Rendra melempar kantong beserta isinya ke lantai. Sebab terkejut begitu isinya terlihat. Dengan kaki dia menyenggol kantong. Isinya terdorong keluar dengan sempurna. Bau busuk langsung menguar. Cairan merah bercampur kuning kehijauan mengalir mengotori karpet. Bangkai angsa kecil yang masih berwarna kuning. Lehernya terkoyak. "Apa itu, Pa? Siapa yang mengirim?" cicit Safira. Rendra bergegas pergi. Dia mencari Anti dan Ari. Hendak menginterogasi keduanya. Aster masih berdiri terbelalak di sana. Di sebelahnya Safira yang semula ketakutan, menjadi menggerutu berapi - api. "Mama tahu sesuatu?" tanya Aster ragu. "Mungkin. Mungkin saja benar apa yang tebersit di pikiran mama. Mama beritahu mas Rendra dulu," jawab Safira. Dia menyusul suaminya. Jadilah Aster sendirian. Aster mengambil majalah dari rak. Dia menggulungnya untuk mendorong bangkai angsa menjauh dari mulut kantong. Dia melihat sesuatu yang lain. Dia pun menarik kantong, menjatuhkan barang lain yang masih ada d
Safira memandang plafon kamar. Dia baru saja bangun. Ingatlah dia kalau seharusnya dia berada di ruang keluarga. Dan ada bangkai. Aster berlari ke kamar mandi. Dia muntah - muntah. Lemas dia menyeret badan kembali ke kasur. Terbujur lemah di tepi tempat tidur. "Non, sudah bangun?" tanya Anti berseru dari balik pintu. "I-ya," ujar Aster sekencang dia mampu. Anti membuka pintu. Dia masuk dan menghampiri Aster. "Non Aster kenapa? Mau saya bantu apa?" cemas Anti. "Ti-dak. J-jam be-rapa?" tanya Aster. "Jam 7, Non. Non Aster sakit? Mau makan atau minum? Pucat gini." Aster tak bisa menjawab. Dia tersungkur ke bawah. Dan muntah kembali. Anti pun sigap mengurus. Dia membantu Aster muntah dengan nyaman terlebih dahulu. Lalu membersihkan Aster dari muntahan. Membantunya naik ke tempat tidur untuk berbaring. Barulah membersihkan lantai. "Saya ambilkan makan lalu minum obat ya, Non?" Anti menawarkan. "Roti tawar saja," lirih Aster menyahut. Anti bergegas menuju dapur.
Aster mematut diri di depan cermin. Dia mengusap gaun hitam panjang semata kaki yang dipinjamkan Safira. Gaun itu sudah lama tapi masih bagus. Lengan longgarnya sampai siku. Aster pun memakai gelang dan jam tangannya. Dia tidak akan tampil menyedihkan. Aster telah menguncir kuda rambutnya tinggi - tinggi. Terlihatlah leher jenjang bersemat kalung tipis. Dia akan mendongakkan dagu. Setidaknya dia harus menjadi wanita kuat malam ini. Dia tidak akan memberi celah bagi Brian untuk menyakitinya lagi. Juga tidak akan membuat malu keluarga calon suaminya. "Mbak, sudah siap?" tanya Tomy yang melongokkan kepala ke pintu kamar. "Iya, Tom," jawab Aster. Dia mengambil memo yang kucel di meja rias. Juga tas tangan dan tas berkas. Tadi siang Fuad datang mengantar berkas yang diperlukan. Dia masih sedikit lemas, tapi bisa menemui Fuad di teras. Lalu seg
"Terlebih kamu membawa Tomy. Apa dia anak buahmu? Atau David mengirimnya sebagai pelindung? Kekasihmu tidak berani datang sendiri dan menghadapiku?" ujar Brian lirih. Dia tersenyum, tapi begitu dingin menusuk. Dengan suara yang begitu jauh. Membuat tengkuk Aster merinding. Dia menautkan tangan di bawah meja. "Semua tidak perlu saya jawab. Saya pamit. Tidak ada urusan lain yang perlu kita bicarakan," balas Aster. "Oh, ya? Kamu yakin? Asal kamu tahu, aku bisa dengan mudah membuat pernikahanmu dengan David batal," ancam Brian. Aster membelalak. Dia mengepalkan tangan. Dadanya sesak menahan emosi. "Ya, kamu tidak salah dengar. Aku bisa menyingkirkanmu. Atau menggeser David. Harusnya kamu lebih berhati - hati. Apa David tidak mengatakan apa pun padamu?" kata Brian penuh kesombongan. "Jika mas David tidak pernah menyebut namamu, maka itu berarti bukan hal pen
