“Ada masalah apa, Kak?” Livy menempuk pelan punggung lebar sang suami. Ia melihat perubahan riak wajah El tampak tegang dan tatapan memancarkan kilat. Satu hal yang pasti, Livy sempat menguping, terjadi masalah baru di kantor.“Tidak ada,” sahut El, sudut bibirnya memaksa menekuk. “Ayo, ke sana,” ajak lelaki ini, menautkan jemari.Namun, Livy menggeleng pelan. Ia memang ingin El menghabiskan akhir pekan bersamanya, tetapi enggan egois. Bagaimanapun, tujuan pria ini mengunjungi Birmingham untuk menyelesaikan tugas.Livy menarik lengan kekar, sengaja menabrakan diri, memeluk erat suaminya. Menempelkan kepala di dada bidang El, mendengar irama jantung yang lebih cepat dari batas normal.“Kantor lagi membutuhkan Kakak, tidak masalah kita pulang sekarang. Al juga mengerti.” Livy menjauhkan kepala, ekor matanya melirik bayi yang sibuk sendiri memainkan topi.“Tapi Sayang, kamu jauh-jauh ke sini hanya duduk diam menemaniku kerja. Sejak kita menikah, belum liburan,” keluh El, bibirnya menekuk
“Dengan beredarnya fotoku di kamar hotel dan video di apartemen, keluarga besar Torres pasti mendesak El untuk menikahiku.” Tawa Gabriela menggema.“Pria yang pernah berselingkuh, namanya mudah rusak karena jejak masa lalu, semua ini ku lakukan demi cinta. Aku menginginkan Tuan El,” sambung Gabriela, tangannya bergerak lincah melihat data pada kamera.Namun, beberapa detik video berlangsung, wanita itu memicingkan mata, memperhatikan rekaman tak sesuai ekspektasi. Seketika Gabriela mengepalkan tangan, karena mendapat tamparan digital dari Nyonya Muda Torres.Pada rekaman video, tampak Livy bicara lugas pada sekretaris Jorge Marquez. Istri dari Donatello Xavier menunjukkan taringnya, lagi-lagi memberi hadiah tak terduga untuk penggoda.“Bukankah sudah ku bilang seharusnya kamu menyerah sebelum menangis darah. Lihatkan sekarang, kamu tidak bisa melakukan apa-apa?!” “Aku tidak akan diam saja, melihat orang asing merusak rumah tanggaku!” Gabriela tidak menyangka Livy bisa menemukan kame
“Kepalaku pusing,” lirih Livy, telapak tangannya membentang dari pelipis kiri, dahi sampai pelipis kanan.“Dingin.” Ibu muda ini bergidik merasakan suhu tak biasa.Ia mengerjap, membuka kelopak mata lengket dan berat, sebelah tangannya bergerak meraba-raba seprai. Livy mengernyit karena ranjangnya begitu asing.“Livyata kamu bangun?” sapa Mom Pamela, sembari memegangi lengan menantu.“Mom? Aku kenapa di rumah sakit ya?” Netra coklat wanita ini berkeliling melihat sisi kanan dan kiri, pandangannya pun terpaku ke luar jendela. Ternyata hari telah sore.“Iya Nak, tadi kamu pingsan. Mommy cemas, makanya langsung dibawa ke rumah sakit,” tutur Mom Pamela.Pagi tadi, Kepala Pelayan mengantar sarapan, terkejut mendapati Livy tersungkur di atas karpet. Wanita ini hanya mengenakan jubah mandi berwarna putih. Khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, Kepala Pelayan sigap memanggil Nyonya Besar Torres. Ibu mertua segera menghubungi ambulan, tidak lupa mengabari El.“Kak El di mana?” Livy m
“Mau apa datang ke sini?” El menggeram melihat wajah lelaki lebih muda darinya.“Menjenguk rekan kerjaku, memang apa lagi El? Tidak salah ‘kan?” sungut Diego semakin mendekati Livy, bahkan menjulurkan tangan, memberi buket bunga.El mendengus lalu mendorong kursi roda melewati lelaki muda itu. Bahkan El menutup pintu dengan kasar, nyaris mengenai puncak hidung Diego. “Tidak boleh! Aku tidak mengizinkan pria lain datang!”“Pelit!” sungut lelaki itu dari luar kamar rawat.Sedangkan di dalam, Livy menatap wajah tampan sang suami berubah menyeramkan. Ia tak berani mengeluarkan suara, sebab merasakan atmosfer jadi dingin.Dalam diam, El membantu membopong tubuh Livy, merebahkannya di atas ranjang pasien dan menyelimuti sebatas pinggang. Kemudian, presdir tampan ini bergerak membuka jendela juga pintu balkon, El keluar—berdiri seraya menatap pemandangan taman.“Mulai lagi,” keluh Livy dengan sikap cemburu suaminya.Wanita ini sebal ditinggal sendirian, padahal ia ingin bermanja, bersandar di
