Senyuman Rendra mengembang lagi setelah dua hari belakangan ia bermuram durja.
Semangatnya seolah ter-charge lagi saat mendengar sesuatu yang menyenangkan pagi ini.
"Bukan, pak. Dia teman saya. Lagi pula dia sudah punya tunangan, kok."
Itulah yang dijawab Nadia saat Rendra menanyakan siapa laki-laki yang pulang dengan gadis itu tempo hari. Karena didorong rasa cemburu yang amat sangat, Rendra pun memberanikan diri untuk menanyakannya langsung saat mendapati Nadia diantar laki-laki itu lagi pagi tadi.
Untunglah jawabannya membahagiakan, menyenangkan hatinya.
Semangat itu bersemi lagi. Semangat untuk mendapatkan perhatian gadis berusia 20 tahun itu. Karena beberapa hari belakangan Rendra berpikir, ia tak mungkin semati-matian itu berusaha untuk memasukkan Nadia untuk bekerja disini kalau tidak punya perasaan lebih pada gadis itu.
Dan kini di ruangan kerjanya yang sudah hampir lima tahun ini ia huni, Rendra tengah berpikir keras bagaimana caranya agar bisa lebih dekat lagi dengan Nadia.
"Permisi Pak Ren? Mau sarapan apa?"
Gugun, si OB yang sangat akrab dengan para karyawan termasuk Rendra. Bahkan Gugun terbiasa tidak mengetuk pintu lebih dulu kalau ingin masuk ke ruangan Rendra saking akrabnya. Terkadang, Rendra marah dengan ketidaksopanan Gugun. Tapi karena hari ini sedang bahagia, Rendra tak ambil pusing.
"Nasi uduk ya sama teh manis."
"Asyiiaapp, pak."
"Eh Gun, belinya dua ya."
Gugun mengernyit."Bapak laper?"
"Bukan buat saya!"
"Terus?"
Rendra menyuruh Gugun untuk mendekat kemudian membisikkan sesuatu. Mendengar itu, Gugun tersenyum jahil.
"Akhirnya ada juga perempuan di kantor ini yang buat bapak tertarik."
Selesai menuliskan sesuatu di secarik kertas, Rendra pun memberikannya pada Gugun sekaligus menyelipkan uang lima puluh ribu.
"Inget, jangan sampe ada yang tau! Awas aja kamu kalo sampe bocor!"
Gugun auto memberi hormat."Siap, Pak!"
Setelah Gugun keluar dari ruangannya, Rendra kembali senyum-senyum sendiri. Semoga saja langkah pertamanya ini berjalan sesuai dengan apa yang diharapkannya.
♥♥♥
"Lo manusia apa kambing, Cha?"
Acha tak tertarik untuk merespon ejekan Nadia pada kotak bekal sarapannya yang berisi salad segar.
"Awas aja lo minta!"
Nadia mencibir.
"Ogah gue mah makanan isinya daun-daun begitu."
"Pantes aja lo bulet!" ejek Acha balik sembari melahap saladnya.
"Bulet-bulet gini manis ya," balas Nadia tak mau kalah sembari tersenyum memamerkan lesung pipitnya yang ada di pipi kiri.
Kehadiran Gugun di bilik kerja mereka membuat Acha dan Nadia berhenti bertengkar.
"Saya nggak ada nitip apa-apa lho, Mas Gun," ucap Acha dan Nadia pun mengiakan.
"Memang, tapi ..." Gugun menaruh sebungkus nasi uduk dan segelas teh manis hangat di meja Nadia. "ada yang beliin Mbak Nadia nasi uduk buat sarapan."
Nadia langsung kebingungan.
"Eh, dari siapa Mas?"
Gugun tersenyum kemudian berlalu."Saya nggak boleh ngasih tau sama orangnya , Mbak Nad."
Nadia memandang ragu pada sebungkus nasi uduk dan segelas teh manis hangat yang ada di hadapannya saat ini. Tak kalah bingung, Acha pun begitu. Ia langsung mendekat dan melihat ada tulisan yang tertempel di bungkus nasi uduk itu.
"Ada sarapan nasi uduk dan segelas teh manis anget buat kamu yang senyumannya juga manis. Selamat sarapan, ya!
Jangan takut, ini gak ada racunnya kok:)Dimakan ya, kalo enggak, saya marah.:)"Acha yang ikut membaca tulisan tersebut langsung tertawa lebar.
