“Ayo Kak! Kondisiku sehat, kita bisa … naik helikopter.” Sorot mata Livy berbinar, menggebu ingin bertemu anak kecil itu. Walaupun dulu pertama kali melihat Karla, ia bersedih bahkan dalam benak terlintas; seharusnya Karla lahir dari rahimnya, bukan Luciana.Sekarang, Livy ingin melindungi batita itu, ia cemas jika Karla hidup bersama Sergio. Setahun menjadi istri dari pria brengsek, ia tahu persis sifat dan sikap mantan suami.El meraih jemari lentik di atas meja, memeluk dan mengecup punggung tangan. “Mi Amor, Livyata … sebelumnya aku minta maaf karena mengabaikanmu semalam.”“Oh itu … ti-dak a-pa, a-ku mengerti,” ucap Livy berdusta, padahal hatinya menjerit, ‘Jangan mendiamiku lagi!’Beberapa detik El memandangi paras ayu sang istri, rasa cemburu terhadap pria itu membuatnya tak mengacuhkan Livy.Sebelah tangan terulur, menangkup pipi mulus, membelai lembut dengan ibu jari, El melengkungkan senyum mengikuti dua sudut bibir Livy yang tertarik ke atas.“Aku … maaf tidak bisa membawa
“Nyonya Maldini, ini anakku! Alessandro Javier Torres,” protes Livy tak terima wanita yang usianya lebih tua dari El mengklaim Al sebagai darah dagingnya.Apalagi, semenjak hamil suasana hati Livy mudah berubah, tak jarang sulit menahan emosi. Sama seperti sekarang, antara kesal, sedih dan menuntut jawaban menjadi satu.“Oh ya, Tuan Torres menculik anakku. Ya ampun, sekarang dia sudah besar.” Nyonya Maldini menciumi Al.Sedangkan batita itu menolak, mendorong wajah asing yang mendekatinya. Al merengek tidak nyaman, kedua tangan mungil berusaha menggapai Livy, sorot manik biru safir meminta pertolongan sang ibu.Sejenak Livy bergeming, mencoba mencerna maksud dari kalimat itu. Sudah jelas Al putranya bersama El, wanita di depannya ini mengatakan ayah dari bayinya menculik Al.‘Tidak masuk akal!’ pikir Livy.“Mi Amor? Duduk dulu, bisa aku jelaskan, semua tidak seperti yang kamu bayangkan, sini Livy.” El yang sudah duduk, meraih tangan istri, tetapi Livy menepis pelan.Wanita hamil ini m
Setelah berbelanja hampir seluruh varian coklat, serta beberapa perlengkapan bayi, sejoli ini memutuskan segera pulang. Sebab kedua tungkai Livy membengkak, karena berjalan terlalu lama mengitari pusat perbelanjaan.Tiba di mansion, El meredam hasratnya. Ia mengurungkan niat untuk menagih pelunasan pada sang istri. El tidak tega melihat Livy kelelahan, perut besar membuat wanita ini sulit bergerak.“Kak? Katanya mau jatah dua kali lipat?” Livy mengernyitkan alis, menatap wajah lesu suaminya masuk kamar mandi.“Ditunda saja Mi Amor, kamu bilang lelah ‘kan? Aku tidak memaksa, kamu mau tidur duluan?” tanya El, langsung dijawab gelengan kepala oleh Livy. “Ak mandi, tunggu sebentar.”Dari sofa panjang, Livy menatap punggung lebar El, ia merasa bersalah, tetapi ucapan suaminya memang benar. Kemudian ia beranjak, duduk menyandar pada headboard, seraya memijat kakinya.“Kasihan juga Kak El, dua hari ini libur, apa sekarang gagal lagi? Seharusnya aku jangan minta coklat dan beli baju bayi,” gum
[Mi Amor, malam ini aku pulang terlambat. Aku dan Jorge harus mengunjungi salah satu pabrik perakitan.]Livy tersenyum samar ketika membaca isi pesan singkat itu. Entah mengapa ingatannya terlempar pada masa pahit, di mana Sergio mengirimnya pemberitahuan bahwa lelaki itu tidak pulang.Wanita berperut buncit ini menggeleng cepat, menepis pemikiran menyeramkan. Ia dan El sepakat untuk menaruh kepercayaan satu sama lain.Lagi pula selama ini El selalu pulang ke mansion, atau setiap kali melakukan perjalanan bisnis selalu menyempatkan panggilan video. Livy juga mengirim pesan balasan kepada suaminya. “Iya Kak, semoga tidak terlalu malam, anak kita mau tidur dipeluk Daddy-nya.”Kemudian, ia meletakkan benda pipihnya ke atas meja, lalu menarik napas dalam guna melenyapkan perasaan gundah gulana.Pagi tadi, selesai membantu Livy membersihkan badan, El bergegas ke kantor. Sedangkan dari pagi sampai menjelang siang, Livy istirahat di kamar. Setelahnya, Livy keluar kamar, merindukan putra sul
