Setelah berbelanja hampir seluruh varian coklat, serta beberapa perlengkapan bayi, sejoli ini memutuskan segera pulang. Sebab kedua tungkai Livy membengkak, karena berjalan terlalu lama mengitari pusat perbelanjaan.Tiba di mansion, El meredam hasratnya. Ia mengurungkan niat untuk menagih pelunasan pada sang istri. El tidak tega melihat Livy kelelahan, perut besar membuat wanita ini sulit bergerak.“Kak? Katanya mau jatah dua kali lipat?” Livy mengernyitkan alis, menatap wajah lesu suaminya masuk kamar mandi.“Ditunda saja Mi Amor, kamu bilang lelah ‘kan? Aku tidak memaksa, kamu mau tidur duluan?” tanya El, langsung dijawab gelengan kepala oleh Livy. “Ak mandi, tunggu sebentar.”Dari sofa panjang, Livy menatap punggung lebar El, ia merasa bersalah, tetapi ucapan suaminya memang benar. Kemudian ia beranjak, duduk menyandar pada headboard, seraya memijat kakinya.“Kasihan juga Kak El, dua hari ini libur, apa sekarang gagal lagi? Seharusnya aku jangan minta coklat dan beli baju bayi,” gum
[Mi Amor, malam ini aku pulang terlambat. Aku dan Jorge harus mengunjungi salah satu pabrik perakitan.]Livy tersenyum samar ketika membaca isi pesan singkat itu. Entah mengapa ingatannya terlempar pada masa pahit, di mana Sergio mengirimnya pemberitahuan bahwa lelaki itu tidak pulang.Wanita berperut buncit ini menggeleng cepat, menepis pemikiran menyeramkan. Ia dan El sepakat untuk menaruh kepercayaan satu sama lain.Lagi pula selama ini El selalu pulang ke mansion, atau setiap kali melakukan perjalanan bisnis selalu menyempatkan panggilan video. Livy juga mengirim pesan balasan kepada suaminya. “Iya Kak, semoga tidak terlalu malam, anak kita mau tidur dipeluk Daddy-nya.”Kemudian, ia meletakkan benda pipihnya ke atas meja, lalu menarik napas dalam guna melenyapkan perasaan gundah gulana.Pagi tadi, selesai membantu Livy membersihkan badan, El bergegas ke kantor. Sedangkan dari pagi sampai menjelang siang, Livy istirahat di kamar. Setelahnya, Livy keluar kamar, merindukan putra sul
“Tuan Torres dimohon tenang, ini ruang operasi. Kami sedang berupaya menyelamatkan ibu dan bayinya.” Peneleope pun sama seperti El, ia tak menyangka kondisi Livy menurun drastis.Sedangkan El berdiri tepat di sisi ranjang, sebelah sudut bibir agak tebalnya berkedut, ia mengusap kasar wajah. Seluruh jiwa seolah tersedot habis entah ke mana, hanya menyisakan raga yang lemah.Pria ini berpikir, jika ia terus memaki dan memarahi tim medis, maka penanganan Livy terhambat. El memilih membungkam mulut dan meredam emosi, demi istri serta buah hati tercinta.Akhirnya, El menyahut dengan suara lirih, “Lakukan yang terbaik untuk Livy dan anak kami, tolong.” Lagi, ia menanggalkan ego sebagai presdir yang disegani, semata-mata untuk dua orang yang sedang berjuang.Tim dokter kompak mengangguk kepada El, segera bertindak menyelamatkan Livy dan bayinya—yang mulai menggerakkan tubuh serta membuka mulut hendak menangis. Setelah beragam upaya dilakukan dokter anak serta perawat, akhirnya bayi mungil ya
“Kak El?!” panggi Estefania dari ujung selasar.Adik bungsu Donatello Xavier ini melihat sang kakak lemah tak berdaya menggenggam kertas di tangan kanannya. Bahkan El enggan menanggapi kicauan wanita berambut pirang itu. Pria ini masih syok paska mendengar penuturan tim dokter anak, tentang kesehatan putra keduanya. Sekarang El benar-benar malas harus berkomunikasi dengan orang, ia ingin menyendiri.“Kak, bisa lebih cepat jalannya?!” tuntut Estefania menjemput El dan menarik pergelangan tangan.“Makanannya untuk Ed saja, aku sudah kenyang,” pikir El, adiknya itu kembali memaksanya makan. “Lupakan soal makan! Sekarang Kakak harus ke ICU, Livy siuman, dia mencarimu!” tandas wanita bermanik biru safir.Menerima kabar yang entah menyenangkan atau tidak, sejenak El bergeming. Ia bersyukur sekaligus sedih, hingga akhirnya Estefania menyeret paksa lelaki ini masuk ruang ICU.Di dalam ruangan sejuk dipenuhi peralatan medis, El mematung memandang nanar pada Livy—sedang diperiksa oleh dokter.
