Sedetik pun, Pelita tidak membiarkan dirinya meninggalkan Adhim sendiri di kamar rawatnya.
Hingga malam hari tiba, Pelita tetap duduk menemani Adhim dengan setia di sisinya. Ia hanya beranjak ketika waktu salat tiba untuk mengerjakan ibadah atau ketika harus pergi ke kamar mandi. Selain itu, Pelita terus berada di samping suaminya itu. Setelah pemeriksaan lebih lanjut, kejang Adhim ternyata terjadi karena ada sedikit pendarahan di otaknya. Namun, syukurnya, pendarahan itu tidak parah dan bisa diobati dokter tanpa melakukan operasi. Pelita tentu sangat bersyukur mendengar kabar itu. Dokter juga mengatakan jika kondisi Adhim sudah semakin membaik dan mungkin akan segera sadar tidak lama lagi. Pelita tidak menyangka jika Arka akan secepat ini melakukan aksinya. Dia tidak main-main. Laki-laki itu sudah berhasil menyelakai Adhim dan membuatnya terbaring di ranjang rumah sakit seperti ini. "Lit," panggil Arina"Kak Adhim," lirih Pelita pada Adhim sebelum mendekat ke samping ranjang tempat suaminya itu berbaring. "Maafin saya, karena saya Kakak jadi seperti ini," katanya menahan air matanya agar tidak mengalir lagi. "Kak Adhim masuk ke rumah sakit seperti ini karena saya. Maafin saya." Tes .... Air mata Pelita akhirnya jatuh juga. Adhim pun hanya diam menatap istrinya itu. "Sejak awal Kakak seharusnya nggak pernah berurusan sama saya. Kak Adhim nggak seharusnya menikahi perempuan seperti saya. Kakak harusnya ... Kakak harusnya menuruti permintaan Umi Kakak untuk menikah dengan perempuan pilihannya." Adhim akhirnya mendesah mendengar kata-kata Pelita. "Ke sini, Li," pinta Adhim setelahnya, menyuruh Pelita kembali duduk di sisinya. Pelita menurut sembari mengelap pipinya yang basah. Setelah Pelita kembali duduk, Adhim menghela napas keras kemud
Beberapa minggu kemudian Adhim sudah keluar dari rumah sakit. Meski jahitan luka tusuk di perutnya sudah kering, ia tidak bisa banyak beraktivitas seperti dulu karena luka bagian dalamnya yang belum pulih sepenuhnya. Adhim harus tetap mengistirahatkan tubuhnya dengan tidak melakukan banyak pekerjaan yang berat selama beberapa waktu hingga lukanya benar-benar sembuh. Hari ini Minggu, Pelita tidak memiliki jadwal di kampus dan ia juga tidak memiliki janji lain. Akhirnya perempuan itu pun menghabiskan waktunya di apartemen bersama Adhim. "Kak Adhim hari ini mau dimasakin sarapan apa?" Pelita melempar tanya kepada Adhim yang duduk di sebuah sofa yang ada di kamar mereka. Jam di dinding ruangan masih menunjukkan pukul 06.15 pagi. Pelita baru saja selesai mandi. Bukannya menjawab, Adhim malah tersenyum. "Maunya makan kamu," jawabnya menggoda. Pelita langsung melototkan mata. "Kak!" pekiknya.
"Ibu Pelita tidak apa-apa. Masih belum waktunya melahirkan. Kontraksi yang terjadi hanyak kontraksi palsu. Jadi tidak perlu cemas," terang seorang dokter setelah memeriksa keadaan Pelita. "Benar, Dok? Istri saya tidak apa-apa?" tanya Adhim tampak belum bisa percaya. Sang dokter pun mengulas senyum. "Benar, Pak," balasnya. "Istri Bapak kemungkinan besar akan melahirkan sesuai HPL." Adhim langsung melirik Pelita yang duduk memegangi perutnya di samping laki-laki itu. Pelita terlihat memakai daster tidur biru muda yang dilapisi kardigan rajut oversize warna hitam dan kerudung senada. Sedangkan Adhim, ia memakai celana kain abu-abu dan jaket cokelat yang melapisi kaus putih lengan pendek yang ada di balik jaket kulit itu. Petunjuk waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika keduanya sampai di rumah sakit karena Pelita yang mengalami kontraksi. "Jadi, untuk selanjutnya bagaimana, Dok? Istri
"Kak, ini saya buatin bekal, jangan lupa dimakan, ya." Pelita menunjukkan sekotak tupperware berwarna hijau muda berukuran sedang kepada Adhim yang pagi ini akan pergi ke Bogor untuk urusan bisnisnya. "Ciyee yang dibekalin istri ...." Aldo yang masih mengunyah sarapannya di meja makan Adhim menyeloroh. Oleh Adhim, Aldo memang diajak sarapan bersama di apartemennya atas suruhan Pelita. Jadi setelah bersiap dan berdandan rapi, laki-laki itu langsung meluncur ke apartemen Adhim untuk menjemput Adhim dan sarapan. Pagi-pagi sekali Pelita sudah berkutat di dapur memasakkan rica-rica ayam dan sambal terong balado untuk sarapan suaminya dan Aldo. Adhim yang bilang bisa sarapan di luar atau delivery tak dihiraukannya. Soal sate yang kemarin malam ia beli, oleh Pelita sate itu dimakannya seorang diri. Adhim dan Aldo hanya diberinya cicip masing-masing satu tusuk sate yang sebelumnya sudah Pelita hangatkan menggunakan m
"Pak Adam?"Pelita sangat terkejut melihat sosok laki-laki paruh baya yang begitu dikenalnya berdiri di depan kampusnya selesainya perempuan itu mengikuti kelas terakhirnya di gedung fakultasnya, Fakultas Ilmu Hukum sore ini. Ia mengambil cuti mulai besok.Jam di pergelangan tangan Pelita menunjukkan pukul 16.00 WIB.Sama seperti Pelita, laki-laki setengah baya yang dipanggil Pelita dengan sebutan Pak Adam itu tidak kalah terkejutnya dengan Pelita, mendapati putri bungsu bosnya terlihat di hadapannya dengan perut besar. Nonanya itu tidak sedang hamil bukan?Melihat tatapan kaget Pak Adam yang tertuju ke arah perutnya, Pelita langsung merangkul perut besarnya itu posesif."Pak Adam sedang apa di sini?" tanyanya pada laki-laki paruh baya yang menjadi orang kepercayaan papanya itu.Pak Adam langsung memusatkan atensi lagi kepadanya. "Non Pelita, ada yang mau saya katakan, Non," jawab laki-laki itu pelan. "Hal ini sangat penting."