"Gila gombalannya, buset!"
Nadia menggaruk-garuk kepalanya. Bingung siapa yang berbaik hati mengirimkan sarapan untuknya dan tulisan gombal itu. Ia sampai membaca secarik kertas itu berulang kali saking terkejutnya.
"Baru tiga hari kerja udah ada aja yang nge-fans sama lo, Nad!"
Nadia tersenyum kecil sembari menebak-nebak dalam hatinya.
♥♥♥
Nadia ingin mengeluh tapi ia ingat pesan almarhum papanya untuk selalu bersyukur apa pun yang terjadi.
Nadia berusaha untuk tidak mengumpat saat dengan derasnya hujan mengguyur ibukota sore ini tepat disaat ia akan keluar kantor untuk mencari ojek online.
Ban motornya tiba-tiba bocor tadi pagi saat ia hendak berangkat. Ia pun meminta Agung untuk menjemputnya untuk berangkat ke kantor daripada membawa motornya ke bengkel karena ia sudah hampir telat.
Dan Alhamdulillah nya lagi sore ini, ponselnya mati kehabisan batrai dan Acha sudah pulang lima belas menit yang lalu dengan Danu.
Nadia kebingungan sendiri. Kantor sudah mulai sepi karena sudah hampir maghrib. Hanya ada Santo si sekuriti yang sedang terlelap di posnya.
"Gimana gue pulang nya ya?"
Nadia terus memutar otak hingga sampai pada akhirnya jantungnya kelimpungan saat mendengar suara seseorang.
"Nadia?"
Nadia memutar tubuhnya dan tersenyum
"Eh, Pak Rendra."
"Kok belum pulang? Saya kira kamu sudah pulang dari tadi."
"Hehehe. Iya nih, Pak. Mau naik angkot, hujan. Mau mesen ojol, hape saya mati," jelasnya kikuk.
"Ya udah pulang sama saya aja."
Sip.
Hati Nadia berdebar tak karuan dan matanya melebar seketika. Tak menyangka atasannya ini akan mengajaknya pulang bersama. Padahal niat Nadia tadi hanyalah ingin meminjam ponsel Rendra untuk memesan ojol.
"Eh?"
"Udah gak apa-apa. Pulang sama saya aja. Daripada kamu lama nunggu disini, hujannya kayaknya lama nih berhentinya."
Nadia tersenyum kikuk namun tak punya pilihan lain. Dia pun mengikuti langkah Rendra yang berjalan menuju basement.
"Rumah kamu dimana, Nadia? "
Demi Allah yang Maha menguasai alam semesta, Nadia begitu kikuk saat ini. Berdua saja dengan HRD ganteng di dalam mobil seperti ini tentu membuatnya salah tingkah. Semoga saja tak ada pegawai lain yang melihat mereka. Bisa dipastikan ada gosip negatif yang menyebar di kantor jika ada yang melihat dirinya dengan Rendra.
"Di Cempaka Putih, Pak. "
"Oooh, tapi saya mau ajak kamu makan malam dulu, mau 'kan? Saya laper dan saya yakin kamu juga."
Blushinggggg.
Nadia sendiri tak tahu sudah semerah apa pipinya saat ini. Diajak makan malam dengan Rendra? Atasannya?
Ooohh, benar-benar rahmat dibalik musibah kalau begini caranya.
Terus terang, siapa sih yang tidak terpesona akan Rendra? Karirnya mapan, tampan. Ah, pokoknya idaman wanita. Siapapun akan merasa mendapat durian runtuh jika ada di posisi Nadia sekarang ini.
"Eh, tunggu dulu. Kalo bininya ngeliat gimana? Bisa-bisa gue dituduh pelakor lagi! "
"Eh, Pak, maaf kalau saya lancang. Apa nanti istri bapak tidak ... marah? "
Rendra tertawa lebar hingga matanya yang sipit semakin menyipit.
"Saya masih single, Nadia. Jangan takut."
Dan entah kenapa, jawaban itu membuat hati Nadia senang.
♥♥♥
"Terimakasih Pak, sudah mau mengantar saya pulang dan nraktir saya makan malam," ucap Nadia saat mobil Rendra tepat berada di depan rumahnya yang masih gelap. Tak lupa ia melontarkan senyuman tulusnya yang diam-diam membuat Rendra jatuh hati.
"Sama-sama. Lain kali kalau butuh bantuan, jangan sungkan bilang sama saya. Sebisanya saya bantu."
