“A-Apa maksudmu?” lontarku, memastikan telingaku tidak salah dengar.
Jevin terkekeh kecil. “Jangan berpura-pura polos.”
“Seperti kamu salah orang,” kataku sebelum terburu-buru membalikkan badan, ingin segera pergi dari kamar ini. Tapi belum sempat satu langkah kakiku bergerak, lenganku ditarik. Kedua lengan Jevin memerangkap tubuhku. “Lepaskan! Lepaskan aku!” teriakku sambil meronta-ronta. Alarm bahaya di kepalaku berbunyi.
Jevin menyeringai mengejek, tampak menikmati reaksi yang aku berikan. Dia mendorongku ke belakang hingga tubuhku menabrak dinding. Dirampasnya kedua pergelangan tanganku dan menggantungkannya di atas kepala. Paha sebelah kirinya diselipkan diantara kedua pahaku. Sementara tangan kanannya memegang daguku dengan kasar. Dan pupil mataku membesar ketika bibir Jevin menyatu dengan bibirku. Aku berusaha menghindar, menggelengkan-gelengkan kepalaku, tetapi Jevin semakin kuat memegang daguku.
“Shit! Bibirmu benar-benar lembut,” ujar Jevin di sela-sela mengambil napas.
Aku terus berusaha melepaskan diri dan semakin kuat juga cengkeraman Jevin. Air mataku yang tadi menggenang, kini mengalir di kedua pipi tatkala cumbuannya beralih ke leherku.
“Shit!” Jevin mengumpat. Matanya tidak lepas menatapku dengan kabut bergairah. Kemudian dia menyeretku memasuki ruangan di sebelah, melemparku ke atas kasur, dan memenjarakan tubuhku diantara kedua pahanya.
“Aku akan melaporkanmu perbuatanmu ini ke polisi,” bentakku dengan suara bergetar.
Jevin tertawa mengolok-olok. Saat itulah aku menendangnya hingga dia terjatuh dari atas tubuhku dan merintih di lantai. Aku segera berdiri, berlari sekuat tenaga menuju pintu, sambil mengambil ponselku, berharap seseorang bisa menolongku. Tapi sepertinya dewi fortuna sedang tidak berada di pihakku. Belum sempat menyentuh gagang pintu, Jevin sudah menangkap dan memanggul tubuhku.
Tanganku memukul-mukul punggungnya, sambil memaki-maki dengan kata-kata yang tidak pernah aku lontarkan sebelumnya, berharap tubuhku bisa terlepas. Dia menjatuhkan tubuhku dengan kasar di atas kasur. Aku berusaha menelepon Mama, tapi Jevin dengan cepat mengambilnya dan membuang ke lantai.
“Seperti kamu suka bermain kasar,” kata Jevin yang terdengar menyeramkan di telingaku.
Jevin tiba-tiba merobek kemeja maroon kotak-kotakku dan aku kontan berteriak histeris.
Air mataku semakin mengalir deras ketika jemari-jemarinya menyentuh agresif kulitku. Dan aku menatap miris ponselku yang sekarang menampakkan nama Mama di layar.0_<
Mataku terbelalak tiba-tiba dan tubuhku langsung terbangun. Deru nafasku memburu kasar, seolah baru selesai lari sprint puluhan kilometer. Mimpi yang mengerikan, benar-benar sangat mengerikan.
Mataku semakin terbuka lebar-lebar melihat ornamen dan furniture di depanku. Ini jelas bukan kamarku. Kamarku tak semewah dan semegah ini. Takut-takut aku menoleh ke kiri, memastikan apakah kejadian beberapa jam lalu bukanlah mimpi belaka. Leherku bak tercekik mendapati sosok yang sedang tertidur tertelungkup. Lantas aku segera menarik selimut, menutupi tubuh bagian atasku yang ternyata tanpa selesai benangpun. Air mataku perlahan menggenang, sebelum akhirnya mengalir ketika rasa sakit menyerang tubuh bagian bawahku.
Kasur disampingku sedikit bergerak. Aku spontan mengatup mulutku, membungkam suara isak tangis yang keluar. Jevin mengubah posisi tidur yang tadi menghadap ke kanan, kini menghadap ke arahku. Wajah tidurnya terlihat damai.
