Semua Bab Neng Zulfa: Bab 151 - Bab 160

168 Bab

Part 77

Belum lama setelah Pelita selesai memasak dan menghidangkan masakan olahannya di meja makan, Adhim datang. "Assalamu'alaikum," salam Adhim yang langsung Pelita jawab. "Wa'alaikumussalam." Bibirnya menyunggingkan senyum kecil kemudian menghampiri suaminya itu. "Kak Adhim bersih-bersih dulu, ya. Di kamar mandi sudah saya siapin air hangat," ujarnya setelah menyalami tangan sang suami. Adhim tidak langsung menjawab dan memilih menatap dalam-dalam ke arah Pelita. Ia tentu sadar ada yang berbeda dari sikapnya. "Iya." Laki-laki itu kemudian mengangguk. "Saya mandi dulu." Pelita membalasnya dengan ulasan senyum kecil. Setelah mandi Adhim langsung menyusul Pelita ke meja makan. Laki-laki itu mengenakan celana kain panjang berwarna abu-abu yang dipadukan dengan sweater cokelat. Sudah ada semangkuk sup ikan gurame di atas meja dan sebakul kecil nasi yang masih hangat. Tampak
Baca selengkapnya

Part 78

Adhim duduk termenung di sebuah ruangan kecil yang ada di bagian belakang bengkel yang baru dibukanya. Ia seorang diri di sana. Duduk pada sebuah sofa panjang berwarna abu-abu. Pikirannya mengembara, memikirkan masa depan hubungannya dengan Pelita. Mengapa istrinya itu bersikeras ingin mereka bercerai setelah anaknya lahir? Apakah seburuk itu berumah tangga dengan Adhim? Apakah Pelita belum bisa memaafkan perbuatan bejatnya dulu? Apakah Pelita tidak bahagia menikah dengannya? Jika Adhim menarik garis dari seluruh pertanyaannya, ia tahu Pelita akhirnya ingin berpisah dengannya setelah Adhim mengajak Pelita pergi menemui keluarganya di Kediri. Adhim tahu, ia bukan laki-laki yang cukup baik untuk perempuan seperti Pelita. Tapi, apakah salah jika ia ingin memperbaiki segalanya? Ia menyayangi perempuan itu. Dan belakangan Adhim sadar, ia telah jatuh cinta kepada Pelita entah kapan dan bagaimana. Ia mencintainya. D
Baca selengkapnya

Part 79

Pelita, Arina, dan Aldo bergegas ke rumah sakit menaiki mobil Pelita yang Aldo sopiri. Ketika datang menjemput Pelita tadi, sehabis dari rumah sakit tempat Adhim dirawat, Aldo datang ke kampus naik taksi karena tidak mungkin dirinya kembali ke rumahnya dulu untuk mengambil mobilnya sebab hari ini ia mengendarai motor. Hal itu tentu akan memakan terlalu banyak waktu. Karenanya Aldo meninggalkan motornya terparkir di rumah sakit dan memesan taksi untuk menjemput Pelita kemudian kembali ke rumah sakit dengan mobil Pelita. Pelita terus menangis sepanjang jalan. Ternyata firasat buruknya mengenai Adhim menjadi kenyataan. Di sisi lain, Aldo menceritakan kronologi kejadian Adhim yang ditusuk di kursi pengemudi depan sedangkan Arina yang duduk di samping Pelita di bangku penumpang belakang mencoba terus menenangkan temannya itu. Setibanya di rumah sakit, Pelita langsung berlari menuju kamar Adhim. Tidak perlu bertany
Baca selengkapnya