Sebuah kalimat yang membuat Nadia semakin bertanya-tanya ada apa dengan atasannya ini. Rasa pedulinya berbeda dengan rasa peduli biasa terhadap bawahannya.
"Terima kasih banyak, Pak. Semoga bapak dimurahkan rejekinya sama Allah."
"Aamiin." Pandangan Rendra kemudian fokus ke arah rumah Nadia. "Di rumah sebesar itu kamu tinggal sendiri? "
"Mau bagaimana lagi, Pak? Sudah nasib saya."
Rendra merasa iba saat Nadia menjawab pertanyaannya dengan anggukan dan raut wajah sedih.
"Andai kamu bisa jadi milik saya, kamu nggak akan tinggal sendiri lagi, Nadia."
Ucapan itu hanya berani di ucapkan Rendra dalam hati. Hanya dalam waktu kurang dari seminggu, gadis manis ini telah membuatnya jatuh hati.
Bahkan perasaan Rendra semakin menjadi-jadi saat Nadia memberi makan kucing jalanan kurus saat mereka makan tadi. Nadia bahkan memberikan separuh porsi nya untuk kucing tadi.
Sebuah tindakan simple yang mungkin terlihat biasa saja di mata orang lain tapi tidak di mata Rendra. Tindakan Nadia tadi benar-benar tulus tanpa pura-pura. Ia suka orang yang menyayangi kucing seperti yang Nadia lakukan tadi, terutama kucing-kucing jalanan.
"Ya sudah, kamu masuk sana. Sudah malam. Istirahat yang cukup biar besok gak telat masuk kantor."
"Siap, Pak. Sekali lagi terima kasih atas kebaikan bapak. Saya masuk dulu. Assalamualaikum. "
"Wa'alaikumsalam. "
Ternyata benar, attitude yang baik lebih bisa membuat orang jatuh hati daripada fisik yang sempurna.
Nadia buktinya.
Gadis itu memang tak secantik para pegawai perempuan yang ada di kantor. Nadia cantik dengan apa yang ada di dirinya. Tapi Nadia dan senyum manisnya bisa membuat Rendra jatuh cinta secepat ini.
Dan sekarang Rendra hanya bisa berharap semoga semesta merestui perasaannya.
Selepas salat subuh, Nadia yang biasanya tidur lagi tapi kali ini langsung buru-buru mandi. Gadis manis itu rindu papanya. Nadia ingin datang ke makam untuk sekedar menyapa dan menabur bunga kesukaan papanya. Terkadang di saat sunyinya malam mulai datang, Nadia meneteskan air matanya. Rindu ini berat sekali untuk ia tahan. Agung bilang, wajar, baru satu bulan lebih. Sakit atas rasa kehilangannya masih terasa. Tapi Nadia berani bertaruh kalau rindu pada papanya akan menghantuinya selamanya. Selang beberapa menit, ia sampai di pemakaman yang tak jauh dari daerah rumahnya. "Assalamualaikum, Papa." Segera Nadia meletakkan buket bunga melati itu di atas makam. Jemarinya kemudian mengusap batu nisan yang baru saja diganti dua minggu lalu. Dinginnya udara menjelang matahari terbit seperti ini tak Nadia gubris. Perhatiannya kini tertuju seluruhnya pada makam sang papa, cinta pertamanya
Rendra POV Udah satu minggu lebih Nadia ada di kantor itu dan kemajuan gue ngedeketin dia cuma gerak dikit. Itupun cuma sebatas ngirimin sarapan misterius doang sama ngajak makan malem. Itupun modus nganterin dia pulang. Malu gue sebenernya. Umur udah 35 tahun tapi cara ngedeketin cewek aja masih minim. Soalnya gini, gue dari dulu terbiasa ama cewek yang ngedeketin atau ngegoda gue, bukannya dorongan dari gue sendiri. Ya jadi wajar 'kan kalau sekarang gue begini? Ngedeketin cewek umuran Nadia aja gue gemeter. Dan sekarang, ini gue malu banget ngasih tau ke kalian. Percaya nggak kalau sekarang gue lagi minta saran Reza gimana caranya ngedeketin Nadia? Percaya nggak percaya kalian harus percaya. Buktinya ini sekarang gue lagi sama Reza di kamar gue sambil sesekali gue cek obrolan tentang rencana gathering di grup W******p kantor yang isinya gue dan staf petinggi-petinggi kantor. "Heran gue lo
