"Tunggu!" seru Aster setelah memikirkan. Dia menyebutkan alamat rumah baru yang David berikan pada Aster. Dalam hati Aster berharap di sana tidak ada sesuatu yang dicari Brian. Dengan tenang Aster memandang Brian agar dia tidak curiga. Biar yakin Aster tidak memberi alamat palsu. Juga betapa dia tidak ingin Brian merebut rumah itu darinya. Senyum sengit terbit di bibir Brian. Dia balas menatap Aster yang berdiri merunduk. Tak ada kata lain. Namun Aster yakin, begitu Brian berbalik badan dan keluar kamar, pria itu bergegas menyuruh anak buahnya menuju ruma baru David dan Aster. Atau mungkin malah dia yang pergi sendiri ke rumah tersebut. Bisa jadi pilihan kedua adalah hal yang paling mungkin. Aster perlahan mulai tahu tabiat Brian. Pria itu memiliki ego yang tinggi. Juga tingkat kepercayaan pada orang yang tidaklah enteng. Jika benar, maka kesempatan bagi Aster untuk kabur akan datang lebih cepat. Aster menanti tak sabar. Dia menempelkan telinga ke pintu. Mungkin ketika e
Aster kehilangan sepatu sejak dilempar Brian ke ruang bawah tanah. Dia tidak memikirkan mencari alas kaki sewaktu berada di kamar rumah tebing. Sekarang dia menahan perih tiap kakinya menapak pada permukaan bebatuan. Dia berhati - hati menghindari rerumputan. Rumput berduri bisa bersembunyi di antaranya. Jalan setapak yang dia lihat tidak lah semulus dalam bayangan. Suara ombak makin terdengar, membuat Aster berhenti. Dia harus menjauhi ombak agar bisa ke jalan raya. Kalau ombak malah makin terdengar, artinya dia salah arah. Namun, bisa saja dia menemukan pertolongan dari orang yang ada di sekitar pantai. Kalau saja ada orang di sana. Pun jika orang - orang baik yang mau menolong. Aster mengeliminasi opsi ke arah pantai. Dia harus menelusuri jalan. Itu hal teraman. Kalau naik ke jalan langsung, Brian bisa menemukannya. Berbeda ketika dia berjalan sejajar jalan. Sulit bagi Brian untuk turun dengan mobilnya ke tanah. Dan matahari makin turun. Langit mulai menjadi lembayung.
"Farah, ajak Aster membersihkan diri. Juga pinjamkan dia baju dan sandalmu. Terus ambilkan air hangat dalam baskom dan kotak P3K," ujar Bahar tenang. Farah mengangguk. Dia menjulurkan tangan. Meski Aster tidak langsung menerimanya. "Jangan takut, Mbak. Kamar mandi di dalam bersih kok," ujar Farah. Aster menoleh pada Bahar. Pria itu mengangguk. Dia lalu beralih kembali pada pekerjaannya. Aster pun mengikuti Farah masuk ke dalam bangunan. Di sana begitu besar dan luas. Ada banyak tumpukan aneka potongan kayu dan berbagai mebel. Tidak ada yang mencurigakan. Farah membawanya melewati sederet rak berisi perkakas. Lalu berbelok ada semacam pantry dan dapur kecil. Di sebelahnya ada pintu menuju kamar mandi. "Aku ambilkan baju ganti. Mbak sila membersihkan diri terlebih dahulu. Di dalam ada cermin, jangan kaget," kata Farah lirih. Aster hanya mengangguk. Dia masuk ke kamar mandi. Rasanya dia memang memerlukan kamar mandi. Namun ada hal yang membuat Aster agak heran. Jangan kag
Bahar mempertahankan tatapan penuh penghakiman. Begitu Aster yang bersikukuh. Mereka bagai beradu mata. Suasana canggung itu tampaknya turut dirasakan kedua anak Bahar. Mereka beringsut tak nyaman di tempatnya duduk. Farhan lah yang pertama berujar. "Pak, kalian berdua kenapa?" tegur Farhan cemas. Aster berdeham. Dia menyentuh kantong serut di balik bajunya. Masih aman tidak diketahui. "Siapa yang menurut Anda lebih murah hati, Brian atau David?" tanya Aster memeriksa. Pria yang tampaknya hampir separuh baya itu diam. Selayaknya tengah mempertimbangkan. Pandangannya tajam memperhatikan Aster secara saksama. "Brian akan mencarimu sampai di sini. Sebaiknya aku mengantarmu pergi dari tempat ini segera," jawab Bahar mengagetkan Aster. "Di-dia tahu Anda? Ta-hu tempat ini?" sahut Aster gagap. Sayangnya anggukan Bahar bukan jawaban yang Aster inginkan. Lemas seketika badan Aster. Dia merunduk menopangkan tangan ke kursi. "Kemana aku harus mengantarmu?" ujar Bahar tenang.
