Semua Bab Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan: Bab 191 - Bab 200

525 Bab

191. Surat dari Masa Lalu

"Norman ...." Rowan mengelus wajah potret putra tunggalnya. Dagunya berkedut dan matanya berkaca-kaca. "Apakah yang dikatakan Vivian itu benar? Semasa hidup, kau selalu tertekan dan menderita?" Lewat desah panjang, pria tua itu berusaha melepas panas dari dalam paru-paru. Malangnya, ia malah bertambah sesak. Air mata pun mendesak keluar dari batas. "Kau selalu tersenyum dan terlihat bersemangat. Kau selalu memenuhi keinginanku terhadapmu dengan sempurna. Tidak seorang pun akan berpikir kalau kau menjalani semua itu dengan terpaksa." Tiba-tiba, Rowan mengangkat wajah. Tatapannya semakin jauh menerawang. "Tapi setelah kuingat-ingat lagi, kau memang tidak pernah menyuarakan keinginan ataupun perasaanmu. Kau selalu mengiyakan perintahku dan menjalaninya." Saat kembali tertunduk, setetes air mata jatuh pada bingkai fotonya. "Apakah perlakuanku telah merampas kebahagiaanmu? Tapi aku hanya menginginkan yang terbaik untukmu, sama seperti harapanku terhadap Frank, putramu." Bibir
Baca selengkapnya

192. Misi Terakhirmu

"Apa yang sudah kulakukan, Sean?" Air mata Rowan berjatuhan. "Apakah aku sudah mendidik anak dan cucuku dengan cara yang salah? Aku hanya ingin mereka mendapat hidup yang sempurna. Tapi mengapa ... aku malah membuat mereka tersiksa?" Sementara Rowan terisak, Sean memungut surat dan mengembalikannya seperti semula. Tidak ada kata yang berani ia ucapkan.  "Apa gunanya aku hidup selama ini kalau anak dan cucuku saja membenciku? Perhatianku terhadap mereka selama ini sama sekali tidak berarti, Sean. Tidak." "Maaf, Tuan. Menurut saya, mereka tidak membenci Anda. Bukankah Tuan Norman menyebutkan kalau berbakti kepada Anda adalah panggilan hidupnya? Beliau pasti sangat menyayangi Anda." "Tapi dia juga tidak suka caraku mendidiknya. Dia benci pada perlakuanku tapi berusaha menahannya." Rowan mulai mencengkeram dada. Napasnya terasa semakin berat.  "Aku sungguh tidak layak hidup," sesalnya sambil terpejam. Punggungnya mulai membungkuk.&n
Baca selengkapnya

193. Kehidupan Baru

Sean mengangguk. Setelah sekian tahun, ia akhirnya bisa kembali menemui keluarganya, tanpa kekhawatiran. "Terima kasih, Tuan. Terima kasih. Kalau Anda butuh bantuan, jangan sungkan untuk menghubungi saya lagi." "Tidak, Sean. Tidak akan ada misi lagi. Aku hanya mau menghabiskan sisa hidupku untuk memperbaiki hubungan yang rusak. Kurasa ...," tatapannya bergeser pada buku yang tergeletak di atas rak, "inilah saatnya aku memikirkan keinginan orang-orang." “Anda ingin mengabulkan keinginan yang mereka tulis di sini?” Sean mengambil buku panduan Louis dan menyerahkannya kepada Rowan. Mata pria tua itu seketika berbinar mengamati tulisan sang cicit yang berantakan. “Ya. Dia sudah bersusah payah membuat ini. Aku harus mewujudkannya.” Sembari tersenyum, Rowan mempelajari setiap halaman. Sesekali, ia tertawa melihat kesalahan eja atau gambar di samping tulisan. Ketika ia tiba pada daftar yang ditujukan kepadanya, matanya menajam. "Pergi ke toko ma
Baca selengkapnya