“Sayang, jangan begini! Semua orang memperhatikan kita, bagaimana kalau ada—“ Livy mencegah agar suaminya tidak bertindak gegabah. Ia menahan lengan kekar El, tetapi tenaga lelaki ini lebih besar dan kuat.“Jadi kamu senang dipandangi oleh pria lain? Aku tidak terima, Mi Amor! Sebaiknya kamu duduk di sana!” tunjuk El dengan dagu.“Aku tidak mau makan sendiri! Ayo Kak, abaikan saja mereka, yang penting aku tidak menanggapi,” oceh Livy.Namun, Donatello Xavier bukanlah pria yang mudah meredam emosi, apalagi berkaitan dengan orang tercinta. Ia melangkah maju, bukan hanya bersiap memukuli para pria itu, tetapi memaksa mereka memohon maaf karena telah lancang.“Akh, perutku … aduh, Kak, to-long!” Livy meringis, tangannya mencengkeram sisi kursi. Bahkan kening serta tubuhnya dibanjiri keringat sebesar biji jagung. “Kak El, s-sakit.” Seketika El menolehkan kepala, aura iblis yang sempat memenuhi ketampanannya sirna. Kini, berganti dengan kecemasan, pria terkaya nomor satu di Negeri Matador
“Kak, bagaimana keadaannya? Dia … umm Karla baik-baik saja ‘kan? Lalu i-ibunya?” tanya Livy melalui sambungan telepon.[Aku di rumah sakit Sayang, Karla dan Luciana terluka, mereka ditangani dokter.]Jawaban El membuat hati Livy tak tega, meskipun wanita itu pernah menorehkan luka teramat dalam. Akan tetapi, sekarang ia merasa iba akan nasib Luciana terutama anaknya.Paska menerima kabar tak menyenangkan dari Alonso, semula El memerintah anak buahnya untuk memeriksa kondisi Luciana. Namun, karena permintaan Livy, lelaki itu berangkat ke desa menggunakan helikopter ditemani Alonso.Bahkan Livy mendapat foto keadaan restoran milik Luciana, habis tak bersisa dilahap si jago merah. Bukan hanya Luciana dan Karla tetapi beberapa orang menjadi korban.“Tolong kabari aku secepatnya ya Kak!” pintanya dengan nada lirih.“Livy? Aku pikir kamu sudah tidur,” tegur Estefania dari ambang pintu. Wanita berambut pirang ini berinisiatif menemani kakak iparnya, sebab melihat El tergesa-gesa pergi.Livy
“Apa kamu waras Mi Amor? Sebentar lagi memiliki dua anak. Untuk apa membawa Karla ke sini?!” El geleng-geleng kepala.“Apa Kakak tidak kasihan, Karla masih kecil sudah kehilangan orang tuanya. Lagi pula ….” Mendadak lidah Livy terasa kebas, ia sukar menyebut nama Luciana. “Dulu, dia membantu kita, wanita itu menjadi saksi kejahatan Kak Sonia.”Sesaat, El tercenung, apa yang disampaikan sang istri benar adanya. Luciana salah satu saksi kunci yang menambah hukuman Sonia semakin berat. Bahkan wanita itu mengalami perlakuan buruk dari mantan kekasihnya.“Kita … bisa mengadopsi Karla, dia pasti berbeda dari ayah dan ibunya,” sambung Livy.“Tapi Sergio masih hidup, untuk apa kamu peduli? Ketika pria brengsek itu bebas, Karla bisa hidup bersama ayah biologisnya, bukan kita! Aku tidak setuju!” sentak El, kemudian meninggalkan dapur bersih.Sedangkan Livy tergugu, pertama kali melihat suaminya marah besar, El tidak menyetujui permintaannya sebagai balas budi atas setitik kemurahan hati Luciana
“Ayo Kak! Kondisiku sehat, kita bisa … naik helikopter.” Sorot mata Livy berbinar, menggebu ingin bertemu anak kecil itu. Walaupun dulu pertama kali melihat Karla, ia bersedih bahkan dalam benak terlintas; seharusnya Karla lahir dari rahimnya, bukan Luciana.Sekarang, Livy ingin melindungi batita itu, ia cemas jika Karla hidup bersama Sergio. Setahun menjadi istri dari pria brengsek, ia tahu persis sifat dan sikap mantan suami.El meraih jemari lentik di atas meja, memeluk dan mengecup punggung tangan. “Mi Amor, Livyata … sebelumnya aku minta maaf karena mengabaikanmu semalam.”“Oh itu … ti-dak a-pa, a-ku mengerti,” ucap Livy berdusta, padahal hatinya menjerit, ‘Jangan mendiamiku lagi!’Beberapa detik El memandangi paras ayu sang istri, rasa cemburu terhadap pria itu membuatnya tak mengacuhkan Livy.Sebelah tangan terulur, menangkup pipi mulus, membelai lembut dengan ibu jari, El melengkungkan senyum mengikuti dua sudut bibir Livy yang tertarik ke atas.“Aku … maaf tidak bisa membawa