"Maksud kamu apa, Tomy?" ulang Safira. Tomy mendesah kesal. Dia sudah menerangkan pada ibunya sebanyak dua kali. "Pelayan menumpahkan saus ke bajuku. Aku terpaksa ke kamar mandi. Lalu saat aku kembali, mereka sudah tidak ada. Aku melihat sekretaris Brian di sana tengah membayar. Saat kutanyai, dia bilang kalau mbak Aster keluar bersama seorang pria. Sementara Brian dia baru saja pergi," ulang Tomy. "Kamu tidak meminta CCTV? Kamu sudah memeriksa di luar?" "Aku sudah berkeliling di luar. Tapi pihak restoran tidak memberiku akses CCTV. Sekuriti bilang dia melihat mbak Aster keluar sendiri." Rendra berkacak pinggang. "Aku akan menemui anak itu," putus Rendra. Dia bergegas pergi dari rumah. Putra bungsu menyusul. "Aku ikut, Pa. Dia tadi tahu aku ada di sana," ujar Tomy. Ren
Badan Aster rasanya remuk redam. Dia tidak ingat apa yang terjadi. Setelah Brian membawanya dari restoran. Tidak! Bagaimana dengan nasib Tomy? Brian telah menyakiti Tomy untuk memaksa Aster pergi dengannya. Setelah Aster mengikutinya, apa Tomy sudah dibebaskan? Bagaimana pula kalau mereka jadi mencari Aster? Mengapa menjadi runyam seperti ini keadaannya. Aster tidak tahu harus bertindak apa. Apa lagi ketika dia membuka mata, hanya kegelapan yang menyapa. Sampai dia berpikir apa masih tak sadarkan diri. Atau dia menjadi buta! Perlahan mata Aster mulai beradaptasi. Dia bangun hati - hati. Bertumpu pada dinginnya..., lantai beton? Mungkin kah dia berada di ruang bawah tanah? Gelap, dingin, dan berlantai beton. "Arrggh!" pekik Aster ketika tangannya didekati sesuatu. Suara decit hewan pengerat. Aster pun menarik lutut. Dia memelu
Perih mengiris kulit. Bau anyir menusuk indera. Seketika kedua matanya terbuka. Dia terbaring di tempat tidur. Aster menarik tangannya. Namun suara besi menyentak. Kedua tangannya dirantai ke pilar tempat tidur. Begitu pula kakinya. Kepalanya berdesing saat dia bergerak. Bau anyir makin menusuk. Rasa lengket di dahinya. Dia menduga dahinya telah terluka. "Jangan banyak gerak," hardik Brian. Aster memandang benci pada pria itu. Dia bernafas terengah - engah menahan amarah. "Kamu nggak akan dapat apa - apa," sengal Aster. "Oh, ya? Itu kan menurut kamu, Aster. Lebih baik kamu diam saja," timpal Brian. Dia duduk di sebelah Aster. Tangannya terjulur ke arah wajah wanita
Rumah itu. Aster mengenalinya. Rumah yang menjadi latar belakang foto David dan Brian. Namun saat ini hanya ada Brian. Pria yang menarik Aster tanpa ampun ke dalam rumah tersebut. Bau lembab menyambut. Brian menyalakan lampu. Lalu membawa Aster menuju salah satu ruang di lantai bawah. Entah apa yang akan Brian perbuat. Aster masih waswas. Untuk melarikan diri, tempat ini terlalu jauh dari mana pun. Belum lagi ke arah mana dia harus lari. Di jalan tadi hampir tidak bertemu kendaraan lain. Akan sulit mencari pertolongan. Dia dipaksa masuk ke ruangan tersebut. Begitu gelap dan pengap. Bayangan ketika dia berada di ruang bawah tanah membuat Aster berseru menolak. "Keluarkan aku dari sini!" seru Aster. Dia menggedor pintu yang Brian kunci dari luar. Pria itu tidak menjawab apa pun. Pintu bergeming. Aster melorot turun menyentuh daun pintu. Tunggu. Pasti ada saklar lampu. Aster bangkit berdiri. Dia meraba - raba dinding. Sampai menemukan sesuatu yang menonjol dan bisa diteka