Tubuhku sontak terlonjak hingga bertabrakan dengan Gladis yang berdiri di belakangku.
"Ga--gapapa, Dis," ucapku tergagap.
Gladis menatapku curiga. Bahkan, kini dia ikut menatap penasaran ke dalam laci. “Ada apa sih, Win?”
“Ehm… Nggak papa kok, Dis. Serius” Aku dengan cepat mengambil beberapa pack pembalut dan menyerahkannya.
Sekali lagi kepala Gladis melongok sebelum akhirnya berkata, “Makasih Win.”
“Sama-sama,” jawabku yang mengikuti Gladis menuju pintu kamar.
Setelah pintu tertutup, aku buru-buru mengambil ponselku, membuka browser, dan mengetik sesuatu yang membuatku panik
‘Tanda-tanda kehamilan.’
Mataku men-scanning setiap kata yang tertera, kemudian tubuhku terduduk lemas.
“Tidak. Tidak mungkin. Aku nggak mungkin hamil,” lirihku. Mataku mulai berkaca-kaca.
Pikiranku terus mencoba menyangkal, tapi hati ini seolah berfirasat buruk.
“Nggak Win, kamu nggak hamil,” ucapku berusaha menguatkan diri.
Jari-jariku dengan kasar mengusap kelopak mata.
Aku tidak mungkin hamil. Jevin hanya menyentuhku di malam mengerikan itu saja, meskipun aku tak tahu berapa kali dan berapa lama dia melakukannya.
Aku tidak mungkin hamil semudah ini, karena banyak pasangan sah di luar sana yang sulit mendapatkan anak.
“Aku harus memeriksanya,” gumamku sambil membuka platform belanja online, memasukkan beberapa buah tespek ke keranjang belanja.
0_<
“Mau ke mana, Win?” tanya Gladis dengan membuka pintu kamar.
Sepertinya, dia baru saja pulang dari kampus, terlihat dari penampilannya dengan totebag dan beberapa buku di tangannya.Aku juga menutup pintu kamar seraya berujar, “Ngambil paket. Sebentar lagi kayaknya datang.”
“Beli apa?”
“Baju kaos, buat dipakai di kosan saja,” jawabku.
“Berapaan?”
“Murah kok.”
“Nanti waktu kamu mau buka, aku mau lihat ya?!”
“Pa-paketnya baru besok datang,” tukasku tergagap-gagap. Jantungku juga berdegup kencang. Aku tidak mungkin membukanya di depan Gladis, karena bukan baju kaos lah yang dibeli. “Aku baru ingat kalau paket kaosku baru besok datang. Kalau sekarang, aku sedang menunggu paket buku novelku,” tambahku ketika Gladis menatapku dengan kernyitan. “Tadi Pak Yono masuk Dis?”
“Masuk, tapi hanya masuk sebentar. Hanya ngasih tugas terus beliau pergi lagi.”
“Aku kira beliau masih ada seminar di Purbalangga.” Aku sedikit bernafas lega, sepertinya Gladis tidak tertarik lagi untuk membahas paketku.
“Kondisimu bagaimana?”
“Sudah lumayan. Mungkin besok sudah masuk kampus lagi.”
“Syukurlah kalau begitu,” ucap Gladis dengan memberikan senyum lebar.
“Win!” panggil Mbak Yani yang berjalan mendekat ke arahku. “Nih, ada paket untukmu!”
Buru-buru aku mengambilnya dan menyembunyikan di belakang tubuhku. “Te-terima kasih Mbak.”
“Itu novel yang kamu beli, Win?” tanya Gladis yang memasang wajah penasaran.
“Aku masuk ke dalam dulu Mbak, Dis.” Tanpa menunggu respons mereka, aku membuka pintu dan segera masuk ke dalam kamar.
