Share

S2| 7. Senjata untuk Melawan

Penulis: Pixie
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56
"Sungguh, maafkan Mama. Barbara terlalu antusias ingin berbagi makanan kesukaannya dengan kalian. Mama sampai lupa tentang alergimu."

Setelah menelan udangnya, Barbara ikut bersuara. "Ya, maafkan aku juga, Kakak. Aku sungguh tidak tahu tentang alergimu. Kalau saja aku tahu, aku tidak mungkin mengusulkan ganti menu."

Frank tersenyum kecut. Dua orang itu tidak segan-segan mengusik Kara dan si Kembar, tetapi khawatir menyinggung perasaannya. Apa yang sesungguhnya mereka rencanakan?

"Jadi, apa kesibukan kalian akhir-akhir ini? Apakah kalian punya andil di perusahaan?"

Melanie dan Barbara membeku sejenak. Pengalihan topik itu terlalu mendadak.

"Tidak. Perusahaan ayahku adalah perusahaan tambang. Itu bukan bidang wanita."

Frank menaikkan alis dan mengangguk misterius. Ternyata sang ibu belum berubah. Cerdas tetapi malas. Hanya ingin hidup senang tanpa mau berusaha. Barbara meniru jejaknya.

"Lalu, apa saja yang kalian lakukan sehari-hari?"

Melanie tertawa samar. "Kau diam-diam mengawa
Pixie

Halo haloo! Cerita Louis Emily lagi dapat promo nih. Bantu ramein bab 1 dooong. Kasih komentar terbaik kalian di bab 1. Kalau komentarnya nambah 10, Pixie update 3 bab deh hari ini. Pixie tunggu sampai jam 5 sore yaa. Terima kasiiih.

| 3
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (14)
goodnovel comment avatar
BhiWie Handayani
Semoga Louis Emily bisa menghadapi si ratu drama sm anteknya dengan kepintarannya ...
goodnovel comment avatar
inung nuget
tenang...gem meluncur nih............
goodnovel comment avatar
SK Celey
yeah baru buka dan baca pesannya... lanjut lah Thor... banyak bab, banyak cuan.... lumayan buat liburan lebaran
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S2| 8. Maksud Terselubung

    Melanie menarik napas dalam-dalam, mengendalikan emosi. "Mama sudah lama tidak berurusan dengan Frank. Bukankah wajar jika Mama lupa tentang alerginya? Fokus Mama selama ini hanya dirimu, Sayang." Perlahan-lahan, kerutan di wajah Barbara memudar. Setelah hatinya melunak, ia mendesah pasrah. "Berarti, kita harus mencari tahu tentang dia dulu?" Melanie mengetuk-ngetuk tangan putrinya. "Mama pernah bercerita tentang standar keluarga Harper, bukan? Bagaimana kalau kamu mencoba untuk memenuhinya?" "Mama menyuruhku untuk kembali kuliah? Atau Mama mau aku bekerja?" Suara Barbara mendadak melengking. "Savior itu perusahaan besar. Tahun-tahun belakangan ini, mereka juga menjajal bidang fashion. Bagaimana kalau kamu mencobanya? Mama akan membujuk Frank untuk memberimu jabatan. Kamu tidak boleh menyia-nyiakannya." Barbara ternganga. "Jabatan apa? Apakah aku bisa? Aku tidak tahu apa-apa soal perusahaan." Sekali lagi, Melanie menepuk punggung tangan putrinya. "Pasti bisa. Kamu itu mewari

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S2| 9. Obrolan Bersama Mertua

    "Halo, Menantuku." Melanie berjalan menghampiri. Kara mengulum senyum. Kepalanya mengangguk canggung. "Selamat siang ..., Ma." Lidah Kara terasa pahit. Saat Melanie tiba di hadapannya, ia nyaris melangkah mundur. Tatapan ibu mertuanya seperti seorang pembunuh. "Maaf aku tidak menghadiri pernikahan kalian. Aku tidak mendapat kabar apa-apa saat itu." Melanie mengangkat sebelah alisnya. Lengkung bibir Kara membeku. Selang keheningan sejenak, ia mengangguk. "Ya, tidak apa-apa. Salah kami juga melewatkan Mama dari daftar undangan." Pipi Melanie sedikit berkedut. Ia tidak menduga menantunya berani menjawab seperti itu. "Apa kau punya waktu? Bagaimana kalau kita berbincang di luar? Sejak dulu, aku selalu penasaran seperti apa rasanya mengobrol dengan menantuku." Ajakan itu terdengar seperti tantangan. Kara menerimanya dengan anggukan kecil walau hatinya berdebar hebat. Setibanya di balkon atas, mereka berdua duduk mengapit sebuah meja. "Apakah Mama ingin meminum sesuatu? Teh,

