"Tidak ada orang yang bisa memilih orang tua atau pun memilih lahir di keluarga yang dia inginkan." Seandainya bisa, Awina tidak ingin terlahir sebagai anak Dariah Angelica. Ibunya terkenal sebagai artis minim prestasi dan kaya kontroversi. Awina bahkan sampai menyembunyikan identitasnya karena masyarakat selalu menertawakan dan mencaci setiap aksi yang dilakukan oleh Ibunya itu. Namun, batas kekuatan Awina diuji ketika dirinya dinodai oleh Jevin--artis tampan yang sedang naik daun. Pria ini menganggap Awina "semurahan" ibunya. Lantas, bagaimana kisah Awina selanjutnya? Akankah dia mampu bangkit meski publik mengetahui kebenarannya sebagai Putri sang Artis Kontroversial? Atau ... dia justru berbalik menyerang orang-orang yang mengusik hidupnya?
View More“Kamu tunggu sebentar di sini, Mbak mau tebus obat dulu,” kata Mbak Yani yang menuntunku ke kursi tunggu. Meskipun kata sang bidan bahwa aku sudah bisa pulang dan kondisiku sudah baik-baik saja, dia tetap memberikan beberapa resep obat. Sebagai antisipasi saja, katanya. Aku terburu-buru membuka membuka tote bag, mengambil dompet hitam dan menyodorkannya. “Mbak, bawa ini.” “Nggak usah, pakai uang Mbak saja,” tolak Mbak Yani. “Tapi Mbak…,” belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, Mbak Yani sudah berjalan menjauh. Satu masalah telah selesai. Aku merasa lega. Tapi entah kenapa, selain rasa lapang itu, ternyata ada rasa lain, sedikit rasa bersalah yang tiba-tiba hadir. Padahal tak sepantasnya aku merasakannya. Tiba-tiba aku kepikiran, bagaimanakah bentuknya? Apakah bentuknya segumpal darah seperti artikel yang aku baca, atau bentuk lain? Dan dimanakah para perawat itu menguburkannya? Atau dia tidak dikubur, justru dibuang? “Yuk Win kita pulang,” ajak Mbak Yani yang memegang lenganku
“Mbak,” panggilku sambil mengetuk pintu kamar Mbak Yani. Terdengar suara kaki mendekat sebelum pintu bercat coklat itu terbuka. “Masuk Win,” ucapnya. Kakiku bergerak melewati pintu, kemudian duduk di atas karpet merah yang terletak di tengah-tengah kamar. “Kalau mau makan snack, ambil saja ya Win,” sambungnya sambil wajahnya mengarah ke rak keranjang di dekat pintu yang terdapat berbagai jenis makanan ringan. “Aku sudah mendapatkan uangnya, Mbak,” jelasku to the point. “Berarti kamu tetap memutuskan untuk mengaborsikannya?” Aku mengangguk tanpa ragu. “Besok kamu selesai kuliah jam berapa?” “Hanya ada satu mata kuliah Mbak, di pagi hari.” “Baiklah, besok sore kita berangkat dan kamu minta ganti shift saja dengan karyawan lain.” “Iya Mbak, nanti aku minta tolong Karla untuk menggantikanku.” Mbak Yani sedikit menghembuskan nafas kasar. “Tapi kamu sudah memikirkan matang-matang, kan? Kamu sudah tahu kemungkinan resiko yang akan kamu alami meskipun klinik itu mengatakan aman? Mu
Mataku menatap lekat ke bola mata Mbak Yani, mencari kebohongan di sana. “Mbak akan membantuku?” kataku meyakinkan, takut telinga ini salah menangkap dan Mbak Yani mengangguk tegas. “Tapi kenapa?” tanyaku, masih belum percaya, bagaimanapun aborsi merupakan suatu kejahatan terhadap nyawa seseorang. Mbak Yani sekali lagi memeluk dan mengusap-usap punggungku. “Kalau alasanmu karena suka sama suka, mungkin Mbak nggak akan memperdulikan. Tetapi kondisimu berbeda. Mbak tidak bisa menutup mata begitu saja, apalagi Mbak juga memiliki adik seusiamu, meskipun kami sudah tidak bertemu sejak orang tua kami bercerai. Setiap Mbak melihatmu, Mbak selalu teringat dengannya.” Air mata yang sedikit terhenti, kini kembali mengalir, merasa terharu sekaligus sedikit lega. “Terima Mbak. Terima kasih banyak,” ucapku. 0__ “Win, sudah tidur?” suara dari balik pintu kamar terdengar berbarengan dengan suara ketukan. Aku yang sedang berbaring sambil termenung memandang langit-langit kamar, langsung bangun d