Aku memperhatikan paket di tanganku dengan mata yang berkabut, sebelum berubah menjadi tangisan tanpa suara. Kata tespek yang tertulis di stiker label pengiriman membuatku emosional. Tidak pernah terbayangkan atau terpikirkan sebelum-sebelumnya kalau akan membeli produk itu, dan tangisanku semakin menjadi-jadi saat menyadari Mbak Yani mungkin saja membacanya. Aku tidak siap, mungkin tidak akan pernah siap kalau orang-orang sekitarku mengetahuinya.
“Tidak. Tidak. Aku tidak hamil,” aku mencoba mensugesti diri sendiri.
Ditarik nafas pelan dan dihembuskan, kemudian mengusap kedua pipi yang telah basah dengan air mata. Aku berjalan mendekati kasur dan merebahkan tubuhku, memutuskan untuk tidur. Mata ini terasa sangat mengantuk. Mungkin karena mereka tidak mau terpejam sejak tadi malam. Aku akan memeriksanya besok pagi saja. Dari informasi yang aku baca, pilihan waktu yang dianjurkan untuk melakukan tes kehamilan adalah saat buang air kecil pertama di pagi hari.
0_<
“Hah! Hah! Hah!” Deru nafas berpacu kencang. Mata ini terbuka lebar-lebar dan tubuhku terduduk tegang. Sungguh mimpi yang sangat mengerikan. “Jam berapa sekarang?” gumamku setelah sedikit tenang. Aku mengambil ponselku yang terletak di atas bufet kecil dan menyalakannya. Ternyata baru jam empat lewat.
Aku berjalan mendekati dispenser. Aku butuh minum. Meskipun sedikit tenang, tapi kegelisahan ini tidak mau hilang. Mimpi tadi seolah nyata. Di mimpi itu, perutku membesar dan terasa ada yang bergerak. Salah satu kakiku di rantai dan seseorang memegangnya. Ketika aku memfokuskan penglihatannya, sosok Jevin tiba-tiba muncul dengan seringai cemooh yang memuakkan.
“Semua akan baik-baik saja, Win!” Aku mencoba menyemangati diri sendiri.
Dengan ragu-ragu aku mendekati paket yang tergeletak begitu saja di dekat pintu dan membukanya, menampakkan lima macam tespek berbagai merek. Sekali lagi aku mensugesti diriku kalau semua akan baik-baik saja sebelum masuk ke dalam kamar mandi.
“Garis satu,” lirihku dengan senyum lebar.
Masih ada empat tespek lagi. Tapi hasil yang pertama sedikit memberikan secercah harapan.
Mataku mulai berkabut.
“D-Dua?”
0_<
@Alsaeida0808 TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA. NANTIKAN TERUS KELANJUTANNYA.
Masih ada tiga lagi. Yang kedua itu pasti rusak. Tapi, apa yang aku inginkan tidak kesampaian. Ketiga tespek yang lain menunjukkan hasil yang sama. Ternyata memang ada sesuatu yang tumbuh di tubuhku.“TIDAK! TIDAK!” teriakku sambil melemparkan kelima tespek itu ke lantai. Tangisanku langsung pecah, sesenggukan. Aku juga melempar botol sampo dan sabun yang berada di dekatku, melampiaskan semua kekecewaan. Baru dua jam kemudian aku keluar dari kamar mandi dengan mata sembab dan wajah yang memerah. Aku tidak langsung mengganti pakaian yang basah, justru menghempaskan tubuhku ke atas kasur dan menatap langit-langit. Apa yang harus lakukan sekarang? batinku. Alarm yang berbunyi dari ponselku, memaksa untuk bangun. Aku sudah mengurung cukup lama. Mungkin saja aku bisa menemukan solusinya. Dengan ogah-ogahan, aku mengganti pakaian dengan kemeja dan celana bahan. Kemudian mengambil tas selempang yang digantung di pintu. “Masuk hari ini, Win?” tanya Gladis yang masih dengan piyama. Ditanga
