“Mau apa datang ke sini?” El menggeram melihat wajah lelaki lebih muda darinya.“Menjenguk rekan kerjaku, memang apa lagi El? Tidak salah ‘kan?” sungut Diego semakin mendekati Livy, bahkan menjulurkan tangan, memberi buket bunga.El mendengus lalu mendorong kursi roda melewati lelaki muda itu. Bahkan El menutup pintu dengan kasar, nyaris mengenai puncak hidung Diego. “Tidak boleh! Aku tidak mengizinkan pria lain datang!”“Pelit!” sungut lelaki itu dari luar kamar rawat.Sedangkan di dalam, Livy menatap wajah tampan sang suami berubah menyeramkan. Ia tak berani mengeluarkan suara, sebab merasakan atmosfer jadi dingin.Dalam diam, El membantu membopong tubuh Livy, merebahkannya di atas ranjang pasien dan menyelimuti sebatas pinggang. Kemudian, presdir tampan ini bergerak membuka jendela juga pintu balkon, El keluar—berdiri seraya menatap pemandangan taman.“Mulai lagi,” keluh Livy dengan sikap cemburu suaminya.Wanita ini sebal ditinggal sendirian, padahal ia ingin bermanja, bersandar di
“Sayang, jangan begini! Semua orang memperhatikan kita, bagaimana kalau ada—“ Livy mencegah agar suaminya tidak bertindak gegabah. Ia menahan lengan kekar El, tetapi tenaga lelaki ini lebih besar dan kuat.“Jadi kamu senang dipandangi oleh pria lain? Aku tidak terima, Mi Amor! Sebaiknya kamu duduk di sana!” tunjuk El dengan dagu.“Aku tidak mau makan sendiri! Ayo Kak, abaikan saja mereka, yang penting aku tidak menanggapi,” oceh Livy.Namun, Donatello Xavier bukanlah pria yang mudah meredam emosi, apalagi berkaitan dengan orang tercinta. Ia melangkah maju, bukan hanya bersiap memukuli para pria itu, tetapi memaksa mereka memohon maaf karena telah lancang.“Akh, perutku … aduh, Kak, to-long!” Livy meringis, tangannya mencengkeram sisi kursi. Bahkan kening serta tubuhnya dibanjiri keringat sebesar biji jagung. “Kak El, s-sakit.” Seketika El menolehkan kepala, aura iblis yang sempat memenuhi ketampanannya sirna. Kini, berganti dengan kecemasan, pria terkaya nomor satu di Negeri Matador
“Kak, bagaimana keadaannya? Dia … umm Karla baik-baik saja ‘kan? Lalu i-ibunya?” tanya Livy melalui sambungan telepon.[Aku di rumah sakit Sayang, Karla dan Luciana terluka, mereka ditangani dokter.]Jawaban El membuat hati Livy tak tega, meskipun wanita itu pernah menorehkan luka teramat dalam. Akan tetapi, sekarang ia merasa iba akan nasib Luciana terutama anaknya.Paska menerima kabar tak menyenangkan dari Alonso, semula El memerintah anak buahnya untuk memeriksa kondisi Luciana. Namun, karena permintaan Livy, lelaki itu berangkat ke desa menggunakan helikopter ditemani Alonso.Bahkan Livy mendapat foto keadaan restoran milik Luciana, habis tak bersisa dilahap si jago merah. Bukan hanya Luciana dan Karla tetapi beberapa orang menjadi korban.“Tolong kabari aku secepatnya ya Kak!” pintanya dengan nada lirih.“Livy? Aku pikir kamu sudah tidur,” tegur Estefania dari ambang pintu. Wanita berambut pirang ini berinisiatif menemani kakak iparnya, sebab melihat El tergesa-gesa pergi.Livy
“Apa kamu waras Mi Amor? Sebentar lagi memiliki dua anak. Untuk apa membawa Karla ke sini?!” El geleng-geleng kepala.“Apa Kakak tidak kasihan, Karla masih kecil sudah kehilangan orang tuanya. Lagi pula ….” Mendadak lidah Livy terasa kebas, ia sukar menyebut nama Luciana. “Dulu, dia membantu kita, wanita itu menjadi saksi kejahatan Kak Sonia.”Sesaat, El tercenung, apa yang disampaikan sang istri benar adanya. Luciana salah satu saksi kunci yang menambah hukuman Sonia semakin berat. Bahkan wanita itu mengalami perlakuan buruk dari mantan kekasihnya.“Kita … bisa mengadopsi Karla, dia pasti berbeda dari ayah dan ibunya,” sambung Livy.“Tapi Sergio masih hidup, untuk apa kamu peduli? Ketika pria brengsek itu bebas, Karla bisa hidup bersama ayah biologisnya, bukan kita! Aku tidak setuju!” sentak El, kemudian meninggalkan dapur bersih.Sedangkan Livy tergugu, pertama kali melihat suaminya marah besar, El tidak menyetujui permintaannya sebagai balas budi atas setitik kemurahan hati Luciana