Kelopak mataku perlahan-lahan terbuka, samar-samar terlihat langit-langit berwarna putih. Kepala ini masih sedikit berdenyut dan badanku masih terasa lemas. Dari balik tirai putih yang mengelilingiku, sayup-sayup aku mendengar beberapa suara yang saling bercakap dan salah satunya cukup familiar. “Apakah aku di rumah sakit,” gumamku sambil berusaha bangun, hendak bersandar di kepala kasur. Tirai tiba-tiba terbuka dan menampakkan Mbak Yani yang memasang wajah khawatir. Dia berjalan mendekat sambil berucap, “Bagaimana kondisimu sekarang?” “Masih sedikit pusing dan lemas Mbak,” jawabku dengan memperbaiki posisi dudukku agar lebih nyaman. “Tapi kenapa aku bisa ada di sini Mbak?” “Kamu pingsan di kafe dan Mbak membawamu ke klinik ini.” Siluet kejadian beberapa jam lalu terlintas di benakku, aku tidak ingat apa-apa kecuali mataku yang tiba-tiba berkunang, sebelum akhirnya gelap datang. Aku terhenyak dan kemudian memandang Mbak Yani dengan tatapan was-was. Apa mungkin Mbak Yani sudah tahu
"Mau pesan apa, Win?" tanya Gladis sembari meletakkan tas di atas meja."Mie ayam," jawabku tanpa melihat daftar menu yang tertempel di dinding, persis di tempat dudukku sekarang. Sejak pagi tadi, aku memang ingin makan olahan mie yang dicampur dengan daging ayam semur kecap tersebut. Alhasil setelah materi kuliah siang ini berakhir, aku langsung mengajak Gladis menuju gerobak Pak Mamat. "Sama jus jeruk," sambungku."Tumben pesan mie ayam, biasanya bakso?""Lagi pengen aja," jawabku.Gladis mengangguk paham dan beranjak mendekati gerobak. Sementara aku mulai membuka ponselku dan membuka DM Inst4gr4m, ternyata masih belum dibaca. Setelah berpikir semalaman, akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti salah satu saran Yofi, mencoba meminta pertanggungjawaban Jevin meskipun jauh di lubuk hatiku, aku yakin dia pasti menolaknya. Dia pasti tidak akan mau merusak masa depan karirnya hanya karena kehadiran anak ini. Jevin mungkin akan berpikiran sama, akan menggugurkannya, tapi setidaknya aku tida
“Klinik aborsi?” Mata Yofi terbelalak. “Adik sepupuku hamil diluar nikah,” sambungku. Yofi tampak menghela nafas. “Kamu membuatku kaget, Win. Aku kira kamu yang ingin aborsi, karena dari penampilanmu, kamu terlihat seperti gadis baik-baik. Selama beberapa bulan aku mengenalmu pun, kamu tidak pernah menunjukkan sikap yang buruk.” Aku hanya menunjukkan senyum kecil, sebagai bentuk menghargai atas pujiannya. "Masih lama di sini, Win?" "Nggak kok, ini mau ke kampus." "Yuk, biar aku antar." "Nggak usah Yof, nanti aku pesan Go-Jek saja," tolakku, masih ingin di sini. "Sama aku saja, sekalian aku memang mau lewat di depan fakultasmu." Yofi menyodorkan helm yang tadinya tergantung di pengait di bawah stang. "Nggak apa-apa Yof, aku…," belum aku menyelesaikan kalimatku, Yofi sudah memasang helm hitam itu ke kepalaku dan mengencangkan tali pengaman di bawah dagu. "Ayuk naik!" kata Yofi memaksa. "Apalagi langit sekarang sedang mendung," tambahnya. Dari ekspresi yang aku tunjukkan