Part 80

Sedetik pun, Pelita tidak membiarkan dirinya meninggalkan Adhim sendiri di kamar rawatnya. Hingga malam hari tiba, Pelita tetap duduk menemani Adhim dengan setia di sisinya. Ia hanya beranjak ketika waktu salat tiba untuk mengerjakan ibadah atau ketika harus pergi ke kamar mandi. Selain itu, Pelita terus berada di samping suaminya itu. Setelah pemeriksaan lebih lanjut, kejang Adhim ternyata terjadi karena ada sedikit pendarahan di otaknya. Namun, syukurnya, pendarahan itu tidak parah dan bisa diobati dokter tanpa melakukan operasi. Pelita tentu sangat bersyukur mendengar kabar itu. Dokter juga mengatakan jika kondisi Adhim sudah semakin membaik dan mungkin akan segera sadar tidak lama lagi. Pelita tidak menyangka jika Arka akan secepat ini melakukan aksinya. Dia tidak main-main. Laki-laki itu sudah berhasil menyelakai Adhim dan membuatnya terbaring di ranjang rumah sakit seperti ini. "Lit," panggil Arina
Baca selengkapnya

Part 81

"Kak Adhim," lirih Pelita pada Adhim sebelum mendekat ke samping ranjang tempat suaminya itu berbaring. "Maafin saya, karena saya Kakak jadi seperti ini," katanya menahan air matanya agar tidak mengalir lagi. "Kak Adhim masuk ke rumah sakit seperti ini karena saya. Maafin saya." Tes .... Air mata Pelita akhirnya jatuh juga. Adhim pun hanya diam menatap istrinya itu. "Sejak awal Kakak seharusnya nggak pernah berurusan sama saya. Kak Adhim nggak seharusnya menikahi perempuan seperti saya. Kakak harusnya ... Kakak harusnya menuruti permintaan Umi Kakak untuk menikah dengan perempuan pilihannya." Adhim akhirnya mendesah mendengar kata-kata Pelita. "Ke sini, Li," pinta Adhim setelahnya, menyuruh Pelita kembali duduk di sisinya. Pelita menurut sembari mengelap pipinya yang basah. Setelah Pelita kembali duduk, Adhim menghela napas keras kemud
Baca selengkapnya

Part 82

Beberapa minggu kemudian Adhim sudah keluar dari rumah sakit. Meski jahitan luka tusuk di perutnya sudah kering, ia tidak bisa banyak beraktivitas seperti dulu karena luka bagian dalamnya yang belum pulih sepenuhnya. Adhim harus tetap mengistirahatkan tubuhnya dengan tidak melakukan banyak pekerjaan yang berat selama beberapa waktu hingga lukanya benar-benar sembuh. Hari ini Minggu, Pelita tidak memiliki jadwal di kampus dan ia juga tidak memiliki janji lain. Akhirnya perempuan itu pun menghabiskan waktunya di apartemen bersama Adhim. "Kak Adhim hari ini mau dimasakin sarapan apa?" Pelita melempar tanya kepada Adhim yang duduk di sebuah sofa yang ada di kamar mereka. Jam di dinding ruangan masih menunjukkan pukul 06.15 pagi. Pelita baru saja selesai mandi. Bukannya menjawab, Adhim malah tersenyum. "Maunya makan kamu," jawabnya menggoda. Pelita langsung melototkan mata. "Kak!" pekiknya.
Baca selengkapnya

Part 83

"Ibu Pelita tidak apa-apa. Masih belum waktunya melahirkan. Kontraksi yang terjadi hanyak kontraksi palsu. Jadi tidak perlu cemas," terang seorang dokter setelah memeriksa keadaan Pelita. "Benar, Dok? Istri saya tidak apa-apa?" tanya Adhim tampak belum bisa percaya. Sang dokter pun mengulas senyum. "Benar, Pak," balasnya. "Istri Bapak kemungkinan besar akan melahirkan sesuai HPL." Adhim langsung melirik Pelita yang duduk memegangi perutnya di samping laki-laki itu. Pelita terlihat memakai daster tidur biru muda yang dilapisi kardigan rajut oversize warna hitam dan kerudung senada. Sedangkan Adhim, ia memakai celana kain abu-abu dan jaket cokelat yang melapisi kaus putih lengan pendek yang ada di balik jaket kulit itu. Petunjuk waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika keduanya sampai di rumah sakit karena Pelita yang mengalami kontraksi. "Jadi, untuk selanjutnya bagaimana, Dok? Istri
Baca selengkapnya