Nadia POV Malem minggu. Hari dimana anak muda keliaran nggak tau arah, ketawa ngakak-ngikik nggak inget mati, pada keluar dari sarangnya. Atau tipe yang kayak gue yang kalo keluar di malem minggu itu karena emang ada yang ngajak dan kebetulan lagi gabut. Contohnya kali ini. Gue itu paling males ama yang namanya malem mingguan. Jaman pacaran sama Agung aja dulu ogah banget gue diajak dia saturday night nggak jelas begitu. Apaan. Kalo mau nge-date 'kan bisa di hari yang lain, nggak cuma malem minggu doang. Mungkin itu juga penyebab kenapa Agung sama gue itu putus dulu. Agung anaknya blingsatan, aktif kayak dede bayi dalem perut. Sementara gue kaku, pendiem, nggak banyak omong. Bagus deh tuh anak sama Ros sekarang. Cocok, sefrekuensi, sepemahaman. Dan malem ini karena gue gabut dan nggak tau mau ngapain, gue iyain ajakan Acha
Nadia POV "Ih, lo makhluk hidup apa bukan sih, Nad?? Masa nggak peka terhadap rangsangan.. eh, maksud gue, nggak peka sama keadaan sekitar. Dari ekspresi Pak Rendra semalem jelas banget tau nggak kalo dia tuh naksir elu." Sumpah demi apa, gue kepikiran ama omongan Acha pas kami mau pulang semalem. Ya Allah, masa sih Pak Rendra naksir gue? Dia ganteng, dewasa gitu masa demen ama gue yang masih bocil belum banyak pengalaman hidup gini??? Ceburin aja Acha ke Bengawan Solo! Dan karena kata-katanya dia itu, gue jadi gemeter mau pergi ke kantor pagi ini. Gila, cepet banget sih udah hari Senin aja. Perasaan baru kemaren malem minggu.Eh tapi, kalo gue nggak ke kantor, alamat bakalan kena SP. Ergghh, Acha sialan! Danu lagi, pake segala ngajak Pak Rendra buat gabung. Kalo nggak gitu 'kan nggak bakalan gini kejadian
"Emang ciri-ciri perempuan kalo udah pengen nikah apaan, Za? " Reza memandang adiknya tak paham. Kuno sekali adiknya ini. Sudah tua, tapi urusan perempuan masih nol besar. Tapi kalau urusan pekerjaan saja, nomor wahid berkuasanya. Tadi, Reza iseng masuk ke kamar Rendra saat anak itu sedang telponan dengan Nadia. Persis remaja labil yang baru mengenal cinta. Reza yang melihat itupun kontan mengejek Rendra dengan sebutan "tua-tua bocil". "Pertama ... " Rendra tersenyum antusias dan langsung melompat ke atas kasur."Apaan? " "Beliin gue mekdi dulu, gih. Komplit." Rendra yang tadinya antusias mendadak berwajah masam. "Udah bengkak masih aja makan pikiran lo! " "Ngasih saran ke lo tuh butuh tenaga, adik kecil! Buru! Gue laper!" Terpaksa Rendra menuruti. Pasalnya, abangnya itu saran percintaannya selalu berhasil. Apa-apa
Nadia POV Empat bulan berlalu. Di umur yang baru 20 tahun, 3 bulan, dan 45 hari, gue udah jadi ibu rumah tangga sejak dinikahin sama Mas Rendra empat bulan yang lalu. Gue nggak pernah nyangka bakal nikah di umur yang masih terbilang muda kayak sekarang. Apalagi nikah sama laki-laki yang umurnya beda lima belas tahun sama gue. Hubungan gue sama Mas Rendra itu kayak kereta super cepat yang ada di Jepang tau, nggak? Bayangin aja. Kenal di kantor baru seminggu dia udah nembak gue dan kita pun jadian. Dan baru pacaran dua minggu, Mas Rendra udah ngajak gue nikah. Dan satu setengah bulan setelahnya, kita pun resmi jadi suami istri. Gue pribadi sih sebenernya sah-sah aja ya ngejalanin hubungan ekspres kayak gini. Ya gue juga mikirnya, kalau cinta ngapain lama-lama 'kan? Apalagi gue bisa liat Mas Rendra itu udah mapan ekonominya. Plus, Mas Rendra juga udah dewasa yang bisa gue liat dari segi u
"Mas temenin ya, Nadia?" Nadia menggeleng. Suaminya ini terkadang keras kepala sekali. Sudah berapa kali Nadia menggeleng, menolak permintaannya sejak tadi. Tapi ia masih saja memaksa. "Temenin gimana? Jadi Mas batal pergi ke Bogor, terus dimarahin Pak Jerry cuma gara-gara mau temenin aku cari bahan buat usaha? Mas udah bosen kerja disana? Mas mau di pecat? Terus kita makan apa, kakanda?" Nadia itu memang jarang ngomong, tapi sekalinya dia ngomong, bisa sepanjang rel kereta api jurusan Cikampek-Tokyo. Panjang sekali. "Lagian itu Pak Jerry demen banget sih nyuruh Mas masuk weekend begini." "Lah 'kan biasanya juga begitu Mas?? Kenapa sekarang Mas ngeluh?" "Ya 'kan dulu sebelum Mas nikah, bebas mau pergi kapan aja, Mama pun jarang di rumah, jadinya Mas nggak khawatir mau ninggalin. Ini sekarang Mas udah ada tanggung jawab, kamu. Mana kamu lagi hamil."
