“Kepalaku pusing,” desah Livy mulai mengerjapkan kelopak, perlahan membuka mata, melirik ke samping, pemandangan pertama yang dilihat bukan plafon atau hal lain.Melainkan seorang pria sedang tersenyum manis. El berbaring miring, menopang kepala dengan sebelah telapak tangan. Rahang tegas bersih tak berambut halus itu begitu nyata, iris biru safirnya memancarkan tatapan penuh cinta.Namun, Livy mengerutkan dahi, ia menggeleng lemah, dan mengembuskan napas lelah. Sejurus kemudian, ia melipat bibir mungil nan penuhnya.Wanita ini menggeser pandangan ke jam digital, waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Langit di luar gelap gulita, di kamar tidur yang luas hening, tetapi suara napas seseorang menyadarkan Livy tidak sendirian di ruangan ini.“Ternyata rindu itu berat ya. Bisa-bisanya aku berhalusinasi, mengira Estefania berubah jadi Kak El,” gumam ibu muda, menertawakan diri sendiri. “Kalau benar Kak El ada di sampingku, aku remas badannya karena bikin kesal terus,” sambungnya lagi semba
Read more