Aster tergopoh - gopoh menuju kantor. Dia kesiangan karena sejak semalam Jimmy sudah mengirim catatan kegiatan David. Mereka memiliki catatan dalam bentuk digital. Saking banyak pekerjaan, David sampai perlu mencatat kegiatan. Bahkan ada rincian notulen. Tentu Aster tidak diberi akses pada rincian. Dia pun tidak membutuhkannya. Dia hanya perlu tahu pola kegiatan David. Agar dia tahu kemana harus mencari sang kekasih hati. "Jangan lari - lari, Mbak!" seru Dulah. Pemuda itu malah itu lari mengejar Aster. Sampai ikut masuk ke kantor. "Ada apa, Dul?" heran Aster. Sebuah kantong kertas besar warna coklat polos diulurkan. "Ada kiriman buat mbak Aster. Diantar kurir. Katanya dari Teman Makan," beritahu Dulah. Aster mengerutkan dahi. Dia tidak punya teman makan. Kalau teman melihat bintang-- Apa mungkin ini juga seperti kiriman album tempo hari? "Oke
Pustaka Gemilang berada di gedung perkantoran besar di pusat kota. Rupanya dekat dengan gedung Antasena. Tahu begitu Aster bisa ikut Jimmy saja sekalian. Dia tinggal sedikit jalan kaki. Selama ini mereka meeting di luar kantor. Aster tidak terlalu mencari tahu fisik kantor Pustaka Gemilang. Seorang staff menyambut Aster di lobi bawah. Dia memandu Aster naik ke lantai delapan belas. "Sila masuk ruang meeting, Bu. Direktur baru akan hadir sepuluh menit lagi. Mohon maaf membuat Anda menunggu," ujar staff tersebut. Di dalam sudah ada tiga pejabat perusahaan yang Aster kenal. Direktur lama, manager produksi dan sekretaris direktur lama. Mereka saling menyapa. Aster pun duduk di kursi yang ditunjukkan untuknya. Punggungnya membelakangi pintu masuk. Tampak tenang mengobrol dengan direktur lama. Pria paruh baya yang ramah itu menanyakan bagaimana kemajuan perusahaan Aster. Cerita ringan disampaikan. Lalu pintu berderit amat pelan. Terasa angin berembus di belakang Aster. K
Mereka menuju lift menuju basement. Keluar tak jauh dari spot parkir bertanda khusus. Brian membukakan pintu untuk Aster. Sebelum dia memutar masuk ke kursi kemudi. "Tenanglah. Saya tidak akan berbuat macam - macam. Kita hanya makan siang bersama dalam rangka mempererat hubungan bisnis," ujar Brian tiba - tiba. Aster tercenung. Merasa ditohok oleh perkataan Brian. Dia pun beringsut duduk lebih santai. Senyum ramah dia ulas. "Sepertinya Anda keliru, pak Brian. Saya tidak akan salah paham kok," sanggah Aster. "Baguslah. Saya jadi tenang. Kalau tidak, saya merasa sedang melarikan istri orang saja," kelakar Brian. Senyum Aster lenyap. Nafasnya tercekat mendengar itu. Untung Brian tidak melihatnya. Pria itu tengah menerima telepon yang baru saja masuk. "Taru
Aster mengangkat telepon yang masuk. Nama Safira menyala di layar. "Halo, Mama. Ada apa?" "Kamu masih di kantor?" tanya Safira lembut. "Baru selesai meeting, Ma. Mama memerlukan sesuatu?" "Tidak, Sayang. Ya, sudah kalau masih kerja. Mama cuma mau memberi kabar, akhir pekan nanti ada pesta amal. Mama mau ajak kamu. Kamu mau, Nak? Nanti sama papa juga." "Boleh, Ma. Nanti Aster temani papa sama mama. Di mana tempatnya?" "Nanti mama jemput kamu dari kantor, kita bersiap di salon langganan mama. Tempatnya di hotel Sanctuary Green. David biasa datang ke acara ini, Nak. Siapa tahu ada yang bisa memberi kita kabar." Aster mengusap mata. Air mata tiba - tiba menetes. "Iya, Ma," ujar Aster sendu. "Ya, sudah, kamu hati - hati nyetirnya. Kabari mama kalau sudah di rumah. Jangan lupa istirahat ya, sayang," sahut Safira. "Baik, Mama. Terima kasih. Mama juga istirahat," tutup Aster. Dia meneruskan menyetir menuju kantor. Dia masih s
Safira mengirim pesan untuk mengingatkan Aster. Pukul empat sore Jimmy akan menjemput Aster. Dia akan mengantar Aster ke tempat yang sudah Safira reservasi. Jadwal Aster pun sudah diatur ulang. Dia tidak memiliki meeting lain seusai makan siang. Bekerja normal tanpa tergesa di kantor. Begitu pula rekan - rekannya. "Mbak, kamu mau ada acara apa?" tanya Dini sebelum Aster dijemput. "Pesta amal. Bu Safira yang ajak. Gimana, Din?" jawab Aster apa adanya. "Ya, nggak apa - apa, Mbak. Baik - baik di sana. Siapa tahu bisa sama ngenalkan perusahaan kita," ujar Dini sambil meringis. Aster menunjukkan kotak kartu nama. Dia ikut meringis. "Tenang, Din. Mama sudah memberiku ijin untuk memberikan kartu nama ini jika ada yang mengajak berkenalan." "Senangnya mendapat calon mertua yang baik. Kuharap..., kuharap pak David segera kembali." Senyum Aster surut. Dia hanya mengangguk lemah. Itu harapan Aster. Dia ingin saat ini juga David datang padanya. Bukan Jimmy yang hendak mengant
