selamat hari senin ◉‿◉ baiknya tetap LDR atau engga ya? menurut Kakak gemana?
“Ayolah Sayang, temani aku di sana, mau ya?” El memelas, ia tahu wanita ini sibuk, tetapi sebagai suami El ingin dimanja, diprioritaskan di atas pekerjaan.Livy termenung menatap sorot mata biru safir suaminya. Ia menelan ludah, lidahnya terasa kelu, mendadak pembendaharaan katanya menghilang tak bersisa. “Umm, aku—“ Lagi, El menyela ucapan sang istri, “Tidak bisa ya? Bawa pekerjaanmu ke Birmingham juga tidak bisa Sayang?” pintanya seraya melihat riak pada wajah Livy, pria ini mengembuskan napas kecewa. “Ya sudah, aku juga tidak memaksa, kita perlu saling mempercayai selama berjauhan, hum?”El mengacak puncak kepala Livy, lantas mengambil nampan berisi churros dan saus coklat. Ia meraih satu potong dan mencoleknya dengan saus.Sedangkan Livy masih sibuk sendiri dengan pikirannya, gamang antara memilih mengikuti suami atau mengurusi pekerjaan kantor yang tidak ada habisnya. Pandangannya berubah sendu, ia memperhatikan El seakan tak mempermasalahkan hubungan jarak jauh ini. Namun, bag
[Berangkat jam berapa? Aku jemput di bandara. Aku sewa apartemen, cukup luas, pasti kamu suka.]Livy mengulum senyum membaca isi pesan singkat dari sang suami. Atas perintah khusus dari El, ia dan Al diantar dua orang pengawal wanita.“Tidak perlu dijemput, sebaiknya selesaikan pekerjaan Kakak. Kirim alamat apartemennya ya.” Isi pesan balasan Livy sesaat sebelum pesawat lepas landas dari Madrid.Hampir tiga jam mengudara, akhirnya Livy tiba di kota terbesar kedua Britania Raya. Ibu muda ini memangku Al, ia melirik kagum pada suasana bandar udara. Sedangkan dua pengawal pribadi mengawasi dari sisi kanan dan kiri.Livy memeriksa benda pipihnya, ia manggut-manggut membaca lokasi apartemen yang dikirimkan sang suami. Kemudian mengikuti langkah pengawal, menaiki satu unit mobil yang membawanya ke lokasi.“Kak El sudah di apartemen belum? Jangan lembur ya, nanti aku marah.” Ketikan pesan itu segera dikirim, Livy tidak sabar bertemu dan menghabiskan waktu bersama suaminya.Setelah puluhan men
“Apa? Tanpa diminta juga pasti ku beri.” El menggesek puncak hidung bangirnya pada daun telinga Livy.“Bantu aku!” jawab Livy singkat dan padat, seketika kerutan halus terpahat di kening El.“Bantu apa?” El penasaran, karena wanitanya bermain teka-teki.Bukannya langsung menjawab pertanyaan sang suami, Livy malah merubah posisi duduknya. Ia menghadap El, kedua tungkai sengaja dibiarkan terayun di sisi kanan dan kiri. Lima jari lentik bermain di atas kancing kemeja putih, perlahan tapi pasti, Livy meloloskan dari pengaitnya. Ia mengerling nakal, membelai kepala bagian belakang El, dan mengikis celah tersisa.Wanita ini menempelkan bibir ke telinga El, tampak membisikan sesuatu. "Itu keinginanku, bisa 'kan?"El mengangguk, dan berkata, “Nakal.”Pria ini berusaha mempercepat tempo, memajukan kepala, hendak meraup bibir candunya.Sayang, Livy lebih senang mengulur waktu, menikmati setiap detik kebersamaan. Tingkah wanita ini membuat El panas dingin kepala atas dan bawah.“Sayang,” desah
Pagi tadi setibanya di kantor, El memerintah Alonso dan Givano masuk ke ruang kerjanya tanpa sepengetahuan pegawai lain. Sesuai janjinya pada Livy, ia harus melakukan sesuatu.“Paman Alonso dan kamu Givano, gantikan aku menghadiri pertemuan siang ini. Sampaikan permohonn maaafku pada Mr Bradley,” titah El, ia berdiri sembari menghadap kaca besar.“Dimenegrti Tuan. Apa Gabriela sudah tahu?” tanya Givano.“Belum, nanti aku yang memberitahunya,” jawab El lalu membalik tubuh, kembali duduk di kursi kerja.Kedua orang asisten pribadi itu segera keluar dari ruangan, mengerjakan kesibukan masing-masing.Sedangkan El teringat permintaan sang istri. Livy ingin, El mengurangi intensitas pertemuan bersama Gabriela.Akan tetapi siang ini, sekretaris itu memaksa masuk ruang Presdir Torres Inc dengan alasan pesan penting dari Tuan Marquez, maka dari itu El bawel mengirim pesan pada sang istri. Meminta Livy-nya segera datang untuk memberi kejutan tak terduga pada Gabriela.Sekarang, El duduk santai