194. Maaf

Frank menyipitkan mata. Ia tahu betul pernyataan itu tidak datang dari hati. "Apakah Kakek datang untuk meminta maaf?" Alis Rowan terdongkrak. Namun, sedetik kemudian, ia mendenguskan tawa. "Minta maaf? Untuk apa? Hanya pecundang yang meminta maaf. Aku bukan. Aku tidak pernah menyesali apa yang sudah kulakukan." "Menurutku tidak demikian," sanggah Frank pelan. "Minta maaf itu justru dilakukan oleh orang-orang yang pemberani. Mereka berani mengaku salah, berani meminta kesempatan kedua, dan berani menantang diri untuk tidak mengulangi kesalahan." Rowan termenung sesaat. Hatinya bergetar hebat, tetapi pengendalian ekspresinya jauh lebih kuat. Ia terlalu malu untuk mengaku dosa sekarang, di dekat karyawan yang berlalu-lalang. "Kau menyebutku pengecut?" sambarnya seraya menaikkan alis. Frank menggeleng lemah. "Aku sedang tidak mau berdebat, Kek. Bagaimana kalau kita makan siang bersama dengan damai?" Mata Rowan nyaris membulat. Ia bertanya-tanya. Apakah Frank sudah lama berdiri di
Baca selengkapnya

195. Pergi untuk Selamanya

“Papa serius? Kakek Rowan sungguh sudah berubah?” tanya Emily seraya mengayunkan tangan Frank dengan ceria. Matanya berbinar menanti jawaban, begitu pula dengan Louis.“Ya,” angguk Frank dengan senyum simpul. “Papa mendengar dengan jelas tentang betapa bangganya Kakek Rowan terhadap kalian. Dia punya harapan besar terhadap kalian. Papa tidak mau menjadikannya paksaan. Tapi, kalau kalian bersedia mewujudkannya, Papa yakin Kakek akan sangat bahagia.”“Kami sama sekali tidak terpaksa, Papa,” celetuk Louis dengan bibir mengerucut. “Aku dan Emily memang bercita-cita untuk memajukan perusahaan dengan cara kami masing-masing.”Hati Frank menghangat. Sembari melirik Kara, ia memperlebar senyumnya. “Kamu melahirkan anak-anak yang sungguh luar biasa, Kara.”Pipi Kara bersemu merah. “Ya, Louis dan Emily memang luar biasa.”Setelah mengangguk sekilas, membalas sambutan para pel
Baca selengkapnya

196. Kita Semua Harus Tabah

"Ini bukan salahmu, Frank. Ini takdir." Jeremy masih berusaha menenangkan sang adik. Namun, Frank tetap terisak. "Kakek seharusnya masih bisa melakukan banyak hal. Dia belum sempat meminta maaf kepada Kara, kepada Anak-Anak. Dia belum sempat menebus kesalahannya. Dia ...." Frank kembali tersedak. Matanya semakin merah.  "Aku belum sempat memeluknya. Yang kulakukan terakhir kali hanya memegang lengannya. Yang kukatakan terakhir kali hanyalah undangan makan malam." Isak tangis Frank mulai bertambah kencang.  "Aku seharusnya mengatakan kalau tidak apa-apa dia mendidikku dengan cara yang salah. Aku mengerti dia melakukan itu karena menginginkan yang terbaik untukku. Aku hanya kesal karena dia berusaha memisahkan aku dari Kara dan Anak-Anak. Tapi ...." Frank mencengkeram lengan Jeremy seolah itu satu-satunya tumpuan. "Dia sudah berubah. Dia sudah menyesal. Jadi, aku tidak kesal lagi padanya. Aku justru senang, bangga dia akhi
Baca selengkapnya

197. Hari Tergelap dalam Hidup

"Hei ...." Kara merapatkan pintu di balik punggungnya lalu menggusap lengan Frank. "Bagaimana kondisimu? Sudah lebih tenang?" "Anak-Anak sudah tidur?" bisik Frank lirih. Kara belum pernah melihat wajahnya selesu itu. "Sudah." Kara mengusahakan senyuman. Tiba-tiba, Frank mendekapnya. Sambil terpejam, pria itu menarik napas dalam-dalam. Hanya aroma tubuh Kara yang bisa menenangkannya sekarang. "Ini salah satu hari tergelap dalam hidupku. Sama seperti hari kematian ayahku." Kara menggosok-gosok punggung Frank. "Ini memang hari yang berat. Kamu pasti sangat lelah. Bagaimana kalau kamu tidur juga?" Frank melepas dekapan dan memandangi Kara dengan mata sendunya. "Kamu mau temani aku tidur?" Sudut bibir Kara terangkat. "Aku tidak pernah menyangka kalau Frank Harper ternyata semanja ini." Sementara Kara membelai wajahnya, Frank memaksakan senyum meskipun gagal. "Kakek sudah seperti orang tua bagiku. Sekarang, karena dia sudah pergi, aku hanya punya kamu. Kuharap kamu tidak kebera
Baca selengkapnya