“Ayo Kak! Kondisiku sehat, kita bisa … naik helikopter.” Sorot mata Livy berbinar, menggebu ingin bertemu anak kecil itu. Walaupun dulu pertama kali melihat Karla, ia bersedih bahkan dalam benak terlintas; seharusnya Karla lahir dari rahimnya, bukan Luciana.Sekarang, Livy ingin melindungi batita itu, ia cemas jika Karla hidup bersama Sergio. Setahun menjadi istri dari pria brengsek, ia tahu persis sifat dan sikap mantan suami.El meraih jemari lentik di atas meja, memeluk dan mengecup punggung tangan. “Mi Amor, Livyata … sebelumnya aku minta maaf karena mengabaikanmu semalam.”“Oh itu … ti-dak a-pa, a-ku mengerti,” ucap Livy berdusta, padahal hatinya menjerit, ‘Jangan mendiamiku lagi!’Beberapa detik El memandangi paras ayu sang istri, rasa cemburu terhadap pria itu membuatnya tak mengacuhkan Livy.Sebelah tangan terulur, menangkup pipi mulus, membelai lembut dengan ibu jari, El melengkungkan senyum mengikuti dua sudut bibir Livy yang tertarik ke atas.“Aku … maaf tidak bisa membawa
“Nyonya Maldini, ini anakku! Alessandro Javier Torres,” protes Livy tak terima wanita yang usianya lebih tua dari El mengklaim Al sebagai darah dagingnya.Apalagi, semenjak hamil suasana hati Livy mudah berubah, tak jarang sulit menahan emosi. Sama seperti sekarang, antara kesal, sedih dan menuntut jawaban menjadi satu.“Oh ya, Tuan Torres menculik anakku. Ya ampun, sekarang dia sudah besar.” Nyonya Maldini menciumi Al.Sedangkan batita itu menolak, mendorong wajah asing yang mendekatinya. Al merengek tidak nyaman, kedua tangan mungil berusaha menggapai Livy, sorot manik biru safir meminta pertolongan sang ibu.Sejenak Livy bergeming, mencoba mencerna maksud dari kalimat itu. Sudah jelas Al putranya bersama El, wanita di depannya ini mengatakan ayah dari bayinya menculik Al.‘Tidak masuk akal!’ pikir Livy.“Mi Amor? Duduk dulu, bisa aku jelaskan, semua tidak seperti yang kamu bayangkan, sini Livy.” El yang sudah duduk, meraih tangan istri, tetapi Livy menepis pelan.Wanita hamil ini m
Setelah berbelanja hampir seluruh varian coklat, serta beberapa perlengkapan bayi, sejoli ini memutuskan segera pulang. Sebab kedua tungkai Livy membengkak, karena berjalan terlalu lama mengitari pusat perbelanjaan.Tiba di mansion, El meredam hasratnya. Ia mengurungkan niat untuk menagih pelunasan pada sang istri. El tidak tega melihat Livy kelelahan, perut besar membuat wanita ini sulit bergerak.“Kak? Katanya mau jatah dua kali lipat?” Livy mengernyitkan alis, menatap wajah lesu suaminya masuk kamar mandi.“Ditunda saja Mi Amor, kamu bilang lelah ‘kan? Aku tidak memaksa, kamu mau tidur duluan?” tanya El, langsung dijawab gelengan kepala oleh Livy. “Ak mandi, tunggu sebentar.”Dari sofa panjang, Livy menatap punggung lebar El, ia merasa bersalah, tetapi ucapan suaminya memang benar. Kemudian ia beranjak, duduk menyandar pada headboard, seraya memijat kakinya.“Kasihan juga Kak El, dua hari ini libur, apa sekarang gagal lagi? Seharusnya aku jangan minta coklat dan beli baju bayi,” gum
[Mi Amor, malam ini aku pulang terlambat. Aku dan Jorge harus mengunjungi salah satu pabrik perakitan.]Livy tersenyum samar ketika membaca isi pesan singkat itu. Entah mengapa ingatannya terlempar pada masa pahit, di mana Sergio mengirimnya pemberitahuan bahwa lelaki itu tidak pulang.Wanita berperut buncit ini menggeleng cepat, menepis pemikiran menyeramkan. Ia dan El sepakat untuk menaruh kepercayaan satu sama lain.Lagi pula selama ini El selalu pulang ke mansion, atau setiap kali melakukan perjalanan bisnis selalu menyempatkan panggilan video. Livy juga mengirim pesan balasan kepada suaminya. “Iya Kak, semoga tidak terlalu malam, anak kita mau tidur dipeluk Daddy-nya.”Kemudian, ia meletakkan benda pipihnya ke atas meja, lalu menarik napas dalam guna melenyapkan perasaan gundah gulana.Pagi tadi, selesai membantu Livy membersihkan badan, El bergegas ke kantor. Sedangkan dari pagi sampai menjelang siang, Livy istirahat di kamar. Setelahnya, Livy keluar kamar, merindukan putra sul