Selepas salat subuh, Nadia yang biasanya tidur lagi tapi kali ini langsung buru-buru mandi. Gadis manis itu rindu papanya. Nadia ingin datang ke makam untuk sekedar menyapa dan menabur bunga kesukaan papanya.
Terkadang di saat sunyinya malam mulai datang, Nadia meneteskan air matanya. Rindu ini berat sekali untuk ia tahan. Agung bilang, wajar, baru satu bulan lebih. Sakit atas rasa kehilangannya masih terasa. Tapi Nadia berani bertaruh kalau rindu pada papanya akan menghantuinya selamanya.
Selang beberapa menit, ia sampai di pemakaman yang tak jauh dari daerah rumahnya.
"Assalamualaikum, Papa."
Segera Nadia meletakkan buket bunga melati itu di atas makam. Jemarinya kemudian mengusap batu nisan yang baru saja diganti dua minggu lalu.
Dinginnya udara menjelang matahari terbit seperti ini tak Nadia gubris. Perhatiannya kini tertuju seluruhnya pada makam sang papa, cinta pertamanya sejak lahir.
"Nadia disini sehat, Pa. Tapi, kadang Nadia masih suka nangisin papa sih."
Bramono, cinta pertama Nadia sejak ia lahir di dunia ini. Pria yang di ambil kembali ke pangkuan Sang Khalik tepat di usianya yang menginjak 50 tahun itu, adalahsosok seorang bapak yang luar biasa di mata Nadia. Seorang laki-laki yang tak pernah sedikitpun memikirkan untuk menikah lagi setelah kematian istri yang lima tahun lebih dulu meninggalkannya.
"Pa."
Nadia meneteskan air matanya, lagi.
"Nadia ... sekarang udah kerja."
"Sekarang anak papa ini ... harus bisa nanggung biaya hidupnya sendiri. Gak ada yang ngasih nasihat lagi kayak waktu papa masih ada dulu. Gak ada yang peluk Nadia lagi kalo Nadia sedih, gak ada lagi aturan disiplin khas papa di rumah."
Nadia terisak. Kalimat yang ia lontarkan dari mulutnya sendiri itu telah merobek jiwanya. Rasa pedih atas kehilangan seseorang yang amat sangat dicintainya itu benar-benar membuat dunia nya menggelap.
Papa pergi tanpa kata perpisahan. Begitu mendadak hingga hati Nadia begitu hancur. Nadia tahu hari itu akan datang, tapi gadis itu lupa menyiapkan dirinya. Menyiapkan hatinya.
"Tapi lama kelamaan, Insya Allah, Nadia bisa ikhlas kok, Pa. Kan papa pernah bilang, kematian itu pasti. Emangnya, Nadia ini siapa ya, pa, bisa nolak takdir yang udah Allah tentuin jauh sebelum papa lahir."
Nadia menghapus jejak air mata yang tercetak di pipinya kemudian tersenyum, berusaha tegar.
"Yang tenang disana ya, Papa. Nadia yakin nanti disana, Allah pasti bakalan pertemukan kita lagi."
Nadia memanjatkan doa. Memejamkan mata sembari membayangkan wajah sang Papa yang tersenyum padanya.
"Nadia kerja dulu ya, Papa. I love you. "
Nadia berdiri dan memandang makam itu sebelum ia benar-benar pergi dari sana.
♥♥♥
"Rendra!! Roti gue lo abisin!!!"
Rendra buru-buru lari dan masuk ke dalam mobilnya sebelum singa lapar yang ia panggil abang itu muncul di hadapannya.
Rendra terkekeh sembari mengunyah roti selai kacang kesukaannya dan saudara kandungnya, Reza. Tiap pagi selalu seperti itu. Reza dan Rendra selalu saling usil menghabiskan jatah sarapan mereka. Untung saja Regi, anak paling tua, tidak berada di Indonesia. Kalau ada, komplitlah drama ketiga saudara kandung itu berebut jatah sarapan setiap paginya.
Pagi ini terpaksa Rendra datang awal ke kantor karena bos besar a.k.a CEO perusahaan tempat ia bekerja, kembali ke kantor setelah honeymoonnya dengan sang istri ke Maldives usai. Banyak pekerjaan dan laporan pekerjaan yang harus dibicarakan Rendra jika si bos yang bernama Jerry Andrean itu kembali ke kantor.