Rendra terdiam di atas tempat tidurnya. Masih dalam keadaan belum mengganti pakaiannya sama sekali. Hatinya gusar. Sebuah kebohongan yang ia katakan pada istrinya sebelum mereka menikah dulu, terbayang kembali. "Mas belum pernah nikah sama sekali?" Nadia melontarkan pertanyaan itu yang langsung membuat Rendra terdiam seribu bahasa. Jika ia jujur, pasti Nadia akan langsung membatalkan pernikahan mereka. Siapa sih, seorang gadis berusia 20 tahun yang mau dinikahi dengan pria berumur 35 tahun yang sudah pernah menikah sebelumnya? Lain kalau gadis itu tipe perempuan matrealistis dan Rendra yakin, Nadia bukan tipe perempuan seperti itu. Dan saat itu, Rendra memil
"Mau ke mana, Rena?"Gadis manis berusia 15 tahun itu langsung menoleh saat ayahnya bertanya dari teras. Aroma menyedapkan dari dapur, sempat menyapa indra penciumannya. Selesai memakai sepatu, gadis manis bernama lengkap Renata Eka Hardhani itu langsung saja menghampiri ayahnya."Mau ke rumahnya Bella, Pa.""Kemarin ke rumahnya Bella, sekarang juga ke rumahnya Bella. Memang di rumahnya Bella ada apa, sih? Tom Cruise?" tanya Rendra penasaran karena hampir setiap hari, anak gadisnya ini pergi ke rumah sahabatnya sejak SD. Diledek seperti itu, Rena hanya tersenyum tipis dan duduk di sebelah ayahnya. Tangannya tak tinggal diam karena gorengan bakwan ibunya terlalu menggoda untuk dilewatkan. "Di rumah udah ada Joe Taslim, ngapain ngeliat Tom Cruise lagi?"Rena berharap ayahnya akan terkekeh dengan candaannya, namun ternyata tidak. Rendra hanya menatapnya dengan tatapan tajam setajam elang. Rena kemudian teringat pesan ibunya yang mengatakan bahwa Rendra akan sedingin cuaca di antartika s
Jika dinikmati, waktu rasanya begitu cepat berlalu. Semuanya mengalir begitu cepat, namun peristiwa yang dialami, akan membekas sepanjang waktu. Tak terasa, enam bulan berlalu. Rena, anak putri semata wayangnya Rendra dan juga Nadia, kini sudah berumur 1 tahun. Sudah bisa menyebut "Mama" walau masih terbata-bata. Membuat Rendra terkadang gemas sendiri karena Rena masih belum bisa menyebut kata "Papa"."Mas?"Nadia menyapa saat Rendra mematung di depan cermin. Sudah hampir 10 menit lamanya Rendra mematung di sana, memperhatikan dirinya yang hari ini jauh lebih menawan dari hari biasanya. Setelan tuxedo yang Nadia belikan kemarin, sengaja ia pakai hari ini, hari yang mungkin akan membekas di seumur hidupnya. "Kamu bakalan kangen pasti pake jas-jas begini, gaya-gaya kantoran kayak gini."Kedua tangan Nadia, kini melingkar di perut Rendra. Wangi maskulin yang selalu membuat Nadia mabuk kepayang sejak pertama kali mereka bertatap muka, langsung saja menyapa indra penciuman Nadia yang sem
Karena Rendra yang masih belum bisa menyembunyikan rasa kecewa dan kesalnya, jadilah Nadia yang menyetir. Sebelum pulang, mereka harus menjemput Rena dulu yang mereka titipkan pada Acha. "Mas, udah dulu cemberutnya. Mau ketemu anak, mukanya jangan asem-asem."Rendra tak menjawab. Ini rasa kecewa terbesar yang ia alami selama hidupnya. Fahri telah membuatnya berprasangka buruk pada Syifa selama bertahun-tahun. "Mas nggak nyangka, Nadia. Tujuan dia nggak mau liat kakaknya menderita, tapi kenyataannya, dia yang