Aster mencoba membuka pintu. Namun tidak bergerak sedikit pun. Brian menguncinya dari luar. Terlihat jendela kaca besar di sisi ruangan. Aster bergerak ke sana. Beruntung benda itu bisa digerakkan. Aster mendorongnya perlahan. Takut benda ikut mengeluarkan suara yang akan menarik perhatian Brian. Beruntung engselnya tidak macet. Rumah ini meski lama tidak ditempati tapi masih terawat. Aster pun melongokkan kepala. Di bawah terbentang halaman berpaving. Ada rumput liar yang tumbuh. Hanya saja tidak banyak. Tidak akan bisa menahan tubuh Aster dengan aman. Kalau Aster nekat melompat keluar, dia bisa remuk seketika. Aster pun menutup jendela kembali. Dia sudah puas melihat posisinya. Kamar itu berada di sisi bangunan. Begitu keluar dari jendela, dia akan berada di samping rumah. Terlihat ada jalan setapak. Aster bisa mengikuti jalan setapak itu. Asal dia menjauh dari suara ombak, maka akan am
Kepala Aster begitu berat. Bunyinya tidak nyaman. Ada ketakutan kalau dia mengalami gegar otak. Sudah berapa kali dia jatuh dan kepalanya terantuk benda keras. Bisa saja dia kehilangan banyak ingatan. Belum lagi tekanan jiwa yang menimpa. Kalau Aster menjadi gila, dia tidak akan kaget. Malahan akan dia terima dengan lapang dada. Dia bangun dan mendapati hari sudah gelap. Malam hari. Namun entah malam yang kapan. Tidak tahu berapa lama dia telah tak sadarkan diri. Bisa jadi baru beberapa jam. Atau malah sudah berapa hari. Dia tidak bisa membuang waktu. Aster memeriksa temuannya di bawah bantal. Masih ada di sana semua. Secara berjingkat, Aster turun dari tempat tidur. Dia menempelkan telinga ke pintu. Berharap dapat mendengar suara dari luar. Tiada gerakan di luar sana. Keheningan yang tidak merayapkan bunyi apa pun. Brian entah berada di mana. Mungkinkah Brian pergi dari rumah? Aster bergerak ke jendela. Dia mengintip ke halaman. Tidak bisa terlihat benda di depan ru
"Tunggu!" seru Aster setelah memikirkan. Dia menyebutkan alamat rumah baru yang David berikan pada Aster. Dalam hati Aster berharap di sana tidak ada sesuatu yang dicari Brian. Dengan tenang Aster memandang Brian agar dia tidak curiga. Biar yakin Aster tidak memberi alamat palsu. Juga betapa dia tidak ingin Brian merebut rumah itu darinya. Senyum sengit terbit di bibir Brian. Dia balas menatap Aster yang berdiri merunduk. Tak ada kata lain. Namun Aster yakin, begitu Brian berbalik badan dan keluar kamar, pria itu bergegas menyuruh anak buahnya menuju ruma baru David dan Aster. Atau mungkin malah dia yang pergi sendiri ke rumah tersebut. Bisa jadi pilihan kedua adalah hal yang paling mungkin. Aster perlahan mulai tahu tabiat Brian. Pria itu memiliki ego yang tinggi. Juga tingkat kepercayaan pada orang yang tidaklah enteng. Jika benar, maka kesempatan bagi Aster untuk kabur akan datang lebih cepat. Aster menanti tak sabar. Dia menempelkan telinga ke pintu. Mungkin ketika e
Aster kehilangan sepatu sejak dilempar Brian ke ruang bawah tanah. Dia tidak memikirkan mencari alas kaki sewaktu berada di kamar rumah tebing. Sekarang dia menahan perih tiap kakinya menapak pada permukaan bebatuan. Dia berhati - hati menghindari rerumputan. Rumput berduri bisa bersembunyi di antaranya. Jalan setapak yang dia lihat tidak lah semulus dalam bayangan. Suara ombak makin terdengar, membuat Aster berhenti. Dia harus menjauhi ombak agar bisa ke jalan raya. Kalau ombak malah makin terdengar, artinya dia salah arah. Namun, bisa saja dia menemukan pertolongan dari orang yang ada di sekitar pantai. Kalau saja ada orang di sana. Pun jika orang - orang baik yang mau menolong. Aster mengeliminasi opsi ke arah pantai. Dia harus menelusuri jalan. Itu hal teraman. Kalau naik ke jalan langsung, Brian bisa menemukannya. Berbeda ketika dia berjalan sejajar jalan. Sulit bagi Brian untuk turun dengan mobilnya ke tanah. Dan matahari makin turun. Langit mulai menjadi lembayung.
