Kalau kalian jadi Susan, sudah kalian apakan Melanie? Laporin ke menantu gak nih?
"Papa,” Emily mengedipkan matanya yang bulat, “kami sudah melakukan tugas dari Papa. Kami mengantar Nenek Melanie masuk dan menyambutnya. Tapi—" "Dia tidak sopan!" sambar Louis, membuat semua orang terbelalak. "Dia bersikap seolah-olah dialah ratu di istana kita. Padahal, Mama-lah ratu kita." Kara terkesiap. Matanya bergetar mengamati perubahaan ekspresi suaminya. Sebelum Louis melapor lebih panjang, ia cepat-cepat mendesahkan tawa. “Louis, kenapa kamu bicara begitu? Tidak ada ratu di sini. Rumah ini milik kita bersama.” Ia mengelus-elus kepala Louis, berharap emosi putranya itu dapat mereda. “Apakah Mama lupa?” Louis menautkan alis. Binar matanya meredup. “Rumah ini adalah istana kita. Papa adalah raja dan Mama ratunya. Nenek adalah penasihat kerajaan, Emily tuan putri, sedangkan aku panglima perangnya. Aku bertanggung jawab menjaga istana kita dari serangan musuh.” Lengkung bibir Kara terancam rusak. Ia melirik sekilas. Wajah Frank sudah kembali pucat. “Malaikat Kecil, apakah k
“Kenapa bisa ada makhluk-makhluk ini di atas meja?” seru Louis seolah itu hal yang mengerikan. “Di mana roti lapis dan salad ayam kami?” Pelayan yang berjaga langsung tertunduk. Jemarinya mulai saling menggaruk. “M-maaf, Tuan Kecil. Ini permintaan Nyonya Besar.” “Tidak mungkin. Mama tidak mungkin meminta makanan-makanan ini,” cicit Emily seraya merapatkan diri dengan kursi. Matanya tertuju pada seekor lobster dengan mata terpelotot ke arahnya. “Aku yang meminta menu ini,” aku Melanie santai. “Apakah ada masalah? Barbara suka seafood. Ini adalah hidangan yang sempurna untuk merayakan pertemuan kita hari ini.” Semua orang sontak melirik ke arah Frank. Jika Melanie benar-benar menyayangi Frank, bagaimana mungkin dia bisa lupa tentang alergi yang diidap putranya itu? Frank berdeham kecil. Sambil duduk di kursi yang dirasanya terpencil, ia menarik napas berat. “Kalau begitu, silakan mulai makan. Kara, kamu juga suka udang, bukan? Makanlah.” Sedetik kemudian, telunjuknya teracung. Sor
"Sungguh, maafkan Mama. Barbara terlalu antusias ingin berbagi makanan kesukaannya dengan kalian. Mama sampai lupa tentang alergimu." Setelah menelan udangnya, Barbara ikut bersuara. "Ya, maafkan aku juga, Kakak. Aku sungguh tidak tahu tentang alergimu. Kalau saja aku tahu, aku tidak mungkin mengusulkan ganti menu." Frank tersenyum kecut. Dua orang itu tidak segan-segan mengusik Kara dan si Kembar, tetapi khawatir menyinggung perasaannya. Apa yang sesungguhnya mereka rencanakan? "Jadi, apa kesibukan kalian akhir-akhir ini? Apakah kalian punya andil di perusahaan?" Melanie dan Barbara membeku sejenak. Pengalihan topik itu terlalu mendadak. "Tidak. Perusahaan ayahku adalah perusahaan tambang. Itu bukan bidang wanita." Frank menaikkan alis dan mengangguk misterius. Ternyata sang ibu belum berubah. Cerdas tetapi malas. Hanya ingin hidup senang tanpa mau berusaha. Barbara meniru jejaknya. "Lalu, apa saja yang kalian lakukan sehari-hari?" Melanie tertawa samar. "Kau diam-diam mengawa
Melanie menarik napas dalam-dalam, mengendalikan emosi. "Mama sudah lama tidak berurusan dengan Frank. Bukankah wajar jika Mama lupa tentang alerginya? Fokus Mama selama ini hanya dirimu, Sayang." Perlahan-lahan, kerutan di wajah Barbara memudar. Setelah hatinya melunak, ia mendesah pasrah. "Berarti, kita harus mencari tahu tentang dia dulu?" Melanie mengetuk-ngetuk tangan putrinya. "Mama pernah bercerita tentang standar keluarga Harper, bukan? Bagaimana kalau kamu mencoba untuk memenuhinya?" "Mama menyuruhku untuk kembali kuliah? Atau Mama mau aku bekerja?" Suara Barbara mendadak melengking. "Savior itu perusahaan besar. Tahun-tahun belakangan ini, mereka juga menjajal bidang fashion. Bagaimana kalau kamu mencobanya? Mama akan membujuk Frank untuk memberimu jabatan. Kamu tidak boleh menyia-nyiakannya." Barbara ternganga. "Jabatan apa? Apakah aku bisa? Aku tidak tahu apa-apa soal perusahaan." Sekali lagi, Melanie menepuk punggung tangan putrinya. "Pasti bisa. Kamu itu mewari