“Klinik aborsi?” Mata Yofi terbelalak. “Adik sepupuku hamil diluar nikah,” sambungku. Yofi tampak menghela nafas. “Kamu membuatku kaget, Win. Aku kira kamu yang ingin aborsi, karena dari penampilanmu, kamu terlihat seperti gadis baik-baik. Selama beberapa bulan aku mengenalmu pun, kamu tidak pernah menunjukkan sikap yang buruk.” Aku hanya menunjukkan senyum kecil, sebagai bentuk menghargai atas pujiannya. "Masih lama di sini, Win?" "Nggak kok, ini mau ke kampus." "Yuk, biar aku antar." "Nggak usah Yof, nanti aku pesan Go-Jek saja," tolakku, masih ingin di sini. "Sama aku saja, sekalian aku memang mau lewat di depan fakultasmu." Yofi menyodorkan helm yang tadinya tergantung di pengait di bawah stang. "Nggak apa-apa Yof, aku…," belum aku menyelesaikan kalimatku, Yofi sudah memasang helm hitam itu ke kepalaku dan mengencangkan tali pengaman di bawah dagu. "Ayuk naik!" kata Yofi memaksa. "Apalagi langit sekarang sedang mendung," tambahnya. Dari ekspresi yang aku tunjukkan
"Mau pesan apa, Win?" tanya Gladis sembari meletakkan tas di atas meja."Mie ayam," jawabku tanpa melihat daftar menu yang tertempel di dinding, persis di tempat dudukku sekarang. Sejak pagi tadi, aku memang ingin makan olahan mie yang dicampur dengan daging ayam semur kecap tersebut. Alhasil setelah materi kuliah siang ini berakhir, aku langsung mengajak Gladis menuju gerobak Pak Mamat. "Sama jus jeruk," sambungku."Tumben pesan mie ayam, biasanya bakso?""Lagi pengen aja," jawabku.Gladis mengangguk paham dan beranjak mendekati gerobak. Sementara aku mulai membuka ponselku dan membuka DM Inst4gr4m, ternyata masih belum dibaca. Setelah berpikir semalaman, akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti salah satu saran Yofi, mencoba meminta pertanggungjawaban Jevin meskipun jauh di lubuk hatiku, aku yakin dia pasti menolaknya. Dia pasti tidak akan mau merusak masa depan karirnya hanya karena kehadiran anak ini. Jevin mungkin akan berpikiran sama, akan menggugurkannya, tapi setidaknya aku tida
Kelopak mataku perlahan-lahan terbuka, samar-samar terlihat langit-langit berwarna putih. Kepala ini masih sedikit berdenyut dan badanku masih terasa lemas. Dari balik tirai putih yang mengelilingiku, sayup-sayup aku mendengar beberapa suara yang saling bercakap dan salah satunya cukup familiar. “Apakah aku di rumah sakit,” gumamku sambil berusaha bangun, hendak bersandar di kepala kasur. Tirai tiba-tiba terbuka dan menampakkan Mbak Yani yang memasang wajah khawatir. Dia berjalan mendekat sambil berucap, “Bagaimana kondisimu sekarang?” “Masih sedikit pusing dan lemas Mbak,” jawabku dengan memperbaiki posisi dudukku agar lebih nyaman. “Tapi kenapa aku bisa ada di sini Mbak?” “Kamu pingsan di kafe dan Mbak membawamu ke klinik ini.” Siluet kejadian beberapa jam lalu terlintas di benakku, aku tidak ingat apa-apa kecuali mataku yang tiba-tiba berkunang, sebelum akhirnya gelap datang. Aku terhenyak dan kemudian memandang Mbak Yani dengan tatapan was-was. Apa mungkin Mbak Yani sudah tahu