“Apa?” El menaikkan kedua alis tebal. “Kenapa kamu bisa memiliki ide gila?” “Kalau saja malam itu tidak terjadi, pasti kamu dan Kak Sonia sekarang hidup bahagia.” Livy menunduk enggan menatap suami, sorot matanya berubah sendu memandang bulu-bulu karpet, lalu berkata, “Bagaimana kalau memang benar ini adalah hukuman?”El berdecih, ia geleng-geleng kepala. “Dan kalau mengunjungi dia, apa yang kamu lakukan? Memohon ampun di kakinya?” Rahang El tampak mengeras dan mengepalkan tangan. Pria ini mengerti masalah yang menimpa mereka cukup berat, tetapi tidak seharusnya Livy memiliki pikiran buruk. Kesabaran El menipis. “Kalau kamu sampai menemuinya, itu sama saja memberi hiburan bagi Sonia. Sekalipun dia di penjara, hatinya tidak bersih, dia ingin kita hidup susah!” tandas El.Livy tergugu, pipi serta hati terasa panas, tertampar oleh kalimat sang suami. Ia bergeming, merenungi setiap untaian kata, El benar jika Sonia mengetahui kehidupan rumah tangganya tidak bahagia, wanita itu bertepuk
“Kak? Aku ikut! Aku ibunya!” seru Livy, ia turut melangkah lebar mengikuti El.“Tapi kamu perlu istirahat, MI Amor.” El sendiri kebingungan, kesehatan putra keduanya dan istri bukan pilihan.“Aku sehat!” tegas Livy.Tanpa menunggu keputusan sang suami, wanita ini meraih mantel dan melekatkannya pada tubuh. Livy diam memandang lekat wajah El, ia meyakinkan lelaki itu bahwa dirinya tidak lemah.Livy menautkan tangan, ia mengusap lembut lengan El. “Seperti yang kamu bilang, Al dan Gal membutuhkan kita.”Mengingat kondisi bayi mungil di rumah sakit yang membutuhkan pertolongan dengan segera, El mengangguk cepat lantas membawa Livy pergi bersama.Sejurus kemudian, keduanya telah tiba di rumah sakit, mereka langsung menuju ke kamar rawat bayi. Di sana, sejoli ini sempat menyaksikan bagaimana bayinya tampak lemah dan sulit bernapas.“Tuan? Nyonya?” panggil dokter anak membuyarkan pandangan El dan Livy. “Mari kita bicara di dalam ruangan.”“Hu’um,” respon El.Di dalam ruangan kecil khusus dok
Mendapat penghinaan luar biasa, El mengetatkan rahang, giginya bergemeretak, bahkan jakunnya berkedut. Ia tidak menyangka, syarat dari Jorge Marquez menghunus tepat pada egonya sebagai pemilik perusahaan terbesar di negeri itu.Jorge menaikan sebelah alis, mengangkat dagu sambil menujuk ke arah kakinya. “Ayo, tunggu apa lagi El?! Bukankah itu tujuanmu datang ke mansionku?” Semula El marah, tetapi sekarang ia menatap berbeda pada rekan sekaligus rivalnya itu. Iris biru safir El yang biasanya tampak tajam perlahan berubah melemah.Bagaimanapun, ia membutuhkan darah Jorge. Bola mata El bergerak turun, memandang sepasang kaki beralas sandal rumahan. Dan …Perlahan El mengendurkan otot pada tubuh, kepala serta bahu yang biasanya tegak kini mulai membungkuk, beriringan dengan kedua kaki bersimpuh di atas lantai mengkilap.Untuk pertama kali, Presdir Torres Inc mengemis belas kasih dari orang lain. Harga dirinya sebagai bos besar tercoreng, dalam keadaan menundukkan kepala, sebelah sudut bi