"Halo, Menantuku." Melanie berjalan menghampiri. Kara mengulum senyum. Kepalanya mengangguk canggung. "Selamat siang ..., Ma." Lidah Kara terasa pahit. Saat Melanie tiba di hadapannya, ia nyaris melangkah mundur. Tatapan ibu mertuanya seperti seorang pembunuh. "Maaf aku tidak menghadiri pernikahan kalian. Aku tidak mendapat kabar apa-apa saat itu." Melanie mengangkat sebelah alisnya. Lengkung bibir Kara membeku. Selang keheningan sejenak, ia mengangguk. "Ya, tidak apa-apa. Salah kami juga melewatkan Mama dari daftar undangan." Pipi Melanie sedikit berkedut. Ia tidak menduga menantunya berani menjawab seperti itu. "Apa kau punya waktu? Bagaimana kalau kita berbincang di luar? Sejak dulu, aku selalu penasaran seperti apa rasanya mengobrol dengan menantuku." Ajakan itu terdengar seperti tantangan. Kara menerimanya dengan anggukan kecil walau hatinya berdebar hebat. Setibanya di balkon atas, mereka berdua duduk mengapit sebuah meja. "Apakah Mama ingin meminum sesuatu? Teh,
Begitu melewati pintu, langkah kaki Kara langsung melambat. Lengkung bibirnya datar. Deru napasnya tak lagi tertahankan. "Mengapa aku bisa punya ibu mertua semacam itu?" Sambil memejamkan mata, Kara mencoba berdamai dengan perasaannya. Selang beberapa tarikan napas, sebuah suara menyapanya. "Ratu Lebah ...." Kara cepat-cepat membuka mata. "Frank?" "Apa yang kamu lakukan di sini?" Sebelum Frank mencapai pintu, Kara menghampirinya. Tanpa aba-aba, ia mendekap sang suami erat. "Maaf membuatmu menunggu. Aku mencari udara segar sebentar." Alis Frank meninggi. "Kamu mual lagi? Apakah mungkin kamu hamil?" Kara mendesahkan tawa. "Tidak secepat itu, Frank. Sepertinya karena jetlag." "Kalau begitu, bagaimana kalau kita tidur siang saja? Pekerjaan bisa ditunda." Frank menyingkirkan rambut yang menempel di wajah Kara ke belakang telinga. "Benar-benar tidur?" Kara menatapnya curiga. Senyum Frank terkulum. "Mungkin kita bisa sekalian mempercepat proses penambahan anak." Tawa Kara
Melihat Philip duduk santai menghadap taman, Barbara mendengus. “Heh, bukankah kau digaji mahal? Kenapa kau malah berleha-leha di sini?” Philip tidak menyahut. Tatapannya bahkan tidak beralih dari tablet di tangannya. “Heh! Aku bicara denganmu. Kenapa tidak jawab? Kau bisu, hmm?” Barbara meninggikan suara. Akan tetapi, Philip tetap menganggapnya seolah tidak ada. Kesal, Barbara mengayunkan laptop ke arah lengannya. Kali ini, Philip tidak bisa lagi diam. “Hei, kenapa kau memukulku?” Barbara mengangkat dagu. “Salah sendiri! Dua kali aku mengajakmu bicara, tapi kau tidak menjawab.” “Aku bukan Heh. Namaku Philip. Apakah kau memanggilku barusan? Tidak, bukan? Aku bahkan tidak tahu ada orang bernama Heh di rumah ini.” Barbara terkesiap. “Kau berani membantah? Kau bahkan tidak berbicara formal kepadaku?” Helaan napas tak percaya berembus dari mulutnya. “Kau tidak takut dipecat, hmm? Aku bisa saja melaporkanmu kepada kakakku.” “Laporkan saja. Sekalipun kakakmu marah dan memecatku, aku
“Bocah itu .... Kenapa dia suka sekali mengganggu?” gerutu Frank lesu. “Kurasa dia ingin memberimu portofolionya. Pergilah, Frank. Bicarakan dengannya. Aku bisa mengabari si Kembar kalau kamu terlambat.” Frank menggembungkan pipi, persis seperti Louis yang mengambek. Merasa gemas, Kara menangkupnya sembari tertawa. “Percuma kamu memasang tampang ini. Aku tetap tidak bisa membantumu. Sekarang, sebaiknya kamu temui adikmu. Semakin cepat masalah kalian selesai, semakin cepat kamu bisa bergabung di kolam renang.” “Apakah kamu memakai bikini?” Kara mendesah cepat. “Kamu tidak keberatan jika Philip dan para pengawal melihatku dengan bikini?” “Kalau begitu jangan. Simpan bikinimu untuk berendam bersamaku nanti malam di kolam privat kita.” “Maksudmu bak mandi?” Kara tertawa ringan. “Ya. Aku akan menaburkan bunga di airnya dan menyalakan lilin di sekelilingnya. Kau pasti suka.” “Ya, itu terdengar romantis.” Usai mengecup Frank, Kara beranjak dari ranjang. “Kalau begitu, ayo bergegas.