Halo, Teman-Teman. Terima kasih sudah membaca bab ini. Bagaimana perasaan kalian sekarang? Sedih, senang, puas? Ada kata-kata yang ingin kalian ucapkan kepada Rowan? Tulis di komentar yaaa!
“Papa serius? Kakek Rowan sungguh sudah berubah?” tanya Emily seraya mengayunkan tangan Frank dengan ceria. Matanya berbinar menanti jawaban, begitu pula dengan Louis.“Ya,” angguk Frank dengan senyum simpul. “Papa mendengar dengan jelas tentang betapa bangganya Kakek Rowan terhadap kalian. Dia punya harapan besar terhadap kalian. Papa tidak mau menjadikannya paksaan. Tapi, kalau kalian bersedia mewujudkannya, Papa yakin Kakek akan sangat bahagia.”“Kami sama sekali tidak terpaksa, Papa,” celetuk Louis dengan bibir mengerucut. “Aku dan Emily memang bercita-cita untuk memajukan perusahaan dengan cara kami masing-masing.”Hati Frank menghangat. Sembari melirik Kara, ia memperlebar senyumnya. “Kamu melahirkan anak-anak yang sungguh luar biasa, Kara.”Pipi Kara bersemu merah. “Ya, Louis dan Emily memang luar biasa.”Setelah mengangguk sekilas, membalas sambutan para pel
"Ini bukan salahmu, Frank. Ini takdir." Jeremy masih berusaha menenangkan sang adik. Namun, Frank tetap terisak. "Kakek seharusnya masih bisa melakukan banyak hal. Dia belum sempat meminta maaf kepada Kara, kepada Anak-Anak. Dia belum sempat menebus kesalahannya. Dia ...." Frank kembali tersedak. Matanya semakin merah. "Aku belum sempat memeluknya. Yang kulakukan terakhir kali hanya memegang lengannya. Yang kukatakan terakhir kali hanyalah undangan makan malam." Isak tangis Frank mulai bertambah kencang. "Aku seharusnya mengatakan kalau tidak apa-apa dia mendidikku dengan cara yang salah. Aku mengerti dia melakukan itu karena menginginkan yang terbaik untukku. Aku hanya kesal karena dia berusaha memisahkan aku dari Kara dan Anak-Anak. Tapi ...." Frank mencengkeram lengan Jeremy seolah itu satu-satunya tumpuan."Dia sudah berubah. Dia sudah menyesal. Jadi, aku tidak kesal lagi padanya. Aku justru senang, bangga dia akhi
"Hei ...." Kara merapatkan pintu di balik punggungnya lalu menggusap lengan Frank. "Bagaimana kondisimu? Sudah lebih tenang?" "Anak-Anak sudah tidur?" bisik Frank lirih. Kara belum pernah melihat wajahnya selesu itu. "Sudah." Kara mengusahakan senyuman. Tiba-tiba, Frank mendekapnya. Sambil terpejam, pria itu menarik napas dalam-dalam. Hanya aroma tubuh Kara yang bisa menenangkannya sekarang. "Ini salah satu hari tergelap dalam hidupku. Sama seperti hari kematian ayahku." Kara menggosok-gosok punggung Frank. "Ini memang hari yang berat. Kamu pasti sangat lelah. Bagaimana kalau kamu tidur juga?" Frank melepas dekapan dan memandangi Kara dengan mata sendunya. "Kamu mau temani aku tidur?" Sudut bibir Kara terangkat. "Aku tidak pernah menyangka kalau Frank Harper ternyata semanja ini." Sementara Kara membelai wajahnya, Frank memaksakan senyum meskipun gagal. "Kakek sudah seperti orang tua bagiku. Sekarang, karena dia sudah pergi, aku hanya punya kamu. Kuharap kamu tidak kebera
“Aku sangat menyesal, Jeremy. Aku menyesal sudah meninggalkanmu di panti asuhan. Saat itu, aku dibutakan oleh dendam. Aku berpikir, hidupku tidak akan tenang sebelum berhasil menghukum orang-orang jahat.” Suara Vivian semakin serak. Isakannya pun terdengar. “Tapi sekarang, aku sadar. Aku menyikapi emosiku dengan cara yang salah. Bukannya menerima dan membiarkannya sembuh, aku malah membiarkan luka itu menganga. Melihat Kara, aku iri padanya. Mengapa dulu aku tidak setegar dia? Dia melupakan orang-orang yang menyakitinya dan hanya fokus pada anak-anaknya, sedangkan aku ....” Vivian menarik napas cepat dan dalam. Punggungnya mulai membungkuk. Dadanya akan sesak kalau ia tidak begitu. “Aku malah melupakan anakku demi membalas dendam. Seandainya saja aku memilih untuk melupakan ayahmu, membiarkan semua rasa sakit yang ditorehnya berlalu, tentu aku akan memiliki masa-masa indah saat melihatmu tumbuh. Aku bisa menghadiri rapat orang tua di sekolahmu, berfoto bersama di kelulusanmu, dan m
