Ponsel Aster berdering nyaring. Dia tersentak bangun. Badannya pun terasa pegal - pegal.
Jatuh sampai tertidur di tepi sofa dalam posisi yang tidak mengenakkan. Hanya separo badan yang berada di atas sofa. Aster pun bergegas mengambil ponsel. Dia takut kalau itu David yang memerlukan bantuan. Namun hatinya mencelos melihat nama penelepon. Meski kemudian menggeleng. Dia tidak boleh begitu. "Papa, ada apa?" angkat Aster. "Kenapa suaramu? Kamu flu?" balas Huda. Aster berdeham. Tak sadar kalau tenggorokannya serak. "Enggak, Pa. Aster nggak apa - apa. Papa gimana? Papa nggak sakit kan? Mama?" "Papa dan mama kamu sehat bugar. Papa merasa perlu bicara denganmu. Sudah beberapa hari kamu nggak kontak papa atau mama." "Maaf, Pa. Aster ada urusan ini itu."Hari berlalu. Tetap belum ada perubahan pasti. Malam menjelang, tidur tak nyenyak. Pagi tiba. Makan pun terpaksa. Dan hari pun berganti minggu. Safira bicara dengan Aster hampir tiap hari. Entah pagi, siang, terlebih malam. Telepon beberapa belas menit yang memilukan. Mereka telah menyisir banyak rumah sakit, klinik, kantor polisi. Tak ada yang bisa ditemukan. Namun Aster tak menyerah. Begitu pula kedua orang tua David. "Mbak, tim dari perusahaan Pustaka Gemilang minta direktur ikut. Mbak Aster besok siang bisa?" tanya Dini. Aster juga telah memaksa masuk kerja. Di rumah dia sangat menyedihkan. Benar kata David, pekerjaan membuatnya hanyut. Setidaknya selama beberapa jam dia bisa hidup normal. Setelah dan sebelum kerja, biarlah Aster membersamai kehilangannya. "Baiklah. Atur saja, Din. Aku akan ikut," jawab Aster. Dia tentu tidak bisa mengabaikan permintaan klien besar. Pustaka Gemilang adalah grup perusahaan yang banyak memakai jasa mereka selama dua tahun belak
Aster baru pulang dari kantor. Dia membuka gerbang untuk memasukkan mobil. Seseorang datang di belakangnya. Kurir barang yang menyerahkan sebuah paket kecil. Aster menerimanya begitu saja. Meskipun dia tidak ingat telah membeli sesuatu. Atau diberitahu seseorang akan ada kiriman. Dia membawa paket tersebut masuk ke dalam rumah. Rumah sepi seperti biasa. Panji telah kembali. Dia perlu mengurus warungnya. "Siapa ini?" ucap Aster mengamati label pada paket. - Pengirim : Teman Melihat Bintang - Deg! Nafas Aster tercekat membaca nama tersebut. Hanya itu pula yang tertulis. Dia meneruskan membaca label. Label paket dicetak lima hari yang lalu. Itu belum lama. Setelah David menghilang. "David," sebut Aster pilu. Apa dia mengirim ini dari tempatnya berada sekarang? Sekali lagi Aster membaca label. Asal ekspedisi, kota yang sama tempat dia berada. Aster menunduk frustasi. Jika benar ini dari David dan dikirim dari kota ini, maka di mana dia bersembunyi. "Pan, apa ka
Mata Aster dapat terpejam menjelang tengah malam. Tidur pun tidak nyenyak. Mimpi gedung runtuh masih mengunjunginya. Di depan wastafel, dia memandangi wajah. Tampak layu. Begitu menyedihkan. Dia kehilangan berat badan sebanyak dua kilogram. Pipinya jadi cekung. Kantong mata pun menggelap. Kalau begini, apa David akan membencinya? Dia menjadi jelek dan tidak sedap dipandang. Tidak pula bersemangat seperti Aster biasanya. Aster mencuci ulang wajah. Dia menggosok keras. Pipinya memerah. Sedikit perih. /Ma, Aster boleh datang ke rumah?/ Aster mengirim pesan kepada Safira. Dia tetap memerlukan ijin sekalipun Safira selalu mengatakan dia bebas datang kapan saja. Aster menunggu jawaban Safira sambil merapikan pakaian. Dia akan tetap pergi bekerja. Ke rumah Safira nanti sepulang kerja. Pagi hari calon mertuanya itu juga sudah sangat sibuk. /Boleh, Nak. Kapan mau kamu datang?/ Aster tersenyum. Dia melirik album sambil mengetik jawaban. /Pukul enam sore, Ma. Mama mau a
