"Ya Allah Gusti. Astaghfirullahaladhim .... Astaghfirullahaladhim .... Astaghfirullah .... Astaghfirullah .... Bagaimana semua ini bisa terjadi, Nak? Ya Allah .... Adhim!"
Nyai Azizah menangis keras di depan putranya sambil berkali-kali mengucap istigfar. Apa yang sebenarnya terjadi, Adhim telah menceritakan semuanya. "Ampuni Adhim, Umi. Maafkan Adhim," ucap Adhim sambil berusaha meraih kedua tangan uminya. Laki-laki itu bersimpuh di depan sang umi yang duduk di tepi ranjang kamar. Setelah mendengar semua cerita Adhim di ruang tamu, Nyai Azizah yang sangat terkejut langsung pergi ke kamarnya tanpa merespons apa-apa dengan kedua netra yang bercucuran larikma. Adhim pun langsung menyusul untuk meminta maaf hingga sang umi menangis keras sambil mengucapkan istigfar berkali-kali seperti tadi. "Kulo telah berbuat dosa besar, Mi. Kulo benar-benar menyesali perbuatan terkutuk itu. TolonSetelah keluar dari kamar sang umi, hal pertama yang Adhim lakukan adalah mencari keberadaan Pelita, sebab Adhim tidak menemukan presensi istrinya itu di ruang tamu ketika Adhim menghampiri ruangan terakhir ia melihat perempuan yang sedang mengandung anaknya itu. 'Pelita kamu di mana?' Adhim mengirimi Pelita pesan. Laki-laki itu hampir panik saat pesan yang ia kirim balon chat-nya hanya memiliki centang satu, sampai Ratna, sang kakak ipar, mendatangi Adhim tepat sebelum Adhim mencoba menelepon Pelita dengan nomor biasa. "Pelita Mbak minta pergi ke kamar kamu. Dia ada di sana, Dek. Tadi Mbak antar," kata Ratna. Adhim langsung menghembuskan napas lega. "Matur nuwun, Mbak," gumam laki-laki jangkung itu lalu bergegas pergi ke kamarnya. "Pelita," panggil Adhim begitu ia masuk kamar. Segera Admin mendapati Pelita berdiri membelakanginya, menatap potret dirinya bersama Zulfa yang tergan
Tidak ada yang berubah dari kamar Adhim. Masih bernuansa biru kehitaman dengan desain ruangan yang serupa luar angkasa. Seseorang seolah-olah akan bisa melihat langit malam yang bertabur bintang ketika berbaring di atas ranjangnya ketika menatap ke langit-langit atap. Sejak dulu memang didesain seperti itu oleh si empunya kamar. Di ruangan itu, Pelita mengelus-elus permukaan perutnya yang besar. Air matanya masih jatuh bercucuran. Semakin ke sini, Pelita merasa bahwa dirinya memang ditakdirkan tidak untuk mencecap bahagia. Pelita merasa semesta benar-benar kejam mempermainkan hidupnya. Sebab bahagia, kata itu tidak akan pernah bertahan lama memeluknya. "Pelita." Suara Adhim tiba-tiba terdengar. Laki-laki itu berdiri di ambang pintu kamar. Menatap Pelita sejenak di posisi itu kemudian menghampiri. Pelita yang semula diam dalam tangis langsung menyeka pipinya yang basah.
Tok tok tok! Beberapa menit setelah waktu jemaah salat Subuh dilangsungkan, seseorang mengetuk pintu kamar yang ditempati Adhim dan Pelita. Masih dalam balutan mukena sehabis salat, Pelita bergegas menuju pintu dan membuka papan kayu itu demi menemukan sosok Ratna yang tersenyum lebar ke arahnya. Cepat-cepat, Pelita menunjukkan senyum manisnya meski hal itu tentu tidak bisa menutupi wajah sembabnya dengan kedua belah mata yang memerah dan sedikit bengkak karena semalaman menangis. "Mbak Ratna," lirih perempuan berparas cantik itu. "Pelita," sahut Ratna masih sambil tersenyum. "Ini, ada buah jambu biji merah buat kamu." Ratna menunjukkan kresek hitam berukuran sedang berisikan beberapa butir buah jambu yang besar-besar. "Subuh tadi ada tetangga yang memberi hasil kebunnya ke Umi. Satu keranjang penuh. Abah menyuruh membawakan beberapa buat kamu sebelum sisanya dikasihkan ke mbak-mbak santri. Jam
"Oh my God, Pelita! You looks so gorgeous!"Cecilia menyambut Pelita dengan pujian begitu mereka bertemu di salah satu pusat perbelanjaan Kota Bandung itu."Makin cantik aja kamu, Lit!" lanjutnya."Astaga, calon keponakan aku. Udah berapa bulan ini? Kelihatannya perut kamu udah semakin besar daripada terakhir kali kita ketemu, ya," celoteh Cecilia lagi sembari merangkul lengan Pelita lalu menuntunnya ke tempat duduk yang sudah dipesannya untuk mereka.Arina yang sudah bersama Cecilia sebelum Pelita datang mengikuti di belakang keduanya sambil tersenyum."Tujuh bulanan deh, Mbak, kalau nggak salah," sahut Arina. "Iya nggak sih, Lit?"Pelita berusaha tersenyum. "Iya."Ketiganya lantas duduk di meja yang sudah dipesan Cecilia.Beberapa camilan ringan dan minuman tampak sudah tersaji di atas meja itu."Wah, nggak lama lagi launching dong," sahut Cecilia."Minta doanya ya, Mbak." Pelita menyahut.