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S2| 10. Cobaan Berat

    Begitu melewati pintu, langkah kaki Kara langsung melambat. Lengkung bibirnya datar. Deru napasnya tak lagi tertahankan. "Mengapa aku bisa punya ibu mertua semacam itu?" Sambil memejamkan mata, Kara mencoba berdamai dengan perasaannya. Selang beberapa tarikan napas, sebuah suara menyapanya. "Ratu Lebah ...." Kara cepat-cepat membuka mata. "Frank?" "Apa yang kamu lakukan di sini?" Sebelum Frank mencapai pintu, Kara menghampirinya. Tanpa aba-aba, ia mendekap sang suami erat. "Maaf membuatmu menunggu. Aku mencari udara segar sebentar." Alis Frank meninggi. "Kamu mual lagi? Apakah mungkin kamu hamil?" Kara mendesahkan tawa. "Tidak secepat itu, Frank. Sepertinya karena jetlag." "Kalau begitu, bagaimana kalau kita tidur siang saja? Pekerjaan bisa ditunda." Frank menyingkirkan rambut yang menempel di wajah Kara ke belakang telinga. "Benar-benar tidur?" Kara menatapnya curiga. Senyum Frank terkulum. "Mungkin kita bisa sekalian mempercepat proses penambahan anak." Tawa Kara

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S2| 11. Pertengkaran Kecil

    Melihat Philip duduk santai menghadap taman, Barbara mendengus. “Heh, bukankah kau digaji mahal? Kenapa kau malah berleha-leha di sini?” Philip tidak menyahut. Tatapannya bahkan tidak beralih dari tablet di tangannya. “Heh! Aku bicara denganmu. Kenapa tidak jawab? Kau bisu, hmm?” Barbara meninggikan suara. Akan tetapi, Philip tetap menganggapnya seolah tidak ada. Kesal, Barbara mengayunkan laptop ke arah lengannya. Kali ini, Philip tidak bisa lagi diam. “Hei, kenapa kau memukulku?” Barbara mengangkat dagu. “Salah sendiri! Dua kali aku mengajakmu bicara, tapi kau tidak menjawab.” “Aku bukan Heh. Namaku Philip. Apakah kau memanggilku barusan? Tidak, bukan? Aku bahkan tidak tahu ada orang bernama Heh di rumah ini.” Barbara terkesiap. “Kau berani membantah? Kau bahkan tidak berbicara formal kepadaku?” Helaan napas tak percaya berembus dari mulutnya. “Kau tidak takut dipecat, hmm? Aku bisa saja melaporkanmu kepada kakakku.” “Laporkan saja. Sekalipun kakakmu marah dan memecatku, aku

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S2| 12. Adik yang Memalukan

    “Bocah itu .... Kenapa dia suka sekali mengganggu?” gerutu Frank lesu. “Kurasa dia ingin memberimu portofolionya. Pergilah, Frank. Bicarakan dengannya. Aku bisa mengabari si Kembar kalau kamu terlambat.” Frank menggembungkan pipi, persis seperti Louis yang mengambek. Merasa gemas, Kara menangkupnya sembari tertawa. “Percuma kamu memasang tampang ini. Aku tetap tidak bisa membantumu. Sekarang, sebaiknya kamu temui adikmu. Semakin cepat masalah kalian selesai, semakin cepat kamu bisa bergabung di kolam renang.” “Apakah kamu memakai bikini?” Kara mendesah cepat. “Kamu tidak keberatan jika Philip dan para pengawal melihatku dengan bikini?” “Kalau begitu jangan. Simpan bikinimu untuk berendam bersamaku nanti malam di kolam privat kita.” “Maksudmu bak mandi?” Kara tertawa ringan. “Ya. Aku akan menaburkan bunga di airnya dan menyalakan lilin di sekelilingnya. Kau pasti suka.” “Ya, itu terdengar romantis.” Usai mengecup Frank, Kara beranjak dari ranjang. “Kalau begitu, ayo bergegas.