Mataku menatap lekat ke bola mata Mbak Yani, mencari kebohongan di sana. “Mbak akan membantuku?” kataku meyakinkan, takut telinga ini salah menangkap dan Mbak Yani mengangguk tegas. “Tapi kenapa?” tanyaku, masih belum percaya, bagaimanapun aborsi merupakan suatu kejahatan terhadap nyawa seseorang. Mbak Yani sekali lagi memeluk dan mengusap-usap punggungku. “Kalau alasanmu karena suka sama suka, mungkin Mbak nggak akan memperdulikan. Tetapi kondisimu berbeda. Mbak tidak bisa menutup mata begitu saja, apalagi Mbak juga memiliki adik seusiamu, meskipun kami sudah tidak bertemu sejak orang tua kami bercerai. Setiap Mbak melihatmu, Mbak selalu teringat dengannya.” Air mata yang sedikit terhenti, kini kembali mengalir, merasa terharu sekaligus sedikit lega. “Terima Mbak. Terima kasih banyak,” ucapku. 0__ “Win, sudah tidur?” suara dari balik pintu kamar terdengar berbarengan dengan suara ketukan. Aku yang sedang berbaring sambil termenung memandang langit-langit kamar, langsung bangun d
“Mbak,” panggilku sambil mengetuk pintu kamar Mbak Yani. Terdengar suara kaki mendekat sebelum pintu bercat coklat itu terbuka. “Masuk Win,” ucapnya. Kakiku bergerak melewati pintu, kemudian duduk di atas karpet merah yang terletak di tengah-tengah kamar. “Kalau mau makan snack, ambil saja ya Win,” sambungnya sambil wajahnya mengarah ke rak keranjang di dekat pintu yang terdapat berbagai jenis makanan ringan. “Aku sudah mendapatkan uangnya, Mbak,” jelasku to the point. “Berarti kamu tetap memutuskan untuk mengaborsikannya?” Aku mengangguk tanpa ragu. “Besok kamu selesai kuliah jam berapa?” “Hanya ada satu mata kuliah Mbak, di pagi hari.” “Baiklah, besok sore kita berangkat dan kamu minta ganti shift saja dengan karyawan lain.” “Iya Mbak, nanti aku minta tolong Karla untuk menggantikanku.” Mbak Yani sedikit menghembuskan nafas kasar. “Tapi kamu sudah memikirkan matang-matang, kan? Kamu sudah tahu kemungkinan resiko yang akan kamu alami meskipun klinik itu mengatakan aman? Mu
“Kamu tunggu sebentar di sini, Mbak mau tebus obat dulu,” kata Mbak Yani yang menuntunku ke kursi tunggu. Meskipun kata sang bidan bahwa aku sudah bisa pulang dan kondisiku sudah baik-baik saja, dia tetap memberikan beberapa resep obat. Sebagai antisipasi saja, katanya. Aku terburu-buru membuka membuka tote bag, mengambil dompet hitam dan menyodorkannya. “Mbak, bawa ini.” “Nggak usah, pakai uang Mbak saja,” tolak Mbak Yani. “Tapi Mbak…,” belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, Mbak Yani sudah berjalan menjauh. Satu masalah telah selesai. Aku merasa lega. Tapi entah kenapa, selain rasa lapang itu, ternyata ada rasa lain, sedikit rasa bersalah yang tiba-tiba hadir. Padahal tak sepantasnya aku merasakannya. Tiba-tiba aku kepikiran, bagaimanakah bentuknya? Apakah bentuknya segumpal darah seperti artikel yang aku baca, atau bentuk lain? Dan dimanakah para perawat itu menguburkannya? Atau dia tidak dikubur, justru dibuang? “Yuk Win kita pulang,” ajak Mbak Yani yang memegang lenganku