“Paman, lihat istriku?” tanya El pada Alonso yang baru saja memasuki kantor.Lebih dari dua puluh menit berlalu, El mencemaskan Livy. Tadi, pujaan hatinya izin keluar ruangan untuk meregangkan otot sembari menghirup udara segar. Ia pun memutuskan melepas pekerjaan dan berusaha menemukan istrinya.Bahkan beberapa orang sempat bilang melihat Livy di pantry, ternyata tidak ada. Hanya tersisa cangkir kosong dan … El pikir, mungkin saja istrinya sempat bertemu wanita itu.“Bukannya di ruang kerja?” balas Alonso seraya mengerutkan alis.“Tidak ada Paman! Tolong bantu cari Livy!” pinta presdir rupawan.“Saya akan menghubungi pihak keamanan, Tuan Muda telepon Nyonya Livy, mungkin sempat memberi kabar!” saran Alonso diangguki El.Lelaki bermanik biru safir bergegas mengayun kaki menuju ruang kerja. Sebab El meninggalkan telepon genggam miliknya di atas meja.Ketika El mendorong pintu dan terbuka, ternyata bidadari hati yang sejak tadi dicari sedang duduk menyusui Al di sofa panjang.“Livyata! D
“Aku mau fish and chips, minumnya jus strawberry,” ucap Livy setelah melewati pintu restoran.Dari belakang, El geleng-geleng kepala, istrinya tampak semangat menyambangi tempat makan. Bahkan tanpa basa-basi wanita ini langsung mengatakan keinginannya. Walaupun El belum bertanya menu apa yang dipesan.“Ok, kita duduk dekat kaca. Pemandangan malamnya bagus.” El hendak menyampirkan lengan di pundak istri. Sayang, Livy bergerak maju menuju meja yang dimaksud. “Sabar El, sabar!” gumam lelaki ini, lalu mengusap dada.Ketiganya makan malam dalam hening, sesekali terdengar Al berceloteh melayangkan protes. Bayi itu menginginkan makanan milik Livy, berulang kali memukul-mukul tangan ibunya.Mlihat hal itu, El mencondongkan tubuh, dengan cepat menyelipkan kedua tangan pada ketiak Al, memangku bayi kecil yang mulai gemar mengganggu ibunya makan. Ia kembali duduk ke tempatnya, memberi Al saputangan sebagai pengalih perhatian.“Sayang? Kamu masih marah karena tas?” Tembak El, bosan didiamkan lebi
“Ada masalah apa, Kak?” Livy menempuk pelan punggung lebar sang suami. Ia melihat perubahan riak wajah El tampak tegang dan tatapan memancarkan kilat. Satu hal yang pasti, Livy sempat menguping, terjadi masalah baru di kantor.“Tidak ada,” sahut El, sudut bibirnya memaksa menekuk. “Ayo, ke sana,” ajak lelaki ini, menautkan jemari.Namun, Livy menggeleng pelan. Ia memang ingin El menghabiskan akhir pekan bersamanya, tetapi enggan egois. Bagaimanapun, tujuan pria ini mengunjungi Birmingham untuk menyelesaikan tugas.Livy menarik lengan kekar, sengaja menabrakan diri, memeluk erat suaminya. Menempelkan kepala di dada bidang El, mendengar irama jantung yang lebih cepat dari batas normal.“Kantor lagi membutuhkan Kakak, tidak masalah kita pulang sekarang. Al juga mengerti.” Livy menjauhkan kepala, ekor matanya melirik bayi yang sibuk sendiri memainkan topi.“Tapi Sayang, kamu jauh-jauh ke sini hanya duduk diam menemaniku kerja. Sejak kita menikah, belum liburan,” keluh El, bibirnya menekuk
