Semua Bab Neng Zulfa: Bab 141 - Bab 150

168 Bab

Part 67

Koridor apartemen itu cukup lengang. Adhim berjalan di depan dengan banyak hampers yang diperolehnya setelah sidang skiripsi tadi pagi di kedua belah tangan. Sedang Pelita, ia melangkah pelan di belakang Adhim dengan beberapa ikat bunga Adhim dalam genggaman. Perempuan itu bersikeras membantu membawakan barang-barang itu sehingga Adhim pun tidak memiliki pilihan lain selain membiarkannya. Pelita itu keras kepala. "Apa ini?" lirih Adhim tak lama kemudian saat tiba di depan unit apartemen mereka. Ada seikat bunga mawar merah tergeletak di depan pintu ketika laki-laki jangkung itu hendak membukanya. Tanpa aba-aba, Adhim perlahan menunduk meraih bunga yang teronggok itu sampai Pelita yang juga merasa penasaran berdiri di sisi Adhim. Ketika Pelita menyadari buket itu adalah bunga yang biasa diterimnya, ia langsung mencegah Adhim mengamati bunga itu lebih lanjut. "Bunga saya, Kak," kata Pelita meraih
Baca selengkapnya

Part 68

Tap, tap, tap .... Sebuah suara langkah kaki kembali terdengar mendekat. "Ada tamu siapa, Bu? Kenapa tidak disuruh masuk?" Itu Opa Pelita. "Bu?" Oma Pelita tidak menjawab dan tetap stagnan menatap cucunya. Sang Opa pun melihat ke depan dan menatap Adhim. "Le?" Laki-laki sepuh itu juga masih mengingat Adhim. "Nduk, Pelita?" Ia juga langsung mengenali cucunya ketika menatap Pelita yang tampak mengelap matanya yang basah dengan sebelah tangan di samping Adhim. "Ada apa ini?" Suara laki-laki itu kemudian langsung berubah menjadi sedikit tidak bersahabat ketika menyadari ada perubahan fisik pada tubuh sang cucu. "Saya dan Pelita datang untuk meminta maaf dan menceritakan yang sebenarnya, Opa, Oma. Mohon izinkan kami masuk," pinta Adhim. "Saya mohon ...." Pelita menangis tersedu. "Maafin Pelita," isaknya lirih.
Baca selengkapnya

Part 69

"Selain Opa, Oma, dan Kak Leon, Pelita sudah tidak memiliki siapa-siapa di dunia ini. Hanya kalian keluarga yang Pelita punya. Terima kasih. Terima kasih karena Opa dan Oma masih mau memaafkan dan mendukung Pelita." Kedua mata indah Pelita terus mengeluarkan cairannya. Suaranya mengalun lirih namun masih cukup terdengar jelas meski sedikit sengau. "Kamu ini bicara apa, Nduk?" sahut Oma Pelita. "Opa dan Oma pasti akan selalu mendukung kamu," lanjutnya dengan larikma yang turut bercucuran. "Jangan pernah berpikir jika kamu hanya sendiri di dunia ini." Perempuan tua itu membungkus tangan kanan Pelita yang duduk di sampingnya dengan kedua tangan lalu menggenggamnya erat. "Sudah, ya? Jangan menangis! Ndak apik." Pelita menatap sang oma, saling pandang sebentar lalu berpelukan erat. "Nak Adhim, tolong jaga baik-baik cucu Oma," tutur Oma Pelita lagi. Adhim yang duduk tak jauh dari keduanya di sebuah k
Baca selengkapnya