Saat melewati pemakaman, Rendra mengerjap beberapa kali, berusaha meyakinkan bahwa apa yang baru saja dilihatnya di pemakaman itu benar-benar si gadis manis yang sedang diincarnya beberapa hari ini.
"Nadia?? Abis dari makamnya siapa dia?"
Rendra tak salah lihat. Ia yakin itu benar-benar Nadia saat gadis itu mendongakkan wajahnya. Kebetulan, makam yang sedang dilewati gadis itu tepat berada di tepi jalan hingga Rendra tak susah untuk melihatnya walau dari dalam mobil.
"Mama sudah meninggal lima tahun lalu pak, dan Papa saya baru saja satu bulan yang lalu meninggalkan saya."
Rendra kemudian menepuk jidatnya. Bagaimana ia bisa melupakan fakta gadis incarannya itu?
Tiba-tiba hati Rendra merasa terenyuh. Terlupa olehnya bahwa ia harus buru-buru ke kantor pagi ini. Terlupa olehnya kalau ia telat ke kantor, akan ada amukan dari Jerry Andrean pagi ini untuknya. Seolah itu semua tak penting saat ia melihat gadis manisnya sedang menangis di samping sebuah makam di sana.
Ada rasa ingin melindungi yang kuat dari dalam hatinya untuk gadis itu. Ada sebuah rasa yang ingin Rendra luapkan kalau ia tak ingin gadis itu sendirian lagi. Rendra ingin gadis itu menjadi miliknya agar Nadia tak lagi menangis seorang diri saat mengingat kedua orang tuanya.
"Semoga usaha saya untuk mendekati kamu ini tidak sia-sia, Nadia."
♥♥♥
Nadia tiba di kantor tepat sepuluh menit sebelum jam masuk. Sebelum masuk ia sempat membeli nasi uduk yang ada di depan kantor untuk sarapan.
Nasi uduk yang diberikan seseorang kemarin untungnya tak menimbulkan efek apa-apa. Berarti, seseorang yang belum Nadia ketahui siapa orang nya itu benar-benar berhati baik dengan tak memasukkan bahan-bahan berbahaya ke dalam nasi itu.
Sampai sekarang, Nadia masih penasaran siapa orangnya. Ingin bertanya pada Gugun pasti pria itu tak akan mau menjawab jujur.
"Eh cikungunya!! "Nadia menoleh saat Acha memanggilnya dengan label baru setelah sehari sebelumnya memanggil nya dengan sebutan kulit apel. Nadia yang sudah terbiasa dengan tingkah absurd Acha pun menggeleng.
"Apa? "
"Dih, jutek amat."
"Siapa suruh lo ngerubah nama gue."
Acha nyengir. "Becanda atuh, Nadia sayang. Yang abis diajak makan malem sama Pak Rendra jangan galak-galak atuh, Neng."
Sontak kedua mata Nadia langsung membulat. "Darimana lo tau?? "
"Semalem gue makan sama Danu gak jauh dari tempat lo sama Pak Rendra makan."
Jantung Nadia langsung berdebar kencang. Ini salahnya. Kenapa malah menyarankan Rendra untuk makan di kaki lima padahal Rendra mengajaknya makan di restauran.
"Jadi, ada hubungan apa ananda berdua ini? Kenapa merahasiakannya dari saya, hm? "
Nadia pun kemudian menjelaskan keseluruhan ceritanya pada Acha.
"Jadi begono."
"Iye, suer. Gue sama Pak Rendra gak ada hubungan apa-apa deh, Cha. Jangan kasih tau siapa-siapa, ya? Cukup lo aja yang tau," pinta Nadia memohon. Wajahnya memelas. Bisa habis ia dibully satu kantor kalau sampai Acha kelepasan soal ini. Apalagi kalau sampai perempuan-perempuan yang ada di lantai 2 yang rata-rata semuanya mati-matian mengejar cinta Rendra mendengar ini. Bisa habis Nadia jadi bulan-bulanan wanita sok jadi penguasa kantor itu.
"Iye, gue nggak bakalan bocor. Tenang aja. Tapi serius, apa lo gak curiga gitu sama sikapnya Pak Rendra ke lo? "
"Curiga kenapa emang? Semalem tuh emang kebetulan aja kali. Nggak ada maksud apa-apa dia."