Part 84

"Kak, ini saya buatin bekal, jangan lupa dimakan, ya." Pelita menunjukkan sekotak tupperware berwarna hijau muda berukuran sedang kepada Adhim yang pagi ini akan pergi ke Bogor untuk urusan bisnisnya. "Ciyee yang dibekalin istri ...." Aldo yang masih mengunyah sarapannya di meja makan Adhim menyeloroh. Oleh Adhim, Aldo memang diajak sarapan bersama di apartemennya atas suruhan Pelita. Jadi setelah bersiap dan berdandan rapi, laki-laki itu langsung meluncur ke apartemen Adhim untuk menjemput Adhim dan sarapan. Pagi-pagi sekali Pelita sudah berkutat di dapur memasakkan rica-rica ayam dan sambal terong balado untuk sarapan suaminya dan Aldo. Adhim yang bilang bisa sarapan di luar atau delivery tak dihiraukannya. Soal sate yang kemarin malam ia beli, oleh Pelita sate itu dimakannya seorang diri. Adhim dan Aldo hanya diberinya cicip masing-masing satu tusuk sate yang sebelumnya sudah Pelita hangatkan menggunakan m
Baca selengkapnya

Part 85

"Pak Adam?"Pelita sangat terkejut melihat sosok laki-laki paruh baya yang begitu dikenalnya berdiri di depan kampusnya selesainya perempuan itu mengikuti kelas terakhirnya di gedung fakultasnya, Fakultas Ilmu Hukum sore ini. Ia mengambil cuti mulai besok.Jam di pergelangan tangan Pelita menunjukkan pukul 16.00 WIB.Sama seperti Pelita, laki-laki setengah baya yang dipanggil Pelita dengan sebutan Pak Adam itu tidak kalah terkejutnya dengan Pelita, mendapati putri bungsu bosnya terlihat di hadapannya dengan perut besar. Nonanya itu tidak sedang hamil bukan?Melihat tatapan kaget Pak Adam yang tertuju ke arah perutnya, Pelita langsung merangkul perut besarnya itu posesif."Pak Adam sedang apa di sini?" tanyanya pada laki-laki paruh baya yang menjadi orang kepercayaan papanya itu.Pak Adam langsung memusatkan atensi lagi kepadanya. "Non Pelita, ada yang mau saya katakan, Non," jawab laki-laki itu pelan. "Hal ini sangat penting."
Baca selengkapnya

Part 86

"Maafin saya, Kak. Saya harus ke Jakarta tanpa bilang Kak Adhim. Papa saya butuh saya sekarang."Pelita bermonolog sendiri setelah memasukkan beberapa potong baju dan pakain ke tas tangannya yang memiliki ukuran sedang."Saya nggak mau ganggu kerja Kak Adhim," gumamnya lagi kemudian mengusap pipinya yang sedari tadi basah oleh air mata.Perempuan itu kini mengusap perut besarnya."Kamu juga yang kuat ya, Dek," katanya beralih mengajak bicara bayi yang ada di dalam kandungannya. "Mama harus ketemu Papanya Mama di Jakarta. Beliau butuh bantuan Mama. Maafin Mama yang bertindak egois karena harus pergi saat kamu udah mau lahir beberapa minggu lagi. Tapi Mama harus lakuin ini untuk kakek kamu. Mama minta tolong, bantu Mama, ya?! Kamu harus kuat, dan jangan rewel selama kita pergi tanpa Ayah kamu. Mama sayang kamu."Senyuman sedikit terukir di bibir cantik itu saat merasakan gerakan-gerakan yang dibuat bayinya yang seolah merespons setiap kata-
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
121314151617
DMCA.com Protection Status