"Farah, ajak Aster membersihkan diri. Juga pinjamkan dia baju dan sandalmu. Terus ambilkan air hangat dalam baskom dan kotak P3K," ujar Bahar tenang. Farah mengangguk. Dia menjulurkan tangan. Meski Aster tidak langsung menerimanya. "Jangan takut, Mbak. Kamar mandi di dalam bersih kok," ujar Farah. Aster menoleh pada Bahar. Pria itu mengangguk. Dia lalu beralih kembali pada pekerjaannya. Aster pun mengikuti Farah masuk ke dalam bangunan. Di sana begitu besar dan luas. Ada banyak tumpukan aneka potongan kayu dan berbagai mebel. Tidak ada yang mencurigakan. Farah membawanya melewati sederet rak berisi perkakas. Lalu berbelok ada semacam pantry dan dapur kecil. Di sebelahnya ada pintu menuju kamar mandi. "Aku ambilkan baju ganti. Mbak sila membersihkan diri terlebih dahulu. Di dalam ada cermin, jangan kaget," kata Farah lirih. Aster hanya mengangguk. Dia masuk ke kamar mandi. Rasanya dia memang memerlukan kamar mandi. Namun ada hal yang membuat Aster agak heran. Jangan kag
Bahar mempertahankan tatapan penuh penghakiman. Begitu Aster yang bersikukuh. Mereka bagai beradu mata. Suasana canggung itu tampaknya turut dirasakan kedua anak Bahar. Mereka beringsut tak nyaman di tempatnya duduk. Farhan lah yang pertama berujar. "Pak, kalian berdua kenapa?" tegur Farhan cemas. Aster berdeham. Dia menyentuh kantong serut di balik bajunya. Masih aman tidak diketahui. "Siapa yang menurut Anda lebih murah hati, Brian atau David?" tanya Aster memeriksa. Pria yang tampaknya hampir separuh baya itu diam. Selayaknya tengah mempertimbangkan. Pandangannya tajam memperhatikan Aster secara saksama. "Brian akan mencarimu sampai di sini. Sebaiknya aku mengantarmu pergi dari tempat ini segera," jawab Bahar mengagetkan Aster. "Di-dia tahu Anda? Ta-hu tempat ini?" sahut Aster gagap. Sayangnya anggukan Bahar bukan jawaban yang Aster inginkan. Lemas seketika badan Aster. Dia merunduk menopangkan tangan ke kursi. "Kemana aku harus mengantarmu?" ujar Bahar tenang.