Acha berdecak. "Lo emang jadi cewek kelewat polos, Nad. Lo nggak ngeh apa? Gak kepikiran apa sama tingkah dia? "
Nadia kebingungan. "Apaan emang? "
"Gue yakin ya selama ini dia mondar-mandir di depan ruangan kita itu cuma pengen diperhatiin sama lo," tebaknya langsung. Membuat lagi-lagi, kedua mata Nadia melebar.
"Sok tau ente!"
"Yeeeee, bukannya sok tau, daun bayem. Tapi emang gue yakin aja. Terus, yang ngirimin lo nasi uduk misterius kemaren, itu juga gue yakin dari Pak Rendra."
Nadia perang batin saat kalimat itu meluncur dari mulut Acha. Setengah hatinya membenarkan dan juga setengah hatinya ragu.
Apakah memang benar seperti itu?
Karena kalau Nadia pikir-pikir, kalimat Acha masuk diakal juga. Serius, tingkah mundar-mandir atasannya itu beberapa hari ini cukup konyol. Jabatan Rendra lebih tinggi dari Finka, jauh malah. Tapi kenapa Rendra yang harus mundar-mandir seperti itu dan bukannya Finka?
Dan Nadia juga berpikir, bukan tak mungkin yang mengirimkan nasi uduk dan teh manisnya kemarin itu adalah Rendra. Sikap Rendra kemarin sore padanya itu terlalu luar biasa antara atasan dengan karyawan biasa macam dirinya kalau tak ada tujuan tertentu.
"Kemungkinan besar Pak Rendra jatuh cinta sama lo, Nadia."
Nadia langsung tertawa lebar sembari melanjutkan langkah nya. "Gak mungkinlah Cha orang ganteng gitu jatuh cinta sama kentang kayak gue."
Sementara itu, tak jauh dari sana, Rendra tak sengaja mendengarkan percakapan antara Nadia dengan Acha saat ia baru saja kembali dari parkiran untuk mengambil dompetnya yang tertinggal di mobil.
"Acha benar, Nadia. Saya jatuh cinta sama kamu."
Rendra POV Udah satu minggu lebih Nadia ada di kantor itu dan kemajuan gue ngedeketin dia cuma gerak dikit. Itupun cuma sebatas ngirimin sarapan misterius doang sama ngajak makan malem. Itupun modus nganterin dia pulang. Malu gue sebenernya. Umur udah 35 tahun tapi cara ngedeketin cewek aja masih minim. Soalnya gini, gue dari dulu terbiasa ama cewek yang ngedeketin atau ngegoda gue, bukannya dorongan dari gue sendiri. Ya jadi wajar 'kan kalau sekarang gue begini? Ngedeketin cewek umuran Nadia aja gue gemeter. Dan sekarang, ini gue malu banget ngasih tau ke kalian. Percaya nggak kalau sekarang gue lagi minta saran Reza gimana caranya ngedeketin Nadia? Percaya nggak percaya kalian harus percaya. Buktinya ini sekarang gue lagi sama Reza di kamar gue sambil sesekali gue cek obrolan tentang rencana gathering di grup W******p kantor yang isinya gue dan staf petinggi-petinggi kantor. "Heran gue lo
Nadia POV Malem minggu. Hari dimana anak muda keliaran nggak tau arah, ketawa ngakak-ngikik nggak inget mati, pada keluar dari sarangnya. Atau tipe yang kayak gue yang kalo keluar di malem minggu itu karena emang ada yang ngajak dan kebetulan lagi gabut. Contohnya kali ini. Gue itu paling males ama yang namanya malem mingguan. Jaman pacaran sama Agung aja dulu ogah banget gue diajak dia saturday night nggak jelas begitu. Apaan. Kalo mau nge-date 'kan bisa di hari yang lain, nggak cuma malem minggu doang. Mungkin itu juga penyebab kenapa Agung sama gue itu putus dulu. Agung anaknya blingsatan, aktif kayak dede bayi dalem perut. Sementara gue kaku, pendiem, nggak banyak omong. Bagus deh tuh anak sama Ros sekarang. Cocok, sefrekuensi, sepemahaman. Dan malem ini karena gue gabut dan nggak tau mau ngapain, gue iyain ajakan Acha