semakin membuat kakaknya menderita. "Rasa penasaran itu kini telah terjawab di waktu yang tidak tepat. Masih teringat jelas betapa kecewanya wajah mantan mertuanya saat Fahri membongkar semuanya secara mendadak. Tak lama, mereka pun sampai di rumah Acha. Karena kondisi yang tak memungkinkan untuk berlama-lama, maka setelah berpamitan dengan Acha pun, Nadia langsung membawa anak dan suaminya pulang. Nadia ingin menyelesaikan dan membicarakan hal ini di rumah. "Biar Mas yang m
"Sampai kapan Akak nak macam ni? Akak mengandung anak dari seorang yang tak Akak cinta?"Emosi Fahri kala itu semakin menjadi ketika ia mendengar kabar kehamilan Syifa. Fahri dibuat bingung. Pasalnya, Syifa pernah berkata bahwa dirinya dan Rendra tak saling mencintai, dan untuk saling menyentuh, itu pun jarang sekali kecuali dalam keadaan terpaksa. Tentu saja Fahri dibuat terkejut dengan kehamilan ini. "Kak, janganlah Akak buat Fahri sakit kepala. Akak kate, Akak dan Bang Rendra tak pernah saling sentuh satu sama lain. Ha, cemana pula sekarang ni Fahri dengar bahwa Akak tengah pregnant? Akak gurau, keu?"Yang Fahri tak tahu, bahwa sekitar satu bulan yang lalu, di saat Syifa sedang berada dalam masa suburnya, Yuni memasukkan obat perang*** ke dalam minuman Rendra dan juga Syifa. Yuni nekat berbuat seperti itu karena tak melihat progress apa pun dalam hubungan keduanya. "Soal tu, kau tak payah tahu, Fahri. Yang jelas sekarang ni, Akak bahagia sangat karena Akak nak jadi seorang ibu. S
Rendra benar-benar dibuat terkejut oleh pernyataan Syifa yang terkesan seperti menyudutkan dan menyalahkan itu. Ingin marah, namun Rendra kembali teringat dan belajar dari kesalahan di masa lalu bahwa kemarahan tak akan menyelesaikan apa pun selain memperburuk keadaan. Dan dengan menarik napas dalam-dalam dan juga berusaha mengendalikan emosinya, Rendra pun menjawab pernyataan Syifa dengan nada selembut mungkin. "Ya, bukannya gitu, Syifa. Gue bukan nggak anggep lo. Tapi ... pas Mama meninggal, keadaan di sini juga lagi kacau. Bahkan keluarga kita sendiri pun juga nggak sempet kita kabarin karena saking kalutnya."Bagai menjelaskan pada anak kecil, Rendra pun menceritakan secara detail agar Syifa bisa langsung memahami. Dirinya juga pernah merasakan bagaimana keadaan mental seseorang selama sakit. Itu sebabnya Rendra bisa memahami bagaimana sensitifnya perasaan Syifa saat ini. "Dahlah tu, Kak. Jangan marah-marah macam ni, ye? Takde salah siapapun kat sini."Fahri ikut berusaha menen
Sembari menjaga Rena bermain, kedua mata Rendra juga ikut mengamati Nadia yang sedang sibuk memasak di dapur. Rendra perhatikan istrinya itu lekat-lekat sembari ia juga bertanya, entah terbuat dari apa hati istrinya itu hingga bisa setulus ini. "Rena, mainannya nggak boleh dimasukin ke mulut, Sayang."Ocehan kecil Rendra, membuat perhatian Nadia teralih sebentar, lalu sesaat kemudian, ia tersenyum kecil. Masakan sederhana, sebentar lagi akan matang dan siap disajikan di meja makan untuk menyambut kedatangan Syifa dan Fahri yang akan datang malam ini. "Udah siap, Nadia?""Bentar lagi, Mas."Dengan susah payah untuk berdiri lalu memasukkan Rena ke baby walker karena kakinya yang masih terasa sedikit ngilu, akhirnya Rendra pun berhasil lalu ikut membawa Rena untuk menemui Nadia. Nadia yang menyadari kehadiran Rendra pun, sempat heran dan bertanya-tanya kenapa suaminya memandangnya dengan tatapan sendu saat ini. "Kenapa, Mas? Mau mandi?"Tak ada jawaban, baik berupa suara, maupun gera