"Kecuali Brian," imbuh Aster. Dia meremas buntelan. Merasa begitu bodoh telah tergesa - gesa bertanya. Kalau Bahar ganti bertanya mengapa padanya, maka Aster harus menyiapkan alasan. "Aku tidak tahu. Tidak pernah membuat daftar orang - orang yang disinggung David," jawab Bahar kemudian. "Apa mas David sebegitu kasar? Dia..., dia selalu lembut padaku. Malahan, dia begitu manja," bantah Aster. Aster menyentuh lokasi kantong serut. Masih ada di sana. Entah mengapa dia merasa benda itu sangat penting untuk David. "Sebab dia menyukaimu. David menginginkanmu, kan. Tentu saja dia bisa menunjukkan sifat aslinya padamu." "Sifat asli?" Bahar menghela nafas. "Sudah kamu sebutkan tadi. Memang aslinya begitu sebelum kena pengaruh Brian. Namun, mengapa kamu bertanya begitu? Apa ada y
"Pertanyaanmu, bukan seandainya?" Aster menggeleng pelan. Dia membiarkan matanya basah kuyub oleh air mata. Setidaknya sekarang dia berada di tempat aman. Meski dia pun merasa tak benar. David entah berada di mana dan kondisi seperti apa. Bisa jadi David lebih parah dari nasibnya. "Rendra, apa yang terjadi?" tanya Bahar. Rendra menepuk pundak Bahar. "Anak itu entah ada di mana. Sudah hampir sebulan ini kami mencarinya kemana - mana, tapi belum membuahkan hasil. Bagaimana bisa kami mengharapnya datang menyelamatkan Aster dari Brian," jawab Rendra muram. "Brian tidak tahu?" tebak Bahar. "Tidak. Hanya kami. Aku sengaja masih menyimpan hal ini," kata Rendra. Bahar berkacak pinggang. Dia memandang Aster dan Rendra bergantian. Tampak berpikir keras. "Soal Brian? Kenapa dia malah menculik Aster? Dia tidak curiga David tidak datang mencarinya?" ujar Bahar tidak mengerti. "Entahlah. Dia memang mencari David. Aku tak tahu Brian sudah sampai mana," timpal Rendra. "Apa sudah d
"Aster," sebut Brian. Dia maju meraih tangan Aster, yang langsung ditampik oleh David. Keduanya lantas beradu pandang. Aster ditarik mendekat oleh David. Lengan David melingkar di pundaknya. "Jaga tanganmu dari istriku!" desis David penuh ancaman. Brian menyeringai. "Sebentar lagi dia akan meninggalkanmu karena tempramen labilmu, Dav. Aku sih mau saja menerima anakmu juga." Gerakan David begitu cepat. Dia mendorong Brian sampai terhempas menabrak dinding. Lekas Jimmy menahan Brian. Menariknya menjauh dari David yang berdiri dengan nafas menderu. Tanpa takut Aster menyentuh tangan suaminya. "Mas... sudah." Seketika David menoleh. Nafasnya melembut. "Sayang, maaf. Aku... ayo kita masuk saja. Tidak perlu bicara dengan pria konyol ini." Brian tertawa. Dia berusaha melepaskan diri dari kuncian Jimmy. "Aster, kembalilah padaku saja. David tidak pantas mendapat dirimu. Aku bisa menyayangimu dan anakmu." David sudah hampir merangsek maju. Namun cengkeraman kuat tangan Aster
Aster mencubit tangan David. "Mengaku saja! Aku menemukan buku harian mas David di sini." David menegakkan diri. Dia mengusap leher Aster yang berdenyut lembut. "Wah... ternyata istriku. Kamu penasaran ya?" Aster mencubit makin sering. Dia jadi jengkel kalau digoda begitu. Dia menarik diri dari suaminya. Tanpa mengindahkan David yang membujuk, Aster berbaring. Dia memejamkan mata tidak mau mendengar David. Sang suaminya turut berbaring di sebelahnya. Tangannya melingkar di pinggang Aster yang berbaring miring. "Jangan marah, Sayang. Aku bercanda." Aster menggumam. Dia menyuruh David bergeser. "Anakku bilang ruangannya sempit." David tertawa pelan. Dengan rela bergeser sejengkal di belakang Aster. Sebentar lagi akan berubah keinginan istrinya. "Sayang... sudah tidur?" bisik David. Dia mendekat lagi. Namun Aster menggeram pelan. * David memegang tangan dan menyangga punggung Aster. Telaten membantu istrinya berjalan. "Awas lantainya tidak rata, Sayang." Mereka tengah