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S2| 13. Asisten Baru Emily

    Melanie mengatupkan mulut rapat-rapat. "Baiklah. Tapi kalau sampai kalian mempermainkan Barbara, Mama tidak akan tinggal diam." Frank tersenyum miring. "Tidak akan terjadi asalkan adik tiriku itu tidak bertingkah." "Oke." Tanpa mengucapkan terima kasih, Melanie berbalik menuju kamarnya sendiri. Frank hanya bisa bergeming menatapnya. Dalam hati, ia merasa bersalah kepada Emily. "Apa?" pekik Emily ketika sang ayah menceritakan tentang asisten barunya. "Bibi menjadi asistenku? Lalu bagaimana dengan Philip?" Sementara sang ibu menggosok rambutnya, Louis mengerucutkan bibir. "Berarti Philip asistenku sepenuhnya." Emily mencebik. Tangannya merapatkan handuk yang membungkus tubuhnya lebih erat. "Tapi aku suka Philip. Aku mau dia tetap menjadi asistenku." Frank tersenyum pahit. "Philip masih asistenmu juga, Tuan Putri. Papa butuh dia untuk mengawasi kinerja bibimu." "Apakah itu berarti Bibi akan berada di ruang kerjaku selama aku sekolah?" Frank berkedip-kedip sejenak. "Kamu tidak

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S2| 14. Singa di Kandang Rusa

    "Baiklah! Aku akan membuatnya. Seratus rumbai, kan?" Barbara mengernyit pasrah. Emily mengangguk dengan senyum lebar. "Benar. Selamat bekerja, Bibi. Selesaikan sebelum waktu pulang karena besok pekerjaannya berbeda lagi." Barbara kembali menganga. Sebelum ia melontarkan komentar, Philip mengeluarkan perkakas dari laci. "Ini. Semoga membantu." Helaan napas berembus cepat dari mulut Barbara. Matanya memerah tetapi malu mengeluarkan air mata. Sepulangnya dari kantor, ia hanya bisa mengadu kepada Melanie. "Mama, anak kecil itu sungguh keterlaluan. Dia menyuruhku membuat 100 rumbai. Mama tahu sesulit apa membuatnya? Manik-maniknya begitu kecil dan licin. Mataku hampir juling!" Barbara menghempas diri di sofa. Melanie dengan sigap mengelus-elus pundaknya. "Tidak apa-apa. Anggap saja itu batu loncatan untuk mendapatkan simpati kakakmu. Lalu kau berhasil menyelesaikan itu?" "Tentu saja tidak! Aku cuma berhasil membuat 30. Itu pun tangan dan leherku sudah pegal." Melanie termenung.

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S2| 15. Sesuatu yang Mencurigakan

    Siang harinya, si Kembar menyerbu masuk ke ruangan Frank. "Papa! Papa!" Tangan mereka terentang lebar dan tawa mereka membahana. Kara yang berjalan di belakang mereka tersenyum melihatnya. Dengan senyum yang serupa, Frank berdiri dari kursinya. "Anak-Anak!" Belum sempat ia melangkah, dua balita itu sudah memeluk kakinya. Tawa mereka semakin menggelitik. "Papa, kami ada tes dadakan tadi. Nilai kami sempurna lagi!" "Padahal soal kami berbeda dari yang lain. Itu lebih sulit, tapi kami tetap bisa mengerjakannya." Sembari terkekeh, Frank mengelus kepala si Kembar. "Bagus, Anak-Anak. Kalian memang hebat. Tapi kalian harus ingat. Ada yang lebih penting dari nilai, yaitu kalian menikmati pembelajarannya." "Kenapa Papa jadi terdengar seperti Mama?" celetuk Louis sambil memiringkan kepala. Frank melirik Kara dengan senyum simpul. "Karena Papa paling banyak menghabiskan waktu bersama Mama. Itulah mengapa kita harus berhati-hati memilih circle. Orang-orang di sekitar kita bisa memenga

Bab terbaru

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   Ungkapan Terima Kasih untuk Pembaca-Pembaca Hebat

    Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 212. From Zero to Infinity (TAMAT)

    Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 211. Bibi Mau Melahirkan!

    "Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 210. Kegugupan Barbara

    "Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 209. Perjuangan Ava

    Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 208. Kegembiraan Louis dan Emily

    "Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 207. Ulang Tahun Bersama Russell

    "Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 206. Russell Lucu Sekali!

    "Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 205. Keluarlah, Russell!

    Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum

DMCA.com Protection Status