happy weekend selamat membaca 。◕‿◕。 ada yang bisa tebak siapa pengirim bunga dan coklat itu?
“Kamu mengantar bunga ini untukku?” Livy menggeser kursi, ia berdiri menghampir wanita itu, mengambil buket bunga mawar.Kini, tidak ragu lagi kalau kiriman bunga memang untuknya. Tanpa banyak tanya, semua orang tahu siapa sosok pria belebihan itu.“Nyonya, Tuan Muda bilang saya harus mengantarnya langsung ke sini. Maaf mengganggu waktunya,” tutur Esme—sekretaris kutu buku Torres Inc.“Terima kasih Esme. Kamu … ayo duduk dulu, belum makan malam ‘kan?” ujar Livy dengan ramah.Jujur, hatinya merasa lega karena Esme ada di kota ini tidak ikut atau menyusul El ke Birmingham. Ia menggiring wanita berkacamata tebal itu duduk dan menikmati malam.Setelahnya, Livy kembali ke kamar, ia memeluk bunga yang sukar dipeluk lantaran ukuran terlalu besar. Ia mengulum senyum, walaupun suaminya jauh tetapi malam ini lelaki itu seolah-olah hadir di kamar tidur.“Harum banget bunganya,” gumam Livy tersipu-sipu.Ia juga membaca kartu ucapan kecil di atas kotak coklat besar berbentuk hati. Lagi-lagi, El mam
[Selamat pagi, tumben kamu lupa membangunkan aku?][Sayang, kenapa teleponnya tidak diterima? Sibuk mengurus Al ya, dia rewel?][Livy, di mana?! Estefania bilang kamu berangkat lebih pagi. Ada masalah apa di kantor?][Sayang, jangan lupa makan siang! Kenapa kamu diam begini? Terima teleponku dan bicara ada apa! Aku tidak mengerti alasanmu berubah.][Kalau begini caranya, aku bisa gila. Apa mungkin ponsel kamu tertinggal?]Livy memutar bola mata jengah, bukan tidak membaca isi pesan, ia mengintip tetapi enggan membalas atau menerima telepon dari El.Sejak semalam, suaminya itu meninggalkan tujuh panggilan tak terjawab dan dua pesan singkat. Disusul pagi ini sampai sore, El tak berhenti menelepon dan mengirim pesan.Dari kemarin sore juga Livy menghabiskan waktu dengan menyendiri dan menangis. Bahkan ia meredam suaranya saat malam tiba, saking tak mau adik ipar mngetahui masalah yang terjadi.Sekarang, Livy menyandarkan tubuh pada punggung kursi empuk. Ia menengadahkan kepala, menatap la
“Kepalaku pusing,” desah Livy mulai mengerjapkan kelopak, perlahan membuka mata, melirik ke samping, pemandangan pertama yang dilihat bukan plafon atau hal lain.Melainkan seorang pria sedang tersenyum manis. El berbaring miring, menopang kepala dengan sebelah telapak tangan. Rahang tegas bersih tak berambut halus itu begitu nyata, iris biru safirnya memancarkan tatapan penuh cinta.Namun, Livy mengerutkan dahi, ia menggeleng lemah, dan mengembuskan napas lelah. Sejurus kemudian, ia melipat bibir mungil nan penuhnya.Wanita ini menggeser pandangan ke jam digital, waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Langit di luar gelap gulita, di kamar tidur yang luas hening, tetapi suara napas seseorang menyadarkan Livy tidak sendirian di ruangan ini.“Ternyata rindu itu berat ya. Bisa-bisanya aku berhalusinasi, mengira Estefania berubah jadi Kak El,” gumam ibu muda, menertawakan diri sendiri. “Kalau benar Kak El ada di sampingku, aku remas badannya karena bikin kesal terus,” sambungnya lagi semba
“Kamu cemburu? Tapi kenapa menuduhku?” El mengangkat sebelah alisnya.Tidak terima dituduh begitu saja, lelaki ini membawa Livy kembali ke kamar. El enggan masalah kehidupan rumah tangganya terdengar oleh anggota keluarga lain.Mereka yang tidak tahu bisa saja berpikiran buruk, cukup sekali ia mendapat perlakuan tak biasa karena masa lalu.“Kenapa ke kamar? Jadi benar kalau kalian—“ cerca Livy tertahan.Sayang, El membungkam bibir merah muda itu dengan lumatan lembut, badannya lelah kekurangan tidur ditambah melakukan perjalanan jauh, sekarang perlu menjelaskan sesuatu yang tidak terduga.Sedangkan Livy berusaha memberontak, walau pukulannya terlalu lemah bagi pria bertubuh atletis. El membiarkan sang istri melampiaskan amarah dalam hati.Setelah Livy-nya sedikit tenang, El melepas pagutan, merangkum kedua pipi basah akibat kristal bening menganak sungai.Pria ini tak menjauh, bahkan embusan napas hangat menerpa kulit wajah Livy. El mempertemukan dahinya dengan kening sang istri, mengh