“Hi Gal, cepat sembuh Nak. Apa pun Daddy lakukan supaya kita bersama-sama,” gumam El yang kini tak beselera melakukan pekerjaan selain menemani putranya.Setelah 24 jam menerima transfusi darah, kondisi Galtero perlahan membaik, meskipun belum dikatakan pulih atau mandiri. Sebab bayi mungil itu masih memerlukan sumber sel darah merah pendonor.Tentu, hal ini menjadi cambuk bagi El, artinya ia harus kembali merendahkan diri agar Jorge bersedia datang ke rumah sakit. Memberi lelaki ini belas kasih dari cairan merah pekat yang mengalir pada tubuh musuhnya itu.Alih-alih mengucapkan supaya Gal tidak lelah berjuang untuk sembuh, El malah mengatakan, “Daddy menyayangimu Nak.” Kemudian ia berbalik dan berjalan menyusul Livy di kantin rumah sakit. Tubuh Livy setelah melahirkan tampak memprihatinkan, El kasihan karena wanitanya terlalu banyak menanggung beban.Untuk itu ia memerintah sang istri pergi ke kantin lebih dulu untuk mengisi perut kosong. Bagaimanapun El dan Livy memerlukan sumber e
“Ini sudah siang, di mana Al? Dia bilang olahraga di sekitar hotel,” gusar Livy bolak-balik melihat jam digital.“Periksa saja kamarnya, anak itu senang kabur, menyelinap masuk dan seolah tidak terjadi sesuatu,” jawab El begitu enteng sembari bermain lego bersama An.Livy mendengus kasar mendengar jawaban sang suami. Ia ingin sekali mengahancurkan susunan lego yang terhampar luas di atas lantai. Suaminya itu bukan mencari keberadaan Al malah asyik bermain seperti anak kecil. Alhasil ibu tiga anak itu membuka pintu kamar Al, ternyata kosong.“Al belum pulang,” lirih Livy melirik putra kedua yang asyik bermain game.Akibat kesal, tidak ada yang peduli pada perasaannya, Livy mengunjungi pusat kebugaran serta taman hotel. Memang banyak orang menggunakan fasilitas untuk olahraha, tetapi setengah jam ia mengamati, tidak menemukan putra sulungnya.“Di mana kamu Al?” Livy memijat pelipis.Ketika ia berjalan menuju lobi, Livy tercenung melihat El menggendong An, berjalan tergesa-gesa, diikuti
“Kenapa kamu di sini?” Kedua bola mata Al berbinar menatap sosok gadis cantik di depannya.“Menurumu, untuk apa aku di sini?” goda anak kecil yang kini menjelma menjad remaja luar biasa.“Mommy-mu di sini?” Al menolehkan kepala ke kanan dan kiri.Gadis itu terkekeh geli melihat tingkah teman baiknya. Lalu mendekati Al yang masih kebingungan, sebab ini Swiss bukan New York, lintas benua yang tidak mudah dilalui hanya dengan satu atau dua jam.“Tentu saja Al, aku menemani Mommy,” sahut anak itu.“Ah, aku pikir kamu nyasar. Bagaimana kabarmu Belle?” Al maju satu langkah hendak mengulurkan tangan.Namun, gadis itu mundur satu langkah dengan wajah tersipu, tetapi pandangannya tidak teralihkan dari Al. Seakan kehabisan kosakata, Belle bungkam, tidak menjawab pertanyaan Al. Anak itu larut dalam pesona remaja tampan di hadapannya.Tidak ingin semakin salah tingkah, Belle meraih minuman tinggi gula, lantas meneguknya. Membuat Al semakin mengikis jarak.Bahkan, putra sulung El dan Livy, merebu
“Mi Amor?!” pekik El, melihat Livy berjalan gontai di tengah ramainya orang berlalu-lalang.“Mom, ada apa?!”Seketika El, Al, dan Gal berlarian menghampiri Livy. Bahkan El memapah tubuh wanitanya yang gemetaran.“An … di-a menghilang.” Tangis Livy pecah, perhatian semua orang tertuju pada keluarga kecil itu.Setelah mendengar hal itu, Al dan Gal bergegas ke toilet wanita, mereka masuk tanpa izin, hingga para pengguna kamar kecil berteriak. Tak sedikit dari beberapa orang melempar dengan sepatu. “Kak, bagaimana ini? An benar-benar menghilang.” Gal tidak menyangka hari istiewa yang dinanti berujung petaka.“Ayo temui Mom dan Daddy,” ajak Al menyeret pergelangan tangan adik laki-laki. Walaupun perih menjalar, Gal tidak peduli, karena saat ini paling penting menemukan keberadaan Antonia. Pikiran dua remaja tampan itu khawatir adiknya diculik, tetapi mengingat belakang ini tidak ada sesuatu yang mencurigakan, hal itu pun mustahil.Livy dan El menuju ruang keamanan, di susul Al dan Gal.