“Win, malam besok kamu nggak ada shift, kan?” tanya Yofi sambil meletakkan nampan di atas meja di samping counter dapur. “Pergi ke festival kampus yuk, katanya mereka banyak mengundang penyanyi-penyanyi terkenal.”“Nama penyanyinya siapa saja?”“Ada Fathika Azzira, Band Shelila, dan Bagas Pamungkas.”“Mereka nggak ngundang Jevin? Padahal Mbak berharap mereka bisa mengundang Jevin,” tiba-tiba Mbak Yani datang menimpali. “Kalau kata temanku yang panitia, mereka memang berniat untuk mengundang Jevin, tetapi Jevin menolaknya karena kesibukan jadwal. Makanya kemudian mereka memilih mengundang Bagas Pamungkas,” jelas Yofi. “Mbak benar-benar berharap suatu hari bisa bertemu Jevin secara langsung,” tukas Mbak Yani dengan tatapan mendamba. “Selain wajah ganteng, dia juga terkenal baik. Tidak pernah terdengar berita buruk tentang sikap Jevin,” tambahnya. “Aku bukan penggemarnya, tetapi aku cukup suka dengan lagu-lagunya,” sambung Yofi. “Kamu penggemar Jevin juga, Win?”“Nggak,” balasku sambil
“Win, malam besok kamu nggak ada shift, kan?” tanya Yofi sambil meletakkan nampan di atas meja di samping counter dapur. “Pergi ke festival kampus yuk, katanya mereka banyak mengundang penyanyi-penyanyi terkenal.”“Nama penyanyinya siapa saja?”“Ada Fathika Azzira, Band Shelila, dan Bagas Pamungkas.”“Mereka nggak ngundang Jevin? Padahal Mbak berharap mereka bisa mengundang Jevin,” tiba-tiba Mbak Yani datang menimpali. “Kalau kata temanku yang panitia, mereka memang berniat untuk mengundang Jevin, tetapi Jevin menolaknya karena kesibukan jadwal. Makanya kemudian mereka memilih mengundang Bagas Pamungkas,” jelas Yofi. “Mbak benar-benar berharap suatu hari bisa bertemu Jevin secara langsung,” tukas Mbak Yani dengan tatapan mendamba. “Selain wajah ganteng, dia juga terkenal baik. Tidak pernah terdengar berita buruk tentang sikap Jevin,” tambahnya. “Aku bukan penggemarnya, tetapi aku cukup suka dengan lagu-lagunya,” sambung Yofi. “Kamu penggemar Jevin juga, Win?”“Nggak,” balasku sambil
“Kamu tunggu sebentar di sini, Mbak mau tebus obat dulu,” kata Mbak Yani yang menuntunku ke kursi tunggu. Meskipun kata sang bidan bahwa aku sudah bisa pulang dan kondisiku sudah baik-baik saja, dia tetap memberikan beberapa resep obat. Sebagai antisipasi saja, katanya. Aku terburu-buru membuka membuka tote bag, mengambil dompet hitam dan menyodorkannya. “Mbak, bawa ini.” “Nggak usah, pakai uang Mbak saja,” tolak Mbak Yani. “Tapi Mbak…,” belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, Mbak Yani sudah berjalan menjauh. Satu masalah telah selesai. Aku merasa lega. Tapi entah kenapa, selain rasa lapang itu, ternyata ada rasa lain, sedikit rasa bersalah yang tiba-tiba hadir. Padahal tak sepantasnya aku merasakannya. Tiba-tiba aku kepikiran, bagaimanakah bentuknya? Apakah bentuknya segumpal darah seperti artikel yang aku baca, atau bentuk lain? Dan dimanakah para perawat itu menguburkannya? Atau dia tidak dikubur, justru dibuang? “Yuk Win kita pulang,” ajak Mbak Yani yang memegang lenganku
“Mbak,” panggilku sambil mengetuk pintu kamar Mbak Yani. Terdengar suara kaki mendekat sebelum pintu bercat coklat itu terbuka. “Masuk Win,” ucapnya. Kakiku bergerak melewati pintu, kemudian duduk di atas karpet merah yang terletak di tengah-tengah kamar. “Kalau mau makan snack, ambil saja ya Win,” sambungnya sambil wajahnya mengarah ke rak keranjang di dekat pintu yang terdapat berbagai jenis makanan ringan. “Aku sudah mendapatkan uangnya, Mbak,” jelasku to the point. “Berarti kamu tetap memutuskan untuk mengaborsikannya?” Aku mengangguk tanpa ragu. “Besok kamu selesai kuliah jam berapa?” “Hanya ada satu mata kuliah Mbak, di pagi hari.” “Baiklah, besok sore kita berangkat dan kamu minta ganti shift saja dengan karyawan lain.” “Iya Mbak, nanti aku minta tolong Karla untuk menggantikanku.” Mbak Yani sedikit menghembuskan nafas kasar. “Tapi kamu sudah memikirkan matang-matang, kan? Kamu sudah tahu kemungkinan resiko yang akan kamu alami meskipun klinik itu mengatakan aman? Mu