Nadia POV "Ih, lo makhluk hidup apa bukan sih, Nad?? Masa nggak peka terhadap rangsangan.. eh, maksud gue, nggak peka sama keadaan sekitar. Dari ekspresi Pak Rendra semalem jelas banget tau nggak kalo dia tuh naksir elu." Sumpah demi apa, gue kepikiran ama omongan Acha pas kami mau pulang semalem. Ya Allah, masa sih Pak Rendra naksir gue? Dia ganteng, dewasa gitu masa demen ama gue yang masih bocil belum banyak pengalaman hidup gini??? Ceburin aja Acha ke Bengawan Solo! Dan karena kata-katanya dia itu, gue jadi gemeter mau pergi ke kantor pagi ini. Gila, cepet banget sih udah hari Senin aja. Perasaan baru kemaren malem minggu.Eh tapi, kalo gue nggak ke kantor, alamat bakalan kena SP. Ergghh, Acha sialan! Danu lagi, pake segala ngajak Pak Rendra buat gabung. Kalo nggak gitu 'kan nggak bakalan gini kejadian
"Emang ciri-ciri perempuan kalo udah pengen nikah apaan, Za? " Reza memandang adiknya tak paham. Kuno sekali adiknya ini. Sudah tua, tapi urusan perempuan masih nol besar. Tapi kalau urusan pekerjaan saja, nomor wahid berkuasanya. Tadi, Reza iseng masuk ke kamar Rendra saat anak itu sedang telponan dengan Nadia. Persis remaja labil yang baru mengenal cinta. Reza yang melihat itupun kontan mengejek Rendra dengan sebutan "tua-tua bocil". "Pertama ... " Rendra tersenyum antusias dan langsung melompat ke atas kasur."Apaan? " "Beliin gue mekdi dulu, gih. Komplit." Rendra yang tadinya antusias mendadak berwajah masam. "Udah bengkak masih aja makan pikiran lo! " "Ngasih saran ke lo tuh butuh tenaga, adik kecil! Buru! Gue laper!" Terpaksa Rendra menuruti. Pasalnya, abangnya itu saran percintaannya selalu berhasil. Apa-apa
Nadia POV Empat bulan berlalu. Di umur yang baru 20 tahun, 3 bulan, dan 45 hari, gue udah jadi ibu rumah tangga sejak dinikahin sama Mas Rendra empat bulan yang lalu. Gue nggak pernah nyangka bakal nikah di umur yang masih terbilang muda kayak sekarang. Apalagi nikah sama laki-laki yang umurnya beda lima belas tahun sama gue. Hubungan gue sama Mas Rendra itu kayak kereta super cepat yang ada di Jepang tau, nggak? Bayangin aja. Kenal di kantor baru seminggu dia udah nembak gue dan kita pun jadian. Dan baru pacaran dua minggu, Mas Rendra udah ngajak gue nikah. Dan satu setengah bulan setelahnya, kita pun resmi jadi suami istri. Gue pribadi sih sebenernya sah-sah aja ya ngejalanin hubungan ekspres kayak gini. Ya gue juga mikirnya, kalau cinta ngapain lama-lama 'kan? Apalagi gue bisa liat Mas Rendra itu udah mapan ekonominya. Plus, Mas Rendra juga udah dewasa yang bisa gue liat dari segi u
"Mas temenin ya, Nadia?" Nadia menggeleng. Suaminya ini terkadang keras kepala sekali. Sudah berapa kali Nadia menggeleng, menolak permintaannya sejak tadi. Tapi ia masih saja memaksa. "Temenin gimana? Jadi Mas batal pergi ke Bogor, terus dimarahin Pak Jerry cuma gara-gara mau temenin aku cari bahan buat usaha? Mas udah bosen kerja disana? Mas mau di pecat? Terus kita makan apa, kakanda?" Nadia itu memang jarang ngomong, tapi sekalinya dia ngomong, bisa sepanjang rel kereta api jurusan Cikampek-Tokyo. Panjang sekali. "Lagian itu Pak Jerry demen banget sih nyuruh Mas masuk weekend begini." "Lah 'kan biasanya juga begitu Mas?? Kenapa sekarang Mas ngeluh?" "Ya 'kan dulu sebelum Mas nikah, bebas mau pergi kapan aja, Mama pun jarang di rumah, jadinya Mas nggak khawatir mau ninggalin. Ini sekarang Mas udah ada tanggung jawab, kamu. Mana kamu lagi hamil."