“Ayolah Sayang, temani aku di sana, mau ya?” El memelas, ia tahu wanita ini sibuk, tetapi sebagai suami El ingin dimanja, diprioritaskan di atas pekerjaan.Livy termenung menatap sorot mata biru safir suaminya. Ia menelan ludah, lidahnya terasa kelu, mendadak pembendaharaan katanya menghilang tak bersisa. “Umm, aku—“ Lagi, El menyela ucapan sang istri, “Tidak bisa ya? Bawa pekerjaanmu ke Birmingham juga tidak bisa Sayang?” pintanya seraya melihat riak pada wajah Livy, pria ini mengembuskan napas kecewa. “Ya sudah, aku juga tidak memaksa, kita perlu saling mempercayai selama berjauhan, hum?”El mengacak puncak kepala Livy, lantas mengambil nampan berisi churros dan saus coklat. Ia meraih satu potong dan mencoleknya dengan saus.Sedangkan Livy masih sibuk sendiri dengan pikirannya, gamang antara memilih mengikuti suami atau mengurusi pekerjaan kantor yang tidak ada habisnya. Pandangannya berubah sendu, ia memperhatikan El seakan tak mempermasalahkan hubungan jarak jauh ini. Namun, bag
[Berangkat jam berapa? Aku jemput di bandara. Aku sewa apartemen, cukup luas, pasti kamu suka.]Livy mengulum senyum membaca isi pesan singkat dari sang suami. Atas perintah khusus dari El, ia dan Al diantar dua orang pengawal wanita.“Tidak perlu dijemput, sebaiknya selesaikan pekerjaan Kakak. Kirim alamat apartemennya ya.” Isi pesan balasan Livy sesaat sebelum pesawat lepas landas dari Madrid.Hampir tiga jam mengudara, akhirnya Livy tiba di kota terbesar kedua Britania Raya. Ibu muda ini memangku Al, ia melirik kagum pada suasana bandar udara. Sedangkan dua pengawal pribadi mengawasi dari sisi kanan dan kiri.Livy memeriksa benda pipihnya, ia manggut-manggut membaca lokasi apartemen yang dikirimkan sang suami. Kemudian mengikuti langkah pengawal, menaiki satu unit mobil yang membawanya ke lokasi.“Kak El sudah di apartemen belum? Jangan lembur ya, nanti aku marah.” Ketikan pesan itu segera dikirim, Livy tidak sabar bertemu dan menghabiskan waktu bersama suaminya.Setelah puluhan men
“Apa? Tanpa diminta juga pasti ku beri.” El menggesek puncak hidung bangirnya pada daun telinga Livy.“Bantu aku!” jawab Livy singkat dan padat, seketika kerutan halus terpahat di kening El.“Bantu apa?” El penasaran, karena wanitanya bermain teka-teki.Bukannya langsung menjawab pertanyaan sang suami, Livy malah merubah posisi duduknya. Ia menghadap El, kedua tungkai sengaja dibiarkan terayun di sisi kanan dan kiri. Lima jari lentik bermain di atas kancing kemeja putih, perlahan tapi pasti, Livy meloloskan dari pengaitnya. Ia mengerling nakal, membelai kepala bagian belakang El, dan mengikis celah tersisa.Wanita ini menempelkan bibir ke telinga El, tampak membisikan sesuatu. "Itu keinginanku, bisa 'kan?"El mengangguk, dan berkata, “Nakal.”Pria ini berusaha mempercepat tempo, memajukan kepala, hendak meraup bibir candunya.Sayang, Livy lebih senang mengulur waktu, menikmati setiap detik kebersamaan. Tingkah wanita ini membuat El panas dingin kepala atas dan bawah.“Sayang,” desah
Pagi tadi setibanya di kantor, El memerintah Alonso dan Givano masuk ke ruang kerjanya tanpa sepengetahuan pegawai lain. Sesuai janjinya pada Livy, ia harus melakukan sesuatu.“Paman Alonso dan kamu Givano, gantikan aku menghadiri pertemuan siang ini. Sampaikan permohonn maaafku pada Mr Bradley,” titah El, ia berdiri sembari menghadap kaca besar.“Dimenegrti Tuan. Apa Gabriela sudah tahu?” tanya Givano.“Belum, nanti aku yang memberitahunya,” jawab El lalu membalik tubuh, kembali duduk di kursi kerja.Kedua orang asisten pribadi itu segera keluar dari ruangan, mengerjakan kesibukan masing-masing.Sedangkan El teringat permintaan sang istri. Livy ingin, El mengurangi intensitas pertemuan bersama Gabriela.Akan tetapi siang ini, sekretaris itu memaksa masuk ruang Presdir Torres Inc dengan alasan pesan penting dari Tuan Marquez, maka dari itu El bawel mengirim pesan pada sang istri. Meminta Livy-nya segera datang untuk memberi kejutan tak terduga pada Gabriela.Sekarang, El duduk santai