“Tuan Torres dimohon tenang, ini ruang operasi. Kami sedang berupaya menyelamatkan ibu dan bayinya.” Peneleope pun sama seperti El, ia tak menyangka kondisi Livy menurun drastis.Sedangkan El berdiri tepat di sisi ranjang, sebelah sudut bibir agak tebalnya berkedut, ia mengusap kasar wajah. Seluruh jiwa seolah tersedot habis entah ke mana, hanya menyisakan raga yang lemah.Pria ini berpikir, jika ia terus memaki dan memarahi tim medis, maka penanganan Livy terhambat. El memilih membungkam mulut dan meredam emosi, demi istri serta buah hati tercinta.Akhirnya, El menyahut dengan suara lirih, “Lakukan yang terbaik untuk Livy dan anak kami, tolong.” Lagi, ia menanggalkan ego sebagai presdir yang disegani, semata-mata untuk dua orang yang sedang berjuang.Tim dokter kompak mengangguk kepada El, segera bertindak menyelamatkan Livy dan bayinya—yang mulai menggerakkan tubuh serta membuka mulut hendak menangis. Setelah beragam upaya dilakukan dokter anak serta perawat, akhirnya bayi mungil ya
“Kak El?!” panggi Estefania dari ujung selasar.Adik bungsu Donatello Xavier ini melihat sang kakak lemah tak berdaya menggenggam kertas di tangan kanannya. Bahkan El enggan menanggapi kicauan wanita berambut pirang itu. Pria ini masih syok paska mendengar penuturan tim dokter anak, tentang kesehatan putra keduanya. Sekarang El benar-benar malas harus berkomunikasi dengan orang, ia ingin menyendiri.“Kak, bisa lebih cepat jalannya?!” tuntut Estefania menjemput El dan menarik pergelangan tangan.“Makanannya untuk Ed saja, aku sudah kenyang,” pikir El, adiknya itu kembali memaksanya makan. “Lupakan soal makan! Sekarang Kakak harus ke ICU, Livy siuman, dia mencarimu!” tandas wanita bermanik biru safir.Menerima kabar yang entah menyenangkan atau tidak, sejenak El bergeming. Ia bersyukur sekaligus sedih, hingga akhirnya Estefania menyeret paksa lelaki ini masuk ruang ICU.Di dalam ruangan sejuk dipenuhi peralatan medis, El mematung memandang nanar pada Livy—sedang diperiksa oleh dokter.
“Apa?” El menaikkan kedua alis tebal. “Kenapa kamu bisa memiliki ide gila?” “Kalau saja malam itu tidak terjadi, pasti kamu dan Kak Sonia sekarang hidup bahagia.” Livy menunduk enggan menatap suami, sorot matanya berubah sendu memandang bulu-bulu karpet, lalu berkata, “Bagaimana kalau memang benar ini adalah hukuman?”El berdecih, ia geleng-geleng kepala. “Dan kalau mengunjungi dia, apa yang kamu lakukan? Memohon ampun di kakinya?” Rahang El tampak mengeras dan mengepalkan tangan. Pria ini mengerti masalah yang menimpa mereka cukup berat, tetapi tidak seharusnya Livy memiliki pikiran buruk. Kesabaran El menipis. “Kalau kamu sampai menemuinya, itu sama saja memberi hiburan bagi Sonia. Sekalipun dia di penjara, hatinya tidak bersih, dia ingin kita hidup susah!” tandas El.Livy tergugu, pipi serta hati terasa panas, tertampar oleh kalimat sang suami. Ia bergeming, merenungi setiap untaian kata, El benar jika Sonia mengetahui kehidupan rumah tangganya tidak bahagia, wanita itu bertepuk
“Kak? Aku ikut! Aku ibunya!” seru Livy, ia turut melangkah lebar mengikuti El.“Tapi kamu perlu istirahat, MI Amor.” El sendiri kebingungan, kesehatan putra keduanya dan istri bukan pilihan.“Aku sehat!” tegas Livy.Tanpa menunggu keputusan sang suami, wanita ini meraih mantel dan melekatkannya pada tubuh. Livy diam memandang lekat wajah El, ia meyakinkan lelaki itu bahwa dirinya tidak lemah.Livy menautkan tangan, ia mengusap lembut lengan El. “Seperti yang kamu bilang, Al dan Gal membutuhkan kita.”Mengingat kondisi bayi mungil di rumah sakit yang membutuhkan pertolongan dengan segera, El mengangguk cepat lantas membawa Livy pergi bersama.Sejurus kemudian, keduanya telah tiba di rumah sakit, mereka langsung menuju ke kamar rawat bayi. Di sana, sejoli ini sempat menyaksikan bagaimana bayinya tampak lemah dan sulit bernapas.“Tuan? Nyonya?” panggil dokter anak membuyarkan pandangan El dan Livy. “Mari kita bicara di dalam ruangan.”“Hu’um,” respon El.Di dalam ruangan kecil khusus dok