Rendra terdiam di atas tempat tidurnya. Masih dalam keadaan belum mengganti pakaiannya sama sekali. Hatinya gusar. Sebuah kebohongan yang ia katakan pada istrinya sebelum mereka menikah dulu, terbayang kembali. "Mas belum pernah nikah sama sekali?" Nadia melontarkan pertanyaan itu yang langsung membuat Rendra terdiam seribu bahasa. Jika ia jujur, pasti Nadia akan langsung membatalkan pernikahan mereka. Siapa sih, seorang gadis berusia 20 tahun yang mau dinikahi dengan pria berumur 35 tahun yang sudah pernah menikah sebelumnya? Lain kalau gadis itu tipe perempuan matrealistis dan Rendra yakin, Nadia bukan tipe perempuan seperti itu. Dan saat itu, Rendra memil
Author POV Bila hakim telah mengetuk palu, maka keputusan sudah mutlak, tak bisa diganggu gugat oleh siapapun. Sama halnya dengan keputusan Jerry Andrean yang memutuskan untuk Family Gathering di Malaysia. Keputusan yang tak akan bisa dibantah dan ditolak oleh siapapun di perusahaannya. Apalagi Rendra yang jabatannya jauh dibawah Jerry. Keputusan itu Jerry umumkan berdasarkan hasil voting seluruh karyawan kantor yang kebanyakan memilih Malaysia sebagai destinasi dibanding Bali. Dari 100% hasil suara, hanya 19,5% yang memilih Bali. Apalagi perjalanan wisata ini mutlak semua biaya yang menanggung adalah perusahaan, kecuali budget oleh-oleh, paspor, visa, dan uang saku. Tentu saja mereka semua rata-rata memilih negara yang memiliki Menara Kembar tersebut. Hari Jum'at pekan ini mereka berangkat. Dan diantara semua wajah bahagia itu, hanya Rendra yang bermuram durja dengan keputusa
"Mau ke mana, Rena?"Gadis manis berusia 15 tahun itu langsung menoleh saat ayahnya bertanya dari teras. Aroma menyedapkan dari dapur, sempat menyapa indra penciumannya. Selesai memakai sepatu, gadis manis bernama lengkap Renata Eka Hardhani itu langsung saja menghampiri ayahnya."Mau ke rumahnya Bella, Pa.""Kemarin ke rumahnya Bella, sekarang juga ke rumahnya Bella. Memang di rumahnya Bella ada apa, sih? Tom Cruise?" tanya Rendra penasaran karena hampir setiap hari, anak gadisnya ini pergi ke rumah sahabatnya sejak SD. Diledek seperti itu, Rena hanya tersenyum tipis dan duduk di sebelah ayahnya. Tangannya tak tinggal diam karena gorengan bakwan ibunya terlalu menggoda untuk dilewatkan. "Di rumah udah ada Joe Taslim, ngapain ngeliat Tom Cruise lagi?"Rena berharap ayahnya akan terkekeh dengan candaannya, namun ternyata tidak. Rendra hanya menatapnya dengan tatapan tajam setajam elang. Rena kemudian teringat pesan ibunya yang mengatakan bahwa Rendra akan sedingin cuaca di antartika s
Jika dinikmati, waktu rasanya begitu cepat berlalu. Semuanya mengalir begitu cepat, namun peristiwa yang dialami, akan membekas sepanjang waktu. Tak terasa, enam bulan berlalu. Rena, anak putri semata wayangnya Rendra dan juga Nadia, kini sudah berumur 1 tahun. Sudah bisa menyebut "Mama" walau masih terbata-bata. Membuat Rendra terkadang gemas sendiri karena Rena masih belum bisa menyebut kata "Papa"."Mas?"Nadia menyapa saat Rendra mematung di depan cermin. Sudah hampir 10 menit lamanya Rendra mematung di sana, memperhatikan dirinya yang hari ini jauh lebih menawan dari hari biasanya. Setelan tuxedo yang Nadia belikan kemarin, sengaja ia pakai hari ini, hari yang mungkin akan membekas di seumur hidupnya. "Kamu bakalan kangen pasti pake jas-jas begini, gaya-gaya kantoran kayak gini."Kedua tangan Nadia, kini melingkar di perut Rendra. Wangi maskulin yang selalu membuat Nadia mabuk kepayang sejak pertama kali mereka bertatap muka, langsung saja menyapa indra penciuman Nadia yang sem