Ketiga tidak bisa membahas hal tersebut di depan Irawan. Rendra dan Safira sepakat untuk tidak membawa hilangnya David sampai ke umum. Mereka masih menyimpannya. Demi menjaga stabilitas perusahaan. Jika ada yang mencari, maka dikatakan bahwa David tengah ke luar kota. Karena itu pula Aster pun kesulitan mengorek informasi dari Irawan lebih jauh. Bisa saja David pun hanya menelepon singkat. Tidak ada yang akan dapat menjadi petunjuk. Aster pun memberikan kartu namanya sebelum Irawan beralih ke tamu lain. Calon mertuanya lalu mengajak Aster bertemu kolega - kolega yang lain. Mereka sehalus mungkin mencari - cari hal yang berkaitan dengan David. Remah - remah yang barangkali David tebarkan di belakang langkah..... "Wah, cantik ya calon mantunya, jeng Safira. Boleh dong kapan - kapan diajak kumpul. Makan siang gitu, jeng," ujar salah satu istri kolega Safira. "Iya, nanti kapan - kapan aku ajak Aster. Kalau David memberinya ijin," sahut Safira. Aster berdiri mematung di
"Aster!" namanya tiba - tiba dipanggil. Baik Aster maupun Brian menoleh ke arah pintu aula. Dan mata - mata yang terkejut berserobok. "Mama," balas Aster. Brian mengernyit. Dia memandang aneh pada Safira yang menghampiri Aster. Safira merangkul Aster. Sedikit menariknya menjauh dari Brian. "Lama sekali. Aku kira ada apa - apa padamu, Nak," ujar Safira. Namun pandangannya terarah ke Brian. "Aster tidak apa - apa, Tante. Anda tidak perlu khawatir," Brian angkat bicara. Aster mengerutkan dahi. Dia memandang Safira dan Brian bergantian. "Mama kenal pak Brian?" celetuk Aster. "Mama?" ulang Brian. Aster menelengkan kepala. Dia mengusap
"Ya, ampun!" Aster terkesiap. Dia memandang penuh rasa ingin tahu. Foto di tangannya. David begitu dekat dengan orang di sebelah. Mereka berangkulan mesra. Tertawa lebar. Keduanya berdiri di depan rumah besar yang tidak dikenali Aster. Bukan rumah ini. Dia mengusap wajah David. Senyumnya begitu lepas. Rasanya sangat jarang David membuat senyum semacam itu. Hati Aster menjadi ngilu. Kapan lagi dia akan bisa melihat David. David yang tersenyum dan bisa dia peluk erat. Aster menjatuhkan diri ke kasur. Dia menarik lutut mendekat. David bersama Brian. Mereka berangkulan erat. Apakah mereka saling mengenal baik? Namun mengapa Safi
"Aster," sebut Brian. Dia maju meraih tangan Aster, yang langsung ditampik oleh David. Keduanya lantas beradu pandang. Aster ditarik mendekat oleh David. Lengan David melingkar di pundaknya. "Jaga tanganmu dari istriku!" desis David penuh ancaman. Brian menyeringai. "Sebentar lagi dia akan meninggalkanmu karena tempramen labilmu, Dav. Aku sih mau saja menerima anakmu juga." Gerakan David begitu cepat. Dia mendorong Brian sampai terhempas menabrak dinding. Lekas Jimmy menahan Brian. Menariknya menjauh dari David yang berdiri dengan nafas menderu. Tanpa takut Aster menyentuh tangan suaminya. "Mas... sudah." Seketika David menoleh. Nafasnya melembut. "Sayang, maaf. Aku... ayo kita masuk saja. Tidak perlu bicara dengan pria konyol ini." Brian tertawa. Dia berusaha melepaskan diri dari kuncian Jimmy. "Aster, kembalilah padaku saja. David tidak pantas mendapat dirimu. Aku bisa menyayangimu dan anakmu." David sudah hampir merangsek maju. Namun cengkeraman kuat tangan Aster
Aster mencubit tangan David. "Mengaku saja! Aku menemukan buku harian mas David di sini." David menegakkan diri. Dia mengusap leher Aster yang berdenyut lembut. "Wah... ternyata istriku. Kamu penasaran ya?" Aster mencubit makin sering. Dia jadi jengkel kalau digoda begitu. Dia menarik diri dari suaminya. Tanpa mengindahkan David yang membujuk, Aster berbaring. Dia memejamkan mata tidak mau mendengar David. Sang suaminya turut berbaring di sebelahnya. Tangannya melingkar di pinggang Aster yang berbaring miring. "Jangan marah, Sayang. Aku bercanda." Aster menggumam. Dia menyuruh David bergeser. "Anakku bilang ruangannya sempit." David tertawa pelan. Dengan rela bergeser sejengkal di belakang Aster. Sebentar lagi akan berubah keinginan istrinya. "Sayang... sudah tidur?" bisik David. Dia mendekat lagi. Namun Aster menggeram pelan. * David memegang tangan dan menyangga punggung Aster. Telaten membantu istrinya berjalan. "Awas lantainya tidak rata, Sayang." Mereka tengah
