Adhim Zein A. Hisyam:
Pelita, sudah pulang? Pelita baru masuk ke dalam apartemennya ketika ia melihat pesan singkat dari Adhim yang baru saja laki-laki itu kirim. Adhim Zein A. Hisyam: Maaf saya belum bisa pulang Ada urusan mendesak di bengkel Pelita menghela napas ketika Adhim mengiriminya pesan lagi. Setelah lulus ujian skripsi, Adhim fokus membuka usahanya. Selain mengembangkan bisnis kerajinan gelang yang sudah dirintisnya, laki-laki tinggi berambut gondrong itu memutuskan untuk membuka bengkel. Teman-temannya klub motor pun dengan senang hati membantu Adhim. Jadi pundi-pundi uang Adhim semakin bertambah. Semula sumber uang Adhim hanya berasal dari tambak ikan pemberian orang tuanya yang ada di Gresik. Semua saudaranya juga memiliki tambak sendiri-sendiri sama dengannya atas pemberian orang tuanya. Selain itu, Abah dan Uminya juga masih selalu memberinya uang sBelum lama setelah Pelita selesai memasak dan menghidangkan masakan olahannya di meja makan, Adhim datang. "Assalamu'alaikum," salam Adhim yang langsung Pelita jawab. "Wa'alaikumussalam." Bibirnya menyunggingkan senyum kecil kemudian menghampiri suaminya itu. "Kak Adhim bersih-bersih dulu, ya. Di kamar mandi sudah saya siapin air hangat," ujarnya setelah menyalami tangan sang suami. Adhim tidak langsung menjawab dan memilih menatap dalam-dalam ke arah Pelita. Ia tentu sadar ada yang berbeda dari sikapnya. "Iya." Laki-laki itu kemudian mengangguk. "Saya mandi dulu." Pelita membalasnya dengan ulasan senyum kecil. Setelah mandi Adhim langsung menyusul Pelita ke meja makan. Laki-laki itu mengenakan celana kain panjang berwarna abu-abu yang dipadukan dengan sweater cokelat. Sudah ada semangkuk sup ikan gurame di atas meja dan sebakul kecil nasi yang masih hangat. Tampak
Adhim duduk termenung di sebuah ruangan kecil yang ada di bagian belakang bengkel yang baru dibukanya. Ia seorang diri di sana. Duduk pada sebuah sofa panjang berwarna abu-abu. Pikirannya mengembara, memikirkan masa depan hubungannya dengan Pelita. Mengapa istrinya itu bersikeras ingin mereka bercerai setelah anaknya lahir? Apakah seburuk itu berumah tangga dengan Adhim? Apakah Pelita belum bisa memaafkan perbuatan bejatnya dulu? Apakah Pelita tidak bahagia menikah dengannya? Jika Adhim menarik garis dari seluruh pertanyaannya, ia tahu Pelita akhirnya ingin berpisah dengannya setelah Adhim mengajak Pelita pergi menemui keluarganya di Kediri. Adhim tahu, ia bukan laki-laki yang cukup baik untuk perempuan seperti Pelita. Tapi, apakah salah jika ia ingin memperbaiki segalanya? Ia menyayangi perempuan itu. Dan belakangan Adhim sadar, ia telah jatuh cinta kepada Pelita entah kapan dan bagaimana. Ia mencintainya. D
Pelita, Arina, dan Aldo bergegas ke rumah sakit menaiki mobil Pelita yang Aldo sopiri. Ketika datang menjemput Pelita tadi, sehabis dari rumah sakit tempat Adhim dirawat, Aldo datang ke kampus naik taksi karena tidak mungkin dirinya kembali ke rumahnya dulu untuk mengambil mobilnya sebab hari ini ia mengendarai motor. Hal itu tentu akan memakan terlalu banyak waktu. Karenanya Aldo meninggalkan motornya terparkir di rumah sakit dan memesan taksi untuk menjemput Pelita kemudian kembali ke rumah sakit dengan mobil Pelita. Pelita terus menangis sepanjang jalan. Ternyata firasat buruknya mengenai Adhim menjadi kenyataan. Di sisi lain, Aldo menceritakan kronologi kejadian Adhim yang ditusuk di kursi pengemudi depan sedangkan Arina yang duduk di samping Pelita di bangku penumpang belakang mencoba terus menenangkan temannya itu. Setibanya di rumah sakit, Pelita langsung berlari menuju kamar Adhim. Tidak perlu bertany