Jam berapa sekarang? Aku membatin dalam hati sambil bergerak menjauh dari posisi Jevin. Tubuh ini bak luluh lantak, bahkan tadi Jevin tidak segan untuk main tangan.
“Mau ke mana?” suara serak dan rangkulan di pinggangku, membuat tubuhku menegang.
“Le-lepaskan aku!” Aku berusaha melepaskan lengan Jevin, tapi dia semakin mengencangkannya.
Jevin menarik pergelanganku hingga tubuhku terbaring di kasur dan dia langsung memerangkapku dengan tubuh berototnya.
“LEPASKAN AKU! BIARKAN AKU PERGI!” teriakku lantang, cairan bening sudah meleleh di pipiku.
Jevin menyeringai, “Aku membayarmu cukup mahal dan aku masih belum puas, tidak mungkin aku melepaskanmu sekarang.”
“TIDAK! TIDAK! AKU TIDAK MAU!” pekikku keras.
Jevin tidak mengindahkan. Dia mendekatkan wajahnya, menyatukan bibir kami. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan, berusaha menghindar. Jevin memegang daguku agar tidak bergerak. Cumbuannya memang tidak sekasar tadi, tapi aku tetap tidak menyukainya. Aku selalu berandai-andai akan melakukannya dengan orang yang kucintai, bukan secara paksaan seperti ini.
Kejadian mengerikan itu kembali terulang, dengan suara isakan yang mendominasi.
0_<
Kakiku bertatih-tatih mendekati celana dalam dan bra yang dilempar serampangan.
Sementara Jevin sedang duduk santai di tempat tidur sambil menghisap rokok. Sekali-kali suara rintihan keluar dari mulutku, kain celana dalam bergesekan dengan area sensitifku. Aku tidak tahu sampai jam berapa Jevin menyentuhku. Aku sudah tak sadarkan diri ketika matahari malu-malu menunjukkan cahayanya.
Tubuhku refleks menegang ketika punggungku merasa seseorang sedang mendekat. Jevin merangkul tubuhku dan meletakkan dagunya di bahuku. “Tinggallah beberapa jam lagi, aku akan membayarmu lebih.” Jevin memberikan gigitan kecil di leherku.
“LEPAS!” kataku setengah berteriak.
Aku berjalan tergesa mengambil celana jeansku yang tergeletak di atas bufet. Kemudian kepalaku celingak-celinguk mencari kemejaku.
Air mataku hendak menetes ketika menatap kemeja kotak itu sudah terkoyak mengenaskan dan tak bisa dipakai lagi.
“A-aku pinjam hoodie-mu,” lirihku pelan.
Tanpa menunggu persetujuan Jevin, aku langsung memakai hoodie hitamnya dan segera berjalan mendekati pintu kamar.
Aku harus keluar dari ruangan ini bagaimanapun caranya. Dan mungkin kali ini Tuhan mendengarkan doaku.
Jevin tidak mencegatku seperti tadi malam. Taksi juga tepat berhenti di depanku sehingga aku tidak perlu menunggu terlalu lama.
Sepanjang perjalanan menuju rumah, butir bening ini tidak berhenti untuk mengalir. Bahkan, pak sopir melirik dari rear view mirror di depannya.
Mungkin, dia keheranan dengan kondisiku.
“Mbak dari mana saja, kok tadi malam nggak pulang?” tanya Arfa dengan wajah khawatir.
“Malam tadi Mbak nginap di rumah teman Mbak. Maaf ya karena Mbak nggak ngasih kabar,” jawaku dengan senormal mungkin, tidak ingin membuat Arfa curiga.
“Mbak ke kamar dulu,” sambungku saat melihat Arfa mau melontarkan pertanyaan. Aku berjalan cepat menaiki tangga dan menuju kamarku.
Aku ingin mandi, ingin menghilang jejak-jejak Jevin yang melekat.
Aku menatap miris melihat penampilanku di cermin, dengan kissmark yang bersebaran hampir di seluruh tubuh.
Kuusap kasar air mata yang jatuh di kedua pipiku.
Cukup! Aku tidak ingin menangis lagi. Anggap kalau semua kejadian mengerikan malam tadi hanyalah mimpi buruk belaka.
Setelah mandi hampir satu jam, karena berusaha menghapus jejak-jejak yang ditinggalkan Jevin, aku keluar dari kamar mandi dengan perasaan yang sedikit baik.
Baru saja selesai berpakaian, tiba-tiba pintu kamarku dibuka kasar.Mama datang dengan tatapan marah.Plak
“Wina! Mengapa kamu nggak ikut casting kemarin? Mama sudah bersusah payah melobi produsernya.” 0_<TERIMA KASIH TELAH MEMBACA. @Alsaeida0808
“Kamu membuat Mama malu. Kamu membuat Om Ferdy marah ke Mama,” Mama berucap ketus. Aku memandang Mama dengan tajam. “Seharusnya aku yang marah,” ucapku setengah berteriak. “Aku mengalami hal mengerikan tadi malam,” sambungku yang sekarang dengan suara bergetar. Mataku juga sedikit berkaca-kaca. Mama mencibir, “Jangan banyak alasan.” “Banyak alasan?” Aku menatap tak percaya. “Sudahlah, jangan mencari-cari alasan. Pokoknya besok kamu harus pergi ke tempat Om Ferdy. Dia memberikanmu satu kesempatan lagi.” Tanpa menunggu reaksiku, Mama berbalik dan meninggalkan kamarku. Seketika air mataku pecah. Tubuhku terduduk lemas di atas kasur. Tidakkah Mama melihat kondisiku sekarang, dengan bibir bengkak dan memar di pergelanganku? Tidakkah dia sedikit prihatin denganku? Atau setidaknya, bisakah dia sedikit menunjukkan rasa bersalahnya saja? Kenapa dia berpura-pura tidak terjadi apa-apa seperti itu? Ah, seandainya saja aku tidak lahir di Rahim Mama, apakah aku tidak akan mengalami kejadian me
“Setahun lalu Mbak ke Kelantan dan menginap di samping rumahmu. Makanya Mbak tahu kalau Dariah Angelica adalah Mamamu,” ungkap Mbak Yani sebelum mengunyah potongan chicken katsunya. “Ehm… Kata teman-teman kosan, Mbak punya kafe sendiri, ya?” kataku mengubah topik, berharap Mbak Yani tak tertarik membahas tentang sosok bernama Dariah Angelica itu. “Bukan milik Mbak, tapi Mbak hanya mengelolanya saja. Namanya Spectra Cafe. “Aku pernah ke sana Mbak. Tempatnya nyaman dan luas. Makanannya juga enak,” pujiku antusias, bukan semata-mata karena menghargai Mbak Yani ataupun supaya dia tidak teringat dengan siapa mamaku, tetapi memang begitulah keadaannya. Malahan Spectra Cafe menjadi salah satu list yang akan didatangi jika Arfa dan Alby datang ke Malangkaya nanti. “Terima kasih. Mbak senang mendengarnya.” Senyum Mbak Rani tersungging. “Sebentar lagi cabang kedua juga akan dibuka.” “Ada buka lowongan kerja, Mbak?” tanyaku memastikan. Uangku sudah menipis. Mbak Rani mengangguk. “Ada. Tap
"A--ah, iya."“Yofi Mahendra, tapi panggil aja Yofi.” Dia semakin mengulurkan tangannya ke depan. Aku menghela nafas pelan. Aku seharusnya tidak menunjukkan sikap defensif seperti ini. Sekarang aku sedang tidak sendirian. Yofi tidak mungkin bertindak macam-macam. Mungkin tidak semua laki-laki juga memiliki sikap seperti Jevin. “Awina,” balasku sambil menyambut uluran tangannya. “Kuliah di mana?” “Di USUN, Universitas Sunway.” “Kami juga di USUN,” timpal Karla dengan sumringah. “Aku di Fakultas Ekonomi,” sahutku, yang semula ingin membatasi diri, tiba-tiba menjadi gembira karena ternyata kami satu almamater. Dan sepanjang menunggu waktu wawancara, kami banyak bercerita, kebanyakan membahas kegiatan kampus. Aku juga sudah tidak bersikap canggung dengan Yofi. Siapa sangka beberapa hari kemudian, kami kembali bertemu di Spectra Cafe. Kami sama-sama diterima sebagai waitress di sini. “Meja nomor lima, Win,” kata Mang Abram, salah satu koki di sana. “Sip Mang,” jawabku sambil mengan
Tubuhku sontak terlonjak hingga bertabrakan dengan Gladis yang berdiri di belakangku."Ga--gapapa, Dis," ucapku tergagap. Gladis menatapku curiga. Bahkan, kini dia ikut menatap penasaran ke dalam laci. “Ada apa sih, Win?” “Ehm… Nggak papa kok, Dis. Serius” Aku dengan cepat mengambil beberapa pack pembalut dan menyerahkannya. Sekali lagi kepala Gladis melongok sebelum akhirnya berkata, “Makasih Win.” “Sama-sama,” jawabku yang mengikuti Gladis menuju pintu kamar. Setelah pintu tertutup, aku buru-buru mengambil ponselku, membuka browser, dan mengetik sesuatu yang membuatku panik ‘Tanda-tanda kehamilan.’ Mataku men-scanning setiap kata yang tertera, kemudian tubuhku terduduk lemas. “Tidak. Tidak mungkin. Aku nggak mungkin hamil,” lirihku. Mataku mulai berkaca-kaca. Pikiranku terus mencoba menyangkal, tapi hati ini seolah berfirasat buruk. “Nggak Win, kamu nggak hamil,” ucapku berusaha menguatkan diri. Jari-jariku dengan kasar mengusap kelopak mata. Aku tidak mungkin hamil. J
Masih ada tiga lagi. Yang kedua itu pasti rusak. Tapi, apa yang aku inginkan tidak kesampaian. Ketiga tespek yang lain menunjukkan hasil yang sama. Ternyata memang ada sesuatu yang tumbuh di tubuhku.“TIDAK! TIDAK!” teriakku sambil melemparkan kelima tespek itu ke lantai. Tangisanku langsung pecah, sesenggukan. Aku juga melempar botol sampo dan sabun yang berada di dekatku, melampiaskan semua kekecewaan. Baru dua jam kemudian aku keluar dari kamar mandi dengan mata sembab dan wajah yang memerah. Aku tidak langsung mengganti pakaian yang basah, justru menghempaskan tubuhku ke atas kasur dan menatap langit-langit. Apa yang harus lakukan sekarang? batinku. Alarm yang berbunyi dari ponselku, memaksa untuk bangun. Aku sudah mengurung cukup lama. Mungkin saja aku bisa menemukan solusinya. Dengan ogah-ogahan, aku mengganti pakaian dengan kemeja dan celana bahan. Kemudian mengambil tas selempang yang digantung di pintu. “Masuk hari ini, Win?” tanya Gladis yang masih dengan piyama. Ditanga
“Klinik aborsi?” Mata Yofi terbelalak. “Adik sepupuku hamil diluar nikah,” sambungku. Yofi tampak menghela nafas. “Kamu membuatku kaget, Win. Aku kira kamu yang ingin aborsi, karena dari penampilanmu, kamu terlihat seperti gadis baik-baik. Selama beberapa bulan aku mengenalmu pun, kamu tidak pernah menunjukkan sikap yang buruk.” Aku hanya menunjukkan senyum kecil, sebagai bentuk menghargai atas pujiannya. "Masih lama di sini, Win?" "Nggak kok, ini mau ke kampus." "Yuk, biar aku antar." "Nggak usah Yof, nanti aku pesan Go-Jek saja," tolakku, masih ingin di sini. "Sama aku saja, sekalian aku memang mau lewat di depan fakultasmu." Yofi menyodorkan helm yang tadinya tergantung di pengait di bawah stang. "Nggak apa-apa Yof, aku…," belum aku menyelesaikan kalimatku, Yofi sudah memasang helm hitam itu ke kepalaku dan mengencangkan tali pengaman di bawah dagu. "Ayuk naik!" kata Yofi memaksa. "Apalagi langit sekarang sedang mendung," tambahnya. Dari ekspresi yang aku tunjukkan
"Mau pesan apa, Win?" tanya Gladis sembari meletakkan tas di atas meja."Mie ayam," jawabku tanpa melihat daftar menu yang tertempel di dinding, persis di tempat dudukku sekarang. Sejak pagi tadi, aku memang ingin makan olahan mie yang dicampur dengan daging ayam semur kecap tersebut. Alhasil setelah materi kuliah siang ini berakhir, aku langsung mengajak Gladis menuju gerobak Pak Mamat. "Sama jus jeruk," sambungku."Tumben pesan mie ayam, biasanya bakso?""Lagi pengen aja," jawabku.Gladis mengangguk paham dan beranjak mendekati gerobak. Sementara aku mulai membuka ponselku dan membuka DM Inst4gr4m, ternyata masih belum dibaca. Setelah berpikir semalaman, akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti salah satu saran Yofi, mencoba meminta pertanggungjawaban Jevin meskipun jauh di lubuk hatiku, aku yakin dia pasti menolaknya. Dia pasti tidak akan mau merusak masa depan karirnya hanya karena kehadiran anak ini. Jevin mungkin akan berpikiran sama, akan menggugurkannya, tapi setidaknya aku tida
Kelopak mataku perlahan-lahan terbuka, samar-samar terlihat langit-langit berwarna putih. Kepala ini masih sedikit berdenyut dan badanku masih terasa lemas. Dari balik tirai putih yang mengelilingiku, sayup-sayup aku mendengar beberapa suara yang saling bercakap dan salah satunya cukup familiar. “Apakah aku di rumah sakit,” gumamku sambil berusaha bangun, hendak bersandar di kepala kasur. Tirai tiba-tiba terbuka dan menampakkan Mbak Yani yang memasang wajah khawatir. Dia berjalan mendekat sambil berucap, “Bagaimana kondisimu sekarang?” “Masih sedikit pusing dan lemas Mbak,” jawabku dengan memperbaiki posisi dudukku agar lebih nyaman. “Tapi kenapa aku bisa ada di sini Mbak?” “Kamu pingsan di kafe dan Mbak membawamu ke klinik ini.” Siluet kejadian beberapa jam lalu terlintas di benakku, aku tidak ingat apa-apa kecuali mataku yang tiba-tiba berkunang, sebelum akhirnya gelap datang. Aku terhenyak dan kemudian memandang Mbak Yani dengan tatapan was-was. Apa mungkin Mbak Yani sudah tahu
“Kamu tunggu sebentar di sini, Mbak mau tebus obat dulu,” kata Mbak Yani yang menuntunku ke kursi tunggu. Meskipun kata sang bidan bahwa aku sudah bisa pulang dan kondisiku sudah baik-baik saja, dia tetap memberikan beberapa resep obat. Sebagai antisipasi saja, katanya. Aku terburu-buru membuka membuka tote bag, mengambil dompet hitam dan menyodorkannya. “Mbak, bawa ini.” “Nggak usah, pakai uang Mbak saja,” tolak Mbak Yani. “Tapi Mbak…,” belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, Mbak Yani sudah berjalan menjauh. Satu masalah telah selesai. Aku merasa lega. Tapi entah kenapa, selain rasa lapang itu, ternyata ada rasa lain, sedikit rasa bersalah yang tiba-tiba hadir. Padahal tak sepantasnya aku merasakannya. Tiba-tiba aku kepikiran, bagaimanakah bentuknya? Apakah bentuknya segumpal darah seperti artikel yang aku baca, atau bentuk lain? Dan dimanakah para perawat itu menguburkannya? Atau dia tidak dikubur, justru dibuang? “Yuk Win kita pulang,” ajak Mbak Yani yang memegang lenganku
“Mbak,” panggilku sambil mengetuk pintu kamar Mbak Yani. Terdengar suara kaki mendekat sebelum pintu bercat coklat itu terbuka. “Masuk Win,” ucapnya. Kakiku bergerak melewati pintu, kemudian duduk di atas karpet merah yang terletak di tengah-tengah kamar. “Kalau mau makan snack, ambil saja ya Win,” sambungnya sambil wajahnya mengarah ke rak keranjang di dekat pintu yang terdapat berbagai jenis makanan ringan. “Aku sudah mendapatkan uangnya, Mbak,” jelasku to the point. “Berarti kamu tetap memutuskan untuk mengaborsikannya?” Aku mengangguk tanpa ragu. “Besok kamu selesai kuliah jam berapa?” “Hanya ada satu mata kuliah Mbak, di pagi hari.” “Baiklah, besok sore kita berangkat dan kamu minta ganti shift saja dengan karyawan lain.” “Iya Mbak, nanti aku minta tolong Karla untuk menggantikanku.” Mbak Yani sedikit menghembuskan nafas kasar. “Tapi kamu sudah memikirkan matang-matang, kan? Kamu sudah tahu kemungkinan resiko yang akan kamu alami meskipun klinik itu mengatakan aman? Mu