Jimmy membawanya ke lantai dua belas. Di sana ruangan yang biasa David gunakan berada. Gedung ini tidak hanya digunakan oleh BaseFood. Melainkan juga perusahaan lain yang dimiliki keluarga David berkantor pusat di sana. Jimmy memberitahu kalau Safira tidak menempati ruangan David. Dia memiliki ruangannya sendiri. Maka, Aster pun diantar ke ruangan tersebut. Ada sekretaris yang berada di meja luar. Dia bukan Yessi. Tentunya Safira memiliki sekretaris sendiri. Mungkin malah sekretaris pribadi seperti Jimmy. Sekretaris itu yang mengumumkan kedatangan Aster pada Safira. Dia juga yang mengantar Aster masuk ke dalam. "Duduklah, Sayang. Aku tanda tangan sebentar," sambut Safira. Safira duduk tegap dan penuh wibawa di kursinya. Aura berkuasa terpancar tak terelakkan. Dia memberi senyum lembut yang menenangkan. Kontras dengan keangkuhan seorang pemimpin tinggi perusahaan. "Baik, Ma," jawab Aster. Sekretaris itu menatap Aster penasaran sebelum undur diri. Aster menunggu
"Mulai sekarang, kalau ada apa - apa kamu harus langsung beritahu papa," titah Rendra. Aster mengangguk pelan. Dia mengucap iya amat pelan. Dia mengulang cerita pada Rendra yang datang ke ruangan Safira. Album foto kembali dibuka - buka. Cerita Fiora yang meninggalkan David diputar. "Hal mencurigakan sekecil apa pun, Nak. Tidak ada yang boleh terlewat," imbuh Rendra. "Iya, Pa. Aster mengerti," ujar Aster. Safira berpindah duduk ke sebelah Aster. Serta merta merangkul wanita muda kesayangan anaknya. "Kamu tidak perlu memikirkan soal Fiora mau pun apa yang telah terjadi pada masa lalu David. Apa yang harus kita pikirkan sekarang adalah menemukan David. Mama minta kamu tidak teralihkan. Juga kamu harus ingat kalau ada mama dan papa. Meski kita belum resmi menjadi keluarga lewat ikatan pernikahan, kamu sudah menjadi anak mantu kami." Aster menatap lekat pada wanita yang tak terlalu jauh umurnya dari mama Aster sendiri. Dia merasa dekat dengan Safira. Seakan telah bertahun
Aster tergopoh - gopoh menuju kantor. Dia kesiangan karena sejak semalam Jimmy sudah mengirim catatan kegiatan David. Mereka memiliki catatan dalam bentuk digital. Saking banyak pekerjaan, David sampai perlu mencatat kegiatan. Bahkan ada rincian notulen. Tentu Aster tidak diberi akses pada rincian. Dia pun tidak membutuhkannya. Dia hanya perlu tahu pola kegiatan David. Agar dia tahu kemana harus mencari sang kekasih hati. "Jangan lari - lari, Mbak!" seru Dulah. Pemuda itu malah itu lari mengejar Aster. Sampai ikut masuk ke kantor. "Ada apa, Dul?" heran Aster. Sebuah kantong kertas besar warna coklat polos diulurkan. "Ada kiriman buat mbak Aster. Diantar kurir. Katanya dari Teman Makan," beritahu Dulah. Aster mengerutkan dahi. Dia tidak punya teman makan. Kalau teman melihat bintang-- Apa mungkin ini juga seperti kiriman album tempo hari? "Oke
Pustaka Gemilang berada di gedung perkantoran besar di pusat kota. Rupanya dekat dengan gedung Antasena. Tahu begitu Aster bisa ikut Jimmy saja sekalian. Dia tinggal sedikit jalan kaki. Selama ini mereka meeting di luar kantor. Aster tidak terlalu mencari tahu fisik kantor Pustaka Gemilang. Seorang staff menyambut Aster di lobi bawah. Dia memandu Aster naik ke lantai delapan belas. "Sila masuk ruang meeting, Bu. Direktur baru akan hadir sepuluh menit lagi. Mohon maaf membuat Anda menunggu," ujar staff tersebut. Di dalam sudah ada tiga pejabat perusahaan yang Aster kenal. Direktur lama, manager produksi dan sekretaris direktur lama. Mereka saling menyapa. Aster pun duduk di kursi yang ditunjukkan untuknya. Punggungnya membelakangi pintu masuk. Tampak tenang mengobrol dengan direktur lama. Pria paruh baya yang ramah itu menanyakan bagaimana kemajuan perusahaan Aster. Cerita ringan disampaikan. Lalu pintu berderit amat pelan. Terasa angin berembus di belakang Aster. K