“Dengan beredarnya fotoku di kamar hotel dan video di apartemen, keluarga besar Torres pasti mendesak El untuk menikahiku.” Tawa Gabriela menggema.“Pria yang pernah berselingkuh, namanya mudah rusak karena jejak masa lalu, semua ini ku lakukan demi cinta. Aku menginginkan Tuan El,” sambung Gabriela, tangannya bergerak lincah melihat data pada kamera.Namun, beberapa detik video berlangsung, wanita itu memicingkan mata, memperhatikan rekaman tak sesuai ekspektasi. Seketika Gabriela mengepalkan tangan, karena mendapat tamparan digital dari Nyonya Muda Torres.Pada rekaman video, tampak Livy bicara lugas pada sekretaris Jorge Marquez. Istri dari Donatello Xavier menunjukkan taringnya, lagi-lagi memberi hadiah tak terduga untuk penggoda.“Bukankah sudah ku bilang seharusnya kamu menyerah sebelum menangis darah. Lihatkan sekarang, kamu tidak bisa melakukan apa-apa?!” “Aku tidak akan diam saja, melihat orang asing merusak rumah tanggaku!” Gabriela tidak menyangka Livy bisa menemukan kame
“Ini sudah siang, di mana Al? Dia bilang olahraga di sekitar hotel,” gusar Livy bolak-balik melihat jam digital.“Periksa saja kamarnya, anak itu senang kabur, menyelinap masuk dan seolah tidak terjadi sesuatu,” jawab El begitu enteng sembari bermain lego bersama An.Livy mendengus kasar mendengar jawaban sang suami. Ia ingin sekali mengahancurkan susunan lego yang terhampar luas di atas lantai. Suaminya itu bukan mencari keberadaan Al malah asyik bermain seperti anak kecil. Alhasil ibu tiga anak itu membuka pintu kamar Al, ternyata kosong.“Al belum pulang,” lirih Livy melirik putra kedua yang asyik bermain game.Akibat kesal, tidak ada yang peduli pada perasaannya, Livy mengunjungi pusat kebugaran serta taman hotel. Memang banyak orang menggunakan fasilitas untuk olahraha, tetapi setengah jam ia mengamati, tidak menemukan putra sulungnya.“Di mana kamu Al?” Livy memijat pelipis.Ketika ia berjalan menuju lobi, Livy tercenung melihat El menggendong An, berjalan tergesa-gesa, diikuti
“Kenapa kamu di sini?” Kedua bola mata Al berbinar menatap sosok gadis cantik di depannya.“Menurumu, untuk apa aku di sini?” goda anak kecil yang kini menjelma menjad remaja luar biasa.“Mommy-mu di sini?” Al menolehkan kepala ke kanan dan kiri.Gadis itu terkekeh geli melihat tingkah teman baiknya. Lalu mendekati Al yang masih kebingungan, sebab ini Swiss bukan New York, lintas benua yang tidak mudah dilalui hanya dengan satu atau dua jam.“Tentu saja Al, aku menemani Mommy,” sahut anak itu.“Ah, aku pikir kamu nyasar. Bagaimana kabarmu Belle?” Al maju satu langkah hendak mengulurkan tangan.Namun, gadis itu mundur satu langkah dengan wajah tersipu, tetapi pandangannya tidak teralihkan dari Al. Seakan kehabisan kosakata, Belle bungkam, tidak menjawab pertanyaan Al. Anak itu larut dalam pesona remaja tampan di hadapannya.Tidak ingin semakin salah tingkah, Belle meraih minuman tinggi gula, lantas meneguknya. Membuat Al semakin mengikis jarak.Bahkan, putra sulung El dan Livy, merebu
“Mi Amor?!” pekik El, melihat Livy berjalan gontai di tengah ramainya orang berlalu-lalang.“Mom, ada apa?!”Seketika El, Al, dan Gal berlarian menghampiri Livy. Bahkan El memapah tubuh wanitanya yang gemetaran.“An … di-a menghilang.” Tangis Livy pecah, perhatian semua orang tertuju pada keluarga kecil itu.Setelah mendengar hal itu, Al dan Gal bergegas ke toilet wanita, mereka masuk tanpa izin, hingga para pengguna kamar kecil berteriak. Tak sedikit dari beberapa orang melempar dengan sepatu. “Kak, bagaimana ini? An benar-benar menghilang.” Gal tidak menyangka hari istiewa yang dinanti berujung petaka.“Ayo temui Mom dan Daddy,” ajak Al menyeret pergelangan tangan adik laki-laki. Walaupun perih menjalar, Gal tidak peduli, karena saat ini paling penting menemukan keberadaan Antonia. Pikiran dua remaja tampan itu khawatir adiknya diculik, tetapi mengingat belakang ini tidak ada sesuatu yang mencurigakan, hal itu pun mustahil.Livy dan El menuju ruang keamanan, di susul Al dan Gal.