Karena Rendra yang masih belum bisa menyembunyikan rasa kecewa dan kesalnya, jadilah Nadia yang menyetir. Sebelum pulang, mereka harus menjemput Rena dulu yang mereka titipkan pada Acha. "Mas, udah dulu cemberutnya. Mau ketemu anak, mukanya jangan asem-asem."Rendra tak menjawab. Ini rasa kecewa terbesar yang ia alami selama hidupnya. Fahri telah membuatnya berprasangka buruk pada Syifa selama bertahun-tahun. "Mas nggak nyangka, Nadia. Tujuan dia nggak mau liat kakaknya menderita, tapi kenyataannya, dia yang semakin membuat kakaknya menderita. "Rasa penasaran itu kini telah terjawab di waktu yang tidak tepat. Masih teringat jelas betapa kecewanya wajah mantan mertuanya saat Fahri membongkar semuanya secara mendadak. Tak lama, mereka pun sampai di rumah Acha. Karena kondisi yang tak memungkinkan untuk berlama-lama, maka setelah berpamitan dengan Acha pun, Nadia langsung membawa anak dan suaminya pulang. Nadia ingin menyelesaikan dan membicarakan hal ini di rumah. "Biar Mas yang m
"Sampai kapan Akak nak macam ni? Akak mengandung anak dari seorang yang tak Akak cinta?"Emosi Fahri kala itu semakin menjadi ketika ia mendengar kabar kehamilan Syifa. Fahri dibuat bingung. Pasalnya, Syifa pernah berkata bahwa dirinya dan Rendra tak saling mencintai, dan untuk saling menyentuh, itu pun jarang sekali kecuali dalam keadaan terpaksa. Tentu saja Fahri dibuat terkejut dengan kehamilan ini. "Kak, janganlah Akak buat Fahri sakit kepala. Akak kate, Akak dan Bang Rendra tak pernah saling sentuh satu sama lain. Ha, cemana pula sekarang ni Fahri dengar bahwa Akak tengah pregnant? Akak gurau, keu?"Yang Fahri tak tahu, bahwa sekitar satu bulan yang lalu, di saat Syifa sedang berada dalam masa suburnya, Yuni memasukkan obat perang*** ke dalam minuman Rendra dan juga Syifa. Yuni nekat berbuat seperti itu karena tak melihat progress apa pun dalam hubungan keduanya. "Soal tu, kau tak payah tahu, Fahri. Yang jelas sekarang ni, Akak bahagia sangat karena Akak nak jadi seorang ibu. S
Rendra benar-benar dibuat terkejut oleh pernyataan Syifa yang terkesan seperti menyudutkan dan menyalahkan itu. Ingin marah, namun Rendra kembali teringat dan belajar dari kesalahan di masa lalu bahwa kemarahan tak akan menyelesaikan apa pun selain memperburuk keadaan. Dan dengan menarik napas dalam-dalam dan juga berusaha mengendalikan emosinya, Rendra pun menjawab pernyataan Syifa dengan nada selembut mungkin. "Ya, bukannya gitu, Syifa. Gue bukan nggak anggep lo. Tapi ... pas Mama meninggal, keadaan di sini juga lagi kacau. Bahkan keluarga kita sendiri pun juga nggak sempet kita kabarin karena saking kalutnya."Bagai menjelaskan pada anak kecil, Rendra pun menceritakan secara detail agar Syifa bisa langsung memahami. Dirinya juga pernah merasakan bagaimana keadaan mental seseorang selama sakit. Itu sebabnya Rendra bisa memahami bagaimana sensitifnya perasaan Syifa saat ini. "Dahlah tu, Kak. Jangan marah-marah macam ni, ye? Takde salah siapapun kat sini."Fahri ikut berusaha menen