David berkacak pinggang. Dia mengerutkan dahi ke arah Jimmy. Asisten kepercayaannya tidak berani mengarahkan pandang pada David. Hanya ke arah leher David, yang sayangnya malah membuat Jimmy salah tingkah. Dia memutar mata ke pundak David saja. David memicingkan mata. "Kenapa kamu? Ada kesalahan yang tengah terjadi?" "Tidak, Bos. Semua berjalan lancar. Hanya saja... Anda yakin berangkat ke kantor hari ini?" Jimmy mengulas senyum hormat. "Memang kenapa? Aku sudah siap kembali menjadi David seperti sebelum hilang. Kamu mulai meragukanku, Jim? Apa Tomy semakin baik dan kamu mau beralih pada adikku?" Jimmy menggeleng cepat. "Tidak, Bos! Bos Tomy sudah punya asisten sendiri. Lagi pula beliau masih staf." "Kau sudah memanggilnya bos." David menerima tas yang Aster serahkan. Istrinya memberi senyum paling manis yang membuat David bersemangat. Namun tiba - tiba Aster berubah membelalak. Wajahnya memerah. "Mas, ke kamar sebentar." David mengerutkan dahi. Tapi dia mengikuti Aste
Aster duduk lemas di bawah tempat tidur. Bersandar ke kasur dengan kaki diluruskan. Suaminya turut duduk di sebelah Aster. Dengan telaten menyeka keringat yang membasahi muka. "Masih mual?" Kepalanya diangguk pelan. Itu pun tetap terasa tidak nyaman. Dia menarik tangan David dan digenggam kuat. "Mas... apa aku hamil ya? Harusnya sudah datang bulan. Rasanya juga enggak nyaman mau apa - apa." David melebarkan mata. Raut riang menyeruak. "Kita ke dokter langsung ya, Sayang? Kita pastikan ke ahlinya langsung. Karena ini pertama buat kita." Aster mendekat ke suaminya, menyandar manja. "Mas daftar dulu ke dokternya, aku masih lemah." David mengecup dahi Aster. Dia terkekeh pelan. Tangannya agak gemetaran karena begitu antusias. Selesai bersiap dan Aster sudah merasa lebih baik, mereka pun berangkat ke rumah sakit. David sudah mendaftar ke dokter kandungan yang ternyata adalah temannya. Aster menggamit lengan David saat memasuki rumah sakit. Dia memandang ke sekeliling dengan c
Dari David yang segera memberi perintah pada Jimmy untuk mencari informasi, Aster jadi tahu kalau selama ini Ari lebih sering tinggal di luar negeri. Di sana dia tinggal bersama seorang wanita yang sekarang sudah diceraikan. Karena itu dia kembali. Aster harap dia tidak mencoba mendekati Aster lagi. Dalam lubuk hatinya Aster tak memiliki rasa rindu. Sama sekali tak tergerak untuk mengetahui lebih soal sosok ayah kandung. Seakan ruang dalam hati Aster telah hampa. Dia tak lagi mau tahu. Tak mau bertemu pula. David yang baru pulang kerja selesai mandi. Sambil mengeringkan rambut dia duduk di sebelah istrinya. "Ayo kita pergi bulan madu saja." Istrinya malah menggeleng pelan. "Di rumah saja. Atau ke hotel." David meringis. Handuk ditaruh sebelum merangkul pinggang istrinya. "Kau perlu melihat dunia luar yang lain, Aster sayang." "Belum ingin. Di sini saja." Aster menaruh kepala ke dada David. "Aku mau datang ke persidangan." "Kamu yakin, Sayang?" David mengusap kepala
Aster merapat ke David. Dia tidak berani menyentuh kue yang diberikan. Pikiran ada orang di sana yang tengah memperhatikan membuatnya merinding. Dingin tengkuknya terasa. David melingkarkan tangan ke pinggang Aster. Memberinya tekanan lembut menenangkan. "Kita tunggu sebentar." "Apa ya, Mas? Kenapa aku merasa tidak nyaman." Aster menautkan jari - jemari dengan gelisah. Senyum hangat David sedikit menenangkan Aster. Dia pun tak malu mengecup pelipis Aster di tempat umum. Sampai suara langkah kaki berhenti di dekat meja mereka. Pegawai restoran datang dan mengangguk sopan. "Maaf, Bapak dan Ibu sudah menunggu. Saya Edwin manager restoran," ujar pria itu mengulurkan tangan. David melepas Aster. Dia menjabat kuat tangan Edwin. "Terima kasih sudah berkenan menemui kami, pak Edwin. Saya David, dan ini istrinya Aster." Tanpa berbasa - basi manager restoran itu mempersilakan David dan Aster mengikuti dirinya. Mereka diajak ke ruang meeting kecil. Seseorang sudah ada di sana.
