunya terlalu menggoda untuk dilewatkan. "Di rumah udah ada Joe Taslim, ngapain ngeliat Tom Cruise lagi?"Rena berharap ayahnya akan terkekeh dengan candaannya, namun ternyata tidak. Rendra hanya menatapnya dengan tatapan tajam setajam elang. Rena kemudian teringat pesan ibunya yang mengatakan bahwa Rendra akan sedingin cuaca di antartika s
Jika dinikmati, waktu rasanya begitu cepat berlalu. Semuanya mengalir begitu cepat, namun peristiwa yang dialami, akan membekas sepanjang waktu. Tak terasa, enam bulan berlalu. Rena, anak putri semata wayangnya Rendra dan juga Nadia, kini sudah berumur 1 tahun. Sudah bisa menyebut "Mama" walau masih terbata-bata. Membuat Rendra terkadang gemas sendiri karena Rena masih belum bisa menyebut kata "Papa"."Mas?"Nadia menyapa saat Rendra mematung di depan cermin. Sudah hampir 10 menit lamanya Rendra mematung di sana, memperhatikan dirinya yang hari ini jauh lebih menawan dari hari biasanya. Setelan tuxedo yang Nadia belikan kemarin, sengaja ia pakai hari ini, hari yang mungkin akan membekas di seumur hidupnya. "Kamu bakalan kangen pasti pake jas-jas begini, gaya-gaya kantoran kayak gini."Kedua tangan Nadia, kini melingkar di perut Rendra. Wangi maskulin yang selalu membuat Nadia mabuk kepayang sejak pertama kali mereka bertatap muka, langsung saja menyapa indra penciuman Nadia yang sem
Karena Rendra yang masih belum bisa menyembunyikan rasa kecewa dan kesalnya, jadilah Nadia yang menyetir. Sebelum pulang, mereka harus menjemput Rena dulu yang mereka titipkan pada Acha. "Mas, udah dulu cemberutnya. Mau ketemu anak, mukanya jangan asem-asem."Rendra tak menjawab. Ini rasa kecewa terbesar yang ia alami selama hidupnya. Fahri telah membuatnya berprasangka buruk pada Syifa selama bertahun-tahun. "Mas nggak nyangka, Nadia. Tujuan dia nggak mau liat kakaknya menderita, tapi kenyataannya, dia yang semakin membuat kakaknya menderita. "Rasa penasaran itu kini telah terjawab di waktu yang tidak tepat. Masih teringat jelas betapa kecewanya wajah mantan mertuanya saat Fahri membongkar semuanya secara mendadak. Tak lama, mereka pun sampai di rumah Acha. Karena kondisi yang tak memungkinkan untuk berlama-lama, maka setelah berpamitan dengan Acha pun, Nadia langsung membawa anak dan suaminya pulang. Nadia ingin menyelesaikan dan membicarakan hal ini di rumah. "Biar Mas yang m
"Sampai kapan Akak nak macam ni? Akak mengandung anak dari seorang yang tak Akak cinta?"Emosi Fahri kala itu semakin menjadi ketika ia mendengar kabar kehamilan Syifa. Fahri dibuat bingung. Pasalnya, Syifa pernah berkata bahwa dirinya dan Rendra tak saling mencintai, dan untuk saling menyentuh, itu pun jarang sekali kecuali dalam keadaan terpaksa. Tentu saja Fahri dibuat terkejut dengan kehamilan ini. "Kak, janganlah Akak buat Fahri sakit kepala. Akak kate, Akak dan Bang Rendra tak pernah saling sentuh satu sama lain. Ha, cemana pula sekarang ni Fahri dengar bahwa Akak tengah pregnant? Akak gurau, keu?"Yang Fahri tak tahu, bahwa sekitar satu bulan yang lalu, di saat Syifa sedang berada dalam masa suburnya, Yuni memasukkan obat perang*** ke dalam minuman Rendra dan juga Syifa. Yuni nekat berbuat seperti itu karena tak melihat progress apa pun dalam hubungan keduanya. "Soal tu, kau tak payah tahu, Fahri. Yang jelas sekarang ni, Akak bahagia sangat karena Akak nak jadi seorang ibu. S
Rendra benar-benar dibuat terkejut oleh pernyataan Syifa yang terkesan seperti menyudutkan dan menyalahkan itu. Ingin marah, namun Rendra kembali teringat dan belajar dari kesalahan di masa lalu bahwa kemarahan tak akan menyelesaikan apa pun selain memperburuk keadaan. Dan dengan menarik napas dalam-dalam dan juga berusaha mengendalikan emosinya, Rendra pun menjawab pernyataan Syifa dengan nada selembut mungkin. "Ya, bukannya gitu, Syifa. Gue bukan nggak anggep lo. Tapi ... pas Mama meninggal, keadaan di sini juga lagi kacau. Bahkan keluarga kita sendiri pun juga nggak sempet kita kabarin karena saking kalutnya."Bagai menjelaskan pada anak kecil, Rendra pun menceritakan secara detail agar Syifa bisa langsung memahami. Dirinya juga pernah merasakan bagaimana keadaan mental seseorang selama sakit. Itu sebabnya Rendra bisa memahami bagaimana sensitifnya perasaan Syifa saat ini. "Dahlah tu, Kak. Jangan marah-marah macam ni, ye? Takde salah siapapun kat sini."Fahri ikut berusaha menen