"Kecuali Brian," imbuh Aster. Dia meremas buntelan. Merasa begitu bodoh telah tergesa - gesa bertanya. Kalau Bahar ganti bertanya mengapa padanya, maka Aster harus menyiapkan alasan. "Aku tidak tahu. Tidak pernah membuat daftar orang - orang yang disinggung David," jawab Bahar kemudian. "Apa mas David sebegitu kasar? Dia..., dia selalu lembut padaku. Malahan, dia begitu manja," bantah Aster. Aster menyentuh lokasi kantong serut. Masih ada di sana. Entah mengapa dia merasa benda itu sangat penting untuk David. "Sebab dia menyukaimu. David menginginkanmu, kan. Tentu saja dia bisa menunjukkan sifat aslinya padamu." "Sifat asli?" Bahar menghela nafas. "Sudah kamu sebutkan tadi. Memang aslinya begitu sebelum kena pengaruh Brian. Namun, mengapa kamu bertanya begitu? Apa ada y
"Pertanyaanmu, bukan seandainya?" Aster menggeleng pelan. Dia membiarkan matanya basah kuyub oleh air mata. Setidaknya sekarang dia berada di tempat aman. Meski dia pun merasa tak benar. David entah berada di mana dan kondisi seperti apa. Bisa jadi David lebih parah dari nasibnya. "Rendra, apa yang terjadi?" tanya Bahar. Rendra menepuk pundak Bahar. "Anak itu entah ada di mana. Sudah hampir sebulan ini kami mencarinya kemana - mana, tapi belum membuahkan hasil. Bagaimana bisa kami mengharapnya datang menyelamatkan Aster dari Brian," jawab Rendra muram. "Brian tidak tahu?" tebak Bahar. "Tidak. Hanya kami. Aku sengaja masih menyimpan hal ini," kata Rendra. Bahar berkacak pinggang. Dia memandang Aster dan Rendra bergantian. Tampak berpikir keras. "Soal Brian? Kenapa dia malah menculik Aster? Dia tidak curiga David tidak datang mencarinya?" ujar Bahar tidak mengerti. "Entahlah. Dia memang mencari David. Aku tak tahu Brian sudah sampai mana," timpal Rendra. "Apa sudah d
Tomy terhenti dan menahan lengan Aster. Jimmy pun menjadi waspada. Mereka semua mengarah pada orang tersebut. Orang itu tidak sendirian. Dia mendekati Tomy begitu santai. Seakan mereka saling mengenal baik. "Tomy, apa kamu sakit?" tanya orang itu. Tomy mengeraskan rahang. Dia menggandeng Aster erat. Dia hendak mengabaikan orang tersebut. Namun wanita itu lebih nekat dari penampilannya. Dia berani menyentuh lengan Tomy. Sampai Tomy kaget dan menyentakkan lengan. "Stop, Fiora! Menyingkirlah," desis Tomy. Aster membulatkan mata. Dia lantas menoleh penasaran pada wanita tersebut. Ini kah Fiora yang ternama itu. Pria yang bersamanya? Bisa jadi dia adalah suami Fiora. Pria itu tidak terlihat biasa. Bahkan menjelang subuh begini dia makai jas rap
"Brian membawa ponsel saya," ujar Aster. "Jangan khawatir. Nanti kamu bisa memberi kabar pada keluarga dan kantor. Tapi, aku masih belum bisa mengijinkanmu keluar rumah," kata Rendra. Aster mengangguk mengerti. Setidaknya dia bisa memberitahu orang tuanya agar tidak membuat mereka cemas. "Sekarang beritahu kami, apa yang Brian lakukan dan katakan padamu, Aster? Dia sudah membawamu hampir seminggu," kata Rendra kemudian. "Seminggu?" ulang Aster terkejut. Dia mengerutkan dahi. Safira mengelus punggung Aster. "Apa yang terjadi, Sayang? Kamu sampai kehilangan hitungan hari begini. Dia melukaimu?" Aster pun menceritakan bagaimana Brian menyeretnya dari restoran. Lalu dia pingsan dan berada di ruang bawah tanah entah di mana. Sampai akhirnya dia tahu berada di rumah yang sepertinya milik Brian. Dari ruang bawah tanah dia dipindahkan ke kamar. Sehingga Aster bisa berusaha melarikan diri. Namun dia jatuh dari tangga dan