Masih ada tiga lagi. Yang kedua itu pasti rusak. Tapi, apa yang aku inginkan tidak kesampaian. Ketiga tespek yang lain menunjukkan hasil yang sama. Ternyata memang ada sesuatu yang tumbuh di tubuhku.“TIDAK! TIDAK!” teriakku sambil melemparkan kelima tespek itu ke lantai. Tangisanku langsung pecah, sesenggukan. Aku juga melempar botol sampo dan sabun yang berada di dekatku, melampiaskan semua kekecewaan. Baru dua jam kemudian aku keluar dari kamar mandi dengan mata sembab dan wajah yang memerah. Aku tidak langsung mengganti pakaian yang basah, justru menghempaskan tubuhku ke atas kasur dan menatap langit-langit. Apa yang harus lakukan sekarang? batinku. Alarm yang berbunyi dari ponselku, memaksa untuk bangun. Aku sudah mengurung cukup lama. Mungkin saja aku bisa menemukan solusinya. Dengan ogah-ogahan, aku mengganti pakaian dengan kemeja dan celana bahan. Kemudian mengambil tas selempang yang digantung di pintu. “Masuk hari ini, Win?” tanya Gladis yang masih dengan piyama. Ditanga
Tubuhku sontak terlonjak hingga bertabrakan dengan Gladis yang berdiri di belakangku."Ga--gapapa, Dis," ucapku tergagap. Gladis menatapku curiga. Bahkan, kini dia ikut menatap penasaran ke dalam laci. “Ada apa sih, Win?” “Ehm… Nggak papa kok, Dis. Serius” Aku dengan cepat mengambil beberapa pack pembalut dan menyerahkannya. Sekali lagi kepala Gladis melongok sebelum akhirnya berkata, “Makasih Win.” “Sama-sama,” jawabku yang mengikuti Gladis menuju pintu kamar. Setelah pintu tertutup, aku buru-buru mengambil ponselku, membuka browser, dan mengetik sesuatu yang membuatku panik ‘Tanda-tanda kehamilan.’ Mataku men-scanning setiap kata yang tertera, kemudian tubuhku terduduk lemas. “Tidak. Tidak mungkin. Aku nggak mungkin hamil,” lirihku. Mataku mulai berkaca-kaca. Pikiranku terus mencoba menyangkal, tapi hati ini seolah berfirasat buruk. “Nggak Win, kamu nggak hamil,” ucapku berusaha menguatkan diri. Jari-jariku dengan kasar mengusap kelopak mata. Aku tidak mungkin hamil. J
"A--ah, iya."“Yofi Mahendra, tapi panggil aja Yofi.” Dia semakin mengulurkan tangannya ke depan. Aku menghela nafas pelan. Aku seharusnya tidak menunjukkan sikap defensif seperti ini. Sekarang aku sedang tidak sendirian. Yofi tidak mungkin bertindak macam-macam. Mungkin tidak semua laki-laki juga memiliki sikap seperti Jevin. “Awina,” balasku sambil menyambut uluran tangannya. “Kuliah di mana?” “Di USUN, Universitas Sunway.” “Kami juga di USUN,” timpal Karla dengan sumringah. “Aku di Fakultas Ekonomi,” sahutku, yang semula ingin membatasi diri, tiba-tiba menjadi gembira karena ternyata kami satu almamater. Dan sepanjang menunggu waktu wawancara, kami banyak bercerita, kebanyakan membahas kegiatan kampus. Aku juga sudah tidak bersikap canggung dengan Yofi. Siapa sangka beberapa hari kemudian, kami kembali bertemu di Spectra Cafe. Kami sama-sama diterima sebagai waitress di sini. “Meja nomor lima, Win,” kata Mang Abram, salah satu koki di sana. “Sip Mang,” jawabku sambil mengan
“Lihat deh, Dariah Angelica berulah lagi. Sepertinya, dia tidak bisa hidup kalau tidak membuat kontroversi dan sensasi.”Deg! Mendengar nama ibuku disebut, aku refleks memandang ke sumber suara. Di sana, terlihat dua perempuan yang duduk berhadap-hadapan dan terus mengomentari Dariah Angelica. Ibuku memang seorang artis yang terkenal bukan karena prestasinya, tetapi karena suka ikut campur dengan masalah orang lain. Bahkan, dia juga pernah masuk penjara lantaran menganiaya artis lain. Beruntungnya, selama hampir empat tahun berkuliah di Universitas Sunway ini, tidak banyak yang tahu kalau wanita itu adalah ibu kandungku. Dengan demikian, aku bisa menjalani masa studi dengan sedikit tenang, tanpa harus di-judge kalau buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Aku pun berjalan mendekati pagar pembatas taman, tetapi darahku seketika mendidih ketika melihat papan reklame yang terletak di depan kampus. "Jevin ...."Brand ambassador di iklan tersebut--tersenyum dengan visual malaikatnya. Na...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments