Home / Romansa / Putri sang Artis Kontroversial / Chapter 3 – Andai Aku tidak Lahir dari Rahimmu

Share

Chapter 3 – Andai Aku tidak Lahir dari Rahimmu

Author: Alsaeida
last update Last Updated: 2023-01-05 00:08:51

“Kamu membuat Mama malu. Kamu membuat Om Ferdy marah ke Mama,” Mama berucap ketus.

Aku memandang Mama dengan tajam. “Seharusnya aku yang marah,” ucapku setengah berteriak. “Aku mengalami hal mengerikan tadi malam,” sambungku yang sekarang dengan suara bergetar. Mataku juga sedikit berkaca-kaca.

Mama mencibir, “Jangan banyak alasan.”

“Banyak alasan?” Aku menatap tak percaya.

“Sudahlah, jangan mencari-cari alasan. Pokoknya besok kamu harus pergi ke tempat Om Ferdy. Dia memberikanmu satu kesempatan lagi.” Tanpa menunggu reaksiku, Mama berbalik dan meninggalkan kamarku.

Seketika air mataku pecah. Tubuhku terduduk lemas di atas kasur. Tidakkah Mama melihat kondisiku sekarang, dengan bibir bengkak dan memar di pergelanganku? Tidakkah dia sedikit prihatin denganku? Atau setidaknya, bisakah dia sedikit menunjukkan rasa bersalahnya saja? Kenapa dia berpura-pura tidak terjadi apa-apa seperti itu? Ah, seandainya saja aku tidak lahir di Rahim Mama, apakah aku tidak akan mengalami kejadian mengerikan itu?

“Mbak!” panggil Arfa di depan pintu.

Tanganku refleks mengusap-usap kedua mataku. “Ya Fa?”

“Mbak nggak papa?” Suara Arfa terdengar khawatir.

Aku memberikan gelengan lemah. “Nggak papa kok.”

Arfa memperhatikan wajahku, tepatnya bibirku. Dahinya juga terlihat mengernyit tajam ke arah leherku. “Apa yang telah terjadi Mbak?”

“Oh, ini tadi digigit nyamuk,” kataku sambil berusaha menutupinya dengan rambut.

Arfa menunjukkan raut yang tidak puas dengan jawabanku. Meskipun umur Arfa masih empat belas tahun, dia pasti tahu tanda di leherku bukanlah seperti yang aku lontarkan. Dia sedikit menghela napas, “Kalau ada apa-apa, Mbak harus bilang. Aku akan selalu ada di pihak Mbak.”

“Ya Fa, terima kasih,” tuturku. Dia mungkin sadar kalau aku  tidak siap untuk menceritakannya.

Tidak ada pembicaraan lagi di antara kami. Arfa keluar dari kamar. Aku kembali menangis tertahan.

0_<

Aku memasukkan baju-bajuku ke dalam koper. Aku memutuskan untuk kembali saja ke Malangkaya meskipun masa libur kuliah masih panjang. Jika aku menuruti keinginan Mama, mungkin saja kejadian mengerikan itu akan berulang. Cukup, hanya sekali saja. Kejadian malam kemarin benar-benar sangat menakutkan, bahkan malam tadi aku tidak bisa tidur. Di setiap aku memejam mata, aku merasa seperti kembali ke dalam kamar hotel itu.

“Mau ke mana kamu?” Mama mencegatku di tangga.

“Aku mau pergi ke Malangkaya.”

Mama memegang gagang koperku. “Kenapa cepat sekali? Bukankah liburanmu masih panjang?”

“Aku tidak ingin di sini,” aku melepaskan tangan Mama dari gagang koperku.

“Apa ini karena Mama menyuruhmu casting?”

Aku tidak mengindahkan ucapan Mama dan terus berjalan menuju pintu.

Mama menarik pergelanganku dan memaksaku untuk menghadapnya. “Dasar anak tidak tahu diuntung! Mama sudah susah-susah melobi Om Ferdy yang terkenal cukup pemilih itu.”

“AKU TIDAK PEDULI!” bentakku.

Plak!

Aku merasa sakit di pipi kiriku.

Sontak, mataku menatap tajam ke arah Mama.

“TAMPAR LAGI MA! TAMPAR! BIAR MAMA PUAS DAN TIDAK MEMAKSAKU LAGI!”

Sekali lagi Mama hendak melayangkan tangannya, tapi tangan Arfa menangkap lengannya diikuti suara tangisan Alby. “Cukup Ma. Kasihan Mbak Awina.”

Mama menghempas tangan Arfa, kemudian pergi menjauh. Air mataku langsung mengalir. Arfa mendekat dan memelukku, sambil mengusap-usap punggung. Alby yang melihat dari kejauhan juga menghampiriku dan memeluk kakiku. Aku menangis terisak-isak sambil membalas pelukan kedua adikku dengan erat.

"Tuhan, kenapa harus aku?"

0_<

Sudah beberapa hari berlalu. 

Tanganku kini refleks mengambil remote dan menekan power button--mencari hiburan. 

Namun, setiap kali mendengar suara Jevin di layar TV, tubuhku langsung beraksi waspada.

Bahkan ketika melihat poster wajahnya di reklame, kakiku berjalan tergesa-gesa seolah dia sedang mengejarku.

Beberapa malam belakangan ini sejak kedatanganku ke Malangkaya, aku selalu terbangun tengah malam dan tidak bisa tidur hingga langit berubah cerah.

Parahnya, tubuh ini beberapa kali terperanjat jika seorang laki-laki tidak sengaja berdiri di sebelahku, padahal mereka tidak melakukan apa-apa.

Drrt!

Ponselku di depan TV bergetar.

Sontak, aku mengambilnya sebelum duduk di depan jendela kamar yang berhadapan dengan halaman kosan.

“Halo Fa!” sapaku begitu melihat nama yang terpampang.

“Kabar Mbak gimana?” 

Senyum kecil tersungging meskipun Arfa tidak bisa melihatnya. “Mbak baik, Fa.”

“Hari ini aku dan Alby mau ikut Bik Sumi ke pasar,” Arfa mulai bercerita.

Sejak kedatanganku empat hari lalu, Arfa memang rutin menelepon, setidaknya tiga kali dalam sehari.

Barangkali dia tahu kalau kosan masih sepi, para penghuni–yang sebagian besar mahasiswa–masih belum pulang dan  mungkin masih menikmati kebersamaan dengan anggota keluarga mereka.

Kebanyakan Arfa juga yang bercerita, entah tentang kegiatan yang sedang dilakukan atau membahas tingkah Alby yang selalu aktif.

Telepon kami berakhir tiga puluh menit kemudian.

Meskipun tidak bisa menghapus ingatan tentang kejadian di malam itu, sekurang-kurangnya rasa sesak di dadanya sedikit berkurang.

Tok… tok… tok..!

"Wina!"

Suara pintu yang diketuk diikuti namaku yang dipanggil, memaksa untuk bangkit dari posisiku dengan sedikit ogah-ogahan. Kutemukan sosok perempuan yang sangat jarang berinteraksi denganku. Bahkan, aku hanya tahu namanya dan sesekali berpapasan di lorong kosan dengannya.

“Oh, Mbak Yani. Ada apa ya Mbak?” tanyaku sedikit keheranan. 

“Mbak mau memberikan ini untukmu.” Mbak Yani pun menyodorkan kresek putih. “Tadi Mbak membawanya untuk teman Mbak, tapi ternyata dia nggak jadi datang. Malam tadi Mbak melihat kalau lampu di kamarmu menyala. Mbak menduga kalau kamu pasti sudah pulang. Makanya daripada mubazir, Mbak berikan saja ke kamu,” jelasnya.

Aku tertegun. Namun, dengan cepat kembali sumringah.

“Terima kasih Mbak,” jawabku cepat.

Lumayan untuk mengisi perutku yang berbunyi. Selain nafsu makan yang menurun, aku juga sangat malas untuk keluar kosan jika memang tidak benar-benar urgensi.

“Mbak sudah memakannya?”

“Belum. Mbak niatnya mau memakannya setelah memberikan ke kamu,” jawab Mbak Yani sambil menoleh sekilas ke dapur. “Mau makan bareng di belakang?”

“Oke Mbak,” jawabku dengan sedikit mengangguk, kemudian mengikuti langkah Mbak Yani.

“Kok kamu pulang cepat, Win?” tanya Mbak Yani di sela-sela meletakkan potongan chicken katsu di piring dan menumpah kuah kari di atasnya.

Aku bergeming sejenak. “Ehm, keluargaku sedang ada urusan Mbak, jadi sekarang–” Aku dan Mbak Yani refleks menoleh ke ponselku yang diletakkan di samping piring.

Tulisan ‘Mama’ tertera di layar dan aku dengan cepat membalikkan, sama sekali tidak berniat untuk menggubrisnya. Ada apa gerangan beliau meneleponku?

“Kok nggak diangkat?”

“Hah?” responku yang seolah tidak mendengar.

“Mamamu nelpon. Kenapa nggak diangkat?”

“Nggak kenapa-napa kok Mbak.”

“Mamamu Dariah Angelica, kan?”

Deg!

Mataku langsung membulat lebar. Kenapa Mbak Yani bisa tahu?

"Ma--maaf?"

0_<

Alsaeida

NANTIKAN TERUS KELANJUTANNYA. TERIMA KASIH. @Alsaeida0808

| Like

Related chapters

  • Putri sang Artis Kontroversial   Chapter 4 – Not an Angel without Wings

    “Setahun lalu Mbak ke Kelantan dan menginap di samping rumahmu. Makanya Mbak tahu kalau Dariah Angelica adalah Mamamu,” ungkap Mbak Yani sebelum mengunyah potongan chicken katsunya. “Ehm… Kata teman-teman kosan, Mbak punya kafe sendiri, ya?” kataku mengubah topik, berharap Mbak Yani tak tertarik membahas tentang sosok bernama Dariah Angelica itu. “Bukan milik Mbak, tapi Mbak hanya mengelolanya saja. Namanya Spectra Cafe. “Aku pernah ke sana Mbak. Tempatnya nyaman dan luas. Makanannya juga enak,” pujiku antusias, bukan semata-mata karena menghargai Mbak Yani ataupun supaya dia tidak teringat dengan siapa mamaku, tetapi memang begitulah keadaannya. Malahan Spectra Cafe menjadi salah satu list yang akan didatangi jika Arfa dan Alby datang ke Malangkaya nanti. “Terima kasih. Mbak senang mendengarnya.” Senyum Mbak Rani tersungging. “Sebentar lagi cabang kedua juga akan dibuka.” “Ada buka lowongan kerja, Mbak?” tanyaku memastikan. Uangku sudah menipis. Mbak Rani mengangguk. “Ada. Tap

    Last Updated : 2023-01-12
  • Putri sang Artis Kontroversial   Chapter 5 – Mungkinkah?

    "A--ah, iya."“Yofi Mahendra, tapi panggil aja Yofi.” Dia semakin mengulurkan tangannya ke depan. Aku menghela nafas pelan. Aku seharusnya tidak menunjukkan sikap defensif seperti ini. Sekarang aku sedang tidak sendirian. Yofi tidak mungkin bertindak macam-macam. Mungkin tidak semua laki-laki juga memiliki sikap seperti Jevin. “Awina,” balasku sambil menyambut uluran tangannya. “Kuliah di mana?” “Di USUN, Universitas Sunway.” “Kami juga di USUN,” timpal Karla dengan sumringah. “Aku di Fakultas Ekonomi,” sahutku, yang semula ingin membatasi diri, tiba-tiba menjadi gembira karena ternyata kami satu almamater. Dan sepanjang menunggu waktu wawancara, kami banyak bercerita, kebanyakan membahas kegiatan kampus. Aku juga sudah tidak bersikap canggung dengan Yofi. Siapa sangka beberapa hari kemudian, kami kembali bertemu di Spectra Cafe. Kami sama-sama diterima sebagai waitress di sini. “Meja nomor lima, Win,” kata Mang Abram, salah satu koki di sana. “Sip Mang,” jawabku sambil mengan

    Last Updated : 2023-02-01
  • Putri sang Artis Kontroversial   Chapter 6 – Ada yang Tumbuh

    Tubuhku sontak terlonjak hingga bertabrakan dengan Gladis yang berdiri di belakangku."Ga--gapapa, Dis," ucapku tergagap. Gladis menatapku curiga. Bahkan, kini dia ikut menatap penasaran ke dalam laci. “Ada apa sih, Win?” “Ehm… Nggak papa kok, Dis. Serius” Aku dengan cepat mengambil beberapa pack pembalut dan menyerahkannya. Sekali lagi kepala Gladis melongok sebelum akhirnya berkata, “Makasih Win.” “Sama-sama,” jawabku yang mengikuti Gladis menuju pintu kamar. Setelah pintu tertutup, aku buru-buru mengambil ponselku, membuka browser, dan mengetik sesuatu yang membuatku panik ‘Tanda-tanda kehamilan.’ Mataku men-scanning setiap kata yang tertera, kemudian tubuhku terduduk lemas. “Tidak. Tidak mungkin. Aku nggak mungkin hamil,” lirihku. Mataku mulai berkaca-kaca. Pikiranku terus mencoba menyangkal, tapi hati ini seolah berfirasat buruk. “Nggak Win, kamu nggak hamil,” ucapku berusaha menguatkan diri. Jari-jariku dengan kasar mengusap kelopak mata. Aku tidak mungkin hamil. J

    Last Updated : 2023-02-12
  • Putri sang Artis Kontroversial   Chapter 7 – Firasat Alby

    Masih ada tiga lagi. Yang kedua itu pasti rusak. Tapi, apa yang aku inginkan tidak kesampaian. Ketiga tespek yang lain menunjukkan hasil yang sama. Ternyata memang ada sesuatu yang tumbuh di tubuhku.“TIDAK! TIDAK!” teriakku sambil melemparkan kelima tespek itu ke lantai. Tangisanku langsung pecah, sesenggukan. Aku juga melempar botol sampo dan sabun yang berada di dekatku, melampiaskan semua kekecewaan. Baru dua jam kemudian aku keluar dari kamar mandi dengan mata sembab dan wajah yang memerah. Aku tidak langsung mengganti pakaian yang basah, justru menghempaskan tubuhku ke atas kasur dan menatap langit-langit. Apa yang harus lakukan sekarang? batinku. Alarm yang berbunyi dari ponselku, memaksa untuk bangun. Aku sudah mengurung cukup lama. Mungkin saja aku bisa menemukan solusinya. Dengan ogah-ogahan, aku mengganti pakaian dengan kemeja dan celana bahan. Kemudian mengambil tas selempang yang digantung di pintu. “Masuk hari ini, Win?” tanya Gladis yang masih dengan piyama. Ditanga

    Last Updated : 2023-02-14
  • Putri sang Artis Kontroversial   Chapter 8 – Antara Menghakimi dan Simpati

    “Klinik aborsi?” Mata Yofi terbelalak. “Adik sepupuku hamil diluar nikah,” sambungku. Yofi tampak menghela nafas. “Kamu membuatku kaget, Win. Aku kira kamu yang ingin aborsi, karena dari penampilanmu, kamu terlihat seperti gadis baik-baik. Selama beberapa bulan aku mengenalmu pun, kamu tidak pernah menunjukkan sikap yang buruk.” Aku hanya menunjukkan senyum kecil, sebagai bentuk menghargai atas pujiannya. "Masih lama di sini, Win?" "Nggak kok, ini mau ke kampus." "Yuk, biar aku antar." "Nggak usah Yof, nanti aku pesan Go-Jek saja," tolakku, masih ingin di sini. "Sama aku saja, sekalian aku memang mau lewat di depan fakultasmu." Yofi menyodorkan helm yang tadinya tergantung di pengait di bawah stang. "Nggak apa-apa Yof, aku…," belum aku menyelesaikan kalimatku, Yofi sudah memasang helm hitam itu ke kepalaku dan mengencangkan tali pengaman di bawah dagu. "Ayuk naik!" kata Yofi memaksa. "Apalagi langit sekarang sedang mendung," tambahnya. Dari ekspresi yang aku tunjukkan

    Last Updated : 2023-10-25
  • Putri sang Artis Kontroversial   Chapter 9 – Gejala

    "Mau pesan apa, Win?" tanya Gladis sembari meletakkan tas di atas meja."Mie ayam," jawabku tanpa melihat daftar menu yang tertempel di dinding, persis di tempat dudukku sekarang. Sejak pagi tadi, aku memang ingin makan olahan mie yang dicampur dengan daging ayam semur kecap tersebut. Alhasil setelah materi kuliah siang ini berakhir, aku langsung mengajak Gladis menuju gerobak Pak Mamat. "Sama jus jeruk," sambungku."Tumben pesan mie ayam, biasanya bakso?""Lagi pengen aja," jawabku.Gladis mengangguk paham dan beranjak mendekati gerobak. Sementara aku mulai membuka ponselku dan membuka DM Inst4gr4m, ternyata masih belum dibaca. Setelah berpikir semalaman, akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti salah satu saran Yofi, mencoba meminta pertanggungjawaban Jevin meskipun jauh di lubuk hatiku, aku yakin dia pasti menolaknya. Dia pasti tidak akan mau merusak masa depan karirnya hanya karena kehadiran anak ini. Jevin mungkin akan berpikiran sama, akan menggugurkannya, tapi setidaknya aku tida

    Last Updated : 2023-11-14
  • Putri sang Artis Kontroversial   Chapter 10 – Empat Mata

    Kelopak mataku perlahan-lahan terbuka, samar-samar terlihat langit-langit berwarna putih. Kepala ini masih sedikit berdenyut dan badanku masih terasa lemas. Dari balik tirai putih yang mengelilingiku, sayup-sayup aku mendengar beberapa suara yang saling bercakap dan salah satunya cukup familiar. “Apakah aku di rumah sakit,” gumamku sambil berusaha bangun, hendak bersandar di kepala kasur. Tirai tiba-tiba terbuka dan menampakkan Mbak Yani yang memasang wajah khawatir. Dia berjalan mendekat sambil berucap, “Bagaimana kondisimu sekarang?” “Masih sedikit pusing dan lemas Mbak,” jawabku dengan memperbaiki posisi dudukku agar lebih nyaman. “Tapi kenapa aku bisa ada di sini Mbak?” “Kamu pingsan di kafe dan Mbak membawamu ke klinik ini.” Siluet kejadian beberapa jam lalu terlintas di benakku, aku tidak ingat apa-apa kecuali mataku yang tiba-tiba berkunang, sebelum akhirnya gelap datang. Aku terhenyak dan kemudian memandang Mbak Yani dengan tatapan was-was. Apa mungkin Mbak Yani sudah tahu

    Last Updated : 2023-11-21
  • Putri sang Artis Kontroversial   Chapter 11 – Tidak Ada Pilihan

    Mataku menatap lekat ke bola mata Mbak Yani, mencari kebohongan di sana. “Mbak akan membantuku?” kataku meyakinkan, takut telinga ini salah menangkap dan Mbak Yani mengangguk tegas. “Tapi kenapa?” tanyaku, masih belum percaya, bagaimanapun aborsi merupakan suatu kejahatan terhadap nyawa seseorang. Mbak Yani sekali lagi memeluk dan mengusap-usap punggungku. “Kalau alasanmu karena suka sama suka, mungkin Mbak nggak akan memperdulikan. Tetapi kondisimu berbeda. Mbak tidak bisa menutup mata begitu saja, apalagi Mbak juga memiliki adik seusiamu, meskipun kami sudah tidak bertemu sejak orang tua kami bercerai. Setiap Mbak melihatmu, Mbak selalu teringat dengannya.” Air mata yang sedikit terhenti, kini kembali mengalir, merasa terharu sekaligus sedikit lega. “Terima Mbak. Terima kasih banyak,” ucapku. 0__ “Win, sudah tidur?” suara dari balik pintu kamar terdengar berbarengan dengan suara ketukan. Aku yang sedang berbaring sambil termenung memandang langit-langit kamar, langsung bangun d

    Last Updated : 2024-03-11

Latest chapter

  • Putri sang Artis Kontroversial   Chapter 14 – Festival Kampus

    “Win, malam besok kamu nggak ada shift, kan?” tanya Yofi sambil meletakkan nampan di atas meja di samping counter dapur. “Pergi ke festival kampus yuk, katanya mereka banyak mengundang penyanyi-penyanyi terkenal.”“Nama penyanyinya siapa saja?”“Ada Fathika Azzira, Band Shelila, dan Bagas Pamungkas.”“Mereka nggak ngundang Jevin? Padahal Mbak berharap mereka bisa mengundang Jevin,” tiba-tiba Mbak Yani datang menimpali. “Kalau kata temanku yang panitia, mereka memang berniat untuk mengundang Jevin, tetapi Jevin menolaknya karena kesibukan jadwal. Makanya kemudian mereka memilih mengundang Bagas Pamungkas,” jelas Yofi. “Mbak benar-benar berharap suatu hari bisa bertemu Jevin secara langsung,” tukas Mbak Yani dengan tatapan mendamba. “Selain wajah ganteng, dia juga terkenal baik. Tidak pernah terdengar berita buruk tentang sikap Jevin,” tambahnya. “Aku bukan penggemarnya, tetapi aku cukup suka dengan lagu-lagunya,” sambung Yofi. “Kamu penggemar Jevin juga, Win?”“Nggak,” balasku sambil

  • Putri sang Artis Kontroversial   Chapter 13 – Rasa Bersalah

    “Kamu tunggu sebentar di sini, Mbak mau tebus obat dulu,” kata Mbak Yani yang menuntunku ke kursi tunggu. Meskipun kata sang bidan bahwa aku sudah bisa pulang dan kondisiku sudah baik-baik saja, dia tetap memberikan beberapa resep obat. Sebagai antisipasi saja, katanya. Aku terburu-buru membuka membuka tote bag, mengambil dompet hitam dan menyodorkannya. “Mbak, bawa ini.” “Nggak usah, pakai uang Mbak saja,” tolak Mbak Yani. “Tapi Mbak…,” belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, Mbak Yani sudah berjalan menjauh. Satu masalah telah selesai. Aku merasa lega. Tapi entah kenapa, selain rasa lapang itu, ternyata ada rasa lain, sedikit rasa bersalah yang tiba-tiba hadir. Padahal tak sepantasnya aku merasakannya. Tiba-tiba aku kepikiran, bagaimanakah bentuknya? Apakah bentuknya segumpal darah seperti artikel yang aku baca, atau bentuk lain? Dan dimanakah para perawat itu menguburkannya? Atau dia tidak dikubur, justru dibuang? “Yuk Win kita pulang,” ajak Mbak Yani yang memegang lenganku

  • Putri sang Artis Kontroversial   Chapter 12 – Maafkan Aku

    “Mbak,” panggilku sambil mengetuk pintu kamar Mbak Yani. Terdengar suara kaki mendekat sebelum pintu bercat coklat itu terbuka. “Masuk Win,” ucapnya. Kakiku bergerak melewati pintu, kemudian duduk di atas karpet merah yang terletak di tengah-tengah kamar. “Kalau mau makan snack, ambil saja ya Win,” sambungnya sambil wajahnya mengarah ke rak keranjang di dekat pintu yang terdapat berbagai jenis makanan ringan. “Aku sudah mendapatkan uangnya, Mbak,” jelasku to the point. “Berarti kamu tetap memutuskan untuk mengaborsikannya?” Aku mengangguk tanpa ragu. “Besok kamu selesai kuliah jam berapa?” “Hanya ada satu mata kuliah Mbak, di pagi hari.” “Baiklah, besok sore kita berangkat dan kamu minta ganti shift saja dengan karyawan lain.” “Iya Mbak, nanti aku minta tolong Karla untuk menggantikanku.” Mbak Yani sedikit menghembuskan nafas kasar. “Tapi kamu sudah memikirkan matang-matang, kan? Kamu sudah tahu kemungkinan resiko yang akan kamu alami meskipun klinik itu mengatakan aman? Mu

  • Putri sang Artis Kontroversial   Chapter 11 – Tidak Ada Pilihan

    Mataku menatap lekat ke bola mata Mbak Yani, mencari kebohongan di sana. “Mbak akan membantuku?” kataku meyakinkan, takut telinga ini salah menangkap dan Mbak Yani mengangguk tegas. “Tapi kenapa?” tanyaku, masih belum percaya, bagaimanapun aborsi merupakan suatu kejahatan terhadap nyawa seseorang. Mbak Yani sekali lagi memeluk dan mengusap-usap punggungku. “Kalau alasanmu karena suka sama suka, mungkin Mbak nggak akan memperdulikan. Tetapi kondisimu berbeda. Mbak tidak bisa menutup mata begitu saja, apalagi Mbak juga memiliki adik seusiamu, meskipun kami sudah tidak bertemu sejak orang tua kami bercerai. Setiap Mbak melihatmu, Mbak selalu teringat dengannya.” Air mata yang sedikit terhenti, kini kembali mengalir, merasa terharu sekaligus sedikit lega. “Terima Mbak. Terima kasih banyak,” ucapku. 0__ “Win, sudah tidur?” suara dari balik pintu kamar terdengar berbarengan dengan suara ketukan. Aku yang sedang berbaring sambil termenung memandang langit-langit kamar, langsung bangun d

  • Putri sang Artis Kontroversial   Chapter 10 – Empat Mata

    Kelopak mataku perlahan-lahan terbuka, samar-samar terlihat langit-langit berwarna putih. Kepala ini masih sedikit berdenyut dan badanku masih terasa lemas. Dari balik tirai putih yang mengelilingiku, sayup-sayup aku mendengar beberapa suara yang saling bercakap dan salah satunya cukup familiar. “Apakah aku di rumah sakit,” gumamku sambil berusaha bangun, hendak bersandar di kepala kasur. Tirai tiba-tiba terbuka dan menampakkan Mbak Yani yang memasang wajah khawatir. Dia berjalan mendekat sambil berucap, “Bagaimana kondisimu sekarang?” “Masih sedikit pusing dan lemas Mbak,” jawabku dengan memperbaiki posisi dudukku agar lebih nyaman. “Tapi kenapa aku bisa ada di sini Mbak?” “Kamu pingsan di kafe dan Mbak membawamu ke klinik ini.” Siluet kejadian beberapa jam lalu terlintas di benakku, aku tidak ingat apa-apa kecuali mataku yang tiba-tiba berkunang, sebelum akhirnya gelap datang. Aku terhenyak dan kemudian memandang Mbak Yani dengan tatapan was-was. Apa mungkin Mbak Yani sudah tahu

  • Putri sang Artis Kontroversial   Chapter 9 – Gejala

    "Mau pesan apa, Win?" tanya Gladis sembari meletakkan tas di atas meja."Mie ayam," jawabku tanpa melihat daftar menu yang tertempel di dinding, persis di tempat dudukku sekarang. Sejak pagi tadi, aku memang ingin makan olahan mie yang dicampur dengan daging ayam semur kecap tersebut. Alhasil setelah materi kuliah siang ini berakhir, aku langsung mengajak Gladis menuju gerobak Pak Mamat. "Sama jus jeruk," sambungku."Tumben pesan mie ayam, biasanya bakso?""Lagi pengen aja," jawabku.Gladis mengangguk paham dan beranjak mendekati gerobak. Sementara aku mulai membuka ponselku dan membuka DM Inst4gr4m, ternyata masih belum dibaca. Setelah berpikir semalaman, akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti salah satu saran Yofi, mencoba meminta pertanggungjawaban Jevin meskipun jauh di lubuk hatiku, aku yakin dia pasti menolaknya. Dia pasti tidak akan mau merusak masa depan karirnya hanya karena kehadiran anak ini. Jevin mungkin akan berpikiran sama, akan menggugurkannya, tapi setidaknya aku tida

  • Putri sang Artis Kontroversial   Chapter 8 – Antara Menghakimi dan Simpati

    “Klinik aborsi?” Mata Yofi terbelalak. “Adik sepupuku hamil diluar nikah,” sambungku. Yofi tampak menghela nafas. “Kamu membuatku kaget, Win. Aku kira kamu yang ingin aborsi, karena dari penampilanmu, kamu terlihat seperti gadis baik-baik. Selama beberapa bulan aku mengenalmu pun, kamu tidak pernah menunjukkan sikap yang buruk.” Aku hanya menunjukkan senyum kecil, sebagai bentuk menghargai atas pujiannya. "Masih lama di sini, Win?" "Nggak kok, ini mau ke kampus." "Yuk, biar aku antar." "Nggak usah Yof, nanti aku pesan Go-Jek saja," tolakku, masih ingin di sini. "Sama aku saja, sekalian aku memang mau lewat di depan fakultasmu." Yofi menyodorkan helm yang tadinya tergantung di pengait di bawah stang. "Nggak apa-apa Yof, aku…," belum aku menyelesaikan kalimatku, Yofi sudah memasang helm hitam itu ke kepalaku dan mengencangkan tali pengaman di bawah dagu. "Ayuk naik!" kata Yofi memaksa. "Apalagi langit sekarang sedang mendung," tambahnya. Dari ekspresi yang aku tunjukkan

  • Putri sang Artis Kontroversial   Chapter 7 – Firasat Alby

    Masih ada tiga lagi. Yang kedua itu pasti rusak. Tapi, apa yang aku inginkan tidak kesampaian. Ketiga tespek yang lain menunjukkan hasil yang sama. Ternyata memang ada sesuatu yang tumbuh di tubuhku.“TIDAK! TIDAK!” teriakku sambil melemparkan kelima tespek itu ke lantai. Tangisanku langsung pecah, sesenggukan. Aku juga melempar botol sampo dan sabun yang berada di dekatku, melampiaskan semua kekecewaan. Baru dua jam kemudian aku keluar dari kamar mandi dengan mata sembab dan wajah yang memerah. Aku tidak langsung mengganti pakaian yang basah, justru menghempaskan tubuhku ke atas kasur dan menatap langit-langit. Apa yang harus lakukan sekarang? batinku. Alarm yang berbunyi dari ponselku, memaksa untuk bangun. Aku sudah mengurung cukup lama. Mungkin saja aku bisa menemukan solusinya. Dengan ogah-ogahan, aku mengganti pakaian dengan kemeja dan celana bahan. Kemudian mengambil tas selempang yang digantung di pintu. “Masuk hari ini, Win?” tanya Gladis yang masih dengan piyama. Ditanga

  • Putri sang Artis Kontroversial   Chapter 6 – Ada yang Tumbuh

    Tubuhku sontak terlonjak hingga bertabrakan dengan Gladis yang berdiri di belakangku."Ga--gapapa, Dis," ucapku tergagap. Gladis menatapku curiga. Bahkan, kini dia ikut menatap penasaran ke dalam laci. “Ada apa sih, Win?” “Ehm… Nggak papa kok, Dis. Serius” Aku dengan cepat mengambil beberapa pack pembalut dan menyerahkannya. Sekali lagi kepala Gladis melongok sebelum akhirnya berkata, “Makasih Win.” “Sama-sama,” jawabku yang mengikuti Gladis menuju pintu kamar. Setelah pintu tertutup, aku buru-buru mengambil ponselku, membuka browser, dan mengetik sesuatu yang membuatku panik ‘Tanda-tanda kehamilan.’ Mataku men-scanning setiap kata yang tertera, kemudian tubuhku terduduk lemas. “Tidak. Tidak mungkin. Aku nggak mungkin hamil,” lirihku. Mataku mulai berkaca-kaca. Pikiranku terus mencoba menyangkal, tapi hati ini seolah berfirasat buruk. “Nggak Win, kamu nggak hamil,” ucapku berusaha menguatkan diri. Jari-jariku dengan kasar mengusap kelopak mata. Aku tidak mungkin hamil. J

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status