"Selamat pagi, Tuan Notaris," sapa Louis dan Emily ketika memasuki ruang tamu.
Pria berjas itu menoleh. Melihat Kara bersama si Kembar disusul yang lain, ia berdiri dan tersenyum. "Selamat pagi, keluarga Harper."
Jeremy dan Kara mendadak canggung. Mereka berdua merasa belum sepenuhnya menjadi bagian dari keluarga itu.
Sambil berkedip-kedip di sofa, si Kembar memperhatikan bagaimana sang notaris membuka tasnya. Kepala dan kelopak mata mereka sebetulnya masih berat. Namun, mereka tidak mau ketinggalan.
"Apa yang akan kita lakukan pagi ini, Tuan Notaris? Kenapa kamu meminta kami berkumpul?" tanya Emily dengan suara kecil yang manis.
Pria berjas hitam itu memperlebar senyum. Kemudian, setelah memangku sebuah dokumen, ia meluruskan duduknya.
"Maaf mengganggu kalian sepagi ini. Saya Morris Morison, notaris yang dipercaya oleh mendiang Rowan Harper."
Si Kembar saling menatap. Sejak bangun tadi, merek
Frank mencondongkan tubuhnya ke sofa Jeremy. Lengkung bibirnya penuh arti. "Kau tidak perlu heran begitu, Jer. Kau juga cucu Kakek. Kau berhak mendapat warisan darinya." Jeremy menelan ludah. Perasaan yang terbit dalam dadanya terlalu sulit diuraikan. Sementara pria itu larut dalam perenungan, Morris kembali bersuara. "Berikutnya, sisa saham Savior Group milik Rowan Harper yang sebesar 10%." "Itu pasti untuk Papa," gumam Louis spontan. Menyadari lirikan mata sang ibu, ia cepat-cepat menenggelamkan diri di sofa. "Maaf." "Diberikan kepada Kara Harper." Sang wanita terbelalak. Ia celingak-celinguk memandang semua orang. "Aku?" Sorot matanya berlabuh pada Morris. "Saya? Tapi Frank belum disebutkan. Dia cucu sang pewaris, bukan aku. Bukankah dia lebih berhak?" Frank sontak mengulurkan tangannya, melewati dua balita, demi meraih jemari Kara. "Bukankah ini pertanda baik? Namamu ditulis dengan nama belakang Harper. Itu artinya Kakek sudah merestui pernikahan kita." Kara tertegun mena
"Mama, ternyata kita punya foto bersama Kakek," ujar Emily seraya mencebik. Kara menaikkan alis. Setelah mencondongkan kepala mendekat, ia tertegun. Foto teratas diambil saat si Kembar menghadiri inaugurasi penerima beasiswa. Louis dan Emily tampak semringah sambil menerima sertifikat dari Rowan. Foto kedua diambil saat mereka makan bersama di kantin perpustakaan. Sorot mata Rowan terhadap Louis terkesan berbeda dengan yang Kara ingat. Rowan benar-benar seperti seorang kakek buyut yang sedang mentraktir cicitnya. Jelas, itu pekerjaan seorang paparazi. Foto ketiga sekaligus foto terakhir diambil saat si Kembar memeluk kaki Rowan di acara ulang tahun mereka. Kara dan Frank sama sekali tidak tampak waspada. Senyum kecil mereka lebih menyiratkan keharuan. "Papa mendapat warisan yang paling berharga," gumam Emily, terdengar sedikit iri. Frank meliriknya dengan bibir terkulum. "Ya. Bukankah Papa sangat beruntung
"Maaf, karena waktu kami terbatas, kami harus permisi. Sampai jumpa di lain hari." Louis mengangguk dan para wartawan langsung menumpahkan pertanyaan. Mereka belum puas berbincang dengan si Kembar. Sementara itu, kameramen sibuk menyoroti ketenangan si Kembar saat berjalan. Dua balita itu seperti sudah terbiasa menjadi pusat perhatian. Gestur mereka tampak alami dan santai. "Mama, apakah aku melakukannya dengan baik?" tanya Louis saat mereka memasuki lobi. Kara tersenyum hangat. "Ya, kamu melakukannya dengan sangat baik. Emily juga. Kalian keren sekali." Emily terbelalak. "Aku juga? Aku cuma melengkapi jawaban Louis satu kali, Mama. Aku baru akan menunjukkan kemampuan berbicaraku kalau ada serangan wartawan lagi. Aku dan Louis sepakat bergiliran untuk menjadi narasumber utama." Frank dan Kara sontak saling lirik. Bibir mereka meloloskan tawa. "Itu strategi yang bagus," timpal Frank lembut. "Nanti di ruang pertem
"Ibu dari anak-anakku sekarang lebih sibuk dariku, hmm?" Suara Frank terdengar serak. Kara tersenyum simpul. "Aku harus membuat diriku layak untuk bersanding denganmu." Sambil mengusap pundak Kara, Frank mendaratkan kecupan di pelipisnya. "Kamu sudah bekerja keras, Kara. Peluncuran aplikasimu pasti akan berlangsung lancar." "Amin. Terima kasih, Frank. Aku beruntung sekali memiliki kekasih yang tidak pernah lelah mendukungku." Frank mengerutkan bibir dan mengangkat alis. Setelah memberi perintah kepada sopir, ia meraih jemari Kara. Tatapannya menyiratkan sesuatu. "Setelah ini, bukankah kesibukanmu sudah banyak berkurang? Bagaimana kalau kita ubah panggilanmu terhadapku dari kekasih menjadi suamiku?" Kara berkedip-kedip di bawah kerut alisnya. "Tapi ..., bukankah kita masih dalam masa berkabung?" "Tiga bulan kurasa sudah cukup. Kakek juga menyatakan di surat kalau dia tidak mau kita bersedih terlalu lama, kan?" Perlahan-lahan, sudut bibir Kara kembali ringan. Ia pun mengangguk.