Part 70

"Ya Allah Gusti. Astaghfirullahaladhim .... Astaghfirullahaladhim .... Astaghfirullah .... Astaghfirullah .... Bagaimana semua ini bisa terjadi, Nak? Ya Allah .... Adhim!" Nyai Azizah menangis keras di depan putranya sambil berkali-kali mengucap istigfar. Apa yang sebenarnya terjadi, Adhim telah menceritakan semuanya. "Ampuni Adhim, Umi. Maafkan Adhim," ucap Adhim sambil berusaha meraih kedua tangan uminya. Laki-laki itu bersimpuh di depan sang umi yang duduk di tepi ranjang kamar. Setelah mendengar semua cerita Adhim di ruang tamu, Nyai Azizah yang sangat terkejut langsung pergi ke kamarnya tanpa merespons apa-apa dengan kedua netra yang bercucuran larikma. Adhim pun langsung menyusul untuk meminta maaf hingga sang umi menangis keras sambil mengucapkan istigfar berkali-kali seperti tadi. "Kulo telah berbuat dosa besar, Mi. Kulo benar-benar menyesali perbuatan terkutuk itu. Tolon
Baca selengkapnya

Part 71

Setelah keluar dari kamar sang umi, hal pertama yang Adhim lakukan adalah mencari keberadaan Pelita, sebab Adhim tidak menemukan presensi istrinya itu di ruang tamu ketika Adhim menghampiri ruangan terakhir ia melihat perempuan yang sedang mengandung anaknya itu. 'Pelita kamu di mana?' Adhim mengirimi Pelita pesan. Laki-laki itu hampir panik saat pesan yang ia kirim balon chat-nya hanya memiliki centang satu, sampai Ratna, sang kakak ipar, mendatangi Adhim tepat sebelum Adhim mencoba menelepon Pelita dengan nomor biasa. "Pelita Mbak minta pergi ke kamar kamu. Dia ada di sana, Dek. Tadi Mbak antar," kata Ratna. Adhim langsung menghembuskan napas lega. "Matur nuwun, Mbak," gumam laki-laki jangkung itu lalu bergegas pergi ke kamarnya. "Pelita," panggil Adhim begitu ia masuk kamar. Segera Admin mendapati Pelita berdiri membelakanginya, menatap potret dirinya bersama Zulfa yang tergan
Baca selengkapnya

Part 72

Tidak ada yang berubah dari kamar Adhim. Masih bernuansa biru kehitaman dengan desain ruangan yang serupa luar angkasa. Seseorang seolah-olah akan bisa melihat langit malam yang bertabur bintang ketika berbaring di atas ranjangnya ketika menatap ke langit-langit atap. Sejak dulu memang didesain seperti itu oleh si empunya kamar. Di ruangan itu, Pelita mengelus-elus permukaan perutnya yang besar. Air matanya masih jatuh bercucuran. Semakin ke sini, Pelita merasa bahwa dirinya memang ditakdirkan tidak untuk mencecap bahagia. Pelita merasa semesta benar-benar kejam mempermainkan hidupnya. Sebab bahagia, kata itu tidak akan pernah bertahan lama memeluknya. "Pelita." Suara Adhim tiba-tiba terdengar. Laki-laki itu berdiri di ambang pintu kamar. Menatap Pelita sejenak di posisi itu kemudian menghampiri. Pelita yang semula diam dalam tangis langsung menyeka pipinya yang basah.
Baca selengkapnya

Part 73

Tok tok tok! Beberapa menit setelah waktu jemaah salat Subuh dilangsungkan, seseorang mengetuk pintu kamar yang ditempati Adhim dan Pelita. Masih dalam balutan mukena sehabis salat, Pelita bergegas menuju pintu dan membuka papan kayu itu demi menemukan sosok Ratna yang tersenyum lebar ke arahnya. Cepat-cepat, Pelita menunjukkan senyum manisnya meski hal itu tentu tidak bisa menutupi wajah sembabnya dengan kedua belah mata yang memerah dan sedikit bengkak karena semalaman menangis. "Mbak Ratna," lirih perempuan berparas cantik itu. "Pelita," sahut Ratna masih sambil tersenyum. "Ini, ada buah jambu biji merah buat kamu." Ratna menunjukkan kresek hitam berukuran sedang berisikan beberapa butir buah jambu yang besar-besar. "Subuh tadi ada tetangga yang memberi hasil kebunnya ke Umi. Satu keranjang penuh. Abah menyuruh membawakan beberapa buat kamu sebelum sisanya dikasihkan ke mbak-mbak santri. Jam
Baca selengkapnya