198. Orang yang Melahirkan Kita Adalah Ibu

“Aku sangat menyesal, Jeremy. Aku menyesal sudah meninggalkanmu di panti asuhan. Saat itu, aku dibutakan oleh dendam. Aku berpikir, hidupku tidak akan tenang sebelum berhasil menghukum orang-orang jahat.” Suara Vivian semakin serak. Isakannya pun terdengar. “Tapi sekarang, aku sadar. Aku menyikapi emosiku dengan cara yang salah. Bukannya menerima dan membiarkannya sembuh, aku malah membiarkan luka itu menganga. Melihat Kara, aku iri padanya. Mengapa dulu aku tidak setegar dia? Dia melupakan orang-orang yang menyakitinya dan hanya fokus pada anak-anaknya, sedangkan aku ....” Vivian menarik napas cepat dan dalam. Punggungnya mulai membungkuk. Dadanya akan sesak kalau ia tidak begitu. “Aku malah melupakan anakku demi membalas dendam. Seandainya saja aku memilih untuk melupakan ayahmu, membiarkan semua rasa sakit yang ditorehnya berlalu, tentu aku akan memiliki masa-masa indah saat melihatmu tumbuh. Aku bisa menghadiri rapat orang tua di sekolahmu, berfoto bersama di kelulusanmu, dan m
Baca selengkapnya

199. Warisan untuk si Kembar

"Selamat pagi, Tuan Notaris," sapa Louis dan Emily ketika memasuki ruang tamu.  Pria berjas itu menoleh. Melihat Kara bersama si Kembar disusul yang lain, ia berdiri dan tersenyum. "Selamat pagi, keluarga Harper."  Jeremy dan Kara mendadak canggung. Mereka berdua merasa belum sepenuhnya menjadi bagian dari keluarga itu.  Sambil berkedip-kedip di sofa, si Kembar memperhatikan bagaimana sang notaris membuka tasnya. Kepala dan kelopak mata mereka sebetulnya masih berat. Namun, mereka tidak mau ketinggalan.  "Apa yang akan kita lakukan pagi ini, Tuan Notaris? Kenapa kamu meminta kami berkumpul?" tanya Emily dengan suara kecil yang manis. Pria berjas hitam itu memperlebar senyum. Kemudian, setelah memangku sebuah dokumen, ia meluruskan duduknya.  "Maaf mengganggu kalian sepagi ini. Saya Morris Morison, notaris yang dipercaya oleh mendiang Rowan Harper." Si Kembar saling menatap. Sejak bangun tadi, merek
Baca selengkapnya

200. Warisan Terakhir dalam Daftar

Frank mencondongkan tubuhnya ke sofa Jeremy. Lengkung bibirnya penuh arti. "Kau tidak perlu heran begitu, Jer. Kau juga cucu Kakek. Kau berhak mendapat warisan darinya." Jeremy menelan ludah. Perasaan yang terbit dalam dadanya terlalu sulit diuraikan. Sementara pria itu larut dalam perenungan, Morris kembali bersuara. "Berikutnya, sisa saham Savior Group milik Rowan Harper yang sebesar 10%." "Itu pasti untuk Papa," gumam Louis spontan. Menyadari lirikan mata sang ibu, ia cepat-cepat menenggelamkan diri di sofa. "Maaf." "Diberikan kepada Kara Harper." Sang wanita terbelalak. Ia celingak-celinguk memandang semua orang. "Aku?" Sorot matanya berlabuh pada Morris. "Saya? Tapi Frank belum disebutkan. Dia cucu sang pewaris, bukan aku. Bukankah dia lebih berhak?" Frank sontak mengulurkan tangannya, melewati dua balita, demi meraih jemari Kara. "Bukankah ini pertanda baik? Namamu ditulis dengan nama belakang Harper. Itu artinya Kakek sudah merestui pernikahan kita." Kara tertegun mena
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1819202122
...
53
DMCA.com Protection Status