"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Lucky lirih. Tomy tercenung. Dia memutar leher. Aster pun mematung di luar pintu. Tidak sanggup mengangkat muka ke arah sahabat calon suaminya. "Kalau mas Lucky mendengar apa pun soal mas David, tolong segera memberitahuku," jawab Tomy samar. Lucky mengernyit. Dia menelangkan kepala. "Sudah berapa lama?" sahutnya. Tomy menatapnya lekat. Agak berat baginya membagi informasi tersebut. "Dua minggu. Aku akan mencoba ke Kota S," ujar Tomy. "Baiklah. Aku juga akan memasang mata dan telinga. Dia akan baik - baik saja. Jaga calon kakak iparmu. Pastinya David tidak mau sesuatu hal buruk menimpa calon istrinya," tandas Lucky. Tomy mengangguk. Dia pun berpamitan. Begitu pula dengan Aster. Keduanya menuju mobil di luar pagar. Diam dalam proses masuk ke mobil. Aster menarik sabuk pengam
Aster membeliak melihat nama di layar ponsel. Untuk apa pula dia nekat menelepon. Apa belum kapok juga. Atau dia memang seorang yang terjepit kondisi. Aster mengabaikan telepon tersebut. Dia tidak mau membuat hatinya makin sakit. "Siapa? Kenapa tidak diangkat?" "Bukan siapa - siapa. Biarkan saja." Namun orang itu kembali menelepon. Suara dering makin memekakkan telinga Aster. Seakan berteriak langsung ke telinga Aster. Dia menggeram kesal. "Siapa sih? Ganggu banget. Angkat saja. Atau kamu mau aku yang angkat?" sergah Tomy. "Mantan pacarku. Dia punya utang padaku, tapi tingkahnya seakan aku yang berutang padanya," ungkap Aster pasrah. Tomy menepikan mobil. Dia lalu meminta ponsel Aster. Begitu telepon dari Reno kembali masuk, Tomy menekan tombol angkat. "Lama sekali kamu angkat. Jangan sok sibuk, Aster. Bukan k
Hari kemarin Tomy tidak melanjutkan menuju tempat sahabat David yang lain. Dia membawa Aster kembali ke rumah. Dia sendiri lantas mengunci diri di kamar. Sementara Aster masuk ke kamar David. Namun Aster tidak tinggal lama. Dia pamit pulang ke rumahnya sendiri. Ibu mertuanya pun menyuruh sopir mengantar Aster pulang. Dia tidak mau ada apa - apa pada Aster. Terlebih Rendra memberitahu kalau kiriman makanan tempo waktu ternyata ada racun. Bukan racun yang mematikan. Namun tetap saja berbahaya. Rendra masih melacak bagaimana makanan tersebut bisa diracuni dan diantar. Aster tidak mengerti ada orang yang sampai berbuat demikian pada dirinya. Salah apa Aster pada orang itu? Lantas siapa orang tersebut? "Mbak Aster, mau berangkat sendiri apa sama aku?" tanya Fuad mengaburkan lamunan
Pesan Aster dibalas sendiri oleh nomor baru. Meski tidak perlu ada keterangan, Aster tahu milik siapa. Dia pun menyimpan nomor tersebut sebelum menjawab. Agaknya perlu berpikir panjang terlebih dahulu. Dia tidak bisa mengedepankan perasaan semata. /Saya harap kita bisa bertemu besok di hotel Semilir pukul 10 pagi. Saya perlu segera membereskan urusan rebranding ini./ Aster seakan mendengar nada tajam penuh tekanan. Sebuah perintah yang tak bisa diabaikan. Jelas harus dipatuhi tanpa tapi - tapi. Dan lama kelamaan Aster membenci hal tersebut. "Ayo pulang, Mbak," ajak Dini. Dia berdiri di dekat meja Aster, membelai perutnya. "Ayo, Din. Sudah ditunggu ya?" sahut Aster beranjak dari area kerjanya. Dini membenarkan. Mereka hendak memeriksakan kandungan Dini. Sampai di bawah, Dini menuju suaminya. Berpisah dengan Aster yang melanjut