“Berisik!” teriak seorang gadis kecil, menutup telinga dan memelotot menatap dua remaja di depannya.“Anak nakal!” seru suara bass sambil menunjuk penuh amarah. “Itu milikku!”“Ambil saja kalau berani!” sahut remaja satunya lagi.Dalam beberapa tahun berlalu, putra dan putri Livy tumbuh pesat. Ketiganya meramaikan mansion, terutama ketika momen liburan seperti sekarang.Di mana, bukan hanya Al, Gal dan An berkumpul, tetapi Estelle serta para sepupu lain turut menyumbang suara di Mansion Torres.“Kalian itu sudah besar kenapa bertingkah seperti kami?!” lontar An menatap gemas dua kakak laki-lakinya.“Galtero merebut laptopku!” geram Al, “Adik nakal, seharusnya kamu ikut Daddy dan Mommy ke pertemuan bisnis, bukan menjadi pengganggu!” Kalimat pedas Al tertuju pada adiknya.Tidak ingin acara bermainnya terusik, An melangkah maju, mendekati kakak keduanya. Bocah itu bertolak pinggang, menjulurkan tangan, meminta secara baik-baik supaya Gal mengembalikan laptop Al. Akan tetapi, Galtero sang
“Jika itu sakit tidak mungkin Livy hamil sampai tiga kali!” jawab El.Livy langsung menundukkan wajah, entah dari mana suaminya bisa memiliki jawaban memalukan seperti itu. Jujur, saat ini ia kehilangan muka di hadapan adik ipar. Bukan hanya adik ipar, tetapi ibu mertua yang mendadak masuk kamar. Seketika, ingin sekali Livy melempar bantal pada wajah tampan suami.“Sudah, tidak perlu dibahas. Itu rahasia ranjang,” celetuk Mom Pamela setelah melihat kulit pipi menantu berubah masak.“Tapi … aku penasaran Mom. Setidaknya aku tahu, ternyata tidak sakit.” Tawa Estefania sambil menubrukkan bahu ke lengan Livy.Rasa malu Livy semakin menggunung ketika El sengaja menghampiri, merunduk, lalu menaruh ibu jari di bawah dagu, perlahan menariknya, mempertemukan dua bibir.“Wah, romantis sekali. Tapi seharusnya kalian tidak pamer kemesraan,” ucap Estefania dengan lemas. “Luis belum pulang. Huh, kenapa dia betah sekali di NYC mengunjungi kakak sepupunya, padahal kami lebih membutuhkan,” sambungnya
[Kak El, cepat ke mansion utama! Sepertinya Livy mengalami kontraksi.]Isi pesan Estefania, dikirim secara diam-diam, sebab Livy selalu menolak. Wanita itu berdalih berdasarkan pengalaman, belum waktunya bersalin.Kedua wanita itu entah sudah berapa putara mengelilingi taman mansion yang luas. Estefania dibanjiri keringat, sama seperti Livy. Akan tetapi, ibu hamil itu enggan mengakhiri kegiatan olahraga ringan.“Akh … tidak apa-apa, semakin terasa sakit, maka waktu bertemu kita lebih cepat,” gumam ibu dari Al dan Gal, membelai bagian bawah perut, seakan mengetahui di sanalah letak kepala bayi.“Mommy percaya kita bisa Nak. Kakak Al dan Gal tidak sabar bermain denganmu,” sambung Livy sembari terkekeh pelan.Sementara Estefania berlinang air mata, menatap Livy sesekali meringis, keringat bercucuran dari kening, bahkan bagian punggung tampak basah.Wanita berambut pirang itu sesenggukan karena ia selalu mengeluh tidak mau mengandung dan melahirkan lagi. Sebab, adik bungsu El merasa tidak