Aster terkesiap. Dia membuka bibir ragu. "Mas... waktu Brian...." David menaruh bibirnya di atas bibir Aster. Seketika membungkam perkataan istrinya. "Dia tidak menyentuhmu," desis David dengan mata menyala. Tangan David melingkar ke pinggang Aster erat - erat. "Kalau dia sudah sentuh kamu, maka sudah kupatahkan pula kedua tangannya." "Mas...." David kembali menghentikan kegelisahan Aster dengan lumatan lembut. Sentuhan tangannya mengusap lembut punggung sang istri. "Cukup, Sayang. Aku percaya kamu tidak melakukan apa pun dengan brengsek itu. Kekerasan yang dia lakukan padamu akan dibayar. Simpan rapat memori itu, Sayang. Pikirkan saja kebahagian kita berdua. Hehm... oke?" Pelan - pelan Aster membalas pelukan David. Dia sandarkan dirinya pada dada bidang pria yang menjadi rumahnya kini. Arin pergi ke rumah David menjelang malam. Ada penjaga yang mengantar dan menjemputnya. Tinggallah hanya Aster dan David di rumah baru tersebut. Penjaga ada luar rumah. Tidak ada yang men
Safira tampak kaget. Dia berdeham. "Mama mau lanjut masak. Tidak usah dibantu. Kalian istirahat saja sana." David bergeming. "Ma... apa yang mama sembunyikan?" "Tidak ada!" Safira kembali menyiapkan bahan masakan. Langsung sibuk tak mau diganggu. Aster pun menyentuh lengan suaminya. Dia jadikan topangan untuk berdiri. Serta mengajak David naik ke kamar. "Aku rasa mama tahu lebih banyak soal ayah kandungku," ujar Aster lelah. Dia mendudukkan diri ke tepi tempat tidur. David ikut duduk di sebelahnya setelah menutup pintu. "Tidak heran, Sayang. Mamaku itu, dia sangat mengerikan. Dia memiliki sumber daya yang tak disangka," ungkap David. Dia menghela nafas. "Karena itu, Sayang, aku kesal kenapa mereka tidak bisa segera menemukanku sewaktu diculik. Seakan mereka memiliki rencana tersendiri sampai membiarkan anaknya menderita." Aster memutar badan. Tangan kecilnya menyentuh rahang kokoh David. "Sudah, Sayang. Maafkan papa dan mama. Yang penting, sekarang kita sudah bersama." D
Fuad memandang muram pada Aster. Lalu beralih ke David. Bahunya luruh turun. "Lakukan saja, Mas David. A-ku... kami pantas mendapatkannya." Fadil menoleh marah. Dia berseru lantang pada saudaranya. "Bodoh! Kamu sudah gila, Fu! Aku saudaramu!" Fuad mengangkat muka, memandang lekat pada Fadil. "Karena itu... itulah alasanku, Fad. Kamu saudara yang aku tak sampai hati membiarkanmu terperosok makin dalam." Aster mendekat ke suaminya. "Mas, ada apa ini? Kalian bicara soal apa?" Suami Aster merangkulnya. Dia mengajak mereka semua keluar dari pantry. Tak terduga, Fadil berjalan lebih dulu. Dia berlari ke arah pintu. Fuad berseru kaget. Namun David mencegah Fuad berlari mengejar saudara kembarnya. "Ada orangku di bawah. Fadil tidak akan bisa kemana - mana." Lelaki muda itu mengangguk pasrah. Dia beralih menghadap pada Aster yang masih tidak memahami keadaan. Tak ada keberanian dalam diri Fuad memandang Aster. Dia mengarahkan mata ke bayangan Aster. "Mbak ... aku menyesal. Ini semua