“Apakah kalian tidak lelah?” Kara melucuti ransel dari punggung sang putra. Emily pun menghadapkan punggung kepada Frank agar sang ayah melakukan hal yang sama. “Tidak, Mama. Belajar di sekolah itu menyenangkan. Sama sekali tidak melelahkan,” tuturnya manis. “Ya, itu seru!” Kara lanjut melontarkan pujian. Sementara itu, Frank hanya mengangguk-angguk. Benaknya telah terpaku pada hal lain. Beberapa saat kemudian, pria itu menarik si Kembar ke atas pangkuannya. Jantungnya kini berdebar tak karuan. “Anak-Anak ..., bisa Papa minta perhatian kalian sebentar? Ada yang harus kita bicarakan.” Si Kembar kompak mengalihkan pandangan dari Kara. “Apa, Papa?” “Papa dan Mama sudah sepakat untuk tidak menunda pernikahan lagi.” Namun, bukannya senang, alis si Kembar malah berkerut. “Tapi, Papa ..., gaun pengantin Mama masih dalam proses.” Emily tampak khawatir. “Dan Papa belum menyelesaikan hukuman. Masih ada satu poin d
"Tempat ini sempurna. Terima kasih sudah menyewakan mansionmu kepada Papa kami, Paman," tutur Emily manis.Rocky terkekeh seperti Sinterklas. "Justru akulah yang berterima kasih. Setelah pernikahan orang tua kalian nanti, tempat ini pasti akan semakin terkenal. Tarifnya bisa kunaikkan dan keuntungannya berlipat ganda."Frank mendesah samar. "Kau memang tidak pernah berubah, heh?""Ya, pebisnis itu selalu fokus pada keuntungan, kecuali untuk urusan pertemanan." Rocky memainkan alis dan menepuk pundak Frank."Tapi, bukankah kau juga begitu? Kudengar penjualan alat-alat medis Savior meroket, bahkan mengalahkan perusahaan Miller. Kau berniat mengakuisisi mereka, heh?"Frank melirik Kara sekilas dan tersenyum simpul. "Tidak. Aku tidak berniat mengakuisisi mereka. Hanya mencoba peruntungan di bidang baru.""Well, kuharap kau tidak mencoba peruntungan di perkebunan. Aku tidak berani membayangkan nasib anggur-anggurku kalau itu terjadi."
“Astaga! Mama cantik sekali!” seru Emily sambil melompat kecil. Gaun mungilnya yang berlapis-lapis jadi mengembang terisi angin. “Emily benar! Mama super cantik! Tapi, kenapa Mama belum mengenakan gaun pengantin? Bukankah acaranya sebentar lagi dimulai?” Kara membelai pipi si Kembar lembut. “Tim videografer belum selesai mendokumentasikan gaun pengantinnya. Mama diminta menunggu sebentar.” Mulut si Kembar membulat. Kepala mereka mengangguk lucu. “Apakah Mama deg-degan? Lihat! Mama akan mengucapkan janji pernikahan dengan pemandangan seindah ini. Kalau aku jadi Mama, aku pasti tidak bisa berhenti menggerakkan jari-jari kakiku.” Emily menunduk, memperagakan apa yang dikatakannya walaupun jemarinya tertutup sepatu. Kara tertawa menyaksikan tingkah putrinya itu. “Ya, jantung Mama berdebar kencang. Mama tidak pernah menyangka akan menikah di tempat seindah ini, bersama Papa kalian.” Sementara Emily tersenyum lebih lebar, Louis menggembungkan pipi. Ia tampak tak setuju. “Tapi kurasa,
“Apakah ini masih kurang hancur?” Isabela menginjak-injak patung itu. Napasnya semakin menderu. “Apa perlu aku membakarnya sampai hangus lalu memberikannya kepada ibu kalian?” “Nona Hall, berhentilah. Apakah kau tidak kasihan pada dirimu sendiri?” desah Kara lirih. “Sadarlah. Belum terlambat untuk kamu memperbaiki semua ini. Maafkan dirimu sendiri dan bukalah lembaran baru. Pikirkan orang tuamu.” Isabela mengibaskan tangan, murka. “Diam! Apa hakmu menyuruhku memaafkan diri sendiri? Memang aku salah apa?” Kara mendesah iba. “Kau tidak akan bisa berubah kalau tidak mau mengaku salah,” tuturnya lemah. Tepat pada saat Isabel hendak menggertak, beberapa orang datang bersama para pengawal. “Maaf membuat Anda menunggu lama, Nona. Tuan Harper meminta kami menyoroti gaun-gaun ini dari segala arah. Kami malah keasyikan.” Isabela tercengang melihat dua maneken busa yang dibalut gaun-gaun indah. Dengan bola mata yang bergetar, ia melihat potongan kain di bawah kakinya. “Ini?” “Sejujurnya, ak