Mataku menatap lekat ke bola mata Mbak Yani, mencari kebohongan di sana. “Mbak akan membantuku?” kataku meyakinkan, takut telinga ini salah menangkap dan Mbak Yani mengangguk tegas. “Tapi kenapa?” tanyaku, masih belum percaya, bagaimanapun aborsi merupakan suatu kejahatan terhadap nyawa seseorang. Mbak Yani sekali lagi memeluk dan mengusap-usap punggungku. “Kalau alasanmu karena suka sama suka, mungkin Mbak nggak akan memperdulikan. Tetapi kondisimu berbeda. Mbak tidak bisa menutup mata begitu saja, apalagi Mbak juga memiliki adik seusiamu, meskipun kami sudah tidak bertemu sejak orang tua kami bercerai. Setiap Mbak melihatmu, Mbak selalu teringat dengannya.” Air mata yang sedikit terhenti, kini kembali mengalir, merasa terharu sekaligus sedikit lega. “Terima Mbak. Terima kasih banyak,” ucapku. 0__ “Win, sudah tidur?” suara dari balik pintu kamar terdengar berbarengan dengan suara ketukan. Aku yang sedang berbaring sambil termenung memandang langit-langit kamar, langsung bangun d
Kelopak mataku perlahan-lahan terbuka, samar-samar terlihat langit-langit berwarna putih. Kepala ini masih sedikit berdenyut dan badanku masih terasa lemas. Dari balik tirai putih yang mengelilingiku, sayup-sayup aku mendengar beberapa suara yang saling bercakap dan salah satunya cukup familiar. “Apakah aku di rumah sakit,” gumamku sambil berusaha bangun, hendak bersandar di kepala kasur. Tirai tiba-tiba terbuka dan menampakkan Mbak Yani yang memasang wajah khawatir. Dia berjalan mendekat sambil berucap, “Bagaimana kondisimu sekarang?” “Masih sedikit pusing dan lemas Mbak,” jawabku dengan memperbaiki posisi dudukku agar lebih nyaman. “Tapi kenapa aku bisa ada di sini Mbak?” “Kamu pingsan di kafe dan Mbak membawamu ke klinik ini.” Siluet kejadian beberapa jam lalu terlintas di benakku, aku tidak ingat apa-apa kecuali mataku yang tiba-tiba berkunang, sebelum akhirnya gelap datang. Aku terhenyak dan kemudian memandang Mbak Yani dengan tatapan was-was. Apa mungkin Mbak Yani sudah tahu
"Mau pesan apa, Win?" tanya Gladis sembari meletakkan tas di atas meja."Mie ayam," jawabku tanpa melihat daftar menu yang tertempel di dinding, persis di tempat dudukku sekarang. Sejak pagi tadi, aku memang ingin makan olahan mie yang dicampur dengan daging ayam semur kecap tersebut. Alhasil setelah materi kuliah siang ini berakhir, aku langsung mengajak Gladis menuju gerobak Pak Mamat. "Sama jus jeruk," sambungku."Tumben pesan mie ayam, biasanya bakso?""Lagi pengen aja," jawabku.Gladis mengangguk paham dan beranjak mendekati gerobak. Sementara aku mulai membuka ponselku dan membuka DM Inst4gr4m, ternyata masih belum dibaca. Setelah berpikir semalaman, akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti salah satu saran Yofi, mencoba meminta pertanggungjawaban Jevin meskipun jauh di lubuk hatiku, aku yakin dia pasti menolaknya. Dia pasti tidak akan mau merusak masa depan karirnya hanya karena kehadiran anak ini. Jevin mungkin akan berpikiran sama, akan menggugurkannya, tapi setidaknya aku tida