"Pelita, ada apa?" risik Arina kepada Pelita saat Pelita kembali dari toilet. "Terjadi sesuatu? Wajah kamu kayak habis ngelihat hantu gitu?" bisiknya lirih."Nggak pa-pa, Rin. Nanti aku cerita." Pelita mencoba mengusir ketakutan di wajahnya lantas berusaha tersenyum lebar. "Kita selesaiin belanjanya dulu sama Mbak Cecil, ya. Kalau udah nanti aku mau cerita sesuatu sama kamu," lanjutnya pelan."Em, oke, Lit." Arina turut mencoba mengenyahkan kekhawatirannya lantas ikut mengulas senyuman."Pelita ... pergi pipisnya lama banget?" tanya Cecilia dari kejauhan kemudian berjalan menghampiri Pelita dan Arina. "Aku sampek kawatir lho sama kamu," tambahnya ketika sudah sampai di hadapan Pelita."Toiletnya antre, Mbak. Jadi lama." Pelita beralasan."Emm." Cecilia manggut-manggut."Eh, aku tadi di sebelah sana lihat ada dekorasi kamar bayi lucu-lucu lho, Lit. Mau lihat nggak?" celetuk Cecilia lagi."Boleh." Pelita tersenyum lebar.
Adhim Zein A. Hisyam: Pelita, sudah pulang? Pelita baru masuk ke dalam apartemennya ketika ia melihat pesan singkat dari Adhim yang baru saja laki-laki itu kirim. Adhim Zein A. Hisyam: Maaf saya belum bisa pulang Ada urusan mendesak di bengkel Pelita menghela napas ketika Adhim mengiriminya pesan lagi. Setelah lulus ujian skripsi, Adhim fokus membuka usahanya. Selain mengembangkan bisnis kerajinan gelang yang sudah dirintisnya, laki-laki tinggi berambut gondrong itu memutuskan untuk membuka bengkel. Teman-temannya klub motor pun dengan senang hati membantu Adhim. Jadi pundi-pundi uang Adhim semakin bertambah. Semula sumber uang Adhim hanya berasal dari tambak ikan pemberian orang tuanya yang ada di Gresik. Semua saudaranya juga memiliki tambak sendiri-sendiri sama dengannya atas pemberian orang tuanya. Selain itu, Abah dan Uminya juga masih selalu memberinya uang s
Belum lama setelah Pelita selesai memasak dan menghidangkan masakan olahannya di meja makan, Adhim datang. "Assalamu'alaikum," salam Adhim yang langsung Pelita jawab. "Wa'alaikumussalam." Bibirnya menyunggingkan senyum kecil kemudian menghampiri suaminya itu. "Kak Adhim bersih-bersih dulu, ya. Di kamar mandi sudah saya siapin air hangat," ujarnya setelah menyalami tangan sang suami. Adhim tidak langsung menjawab dan memilih menatap dalam-dalam ke arah Pelita. Ia tentu sadar ada yang berbeda dari sikapnya. "Iya." Laki-laki itu kemudian mengangguk. "Saya mandi dulu." Pelita membalasnya dengan ulasan senyum kecil. Setelah mandi Adhim langsung menyusul Pelita ke meja makan. Laki-laki itu mengenakan celana kain panjang berwarna abu-abu yang dipadukan dengan sweater cokelat. Sudah ada semangkuk sup ikan gurame di atas meja dan sebakul kecil nasi yang masih hangat. Tampak
Adhim duduk termenung di sebuah ruangan kecil yang ada di bagian belakang bengkel yang baru dibukanya. Ia seorang diri di sana. Duduk pada sebuah sofa panjang berwarna abu-abu. Pikirannya mengembara, memikirkan masa depan hubungannya dengan Pelita. Mengapa istrinya itu bersikeras ingin mereka bercerai setelah anaknya lahir? Apakah seburuk itu berumah tangga dengan Adhim? Apakah Pelita belum bisa memaafkan perbuatan bejatnya dulu? Apakah Pelita tidak bahagia menikah dengannya? Jika Adhim menarik garis dari seluruh pertanyaannya, ia tahu Pelita akhirnya ingin berpisah dengannya setelah Adhim mengajak Pelita pergi menemui keluarganya di Kediri. Adhim tahu, ia bukan laki-laki yang cukup baik untuk perempuan seperti Pelita. Tapi, apakah salah jika ia ingin memperbaiki segalanya? Ia menyayangi perempuan itu. Dan belakangan Adhim sadar, ia telah jatuh cinta kepada Pelita entah kapan dan bagaimana. Ia mencintainya. D