“Ternyata kamu masih mengingatnya, aku tidak suka! Di dalam sini dan sini.” El menunjuk kepala serta dada Livy. “Hanya ada aku, pria lain tidak boleh!”Setelah mengatakan itu, El masuk ke mansion lebih dulu, tujuannya bukan ruang kerja atau kamar.Puas menikmati pemandangan langit malam serta suasana kota yang diramaikan pejalan kaki, El memutuskan membawa Livy pulang.Tadi, dalam perjalanan menuju mansion, El penasaran alasan wanitanya sangat menyukai kopi di café itu tetapi enggan berkunjung.Rupanya, di tempat itu Livy kerap menghabiskan waktu, membuang lelah serta perih karena memikirkan nasib pernikahannya bersama Sergio. “Mommy, bagaimana Bibi Es? Apa adik bayi sudah lahir?” tanya Al antara khawatir dan gembira.“Estefania sakit perut karena terlalu banyak makan pedas. Doakan yang terbaik untuk Bibi ya.” Livy memulas senyum lantas memberi kecupan sebelum tidur pada kedua buah hati.Wanita berperut besar itu melangkah ke kamar, ia membersihkan kulit dari sisa-sisa debu. Menggant
“Kita mau ke mana Mi Amor?!” Dahi El berkerut cukup dalam.Pria itu tidak tahu apa pun, tanpa basa-basi Livy membuka pintu kamar, langsung menarik pergelangan tangan sang suami.“Hati-hati jalannya Mi Amor, sebenarnya ada apa? Kenapa kita buru-buru begini?” El mengamati wajah cantik Livy dihiasi garis kecemasan.“Nanti saja di mobil, ini penting El.” Livy tak melepas tangannya dari pergelangan El. “Tolong kemudikan dengan cepat Pak,” pinta wanita itu tanpa memberi perintah dan arah tujuan.Merasa terdapat sesuatu yang genting, El menjelaskan secara perlahan pada sopir untuk mempersiapkan mobil. Bahkan pria itu harus menambah stok kesabaran, lantaran Livy tidak bisa diam karena menarik-narik lengan kaos.Setelah duduk nyaman, kendaraan roda empat melaju menuju kediaman William. Terlebih dahulu, Livy meneguk setengah botol air mineral.“Pelan-pelan Mi Amor! Kamu bisa tersedak!” Nada peringatan El membuat sopir berjengit. “Lanjutkan, jangan berhenti!” titahnya pada pria di balik setir.“T
“Kenapa membeli pakaian bayi sebanyak ini, Es? Dia tumbuh cepat, dan berakhir tidak terpakai semua.” Livy melihat adik iparnya tersenyum lebar sambil memerintah maid merapikan kamar bayi. “Kamu tahu Livy, aku sudah tidak sabar berbelanja pakaian bayi sejak kita mendekor kamar anaknya Abril. Akhirnya sekarang Luis mengizinkan aku keluar, ah senangnya.” Estefania menjentikkan telunjuk pada maid. “Lemarinya digeser sedikit, ranjangnya jangan terlalu dekat dengan jendela!”Beberapa bulan berlalu, kandungan para ibu hamil itu telah memasuki tri semester tiga. Apalagi Estefania kurang dari satu bulan lagi melahirkan. Paska terjadi hal tidak diinginkan di salon, wanita itu terpeleset dan mengalami pendarahan ringan. Luis sangat posesif, melarang Etefania melakukan kegiatan apa pun, termasuk belanja kebutuhan bayi.Estefania melirik Livy. “Lalu kamu sudah membeli apa saja?”“Oh itu, karena dokter bilang calon anak ketiga kami laki-laki, kebetulan beberapa baju bayi Al dan Gal masih ku simpa