Halo, halo! Siapa yang udah enggak sabar hadir di pernikahan Frank dan Kara? Tekan suka/like yuk! Buat teman-teman yang rajin banget kasih komentar, review, dan like, Pixie mau menyampaikan special thanks. Mungkin itu hal simpel bagi kalian, tapi sangat berarti bagi Pixie. Kalian udah bikin Pixie tambah semangat dan cepat ngetiknya. Terima kasih banyak, ya. Pixie doakan kalian sehat selalu dan rejekinya lancarrr. Aamiin.
“Louis, apakah gaunku sudah rapi? Aku cantik?” bisik Emily saat mereka sedang bersiap menuju pelaminan. Kepalanya tertunduk, memeriksa juntaian rambut, gaun, dan juga sepatu. Dari bawah kerut alisnya, Louis melirik sang adik. “Emily, kapan kamu bosan bertanya begitu? Aku saja sudah bosan menjawabnya.” “Hanya memastikan saja, Louis. Ini adalah acara yang sangat penting. Kita harus tampil maksimal.” Saat membalas tatapan sang kakak, mulut Emily membulat. “O, dasimu miring.” Dengan sigap, gadis mungil itu meluruskan dasi kupu-kupu milik Louis. “Apakah cincinnya aman?” Sambil agak mendongak, Louis menepuk-nepuk kantong jasnya. “Aman. Kau tenang saja. Aku ini bisa diandalkan.” Tiba-tiba, musik mulai mengalun lembut. Mendengar aba-aba tersebut, si Kembar cepat-cepat meraih pistol pada meja di samping mereka. Sambil berjalan, mereka menebarkan gelembung di udara. Fotografer dan videographer yang mengabadikan momen itu tak henti-hentinya berdecak. Sesampainya di ujung lintasan, Louis den
“Aku masih tidak menyangka Rocky mau mengizinkan kita menginap malam ini. Dia baik sekali,” ujar Kara sembari memasuki kamar pengantin. Frank yang berjalan di belakangnya menutup pintu dengan senyum semringah. “Ya, dia memang baik. Dia mengerti apa yang kumau.” Mata Kara menyipit. Sambil berbalik menghadap sang suami, ia berbisik, “Apa yang kamu mau?” Frank meraih pinggang istrinya yang telah berbalut gaun tidur itu. “Kamu sungguh tidak tahu?” Suaranya tipis dan menggelitik. Bibir Kara mengerut. Sambil memainkan jemarinya di pundak Frank, ia menggeleng lambat. “Kupikir kamu sudah mendapatkan semua yang kamu inginkan. Dukungan dari anak-anak, restu dari Ibu, dan diriku ....” Frank ikut mengulum senyum. Perhalan-lahan, ia menyudutkan Kara ke arah ranjang. Kepalanya menggeleng manja. “Ada satu hal yang belum kudapatkan.” Ia membungkuk dan menggigit telinga Kara. “Malam pengantin kita.” Tawa Kara seketika mengudara. Suaranya ringan dan menggoda. “Kita sudah pernah melakukannya, Fra
“Selesai!” Louis berjalan menghampiri Philip dan mengulurkan kedua tangan. Sang asisten dengan sigap melucuti sarung tinju tuan mudanya. “Terima kasih, Philip.” “Sama-sama, Tuan Kecil.” Pria muda itu menyodorkan botol minum. Louis menyambutnya dengan senyum lebar. ”Philip, menurutmu, apakah Mama dan Papa akan pulang bersama adik kami?” Philip terbelalak. Mulutnya ternganga, kebingungan memilih kata. “Tentu saja belum, Louis,” celetuk Emily seraya menangkap samsak pink mungil-nya agar berhenti berayun. “Induk kucing saja hamil selama 65 hari. Apalagi, manusia. Mama butuh setidaknya 40 minggu sampai melahirkan adik bayi." Bibir Louis pun mengerucut. Alisnya berkerut, pipinya menggembung. “Benar juga. Secepat-cepatnya Papa menanamkan adik bayi dalam perut Mama, dia masih dalam perut hari ini.” Sembari mencopoti sarung tinju Emily, Philip mengulum bibir. Hatinya tergelitik oleh pernyataan balita itu. "Jadi, kalian menginginkan adik laki-laki?" “Aku mau adik perempuan. Tapi
Frank mematung. Keceriaan si Kembar tidak lagi memengaruhinya. Menyaksikan hal itu, Kara yang baru saja turun dari limosin langsung menyentuh pundaknya. “Ada apa, Frank?” Louis dan Emily pun berhenti tertawa. Mereka memeriksa wajah sang ayah, lalu mengikuti arah pandangnya. Si wanita bergaya bangsawan ternyata sudah berhenti dua langkah dari mereka. “Halo, Frank.” Raut wanita itu sangat berbeda dari yang tadi. Alisnya turun dan matanya berkaca-kaca. Frank menelan ludah. Bibirnya bergetar mengumpulkan kata. “Mama?” Semua orang membeku, bahkan si Kembar. Bola mata mereka bergerak-gerak mencari penjelasan. “Mama? Nenek sihir itu memang nenek kita?” desah Louis tipis. Emily cepat-cepat berdesus. Telunjuknya teracung di depan bibirnya yang menguncup. “Jaga bicaramu, Louis.” Sementara itu, Kara mendesah samar. Tanpa menunggu perintah, ia mengambil si Kembar dari lengan Frank. “Kemarilah, Sayang.” Frank menyerahkan dua balita itu dengan tatapan hampa. Ekspresinya datar dan wajahnya a
