Tok tok tok!
Beberapa menit setelah waktu jemaah salat Subuh dilangsungkan, seseorang mengetuk pintu kamar yang ditempati Adhim dan Pelita. Masih dalam balutan mukena sehabis salat, Pelita bergegas menuju pintu dan membuka papan kayu itu demi menemukan sosok Ratna yang tersenyum lebar ke arahnya. Cepat-cepat, Pelita menunjukkan senyum manisnya meski hal itu tentu tidak bisa menutupi wajah sembabnya dengan kedua belah mata yang memerah dan sedikit bengkak karena semalaman menangis. "Mbak Ratna," lirih perempuan berparas cantik itu. "Pelita," sahut Ratna masih sambil tersenyum. "Ini, ada buah jambu biji merah buat kamu." Ratna menunjukkan kresek hitam berukuran sedang berisikan beberapa butir buah jambu yang besar-besar. "Subuh tadi ada tetangga yang memberi hasil kebunnya ke Umi. Satu keranjang penuh. Abah menyuruh membawakan beberapa buat kamu sebelum sisanya dikasihkan ke mbak-mbak santri. Jam"Oh my God, Pelita! You looks so gorgeous!"Cecilia menyambut Pelita dengan pujian begitu mereka bertemu di salah satu pusat perbelanjaan Kota Bandung itu."Makin cantik aja kamu, Lit!" lanjutnya."Astaga, calon keponakan aku. Udah berapa bulan ini? Kelihatannya perut kamu udah semakin besar daripada terakhir kali kita ketemu, ya," celoteh Cecilia lagi sembari merangkul lengan Pelita lalu menuntunnya ke tempat duduk yang sudah dipesannya untuk mereka.Arina yang sudah bersama Cecilia sebelum Pelita datang mengikuti di belakang keduanya sambil tersenyum."Tujuh bulanan deh, Mbak, kalau nggak salah," sahut Arina. "Iya nggak sih, Lit?"Pelita berusaha tersenyum. "Iya."Ketiganya lantas duduk di meja yang sudah dipesan Cecilia.Beberapa camilan ringan dan minuman tampak sudah tersaji di atas meja itu."Wah, nggak lama lagi launching dong," sahut Cecilia."Minta doanya ya, Mbak." Pelita menyahut.
"Pelita, ada apa?" risik Arina kepada Pelita saat Pelita kembali dari toilet. "Terjadi sesuatu? Wajah kamu kayak habis ngelihat hantu gitu?" bisiknya lirih."Nggak pa-pa, Rin. Nanti aku cerita." Pelita mencoba mengusir ketakutan di wajahnya lantas berusaha tersenyum lebar. "Kita selesaiin belanjanya dulu sama Mbak Cecil, ya. Kalau udah nanti aku mau cerita sesuatu sama kamu," lanjutnya pelan."Em, oke, Lit." Arina turut mencoba mengenyahkan kekhawatirannya lantas ikut mengulas senyuman."Pelita ... pergi pipisnya lama banget?" tanya Cecilia dari kejauhan kemudian berjalan menghampiri Pelita dan Arina. "Aku sampek kawatir lho sama kamu," tambahnya ketika sudah sampai di hadapan Pelita."Toiletnya antre, Mbak. Jadi lama." Pelita beralasan."Emm." Cecilia manggut-manggut."Eh, aku tadi di sebelah sana lihat ada dekorasi kamar bayi lucu-lucu lho, Lit. Mau lihat nggak?" celetuk Cecilia lagi."Boleh." Pelita tersenyum lebar.
Adhim Zein A. Hisyam: Pelita, sudah pulang? Pelita baru masuk ke dalam apartemennya ketika ia melihat pesan singkat dari Adhim yang baru saja laki-laki itu kirim. Adhim Zein A. Hisyam: Maaf saya belum bisa pulang Ada urusan mendesak di bengkel Pelita menghela napas ketika Adhim mengiriminya pesan lagi. Setelah lulus ujian skripsi, Adhim fokus membuka usahanya. Selain mengembangkan bisnis kerajinan gelang yang sudah dirintisnya, laki-laki tinggi berambut gondrong itu memutuskan untuk membuka bengkel. Teman-temannya klub motor pun dengan senang hati membantu Adhim. Jadi pundi-pundi uang Adhim semakin bertambah. Semula sumber uang Adhim hanya berasal dari tambak ikan pemberian orang tuanya yang ada di Gresik. Semua saudaranya juga memiliki tambak sendiri-sendiri sama dengannya atas pemberian orang tuanya. Selain itu, Abah dan Uminya juga masih selalu memberinya uang s
Belum lama setelah Pelita selesai memasak dan menghidangkan masakan olahannya di meja makan, Adhim datang. "Assalamu'alaikum," salam Adhim yang langsung Pelita jawab. "Wa'alaikumussalam." Bibirnya menyunggingkan senyum kecil kemudian menghampiri suaminya itu. "Kak Adhim bersih-bersih dulu, ya. Di kamar mandi sudah saya siapin air hangat," ujarnya setelah menyalami tangan sang suami. Adhim tidak langsung menjawab dan memilih menatap dalam-dalam ke arah Pelita. Ia tentu sadar ada yang berbeda dari sikapnya. "Iya." Laki-laki itu kemudian mengangguk. "Saya mandi dulu." Pelita membalasnya dengan ulasan senyum kecil. Setelah mandi Adhim langsung menyusul Pelita ke meja makan. Laki-laki itu mengenakan celana kain panjang berwarna abu-abu yang dipadukan dengan sweater cokelat. Sudah ada semangkuk sup ikan gurame di atas meja dan sebakul kecil nasi yang masih hangat. Tampak