Part 74

"Oh my God, Pelita! You looks so gorgeous!"Cecilia menyambut Pelita dengan pujian begitu mereka bertemu di salah satu pusat perbelanjaan Kota Bandung itu."Makin cantik aja kamu, Lit!" lanjutnya."Astaga, calon keponakan aku. Udah berapa bulan ini? Kelihatannya perut kamu udah semakin besar daripada terakhir kali kita ketemu, ya," celoteh Cecilia lagi sembari merangkul lengan Pelita lalu menuntunnya ke tempat duduk yang sudah dipesannya untuk mereka.Arina yang sudah bersama Cecilia sebelum Pelita datang mengikuti di belakang keduanya sambil tersenyum."Tujuh bulanan deh, Mbak, kalau nggak salah," sahut Arina. "Iya nggak sih, Lit?"Pelita berusaha tersenyum. "Iya."Ketiganya lantas duduk di meja yang sudah dipesan Cecilia.Beberapa camilan ringan dan minuman tampak sudah tersaji di atas meja itu."Wah, nggak lama lagi launching dong," sahut Cecilia."Minta doanya ya, Mbak." Pelita menyahut.
Baca selengkapnya

Part 75

"Pelita, ada apa?" risik Arina kepada Pelita saat Pelita kembali dari toilet. "Terjadi sesuatu? Wajah kamu kayak habis ngelihat hantu gitu?" bisiknya lirih."Nggak pa-pa, Rin. Nanti aku cerita." Pelita mencoba mengusir ketakutan di wajahnya lantas berusaha tersenyum lebar. "Kita selesaiin belanjanya dulu sama Mbak Cecil, ya. Kalau udah nanti aku mau cerita sesuatu sama kamu," lanjutnya pelan."Em, oke, Lit." Arina turut mencoba mengenyahkan kekhawatirannya lantas ikut mengulas senyuman."Pelita ... pergi pipisnya lama banget?" tanya Cecilia dari kejauhan kemudian berjalan menghampiri Pelita dan Arina. "Aku sampek kawatir lho sama kamu," tambahnya ketika sudah sampai di hadapan Pelita."Toiletnya antre, Mbak. Jadi lama." Pelita beralasan."Emm." Cecilia manggut-manggut."Eh, aku tadi di sebelah sana lihat ada dekorasi kamar bayi lucu-lucu lho, Lit. Mau lihat nggak?" celetuk Cecilia lagi."Boleh." Pelita tersenyum lebar.
Baca selengkapnya

Part 76

Adhim Zein A. Hisyam: Pelita, sudah pulang? Pelita baru masuk ke dalam apartemennya ketika ia melihat pesan singkat dari Adhim yang baru saja laki-laki itu kirim. Adhim Zein A. Hisyam: Maaf saya belum bisa pulang Ada urusan mendesak di bengkel Pelita menghela napas ketika Adhim mengiriminya pesan lagi. Setelah lulus ujian skripsi, Adhim fokus membuka usahanya. Selain mengembangkan bisnis kerajinan gelang yang sudah dirintisnya, laki-laki tinggi berambut gondrong itu memutuskan untuk membuka bengkel. Teman-temannya klub motor pun dengan senang hati membantu Adhim. Jadi pundi-pundi uang Adhim semakin bertambah. Semula sumber uang Adhim hanya berasal dari tambak ikan pemberian orang tuanya yang ada di Gresik. Semua saudaranya juga memiliki tambak sendiri-sendiri sama dengannya atas pemberian orang tuanya. Selain itu, Abah dan Uminya juga masih selalu memberinya uang s
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
121314151617
DMCA.com Protection Status