“Asal kau tahu.” Suara Barbara terdengar lagi. “Selama ini, bukan cuma kamu yang menderita, tapi Mama juga. Dia harus memendam kerinduan dan menahan luka karena tidak bisa berada di dekat putranya. Sekarang, di saat dia memiliki kesempatan untuk kembali padamu, kamu malah mengusirnya? Hatimu itu terbuat dari apa?” Frank merasa udara di sekitarnya lebih berat. Saat ia mengerahkan tenaga ekstra untuk menarik napas, Melanie kembali menyentuh lengannya. “Tolong maafkan adikmu, Frank. Dia tidak bermaksud menyinggungmu. Dia hanya ingin membela Mama.” “Apa yang sebetulnya Mama inginkan? Benarkah Mama datang untuk memperbaiki hubungan?” Suara Frank bergetar. Melanie terdiam sejenak. Matanya menatap Frank dalam-dalam. “Ya,” jawabnya terdengar tulus. “Mama selalu ingin kembali bersamamu, Sayang. Tapi Mama juga tidak bisa meninggalkan keluarga baru Mama. Setiap hari terasa bagaikan siksaan bagi Mama.” Dengan raut pasrah, Melanie menoleh ke arah putrinya. “Akhir-akhir ini, sejak perusahaan
Begitu memasuki mansion, Barbara tak bisa mengatupkan mulut. Decak kagumnya sesekali terlepas, dan matanya tak henti-henti menyoroti setiap sisi yang terlihat menawan. “Mama, kenapa tidak dari dulu kamu membawaku ke sini?” bisiknya sembari menarik lengan baju sang ibu. “Ini jauh lebih mewah dari rumah kita.” Melanie mendekat ke telinga putrinya. “Bersabarlah, Sayang. Nanti, ini juga akan menjadi rumah kita.” “Selamat datang di istana kami!” Emily melompat sembari merentangkan tangan. Barbara spontan memisahkan diri dari sang ibu dan berdeham. “Istana kalian?” Alisnya bergerak naik, sama seperti sebelah sudut bibirnya. “Ya, ini istana Papa, Mama, aku, dan Louis! Kuharap kalian nyaman tinggal di sini.” Emily memiringkan kepala dan memperlebar lengkung bibirnya yang manis. Akan tetapi, Melanie membalasnya dengan senyum sinis. “Siapa namamu, Gadis Kecil?” Mata Louis membulat. “Kamu tidak tahu nama Emily? Apakah kamu juga tidak tahu namaku?” “Kau Louis. Saudaramu baru saja menyebutn
"Papa,” Emily mengedipkan matanya yang bulat, “kami sudah melakukan tugas dari Papa. Kami mengantar Nenek Melanie masuk dan menyambutnya. Tapi—" "Dia tidak sopan!" sambar Louis, membuat semua orang terbelalak. "Dia bersikap seolah-olah dialah ratu di istana kita. Padahal, Mama-lah ratu kita." Kara terkesiap. Matanya bergetar mengamati perubahaan ekspresi suaminya. Sebelum Louis melapor lebih panjang, ia cepat-cepat mendesahkan tawa. “Louis, kenapa kamu bicara begitu? Tidak ada ratu di sini. Rumah ini milik kita bersama.” Ia mengelus-elus kepala Louis, berharap emosi putranya itu dapat mereda. “Apakah Mama lupa?” Louis menautkan alis. Binar matanya meredup. “Rumah ini adalah istana kita. Papa adalah raja dan Mama ratunya. Nenek adalah penasihat kerajaan, Emily tuan putri, sedangkan aku panglima perangnya. Aku bertanggung jawab menjaga istana kita dari serangan musuh.” Lengkung bibir Kara terancam rusak. Ia melirik sekilas. Wajah Frank sudah kembali pucat. “Malaikat Kecil, apakah k
“Kenapa bisa ada makhluk-makhluk ini di atas meja?” seru Louis seolah itu hal yang mengerikan. “Di mana roti lapis dan salad ayam kami?” Pelayan yang berjaga langsung tertunduk. Jemarinya mulai saling menggaruk. “M-maaf, Tuan Kecil. Ini permintaan Nyonya Besar.” “Tidak mungkin. Mama tidak mungkin meminta makanan-makanan ini,” cicit Emily seraya merapatkan diri dengan kursi. Matanya tertuju pada seekor lobster dengan mata terpelotot ke arahnya. “Aku yang meminta menu ini,” aku Melanie santai. “Apakah ada masalah? Barbara suka seafood. Ini adalah hidangan yang sempurna untuk merayakan pertemuan kita hari ini.” Semua orang sontak melirik ke arah Frank. Jika Melanie benar-benar menyayangi Frank, bagaimana mungkin dia bisa lupa tentang alergi yang diidap putranya itu? Frank berdeham kecil. Sambil duduk di kursi yang dirasanya terpencil, ia menarik napas berat. “Kalau begitu, silakan mulai makan. Kara, kamu juga suka udang, bukan? Makanlah.” Sedetik kemudian, telunjuknya teracung. Sor