David berkacak pinggang. Dia mengerutkan dahi ke arah Jimmy. Asisten kepercayaannya tidak berani mengarahkan pandang pada David. Hanya ke arah leher David, yang sayangnya malah membuat Jimmy salah tingkah. Dia memutar mata ke pundak David saja. David memicingkan mata. "Kenapa kamu? Ada kesalahan yang tengah terjadi?" "Tidak, Bos. Semua berjalan lancar. Hanya saja... Anda yakin berangkat ke kantor hari ini?" Jimmy mengulas senyum hormat. "Memang kenapa? Aku sudah siap kembali menjadi David seperti sebelum hilang. Kamu mulai meragukanku, Jim? Apa Tomy semakin baik dan kamu mau beralih pada adikku?" Jimmy menggeleng cepat. "Tidak, Bos! Bos Tomy sudah punya asisten sendiri. Lagi pula beliau masih staf." "Kau sudah memanggilnya bos." David menerima tas yang Aster serahkan. Istrinya memberi senyum paling manis yang membuat David bersemangat. Namun tiba - tiba Aster berubah membelalak. Wajahnya memerah. "Mas, ke kamar sebentar." David mengerutkan dahi. Tapi dia mengikuti Aste
Aster duduk lemas di bawah tempat tidur. Bersandar ke kasur dengan kaki diluruskan. Suaminya turut duduk di sebelah Aster. Dengan telaten menyeka keringat yang membasahi muka. "Masih mual?" Kepalanya diangguk pelan. Itu pun tetap terasa tidak nyaman. Dia menarik tangan David dan digenggam kuat. "Mas... apa aku hamil ya? Harusnya sudah datang bulan. Rasanya juga enggak nyaman mau apa - apa." David melebarkan mata. Raut riang menyeruak. "Kita ke dokter langsung ya, Sayang? Kita pastikan ke ahlinya langsung. Karena ini pertama buat kita." Aster mendekat ke suaminya, menyandar manja. "Mas daftar dulu ke dokternya, aku masih lemah." David mengecup dahi Aster. Dia terkekeh pelan. Tangannya agak gemetaran karena begitu antusias. Selesai bersiap dan Aster sudah merasa lebih baik, mereka pun berangkat ke rumah sakit. David sudah mendaftar ke dokter kandungan yang ternyata adalah temannya. Aster menggamit lengan David saat memasuki rumah sakit. Dia memandang ke sekeliling dengan c
Dari David yang segera memberi perintah pada Jimmy untuk mencari informasi, Aster jadi tahu kalau selama ini Ari lebih sering tinggal di luar negeri. Di sana dia tinggal bersama seorang wanita yang sekarang sudah diceraikan. Karena itu dia kembali. Aster harap dia tidak mencoba mendekati Aster lagi. Dalam lubuk hatinya Aster tak memiliki rasa rindu. Sama sekali tak tergerak untuk mengetahui lebih soal sosok ayah kandung. Seakan ruang dalam hati Aster telah hampa. Dia tak lagi mau tahu. Tak mau bertemu pula. David yang baru pulang kerja selesai mandi. Sambil mengeringkan rambut dia duduk di sebelah istrinya. "Ayo kita pergi bulan madu saja." Istrinya malah menggeleng pelan. "Di rumah saja. Atau ke hotel." David meringis. Handuk ditaruh sebelum merangkul pinggang istrinya. "Kau perlu melihat dunia luar yang lain, Aster sayang." "Belum ingin. Di sini saja." Aster menaruh kepala ke dada David. "Aku mau datang ke persidangan." "Kamu yakin, Sayang?" David mengusap kepala
Aster merapat ke David. Dia tidak berani menyentuh kue yang diberikan. Pikiran ada orang di sana yang tengah memperhatikan membuatnya merinding. Dingin tengkuknya terasa. David melingkarkan tangan ke pinggang Aster. Memberinya tekanan lembut menenangkan. "Kita tunggu sebentar." "Apa ya, Mas? Kenapa aku merasa tidak nyaman." Aster menautkan jari - jemari dengan gelisah. Senyum hangat David sedikit menenangkan Aster. Dia pun tak malu mengecup pelipis Aster di tempat umum. Sampai suara langkah kaki berhenti di dekat meja mereka. Pegawai restoran datang dan mengangguk sopan. "Maaf, Bapak dan Ibu sudah menunggu. Saya Edwin manager restoran," ujar pria itu mengulurkan tangan. David melepas Aster. Dia menjabat kuat tangan Edwin. "Terima kasih sudah berkenan menemui kami, pak Edwin. Saya David, dan ini istrinya Aster." Tanpa berbasa - basi manager restoran itu mempersilakan David dan Aster mengikuti dirinya. Mereka diajak ke ruang meeting kecil. Seseorang sudah ada di sana.