“Berisik!” teriak seorang gadis kecil, menutup telinga dan memelotot menatap dua remaja di depannya.“Anak nakal!” seru suara bass sambil menunjuk penuh amarah. “Itu milikku!”“Ambil saja kalau berani!” sahut remaja satunya lagi.Dalam beberapa tahun berlalu, putra dan putri Livy tumbuh pesat. Ketiganya meramaikan mansion, terutama ketika momen liburan seperti sekarang.Di mana, bukan hanya Al, Gal dan An berkumpul, tetapi Estelle serta para sepupu lain turut menyumbang suara di Mansion Torres.“Kalian itu sudah besar kenapa bertingkah seperti kami?!” lontar An menatap gemas dua kakak laki-lakinya.“Galtero merebut laptopku!” geram Al, “Adik nakal, seharusnya kamu ikut Daddy dan Mommy ke pertemuan bisnis, bukan menjadi pengganggu!” Kalimat pedas Al tertuju pada adiknya.Tidak ingin acara bermainnya terusik, An melangkah maju, mendekati kakak keduanya. Bocah itu bertolak pinggang, menjulurkan tangan, meminta secara baik-baik supaya Gal mengembalikan laptop Al. Akan tetapi, Galtero sang
“Jika itu sakit tidak mungkin Livy hamil sampai tiga kali!” jawab El.Livy langsung menundukkan wajah, entah dari mana suaminya bisa memiliki jawaban memalukan seperti itu. Jujur, saat ini ia kehilangan muka di hadapan adik ipar. Bukan hanya adik ipar, tetapi ibu mertua yang mendadak masuk kamar. Seketika, ingin sekali Livy melempar bantal pada wajah tampan suami.“Sudah, tidak perlu dibahas. Itu rahasia ranjang,” celetuk Mom Pamela setelah melihat kulit pipi menantu berubah masak.“Tapi … aku penasaran Mom. Setidaknya aku tahu, ternyata tidak sakit.” Tawa Estefania sambil menubrukkan bahu ke lengan Livy.Rasa malu Livy semakin menggunung ketika El sengaja menghampiri, merunduk, lalu menaruh ibu jari di bawah dagu, perlahan menariknya, mempertemukan dua bibir.“Wah, romantis sekali. Tapi seharusnya kalian tidak pamer kemesraan,” ucap Estefania dengan lemas. “Luis belum pulang. Huh, kenapa dia betah sekali di NYC mengunjungi kakak sepupunya, padahal kami lebih membutuhkan,” sambungnya
[Kak El, cepat ke mansion utama! Sepertinya Livy mengalami kontraksi.]Isi pesan Estefania, dikirim secara diam-diam, sebab Livy selalu menolak. Wanita itu berdalih berdasarkan pengalaman, belum waktunya bersalin.Kedua wanita itu entah sudah berapa putara mengelilingi taman mansion yang luas. Estefania dibanjiri keringat, sama seperti Livy. Akan tetapi, ibu hamil itu enggan mengakhiri kegiatan olahraga ringan.“Akh … tidak apa-apa, semakin terasa sakit, maka waktu bertemu kita lebih cepat,” gumam ibu dari Al dan Gal, membelai bagian bawah perut, seakan mengetahui di sanalah letak kepala bayi.“Mommy percaya kita bisa Nak. Kakak Al dan Gal tidak sabar bermain denganmu,” sambung Livy sembari terkekeh pelan.Sementara Estefania berlinang air mata, menatap Livy sesekali meringis, keringat bercucuran dari kening, bahkan bagian punggung tampak basah.Wanita berambut pirang itu sesenggukan karena ia selalu mengeluh tidak mau mengandung dan melahirkan lagi. Sebab, adik bungsu El merasa tidak