Mereka menuju lift menuju basement. Keluar tak jauh dari spot parkir bertanda khusus. Brian membukakan pintu untuk Aster. Sebelum dia memutar masuk ke kursi kemudi. "Tenanglah. Saya tidak akan berbuat macam - macam. Kita hanya makan siang bersama dalam rangka mempererat hubungan bisnis," ujar Brian tiba - tiba. Aster tercenung. Merasa ditohok oleh perkataan Brian. Dia pun beringsut duduk lebih santai. Senyum ramah dia ulas. "Sepertinya Anda keliru, pak Brian. Saya tidak akan salah paham kok," sanggah Aster. "Baguslah. Saya jadi tenang. Kalau tidak, saya merasa sedang melarikan istri orang saja," kelakar Brian. Senyum Aster lenyap. Nafasnya tercekat mendengar itu. Untung Brian tidak melihatnya. Pria itu tengah menerima telepon yang baru saja masuk. "Taru
"Aster," sebut Brian. Dia maju meraih tangan Aster, yang langsung ditampik oleh David. Keduanya lantas beradu pandang. Aster ditarik mendekat oleh David. Lengan David melingkar di pundaknya. "Jaga tanganmu dari istriku!" desis David penuh ancaman. Brian menyeringai. "Sebentar lagi dia akan meninggalkanmu karena tempramen labilmu, Dav. Aku sih mau saja menerima anakmu juga." Gerakan David begitu cepat. Dia mendorong Brian sampai terhempas menabrak dinding. Lekas Jimmy menahan Brian. Menariknya menjauh dari David yang berdiri dengan nafas menderu. Tanpa takut Aster menyentuh tangan suaminya. "Mas... sudah." Seketika David menoleh. Nafasnya melembut. "Sayang, maaf. Aku... ayo kita masuk saja. Tidak perlu bicara dengan pria konyol ini." Brian tertawa. Dia berusaha melepaskan diri dari kuncian Jimmy. "Aster, kembalilah padaku saja. David tidak pantas mendapat dirimu. Aku bisa menyayangimu dan anakmu." David sudah hampir merangsek maju. Namun cengkeraman kuat tangan Aster
Aster mencubit tangan David. "Mengaku saja! Aku menemukan buku harian mas David di sini." David menegakkan diri. Dia mengusap leher Aster yang berdenyut lembut. "Wah... ternyata istriku. Kamu penasaran ya?" Aster mencubit makin sering. Dia jadi jengkel kalau digoda begitu. Dia menarik diri dari suaminya. Tanpa mengindahkan David yang membujuk, Aster berbaring. Dia memejamkan mata tidak mau mendengar David. Sang suaminya turut berbaring di sebelahnya. Tangannya melingkar di pinggang Aster yang berbaring miring. "Jangan marah, Sayang. Aku bercanda." Aster menggumam. Dia menyuruh David bergeser. "Anakku bilang ruangannya sempit." David tertawa pelan. Dengan rela bergeser sejengkal di belakang Aster. Sebentar lagi akan berubah keinginan istrinya. "Sayang... sudah tidur?" bisik David. Dia mendekat lagi. Namun Aster menggeram pelan. * David memegang tangan dan menyangga punggung Aster. Telaten membantu istrinya berjalan. "Awas lantainya tidak rata, Sayang." Mereka tengah