Sembari menjaga Rena bermain, kedua mata Rendra juga ikut mengamati Nadia yang sedang sibuk memasak di dapur. Rendra perhatikan istrinya itu lekat-lekat sembari ia juga bertanya, entah terbuat dari apa hati istrinya itu hingga bisa setulus ini. "Rena, mainannya nggak boleh dimasukin ke mulut, Sayang."Ocehan kecil Rendra, membuat perhatian Nadia teralih sebentar, lalu sesaat kemudian, ia tersenyum kecil. Masakan sederhana, sebentar lagi akan matang dan siap disajikan di meja makan untuk menyambut kedatangan Syifa dan Fahri yang akan datang malam ini. "Udah siap, Nadia?""Bentar lagi, Mas."Dengan susah payah untuk berdiri lalu memasukkan Rena ke baby walker karena kakinya yang masih terasa sedikit ngilu, akhirnya Rendra pun berhasil lalu ikut membawa Rena untuk menemui Nadia. Nadia yang menyadari kehadiran Rendra pun, sempat heran dan bertanya-tanya kenapa suaminya memandangnya dengan tatapan sendu saat ini. "Kenapa, Mas? Mau mandi?"Tak ada jawaban, baik berupa suara, maupun gera
"Pelan-pelan aja, Mas."Rendra mengangguk ketika Nadia mewanti-wanti dirinya agar melangkah lebih perlahan-lahan. Setiap hari, memang seperti ini rutinitasnya setelah terkena penyakit stroke, satu bulan yang lalu. Melatih otot-otot kakinya dengan berjalan kecil di taman belakang rumah, lumayan membantu proses pemulihan. Syukurnya, Allah masih beri kesempatan Rendra untuk sembuh dan kesempatan hidup setelah ia jatuh tak sadarkan diri di kamar mandi waktu itu. Tak bisa Nadia bayangkan jika ia harus kehilangan suaminya di waktu yang singkat setelah kematian Yuni. "Alhamdulillah, Mas udah mulai lancar jalannya. Udah nggak terlalu keliatan banget pincangnya," ujar Nadia setelah mendudukkan suaminya di kursi. Rendra memang masih belum sanggup untuk lama-lama berjalan. Paling lama hanya sekitar 15 menit saja. "Iya, Sayang. Alhamdulillah. Mudah-mudahan aja bisa lebih cepet lagi biar Mas bisa kerja lagi. Serasa makan gaji buta suamimu ini jadinya."Rasa-rasanya, Rendra harus banyak bersyuku
Walau rasanya raga tak lagi kuat untuk sekedar berdiri, namun Rendra tetap menjalankan kewajiban terakhirnya sebagai seorang anak laki-laki dengan ikut masuk ke liang lahat dan memasukkan jenazah Yuni. Air mata tak henti-hentinya mengalir dari matanya, begitu juga dengan Regi dan Reza. Kini, mereka telah kehilangan cahaya hidup. Tanpa meninggalkan tanda apa pun, Yuni pergi untuk selamanya."Ma, kenapa pergi? Eka baru aja mau resign dari kerjaan dan nemenin Mama di Aceh. Tapi kenapa sekarang Mama malah pergi?"Ketika tubuh kaku Yuni mulai ditimbun tanah, pertanyaan itu terlontar sendiri, menggema di relung hati Regi. Si sulung ini begitu tak percaya bahwa tahun ini ia akan kehilangan ibunya. Padahal, banyak rencana yang ia ingin wujudkan dengan ibunya."Mama, katanya mau liat Dwi nikah. Dwi udah nemu calon menantu Mama dan Dwi udah ada niat buat kenalin dia sama Mama. Tapi, Mama kok udah pergi aja? Hati Dwi hancur, Ma. Rasa sedih karena kehilangan Pap
Rumah besar itu mulai ramai. Sebagai menantu, Nadia menyambut kedatangan orang-orang di pintu rumahnya. Orang-orang itu menyampaikan kalimat yang sama.Turut berduka cita.Ya. Yuni telah meninggalkan mereka semua, sembilan jam yang lalu. Pembuluh darah yang pecah, membuat pihak rumah sakit tak bisa menyelamatkannya. Tak ada yang bisa dilakukan selain menangis dengan hati yang hancur. Seorang perempuan yang telah melahirkan dan membesarkan mereka itu, kini telah meninggalkan dunia ini."Makasih banyak ya, Bu.""Sama-sama. Yang sabar ya, Nadia. Semua cobaan ini, Allah kasih buat nguatin kalian semua. Kematian udah jadi takdirnya Allah."Nadia hanya mengangguk kecil. Memang betul apa yang dinasihati tetangganya itu tapi, tak mudah untuk dilakukannya sekarang. Rasa terkejut, syok karena tiba-tiba dikejutkan oleh kepergian yang mendadak, membuat ketiga anak-anak dan menantu Yuni, belum bisa untuk berpikir jernih.Terutama Rendra