Mataku menatap lekat ke bola mata Mbak Yani, mencari kebohongan di sana. “Mbak akan membantuku?” kataku meyakinkan, takut telinga ini salah menangkap dan Mbak Yani mengangguk tegas. “Tapi kenapa?” tanyaku, masih belum percaya, bagaimanapun aborsi merupakan suatu kejahatan terhadap nyawa seseorang. Mbak Yani sekali lagi memeluk dan mengusap-usap punggungku. “Kalau alasanmu karena suka sama suka, mungkin Mbak nggak akan memperdulikan. Tetapi kondisimu berbeda. Mbak tidak bisa menutup mata begitu saja, apalagi Mbak juga memiliki adik seusiamu, meskipun kami sudah tidak bertemu sejak orang tua kami bercerai. Setiap Mbak melihatmu, Mbak selalu teringat dengannya.” Air mata yang sedikit terhenti, kini kembali mengalir, merasa terharu sekaligus sedikit lega. “Terima Mbak. Terima kasih banyak,” ucapku. 0__ “Win, sudah tidur?” suara dari balik pintu kamar terdengar berbarengan dengan suara ketukan. Aku yang sedang berbaring sambil termenung memandang langit-langit kamar, langsung bangun d
Kelopak mataku perlahan-lahan terbuka, samar-samar terlihat langit-langit berwarna putih. Kepala ini masih sedikit berdenyut dan badanku masih terasa lemas. Dari balik tirai putih yang mengelilingiku, sayup-sayup aku mendengar beberapa suara yang saling bercakap dan salah satunya cukup familiar. “Apakah aku di rumah sakit,” gumamku sambil berusaha bangun, hendak bersandar di kepala kasur. Tirai tiba-tiba terbuka dan menampakkan Mbak Yani yang memasang wajah khawatir. Dia berjalan mendekat sambil berucap, “Bagaimana kondisimu sekarang?” “Masih sedikit pusing dan lemas Mbak,” jawabku dengan memperbaiki posisi dudukku agar lebih nyaman. “Tapi kenapa aku bisa ada di sini Mbak?” “Kamu pingsan di kafe dan Mbak membawamu ke klinik ini.” Siluet kejadian beberapa jam lalu terlintas di benakku, aku tidak ingat apa-apa kecuali mataku yang tiba-tiba berkunang, sebelum akhirnya gelap datang. Aku terhenyak dan kemudian memandang Mbak Yani dengan tatapan was-was. Apa mungkin Mbak Yani sudah tahu
"Mau pesan apa, Win?" tanya Gladis sembari meletakkan tas di atas meja."Mie ayam," jawabku tanpa melihat daftar menu yang tertempel di dinding, persis di tempat dudukku sekarang. Sejak pagi tadi, aku memang ingin makan olahan mie yang dicampur dengan daging ayam semur kecap tersebut. Alhasil setelah materi kuliah siang ini berakhir, aku langsung mengajak Gladis menuju gerobak Pak Mamat. "Sama jus jeruk," sambungku."Tumben pesan mie ayam, biasanya bakso?""Lagi pengen aja," jawabku.Gladis mengangguk paham dan beranjak mendekati gerobak. Sementara aku mulai membuka ponselku dan membuka DM Inst4gr4m, ternyata masih belum dibaca. Setelah berpikir semalaman, akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti salah satu saran Yofi, mencoba meminta pertanggungjawaban Jevin meskipun jauh di lubuk hatiku, aku yakin dia pasti menolaknya. Dia pasti tidak akan mau merusak masa depan karirnya hanya karena kehadiran anak ini. Jevin mungkin akan berpikiran sama, akan menggugurkannya, tapi setidaknya aku tida
“Klinik aborsi?” Mata Yofi terbelalak. “Adik sepupuku hamil diluar nikah,” sambungku. Yofi tampak menghela nafas. “Kamu membuatku kaget, Win. Aku kira kamu yang ingin aborsi, karena dari penampilanmu, kamu terlihat seperti gadis baik-baik. Selama beberapa bulan aku mengenalmu pun, kamu tidak pernah menunjukkan sikap yang buruk.” Aku hanya menunjukkan senyum kecil, sebagai bentuk menghargai atas pujiannya. "Masih lama di sini, Win?" "Nggak kok, ini mau ke kampus." "Yuk, biar aku antar." "Nggak usah Yof, nanti aku pesan Go-Jek saja," tolakku, masih ingin di sini. "Sama aku saja, sekalian aku memang mau lewat di depan fakultasmu." Yofi menyodorkan helm yang tadinya tergantung di pengait di bawah stang. "Nggak apa-apa Yof, aku…," belum aku menyelesaikan kalimatku, Yofi sudah memasang helm hitam itu ke kepalaku dan mengencangkan tali pengaman di bawah dagu. "Ayuk naik!" kata Yofi memaksa. "Apalagi langit sekarang sedang mendung," tambahnya. Dari ekspresi yang aku tunjukkan