Sedetik pun, Pelita tidak membiarkan dirinya meninggalkan Adhim sendiri di kamar rawatnya. Hingga malam hari tiba, Pelita tetap duduk menemani Adhim dengan setia di sisinya. Ia hanya beranjak ketika waktu salat tiba untuk mengerjakan ibadah atau ketika harus pergi ke kamar mandi. Selain itu, Pelita terus berada di samping suaminya itu. Setelah pemeriksaan lebih lanjut, kejang Adhim ternyata terjadi karena ada sedikit pendarahan di otaknya. Namun, syukurnya, pendarahan itu tidak parah dan bisa diobati dokter tanpa melakukan operasi. Pelita tentu sangat bersyukur mendengar kabar itu. Dokter juga mengatakan jika kondisi Adhim sudah semakin membaik dan mungkin akan segera sadar tidak lama lagi. Pelita tidak menyangka jika Arka akan secepat ini melakukan aksinya. Dia tidak main-main. Laki-laki itu sudah berhasil menyelakai Adhim dan membuatnya terbaring di ranjang rumah sakit seperti ini. "Lit," panggil Arina
"Kak Adhim," lirih Pelita pada Adhim sebelum mendekat ke samping ranjang tempat suaminya itu berbaring. "Maafin saya, karena saya Kakak jadi seperti ini," katanya menahan air matanya agar tidak mengalir lagi. "Kak Adhim masuk ke rumah sakit seperti ini karena saya. Maafin saya." Tes .... Air mata Pelita akhirnya jatuh juga. Adhim pun hanya diam menatap istrinya itu. "Sejak awal Kakak seharusnya nggak pernah berurusan sama saya. Kak Adhim nggak seharusnya menikahi perempuan seperti saya. Kakak harusnya ... Kakak harusnya menuruti permintaan Umi Kakak untuk menikah dengan perempuan pilihannya." Adhim akhirnya mendesah mendengar kata-kata Pelita. "Ke sini, Li," pinta Adhim setelahnya, menyuruh Pelita kembali duduk di sisinya. Pelita menurut sembari mengelap pipinya yang basah. Setelah Pelita kembali duduk, Adhim menghela napas keras kemud
Beberapa minggu kemudian Adhim sudah keluar dari rumah sakit. Meski jahitan luka tusuk di perutnya sudah kering, ia tidak bisa banyak beraktivitas seperti dulu karena luka bagian dalamnya yang belum pulih sepenuhnya. Adhim harus tetap mengistirahatkan tubuhnya dengan tidak melakukan banyak pekerjaan yang berat selama beberapa waktu hingga lukanya benar-benar sembuh. Hari ini Minggu, Pelita tidak memiliki jadwal di kampus dan ia juga tidak memiliki janji lain. Akhirnya perempuan itu pun menghabiskan waktunya di apartemen bersama Adhim. "Kak Adhim hari ini mau dimasakin sarapan apa?" Pelita melempar tanya kepada Adhim yang duduk di sebuah sofa yang ada di kamar mereka. Jam di dinding ruangan masih menunjukkan pukul 06.15 pagi. Pelita baru saja selesai mandi. Bukannya menjawab, Adhim malah tersenyum. "Maunya makan kamu," jawabnya menggoda. Pelita langsung melototkan mata. "Kak!" pekiknya.
"Ibu Pelita tidak apa-apa. Masih belum waktunya melahirkan. Kontraksi yang terjadi hanyak kontraksi palsu. Jadi tidak perlu cemas," terang seorang dokter setelah memeriksa keadaan Pelita. "Benar, Dok? Istri saya tidak apa-apa?" tanya Adhim tampak belum bisa percaya. Sang dokter pun mengulas senyum. "Benar, Pak," balasnya. "Istri Bapak kemungkinan besar akan melahirkan sesuai HPL." Adhim langsung melirik Pelita yang duduk memegangi perutnya di samping laki-laki itu. Pelita terlihat memakai daster tidur biru muda yang dilapisi kardigan rajut oversize warna hitam dan kerudung senada. Sedangkan Adhim, ia memakai celana kain abu-abu dan jaket cokelat yang melapisi kaus putih lengan pendek yang ada di balik jaket kulit itu. Petunjuk waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika keduanya sampai di rumah sakit karena Pelita yang mengalami kontraksi. "Jadi, untuk selanjutnya bagaimana, Dok? Istri
"Kak, ini saya buatin bekal, jangan lupa dimakan, ya." Pelita menunjukkan sekotak tupperware berwarna hijau muda berukuran sedang kepada Adhim yang pagi ini akan pergi ke Bogor untuk urusan bisnisnya. "Ciyee yang dibekalin istri ...." Aldo yang masih mengunyah sarapannya di meja makan Adhim menyeloroh. Oleh Adhim, Aldo memang diajak sarapan bersama di apartemennya atas suruhan Pelita. Jadi setelah bersiap dan berdandan rapi, laki-laki itu langsung meluncur ke apartemen Adhim untuk menjemput Adhim dan sarapan. Pagi-pagi sekali Pelita sudah berkutat di dapur memasakkan rica-rica ayam dan sambal terong balado untuk sarapan suaminya dan Aldo. Adhim yang bilang bisa sarapan di luar atau delivery tak dihiraukannya. Soal sate yang kemarin malam ia beli, oleh Pelita sate itu dimakannya seorang diri. Adhim dan Aldo hanya diberinya cicip masing-masing satu tusuk sate yang sebelumnya sudah Pelita hangatkan menggunakan m