Adhim duduk termenung di sebuah ruangan kecil yang ada di bagian belakang bengkel yang baru dibukanya. Ia seorang diri di sana. Duduk pada sebuah sofa panjang berwarna abu-abu. Pikirannya mengembara, memikirkan masa depan hubungannya dengan Pelita. Mengapa istrinya itu bersikeras ingin mereka bercerai setelah anaknya lahir? Apakah seburuk itu berumah tangga dengan Adhim? Apakah Pelita belum bisa memaafkan perbuatan bejatnya dulu? Apakah Pelita tidak bahagia menikah dengannya? Jika Adhim menarik garis dari seluruh pertanyaannya, ia tahu Pelita akhirnya ingin berpisah dengannya setelah Adhim mengajak Pelita pergi menemui keluarganya di Kediri. Adhim tahu, ia bukan laki-laki yang cukup baik untuk perempuan seperti Pelita. Tapi, apakah salah jika ia ingin memperbaiki segalanya? Ia menyayangi perempuan itu. Dan belakangan Adhim sadar, ia telah jatuh cinta kepada Pelita entah kapan dan bagaimana. Ia mencintainya. D
Pelita, Arina, dan Aldo bergegas ke rumah sakit menaiki mobil Pelita yang Aldo sopiri. Ketika datang menjemput Pelita tadi, sehabis dari rumah sakit tempat Adhim dirawat, Aldo datang ke kampus naik taksi karena tidak mungkin dirinya kembali ke rumahnya dulu untuk mengambil mobilnya sebab hari ini ia mengendarai motor. Hal itu tentu akan memakan terlalu banyak waktu. Karenanya Aldo meninggalkan motornya terparkir di rumah sakit dan memesan taksi untuk menjemput Pelita kemudian kembali ke rumah sakit dengan mobil Pelita. Pelita terus menangis sepanjang jalan. Ternyata firasat buruknya mengenai Adhim menjadi kenyataan. Di sisi lain, Aldo menceritakan kronologi kejadian Adhim yang ditusuk di kursi pengemudi depan sedangkan Arina yang duduk di samping Pelita di bangku penumpang belakang mencoba terus menenangkan temannya itu. Setibanya di rumah sakit, Pelita langsung berlari menuju kamar Adhim. Tidak perlu bertany
Sedetik pun, Pelita tidak membiarkan dirinya meninggalkan Adhim sendiri di kamar rawatnya. Hingga malam hari tiba, Pelita tetap duduk menemani Adhim dengan setia di sisinya. Ia hanya beranjak ketika waktu salat tiba untuk mengerjakan ibadah atau ketika harus pergi ke kamar mandi. Selain itu, Pelita terus berada di samping suaminya itu. Setelah pemeriksaan lebih lanjut, kejang Adhim ternyata terjadi karena ada sedikit pendarahan di otaknya. Namun, syukurnya, pendarahan itu tidak parah dan bisa diobati dokter tanpa melakukan operasi. Pelita tentu sangat bersyukur mendengar kabar itu. Dokter juga mengatakan jika kondisi Adhim sudah semakin membaik dan mungkin akan segera sadar tidak lama lagi. Pelita tidak menyangka jika Arka akan secepat ini melakukan aksinya. Dia tidak main-main. Laki-laki itu sudah berhasil menyelakai Adhim dan membuatnya terbaring di ranjang rumah sakit seperti ini. "Lit," panggil Arina
"Kak Adhim," lirih Pelita pada Adhim sebelum mendekat ke samping ranjang tempat suaminya itu berbaring. "Maafin saya, karena saya Kakak jadi seperti ini," katanya menahan air matanya agar tidak mengalir lagi. "Kak Adhim masuk ke rumah sakit seperti ini karena saya. Maafin saya." Tes .... Air mata Pelita akhirnya jatuh juga. Adhim pun hanya diam menatap istrinya itu. "Sejak awal Kakak seharusnya nggak pernah berurusan sama saya. Kak Adhim nggak seharusnya menikahi perempuan seperti saya. Kakak harusnya ... Kakak harusnya menuruti permintaan Umi Kakak untuk menikah dengan perempuan pilihannya." Adhim akhirnya mendesah mendengar kata-kata Pelita. "Ke sini, Li," pinta Adhim setelahnya, menyuruh Pelita kembali duduk di sisinya. Pelita menurut sembari mengelap pipinya yang basah. Setelah Pelita kembali duduk, Adhim menghela napas keras kemud