"Selamat pagi, Tuan Notaris," sapa Louis dan Emily ketika memasuki ruang tamu. Pria berjas itu menoleh. Melihat Kara bersama si Kembar disusul yang lain, ia berdiri dan tersenyum."Selamat pagi, keluarga Harper." Jeremy dan Kara mendadak canggung. Mereka berdua merasa belum sepenuhnya menjadi bagian dari keluarga itu. Sambil berkedip-kedip di sofa, si Kembar memperhatikan bagaimana sang notaris membuka tasnya. Kepala dan kelopak mata mereka sebetulnya masih berat. Namun, mereka tidak mau ketinggalan. "Apa yang akan kita lakukan pagi ini, Tuan Notaris? Kenapa kamu meminta kami berkumpul?" tanya Emily dengan suara kecil yang manis. Pria berjas hitam itu memperlebar senyum. Kemudian, setelah memangku sebuah dokumen, ia meluruskan duduknya. "Maaf mengganggu kalian sepagi ini. Saya Morris Morison, notaris yang dipercaya oleh mendiang Rowan Harper." Si Kembar saling menatap. Sejak bangun tadi, merek
Frank mencondongkan tubuhnya ke sofa Jeremy. Lengkung bibirnya penuh arti. "Kau tidak perlu heran begitu, Jer. Kau juga cucu Kakek. Kau berhak mendapat warisan darinya." Jeremy menelan ludah. Perasaan yang terbit dalam dadanya terlalu sulit diuraikan. Sementara pria itu larut dalam perenungan, Morris kembali bersuara. "Berikutnya, sisa saham Savior Group milik Rowan Harper yang sebesar 10%." "Itu pasti untuk Papa," gumam Louis spontan. Menyadari lirikan mata sang ibu, ia cepat-cepat menenggelamkan diri di sofa. "Maaf." "Diberikan kepada Kara Harper." Sang wanita terbelalak. Ia celingak-celinguk memandang semua orang. "Aku?" Sorot matanya berlabuh pada Morris. "Saya? Tapi Frank belum disebutkan. Dia cucu sang pewaris, bukan aku. Bukankah dia lebih berhak?" Frank sontak mengulurkan tangannya, melewati dua balita, demi meraih jemari Kara. "Bukankah ini pertanda baik? Namamu ditulis dengan nama belakang Harper. Itu artinya Kakek sudah merestui pernikahan kita." Kara tertegun mena
"Mama, ternyata kita punya foto bersama Kakek," ujar Emily seraya mencebik. Kara menaikkan alis. Setelah mencondongkan kepala mendekat, ia tertegun. Foto teratas diambil saat si Kembar menghadiri inaugurasi penerima beasiswa. Louis dan Emily tampak semringah sambil menerima sertifikat dari Rowan. Foto kedua diambil saat mereka makan bersama di kantin perpustakaan. Sorot mata Rowan terhadap Louis terkesan berbeda dengan yang Kara ingat. Rowan benar-benar seperti seorang kakek buyut yang sedang mentraktir cicitnya. Jelas, itu pekerjaan seorang paparazi. Foto ketiga sekaligus foto terakhir diambil saat si Kembar memeluk kaki Rowan di acara ulang tahun mereka. Kara dan Frank sama sekali tidak tampak waspada. Senyum kecil mereka lebih menyiratkan keharuan. "Papa mendapat warisan yang paling berharga," gumam Emily, terdengar sedikit iri. Frank meliriknya dengan bibir terkulum. "Ya. Bukankah Papa sangat beruntung
"Maaf, karena waktu kami terbatas, kami harus permisi. Sampai jumpa di lain hari." Louis mengangguk dan para wartawan langsung menumpahkan pertanyaan. Mereka belum puas berbincang dengan si Kembar. Sementara itu, kameramen sibuk menyoroti ketenangan si Kembar saat berjalan. Dua balita itu seperti sudah terbiasa menjadi pusat perhatian. Gestur mereka tampak alami dan santai. "Mama, apakah aku melakukannya dengan baik?" tanya Louis saat mereka memasuki lobi. Kara tersenyum hangat. "Ya, kamu melakukannya dengan sangat baik. Emily juga. Kalian keren sekali." Emily terbelalak. "Aku juga? Aku cuma melengkapi jawaban Louis satu kali, Mama. Aku baru akan menunjukkan kemampuan berbicaraku kalau ada serangan wartawan lagi. Aku dan Louis sepakat bergiliran untuk menjadi narasumber utama." Frank dan Kara sontak saling lirik. Bibir mereka meloloskan tawa. "Itu strategi yang bagus," timpal Frank lembut. "Nanti di ruang pertem