“Klinik aborsi?” Mata Yofi terbelalak. “Adik sepupuku hamil diluar nikah,” sambungku. Yofi tampak menghela nafas. “Kamu membuatku kaget, Win. Aku kira kamu yang ingin aborsi, karena dari penampilanmu, kamu terlihat seperti gadis baik-baik. Selama beberapa bulan aku mengenalmu pun, kamu tidak pernah menunjukkan sikap yang buruk.” Aku hanya menunjukkan senyum kecil, sebagai bentuk menghargai atas pujiannya. "Masih lama di sini, Win?" "Nggak kok, ini mau ke kampus." "Yuk, biar aku antar." "Nggak usah Yof, nanti aku pesan Go-Jek saja," tolakku, masih ingin di sini. "Sama aku saja, sekalian aku memang mau lewat di depan fakultasmu." Yofi menyodorkan helm yang tadinya tergantung di pengait di bawah stang. "Nggak apa-apa Yof, aku…," belum aku menyelesaikan kalimatku, Yofi sudah memasang helm hitam itu ke kepalaku dan mengencangkan tali pengaman di bawah dagu. "Ayuk naik!" kata Yofi memaksa. "Apalagi langit sekarang sedang mendung," tambahnya. Dari ekspresi yang aku tunjukkan
Masih ada tiga lagi. Yang kedua itu pasti rusak. Tapi, apa yang aku inginkan tidak kesampaian. Ketiga tespek yang lain menunjukkan hasil yang sama. Ternyata memang ada sesuatu yang tumbuh di tubuhku.“TIDAK! TIDAK!” teriakku sambil melemparkan kelima tespek itu ke lantai. Tangisanku langsung pecah, sesenggukan. Aku juga melempar botol sampo dan sabun yang berada di dekatku, melampiaskan semua kekecewaan. Baru dua jam kemudian aku keluar dari kamar mandi dengan mata sembab dan wajah yang memerah. Aku tidak langsung mengganti pakaian yang basah, justru menghempaskan tubuhku ke atas kasur dan menatap langit-langit. Apa yang harus lakukan sekarang? batinku. Alarm yang berbunyi dari ponselku, memaksa untuk bangun. Aku sudah mengurung cukup lama. Mungkin saja aku bisa menemukan solusinya. Dengan ogah-ogahan, aku mengganti pakaian dengan kemeja dan celana bahan. Kemudian mengambil tas selempang yang digantung di pintu. “Masuk hari ini, Win?” tanya Gladis yang masih dengan piyama. Ditanga
Tubuhku sontak terlonjak hingga bertabrakan dengan Gladis yang berdiri di belakangku."Ga--gapapa, Dis," ucapku tergagap. Gladis menatapku curiga. Bahkan, kini dia ikut menatap penasaran ke dalam laci. “Ada apa sih, Win?” “Ehm… Nggak papa kok, Dis. Serius” Aku dengan cepat mengambil beberapa pack pembalut dan menyerahkannya. Sekali lagi kepala Gladis melongok sebelum akhirnya berkata, “Makasih Win.” “Sama-sama,” jawabku yang mengikuti Gladis menuju pintu kamar. Setelah pintu tertutup, aku buru-buru mengambil ponselku, membuka browser, dan mengetik sesuatu yang membuatku panik ‘Tanda-tanda kehamilan.’ Mataku men-scanning setiap kata yang tertera, kemudian tubuhku terduduk lemas. “Tidak. Tidak mungkin. Aku nggak mungkin hamil,” lirihku. Mataku mulai berkaca-kaca. Pikiranku terus mencoba menyangkal, tapi hati ini seolah berfirasat buruk. “Nggak Win, kamu nggak hamil,” ucapku berusaha menguatkan diri. Jari-jariku dengan kasar mengusap kelopak mata. Aku tidak mungkin hamil. J