David berkacak pinggang. Dia mengerutkan dahi ke arah Jimmy. Asisten kepercayaannya tidak berani mengarahkan pandang pada David. Hanya ke arah leher David, yang sayangnya malah membuat Jimmy salah tingkah. Dia memutar mata ke pundak David saja. David memicingkan mata. "Kenapa kamu? Ada kesalahan yang tengah terjadi?" "Tidak, Bos. Semua berjalan lancar. Hanya saja... Anda yakin berangkat ke kantor hari ini?" Jimmy mengulas senyum hormat. "Memang kenapa? Aku sudah siap kembali menjadi David seperti sebelum hilang. Kamu mulai meragukanku, Jim? Apa Tomy semakin baik dan kamu mau beralih pada adikku?" Jimmy menggeleng cepat. "Tidak, Bos! Bos Tomy sudah punya asisten sendiri. Lagi pula beliau masih staf." "Kau sudah memanggilnya bos." David menerima tas yang Aster serahkan. Istrinya memberi senyum paling manis yang membuat David bersemangat. Namun tiba - tiba Aster berubah membelalak. Wajahnya memerah. "Mas, ke kamar sebentar." David mengerutkan dahi. Tapi dia mengikuti Aste
Aster duduk lemas di bawah tempat tidur. Bersandar ke kasur dengan kaki diluruskan. Suaminya turut duduk di sebelah Aster. Dengan telaten menyeka keringat yang membasahi muka. "Masih mual?" Kepalanya diangguk pelan. Itu pun tetap terasa tidak nyaman. Dia menarik tangan David dan digenggam kuat. "Mas... apa aku hamil ya? Harusnya sudah datang bulan. Rasanya juga enggak nyaman mau apa - apa." David melebarkan mata. Raut riang menyeruak. "Kita ke dokter langsung ya, Sayang? Kita pastikan ke ahlinya langsung. Karena ini pertama buat kita." Aster mendekat ke suaminya, menyandar manja. "Mas daftar dulu ke dokternya, aku masih lemah." David mengecup dahi Aster. Dia terkekeh pelan. Tangannya agak gemetaran karena begitu antusias. Selesai bersiap dan Aster sudah merasa lebih baik, mereka pun berangkat ke rumah sakit. David sudah mendaftar ke dokter kandungan yang ternyata adalah temannya. Aster menggamit lengan David saat memasuki rumah sakit. Dia memandang ke sekeliling dengan c
Dari David yang segera memberi perintah pada Jimmy untuk mencari informasi, Aster jadi tahu kalau selama ini Ari lebih sering tinggal di luar negeri. Di sana dia tinggal bersama seorang wanita yang sekarang sudah diceraikan. Karena itu dia kembali. Aster harap dia tidak mencoba mendekati Aster lagi. Dalam lubuk hatinya Aster tak memiliki rasa rindu. Sama sekali tak tergerak untuk mengetahui lebih soal sosok ayah kandung. Seakan ruang dalam hati Aster telah hampa. Dia tak lagi mau tahu. Tak mau bertemu pula. David yang baru pulang kerja selesai mandi. Sambil mengeringkan rambut dia duduk di sebelah istrinya. "Ayo kita pergi bulan madu saja." Istrinya malah menggeleng pelan. "Di rumah saja. Atau ke hotel." David meringis. Handuk ditaruh sebelum merangkul pinggang istrinya. "Kau perlu melihat dunia luar yang lain, Aster sayang." "Belum ingin. Di sini saja." Aster menaruh kepala ke dada David. "Aku mau datang ke persidangan." "Kamu yakin, Sayang?" David mengusap kepala
Aster merapat ke David. Dia tidak berani menyentuh kue yang diberikan. Pikiran ada orang di sana yang tengah memperhatikan membuatnya merinding. Dingin tengkuknya terasa. David melingkarkan tangan ke pinggang Aster. Memberinya tekanan lembut menenangkan. "Kita tunggu sebentar." "Apa ya, Mas? Kenapa aku merasa tidak nyaman." Aster menautkan jari - jemari dengan gelisah. Senyum hangat David sedikit menenangkan Aster. Dia pun tak malu mengecup pelipis Aster di tempat umum. Sampai suara langkah kaki berhenti di dekat meja mereka. Pegawai restoran datang dan mengangguk sopan. "Maaf, Bapak dan Ibu sudah menunggu. Saya Edwin manager restoran," ujar pria itu mengulurkan tangan. David melepas Aster. Dia menjabat kuat tangan Edwin. "Terima kasih sudah berkenan menemui kami, pak Edwin. Saya David, dan ini istrinya Aster." Tanpa berbasa - basi manager restoran itu mempersilakan David dan Aster mengikuti dirinya. Mereka diajak ke ruang meeting kecil. Seseorang sudah ada di sana.