"Pelan-pelan aja, Mas."Rendra mengangguk ketika Nadia mewanti-wanti dirinya agar melangkah lebih perlahan-lahan. Setiap hari, memang seperti ini rutinitasnya setelah terkena penyakit stroke, satu bulan yang lalu. Melatih otot-otot kakinya dengan berjalan kecil di taman belakang rumah, lumayan membantu proses pemulihan. Syukurnya, Allah masih beri kesempatan Rendra untuk sembuh dan kesempatan hidup setelah ia jatuh tak sadarkan diri di kamar mandi waktu itu. Tak bisa Nadia bayangkan jika ia harus kehilangan suaminya di waktu yang singkat setelah kematian Yuni. "Alhamdulillah, Mas udah mulai lancar jalannya. Udah nggak terlalu keliatan banget pincangnya," ujar Nadia setelah mendudukkan suaminya di kursi. Rendra memang masih belum sanggup untuk lama-lama berjalan. Paling lama hanya sekitar 15 menit saja. "Iya, Sayang. Alhamdulillah. Mudah-mudahan aja bisa lebih cepet lagi biar Mas bisa kerja lagi. Serasa makan gaji buta suamimu ini jadinya."Rasa-rasanya, Rendra harus banyak bersyuku
Walau rasanya raga tak lagi kuat untuk sekedar berdiri, namun Rendra tetap menjalankan kewajiban terakhirnya sebagai seorang anak laki-laki dengan ikut masuk ke liang lahat dan memasukkan jenazah Yuni. Air mata tak henti-hentinya mengalir dari matanya, begitu juga dengan Regi dan Reza. Kini, mereka telah kehilangan cahaya hidup. Tanpa meninggalkan tanda apa pun, Yuni pergi untuk selamanya."Ma, kenapa pergi? Eka baru aja mau resign dari kerjaan dan nemenin Mama di Aceh. Tapi kenapa sekarang Mama malah pergi?"Ketika tubuh kaku Yuni mulai ditimbun tanah, pertanyaan itu terlontar sendiri, menggema di relung hati Regi. Si sulung ini begitu tak percaya bahwa tahun ini ia akan kehilangan ibunya. Padahal, banyak rencana yang ia ingin wujudkan dengan ibunya."Mama, katanya mau liat Dwi nikah. Dwi udah nemu calon menantu Mama dan Dwi udah ada niat buat kenalin dia sama Mama. Tapi, Mama kok udah pergi aja? Hati Dwi hancur, Ma. Rasa sedih karena kehilangan Pap
Rumah besar itu mulai ramai. Sebagai menantu, Nadia menyambut kedatangan orang-orang di pintu rumahnya. Orang-orang itu menyampaikan kalimat yang sama.Turut berduka cita.Ya. Yuni telah meninggalkan mereka semua, sembilan jam yang lalu. Pembuluh darah yang pecah, membuat pihak rumah sakit tak bisa menyelamatkannya. Tak ada yang bisa dilakukan selain menangis dengan hati yang hancur. Seorang perempuan yang telah melahirkan dan membesarkan mereka itu, kini telah meninggalkan dunia ini."Makasih banyak ya, Bu.""Sama-sama. Yang sabar ya, Nadia. Semua cobaan ini, Allah kasih buat nguatin kalian semua. Kematian udah jadi takdirnya Allah."Nadia hanya mengangguk kecil. Memang betul apa yang dinasihati tetangganya itu tapi, tak mudah untuk dilakukannya sekarang. Rasa terkejut, syok karena tiba-tiba dikejutkan oleh kepergian yang mendadak, membuat ketiga anak-anak dan menantu Yuni, belum bisa untuk berpikir jernih.Terutama Rendra