"Kapan?" cicit Aster. "Dia tidak mengatakan. Tiba - tiba dia mendapat telepon lalu pamit pergi," hela Tomy. Aster memejam mata sejenak. Dia menautkan tangan di pangkuan. Dia geram sendiri. Satu hal, dua hal, dia menemukan. Namun itu hanyalah potongan yang berbeda. Tidak dapar disatukan. Bagai keping puzzle yang berbeda posisi. Ditemukan acak tanpa adanya gambaran besar. "Kamu punya nomor telepon Andre?" tanya Aster. Sayangnya Tomy menggeleng. Dia bisa memotret Andre, tapi tidak mendapat kontaknya. Membuat Aster mengangguk pasrah. Dia mengaduk kopinya. Diminum perlahan beberapa teguk. "Dia tidak mengatakan apa pun soal perusahaannya? Nama? Alamat? Mungkin bisa kita cari," usul Aster. "Belum. Dia belum menyebutkan detail. Kurasa kita perlu kebetulan lain untuk bertemu Andre. A-pa..., mbak Aster tidak ada nomor y
Aster mengerjakan tugas sebelum pergi ke tempat pertemuan. Dia memeriksa laporan yang Dini serahkan. Dini sempat memberitahu kalau Brian berada di luar negeri selama empat tahun belakangan. Dia kembali belum ada sebulan, dan langsung menjadi direktur baru. Pustaka Gemilang merupakan perusahaan besar di bidang penerbitan dan pendidikan. Juga merupakan bagian dari Antasena Grup. Nama grup yang membuat Aster berpikir keras. Dia pernah mendengarnya. "Papa Rendra," sebut Aster tercekat. Dia pun ingat pula kalau perusahaan ATK David juga menginduk pada Antasena Grup. Termasuk BaseFood. Semua masih terhubung dalam satu raksasa perusahaan. "Apa, Mbak?" heran Dini. "Knotty Papery dan BaseFood juga berada di bawah Antasena Grup kan? Sama seperti Pustaka Gemilang," kata Aster. Dini membekap mulut. Dia menoleh pada anak magang yang terkejut mendengarnya
"Kamu diam - diam menyelidikiku, kan?" bisik Brian. Aster bergidik. Nafas Brian terasa begitu dekat dengan kulitnya. "Saya tidak mengerti maksud Anda. Mungkin Anda keliru dengan proses pengumpulan data kami?" bantah Aster. "Oh, ya? Mengapa tidak kamu tanyakan langsung padaku saja, nona Aster? Tidak perlu lewat orang - orang sekitarku. Aku akan dengan senang hati memberitahu Anda apa pun," dengus Brian. Dia melepas tangan Aster. Lekas Aster mendekap tangannya. "Saya rasa Anda salah paham. Saya akan pergi dan meluruskan hal tersebut." "No, no! Tidak usah, nona Aster. Tidak ada yang perlu diluruskan. Kali ini aku memaklumi. Mungkin karena kamu belum mengenalku. Sudah kubilang di awalkan? Kita harus mengenal baik." Brian menggeser kursinya mendekat ke kursi Aster. Dia menaruh lengan ke belakang punggung Aster pula. "Tante Safira tidak mengatakan apa pun padamu?" Aster menelan ludah. Dia menggeleng lemah. Tanpa bermaksud menjadikan Sa
"Aarggh!" Aster menjerit ketika dia hempas keras ke lantai. Dia jatuh menimpa lantai. Terpental lantas terguling. Seketika dia kehilangan orientasi. Lambat laun kesadarannya pun turut lenyap. * Suara ribut menyeruak ke dalam kesadaran Aster. Dia mencium aroma herbal yang kuat. Dengan berat dia mengangkat kelopak mata. Samar - samar terlihat sosok yang dia kenal. Pria tinggi kurus dengan rambut agak panjang berantakan. Pria itu menatapnya penuh kecemasan. "Mbak Aster," panggil Tomy. Aster terperanjat. Dia sadar ada yang aneh. Pandangannya melayang liar ke sekeliling. Tidak lagi berada di ruang VIP restoran hotel. Dia berada di sebuah kamar. Dan tengah berbaring di tempat tidur. Aster refleks mendorong Tomy. Dia menjauh dan memeluk dirinya. "Aku tidak akan menyakitimu, Mbak. Tenanglah. Aku akan beritahu apa yang terjadi," terang Tomy pelan. Dia masih diam memperhatika