Aster terkesiap. Dia membuka bibir ragu. "Mas... waktu Brian...." David menaruh bibirnya di atas bibir Aster. Seketika membungkam perkataan istrinya. "Dia tidak menyentuhmu," desis David dengan mata menyala. Tangan David melingkar ke pinggang Aster erat - erat. "Kalau dia sudah sentuh kamu, maka sudah kupatahkan pula kedua tangannya." "Mas...." David kembali menghentikan kegelisahan Aster dengan lumatan lembut. Sentuhan tangannya mengusap lembut punggung sang istri. "Cukup, Sayang. Aku percaya kamu tidak melakukan apa pun dengan brengsek itu. Kekerasan yang dia lakukan padamu akan dibayar. Simpan rapat memori itu, Sayang. Pikirkan saja kebahagian kita berdua. Hehm... oke?" Pelan - pelan Aster membalas pelukan David. Dia sandarkan dirinya pada dada bidang pria yang menjadi rumahnya kini. Arin pergi ke rumah David menjelang malam. Ada penjaga yang mengantar dan menjemputnya. Tinggallah hanya Aster dan David di rumah baru tersebut. Penjaga ada luar rumah. Tidak ada yang men
Safira tampak kaget. Dia berdeham. "Mama mau lanjut masak. Tidak usah dibantu. Kalian istirahat saja sana." David bergeming. "Ma... apa yang mama sembunyikan?" "Tidak ada!" Safira kembali menyiapkan bahan masakan. Langsung sibuk tak mau diganggu. Aster pun menyentuh lengan suaminya. Dia jadikan topangan untuk berdiri. Serta mengajak David naik ke kamar. "Aku rasa mama tahu lebih banyak soal ayah kandungku," ujar Aster lelah. Dia mendudukkan diri ke tepi tempat tidur. David ikut duduk di sebelahnya setelah menutup pintu. "Tidak heran, Sayang. Mamaku itu, dia sangat mengerikan. Dia memiliki sumber daya yang tak disangka," ungkap David. Dia menghela nafas. "Karena itu, Sayang, aku kesal kenapa mereka tidak bisa segera menemukanku sewaktu diculik. Seakan mereka memiliki rencana tersendiri sampai membiarkan anaknya menderita." Aster memutar badan. Tangan kecilnya menyentuh rahang kokoh David. "Sudah, Sayang. Maafkan papa dan mama. Yang penting, sekarang kita sudah bersama." D
Fuad memandang muram pada Aster. Lalu beralih ke David. Bahunya luruh turun. "Lakukan saja, Mas David. A-ku... kami pantas mendapatkannya." Fadil menoleh marah. Dia berseru lantang pada saudaranya. "Bodoh! Kamu sudah gila, Fu! Aku saudaramu!" Fuad mengangkat muka, memandang lekat pada Fadil. "Karena itu... itulah alasanku, Fad. Kamu saudara yang aku tak sampai hati membiarkanmu terperosok makin dalam." Aster mendekat ke suaminya. "Mas, ada apa ini? Kalian bicara soal apa?" Suami Aster merangkulnya. Dia mengajak mereka semua keluar dari pantry. Tak terduga, Fadil berjalan lebih dulu. Dia berlari ke arah pintu. Fuad berseru kaget. Namun David mencegah Fuad berlari mengejar saudara kembarnya. "Ada orangku di bawah. Fadil tidak akan bisa kemana - mana." Lelaki muda itu mengangguk pasrah. Dia beralih menghadap pada Aster yang masih tidak memahami keadaan. Tak ada keberanian dalam diri Fuad memandang Aster. Dia mengarahkan mata ke bayangan Aster. "Mbak ... aku menyesal. Ini semua