“Ternyata kamu masih mengingatnya, aku tidak suka! Di dalam sini dan sini.” El menunjuk kepala serta dada Livy. “Hanya ada aku, pria lain tidak boleh!”Setelah mengatakan itu, El masuk ke mansion lebih dulu, tujuannya bukan ruang kerja atau kamar.Puas menikmati pemandangan langit malam serta suasana kota yang diramaikan pejalan kaki, El memutuskan membawa Livy pulang.Tadi, dalam perjalanan menuju mansion, El penasaran alasan wanitanya sangat menyukai kopi di café itu tetapi enggan berkunjung.Rupanya, di tempat itu Livy kerap menghabiskan waktu, membuang lelah serta perih karena memikirkan nasib pernikahannya bersama Sergio. “Mommy, bagaimana Bibi Es? Apa adik bayi sudah lahir?” tanya Al antara khawatir dan gembira.“Estefania sakit perut karena terlalu banyak makan pedas. Doakan yang terbaik untuk Bibi ya.” Livy memulas senyum lantas memberi kecupan sebelum tidur pada kedua buah hati.Wanita berperut besar itu melangkah ke kamar, ia membersihkan kulit dari sisa-sisa debu. Menggant
“Kita mau ke mana Mi Amor?!” Dahi El berkerut cukup dalam.Pria itu tidak tahu apa pun, tanpa basa-basi Livy membuka pintu kamar, langsung menarik pergelangan tangan sang suami.“Hati-hati jalannya Mi Amor, sebenarnya ada apa? Kenapa kita buru-buru begini?” El mengamati wajah cantik Livy dihiasi garis kecemasan.“Nanti saja di mobil, ini penting El.” Livy tak melepas tangannya dari pergelangan El. “Tolong kemudikan dengan cepat Pak,” pinta wanita itu tanpa memberi perintah dan arah tujuan.Merasa terdapat sesuatu yang genting, El menjelaskan secara perlahan pada sopir untuk mempersiapkan mobil. Bahkan pria itu harus menambah stok kesabaran, lantaran Livy tidak bisa diam karena menarik-narik lengan kaos.Setelah duduk nyaman, kendaraan roda empat melaju menuju kediaman William. Terlebih dahulu, Livy meneguk setengah botol air mineral.“Pelan-pelan Mi Amor! Kamu bisa tersedak!” Nada peringatan El membuat sopir berjengit. “Lanjutkan, jangan berhenti!” titahnya pada pria di balik setir.“T
“Kenapa membeli pakaian bayi sebanyak ini, Es? Dia tumbuh cepat, dan berakhir tidak terpakai semua.” Livy melihat adik iparnya tersenyum lebar sambil memerintah maid merapikan kamar bayi. “Kamu tahu Livy, aku sudah tidak sabar berbelanja pakaian bayi sejak kita mendekor kamar anaknya Abril. Akhirnya sekarang Luis mengizinkan aku keluar, ah senangnya.” Estefania menjentikkan telunjuk pada maid. “Lemarinya digeser sedikit, ranjangnya jangan terlalu dekat dengan jendela!”Beberapa bulan berlalu, kandungan para ibu hamil itu telah memasuki tri semester tiga. Apalagi Estefania kurang dari satu bulan lagi melahirkan. Paska terjadi hal tidak diinginkan di salon, wanita itu terpeleset dan mengalami pendarahan ringan. Luis sangat posesif, melarang Etefania melakukan kegiatan apa pun, termasuk belanja kebutuhan bayi.Estefania melirik Livy. “Lalu kamu sudah membeli apa saja?”“Oh itu, karena dokter bilang calon anak ketiga kami laki-laki, kebetulan beberapa baju bayi Al dan Gal masih ku simpa