"Maafin saya, Kak. Saya harus ke Jakarta tanpa bilang Kak Adhim. Papa saya butuh saya sekarang."Pelita bermonolog sendiri setelah memasukkan beberapa potong baju dan pakain ke tas tangannya yang memiliki ukuran sedang."Saya nggak mau ganggu kerja Kak Adhim," gumamnya lagi kemudian mengusap pipinya yang sedari tadi basah oleh air mata.Perempuan itu kini mengusap perut besarnya."Kamu juga yang kuat ya, Dek," katanya beralih mengajak bicara bayi yang ada di dalam kandungannya. "Mama harus ketemu Papanya Mama di Jakarta. Beliau butuh bantuan Mama. Maafin Mama yang bertindak egois karena harus pergi saat kamu udah mau lahir beberapa minggu lagi. Tapi Mama harus lakuin ini untuk kakek kamu. Mama minta tolong, bantu Mama, ya?! Kamu harus kuat, dan jangan rewel selama kita pergi tanpa Ayah kamu. Mama sayang kamu."Senyuman sedikit terukir di bibir cantik itu saat merasakan gerakan-gerakan yang dibuat bayinya yang seolah merespons setiap kata-
Pelita menatap sendu tubuh papanya yang terbaring di atas bed rumah sakit dari kaca transparan berbentuk persegi panjang yang dipasang di permukaan pintu kamar rawat papanya itu, sejak beberapa menit yang lalu. Masih tidak menyangka, papanya yang bugar dan sehat ketika terakhir kali ditemuinya kini berbaring tak berdaya dengan tubuh yang kehilangan banyak berat badan dan pucat di atas brangkar itu, sedang diperiksa dan ditangani oleh dokter pribadinya. "Papa harus sembuh, Pa. Jangan tinggalkan Pelita kayak Mama." Perempuan itu berbisik lirih sembari menyeka matanya yang basah akan air mata. Pelita sudah terbiasa menangis tanpa suara. Ia hanya perlu mengendalikan isakan agar tidak keluar dari labiumnya. "Aku sayang Papa." Perempuan itu berusaha keras mengeyahkan rasa sesak yang mendera dadanya. "Pelita." Dokter Duta yang semula berada di dalam ruangan bersama beberapa orang perawat keluar menemui Pelita dan langsung dihadiahi pertanyaan olehnya. "Dokter, gimana kondisi Papa sa
Baru saja pesan itu terkirim, layar ponselnya langsung menampilkan notifikasi panggilan telepon dari Adhim. Pelita pun segera mengangkatnya. "Assalamualaikum, Pelita. Kamu sedang apa? Nggak tahu kenapa saya khawatir sama kamu." Pelita merasa bersalah mendengar nada cemas yang begitu kentara dalam suara Adhim itu. "Halo, Pelita. Ada apa? Kenapa saya tidak bisa menelepon kamu dari bakda Magrib tadi? Pelita? Halo?" Pelita menggigit bibir bawahnya. "H-halo, Kak Adhim. Waalaikumussamalam," jawabnya pada akhirnya setelah beberapa lama membisu dalam jeda waktu. "Maaf, Kak. Saya baru tahu Kakak nelepon." Ganti Adhim yang tidak langsung menjawab. "Pelita. Suara kamu ... kenapa?" sahut Adhim kemudian dengan nada penuh selidik. Kali ini Pelita merasakan tremor di tangannya menyadari suaranya yang pasti terdengar sengau setelah hampir seharian menangis di telinga Adhim. "Pelita?" Suara berat Adhim yang terdengar cemas mengalun lagi. "Halo, Pelita?" Pelita kali ini mencoba mengatu