Masih ada tiga lagi. Yang kedua itu pasti rusak. Tapi, apa yang aku inginkan tidak kesampaian. Ketiga tespek yang lain menunjukkan hasil yang sama. Ternyata memang ada sesuatu yang tumbuh di tubuhku.“TIDAK! TIDAK!” teriakku sambil melemparkan kelima tespek itu ke lantai. Tangisanku langsung pecah, sesenggukan. Aku juga melempar botol sampo dan sabun yang berada di dekatku, melampiaskan semua kekecewaan. Baru dua jam kemudian aku keluar dari kamar mandi dengan mata sembab dan wajah yang memerah. Aku tidak langsung mengganti pakaian yang basah, justru menghempaskan tubuhku ke atas kasur dan menatap langit-langit. Apa yang harus lakukan sekarang? batinku. Alarm yang berbunyi dari ponselku, memaksa untuk bangun. Aku sudah mengurung cukup lama. Mungkin saja aku bisa menemukan solusinya. Dengan ogah-ogahan, aku mengganti pakaian dengan kemeja dan celana bahan. Kemudian mengambil tas selempang yang digantung di pintu. “Masuk hari ini, Win?” tanya Gladis yang masih dengan piyama. Ditanga
Tubuhku sontak terlonjak hingga bertabrakan dengan Gladis yang berdiri di belakangku."Ga--gapapa, Dis," ucapku tergagap. Gladis menatapku curiga. Bahkan, kini dia ikut menatap penasaran ke dalam laci. “Ada apa sih, Win?” “Ehm… Nggak papa kok, Dis. Serius” Aku dengan cepat mengambil beberapa pack pembalut dan menyerahkannya. Sekali lagi kepala Gladis melongok sebelum akhirnya berkata, “Makasih Win.” “Sama-sama,” jawabku yang mengikuti Gladis menuju pintu kamar. Setelah pintu tertutup, aku buru-buru mengambil ponselku, membuka browser, dan mengetik sesuatu yang membuatku panik ‘Tanda-tanda kehamilan.’ Mataku men-scanning setiap kata yang tertera, kemudian tubuhku terduduk lemas. “Tidak. Tidak mungkin. Aku nggak mungkin hamil,” lirihku. Mataku mulai berkaca-kaca. Pikiranku terus mencoba menyangkal, tapi hati ini seolah berfirasat buruk. “Nggak Win, kamu nggak hamil,” ucapku berusaha menguatkan diri. Jari-jariku dengan kasar mengusap kelopak mata. Aku tidak mungkin hamil. J
"A--ah, iya."“Yofi Mahendra, tapi panggil aja Yofi.” Dia semakin mengulurkan tangannya ke depan. Aku menghela nafas pelan. Aku seharusnya tidak menunjukkan sikap defensif seperti ini. Sekarang aku sedang tidak sendirian. Yofi tidak mungkin bertindak macam-macam. Mungkin tidak semua laki-laki juga memiliki sikap seperti Jevin. “Awina,” balasku sambil menyambut uluran tangannya. “Kuliah di mana?” “Di USUN, Universitas Sunway.” “Kami juga di USUN,” timpal Karla dengan sumringah. “Aku di Fakultas Ekonomi,” sahutku, yang semula ingin membatasi diri, tiba-tiba menjadi gembira karena ternyata kami satu almamater. Dan sepanjang menunggu waktu wawancara, kami banyak bercerita, kebanyakan membahas kegiatan kampus. Aku juga sudah tidak bersikap canggung dengan Yofi. Siapa sangka beberapa hari kemudian, kami kembali bertemu di Spectra Cafe. Kami sama-sama diterima sebagai waitress di sini. “Meja nomor lima, Win,” kata Mang Abram, salah satu koki di sana. “Sip Mang,” jawabku sambil mengan