Sembari menjaga Rena bermain, kedua mata Rendra juga ikut mengamati Nadia yang sedang sibuk memasak di dapur. Rendra perhatikan istrinya itu lekat-lekat sembari ia juga bertanya, entah terbuat dari apa hati istrinya itu hingga bisa setulus ini. "Rena, mainannya nggak boleh dimasukin ke mulut, Sayang."Ocehan kecil Rendra, membuat perhatian Nadia teralih sebentar, lalu sesaat kemudian, ia tersenyum kecil. Masakan sederhana, sebentar lagi akan matang dan siap disajikan di meja makan untuk menyambut kedatangan Syifa dan Fahri yang akan datang malam ini. "Udah siap, Nadia?""Bentar lagi, Mas."Dengan susah payah untuk berdiri lalu memasukkan Rena ke baby walker karena kakinya yang masih terasa sedikit ngilu, akhirnya Rendra pun berhasil lalu ikut membawa Rena untuk menemui Nadia. Nadia yang menyadari kehadiran Rendra pun, sempat heran dan bertanya-tanya kenapa suaminya memandangnya dengan tatapan sendu saat ini. "Kenapa, Mas? Mau mandi?"Tak ada jawaban, baik berupa suara, maupun gera
"Pelan-pelan aja, Mas."Rendra mengangguk ketika Nadia mewanti-wanti dirinya agar melangkah lebih perlahan-lahan. Setiap hari, memang seperti ini rutinitasnya setelah terkena penyakit stroke, satu bulan yang lalu. Melatih otot-otot kakinya dengan berjalan kecil di taman belakang rumah, lumayan membantu proses pemulihan. Syukurnya, Allah masih beri kesempatan Rendra untuk sembuh dan kesempatan hidup setelah ia jatuh tak sadarkan diri di kamar mandi waktu itu. Tak bisa Nadia bayangkan jika ia harus kehilangan suaminya di waktu yang singkat setelah kematian Yuni. "Alhamdulillah, Mas udah mulai lancar jalannya. Udah nggak terlalu keliatan banget pincangnya," ujar Nadia setelah mendudukkan suaminya di kursi. Rendra memang masih belum sanggup untuk lama-lama berjalan. Paling lama hanya sekitar 15 menit saja. "Iya, Sayang. Alhamdulillah. Mudah-mudahan aja bisa lebih cepet lagi biar Mas bisa kerja lagi. Serasa makan gaji buta suamimu ini jadinya."Rasa-rasanya, Rendra harus banyak bersyuku
Walau rasanya raga tak lagi kuat untuk sekedar berdiri, namun Rendra tetap menjalankan kewajiban terakhirnya sebagai seorang anak laki-laki dengan ikut masuk ke liang lahat dan memasukkan jenazah Yuni. Air mata tak henti-hentinya mengalir dari matanya, begitu juga dengan Regi dan Reza. Kini, mereka telah kehilangan cahaya hidup. Tanpa meninggalkan tanda apa pun, Yuni pergi untuk selamanya."Ma, kenapa pergi? Eka baru aja mau resign dari kerjaan dan nemenin Mama di Aceh. Tapi kenapa sekarang Mama malah pergi?"Ketika tubuh kaku Yuni mulai ditimbun tanah, pertanyaan itu terlontar sendiri, menggema di relung hati Regi. Si sulung ini begitu tak percaya bahwa tahun ini ia akan kehilangan ibunya. Padahal, banyak rencana yang ia ingin wujudkan dengan ibunya."Mama, katanya mau liat Dwi nikah. Dwi udah nemu calon menantu Mama dan Dwi udah ada niat buat kenalin dia sama Mama. Tapi, Mama kok udah pergi aja? Hati Dwi hancur, Ma. Rasa sedih karena kehilangan Pap
Rumah besar itu mulai ramai. Sebagai menantu, Nadia menyambut kedatangan orang-orang di pintu rumahnya. Orang-orang itu menyampaikan kalimat yang sama.Turut berduka cita.Ya. Yuni telah meninggalkan mereka semua, sembilan jam yang lalu. Pembuluh darah yang pecah, membuat pihak rumah sakit tak bisa menyelamatkannya. Tak ada yang bisa dilakukan selain menangis dengan hati yang hancur. Seorang perempuan yang telah melahirkan dan membesarkan mereka itu, kini telah meninggalkan dunia ini."Makasih banyak ya, Bu.""Sama-sama. Yang sabar ya, Nadia. Semua cobaan ini, Allah kasih buat nguatin kalian semua. Kematian udah jadi takdirnya Allah."Nadia hanya mengangguk kecil. Memang betul apa yang dinasihati tetangganya itu tapi, tak mudah untuk dilakukannya sekarang. Rasa terkejut, syok karena tiba-tiba dikejutkan oleh kepergian yang mendadak, membuat ketiga anak-anak dan menantu Yuni, belum bisa untuk berpikir jernih.Terutama Rendra