Aster terkesiap. Dia membuka bibir ragu. "Mas... waktu Brian...." David menaruh bibirnya di atas bibir Aster. Seketika membungkam perkataan istrinya. "Dia tidak menyentuhmu," desis David dengan mata menyala. Tangan David melingkar ke pinggang Aster erat - erat. "Kalau dia sudah sentuh kamu, maka sudah kupatahkan pula kedua tangannya." "Mas...." David kembali menghentikan kegelisahan Aster dengan lumatan lembut. Sentuhan tangannya mengusap lembut punggung sang istri. "Cukup, Sayang. Aku percaya kamu tidak melakukan apa pun dengan brengsek itu. Kekerasan yang dia lakukan padamu akan dibayar. Simpan rapat memori itu, Sayang. Pikirkan saja kebahagian kita berdua. Hehm... oke?" Pelan - pelan Aster membalas pelukan David. Dia sandarkan dirinya pada dada bidang pria yang menjadi rumahnya kini. Arin pergi ke rumah David menjelang malam. Ada penjaga yang mengantar dan menjemputnya. Tinggallah hanya Aster dan David di rumah baru tersebut. Penjaga ada luar rumah. Tidak ada yang men
Safira tampak kaget. Dia berdeham. "Mama mau lanjut masak. Tidak usah dibantu. Kalian istirahat saja sana." David bergeming. "Ma... apa yang mama sembunyikan?" "Tidak ada!" Safira kembali menyiapkan bahan masakan. Langsung sibuk tak mau diganggu. Aster pun menyentuh lengan suaminya. Dia jadikan topangan untuk berdiri. Serta mengajak David naik ke kamar. "Aku rasa mama tahu lebih banyak soal ayah kandungku," ujar Aster lelah. Dia mendudukkan diri ke tepi tempat tidur. David ikut duduk di sebelahnya setelah menutup pintu. "Tidak heran, Sayang. Mamaku itu, dia sangat mengerikan. Dia memiliki sumber daya yang tak disangka," ungkap David. Dia menghela nafas. "Karena itu, Sayang, aku kesal kenapa mereka tidak bisa segera menemukanku sewaktu diculik. Seakan mereka memiliki rencana tersendiri sampai membiarkan anaknya menderita." Aster memutar badan. Tangan kecilnya menyentuh rahang kokoh David. "Sudah, Sayang. Maafkan papa dan mama. Yang penting, sekarang kita sudah bersama." D
Fuad memandang muram pada Aster. Lalu beralih ke David. Bahunya luruh turun. "Lakukan saja, Mas David. A-ku... kami pantas mendapatkannya." Fadil menoleh marah. Dia berseru lantang pada saudaranya. "Bodoh! Kamu sudah gila, Fu! Aku saudaramu!" Fuad mengangkat muka, memandang lekat pada Fadil. "Karena itu... itulah alasanku, Fad. Kamu saudara yang aku tak sampai hati membiarkanmu terperosok makin dalam." Aster mendekat ke suaminya. "Mas, ada apa ini? Kalian bicara soal apa?" Suami Aster merangkulnya. Dia mengajak mereka semua keluar dari pantry. Tak terduga, Fadil berjalan lebih dulu. Dia berlari ke arah pintu. Fuad berseru kaget. Namun David mencegah Fuad berlari mengejar saudara kembarnya. "Ada orangku di bawah. Fadil tidak akan bisa kemana - mana." Lelaki muda itu mengangguk pasrah. Dia beralih menghadap pada Aster yang masih tidak memahami keadaan. Tak ada keberanian dalam diri Fuad memandang Aster. Dia mengarahkan mata ke bayangan Aster. "Mbak ... aku menyesal. Ini semua