Hayoo .... Tindakan Frank tepat gak, nih? Kasih jempol, enggak? Btw, happy weekend, guys!
"Halo, Menantuku." Melanie berjalan menghampiri. Kara mengulum senyum. Kepalanya mengangguk canggung. "Selamat siang ..., Ma." Lidah Kara terasa pahit. Saat Melanie tiba di hadapannya, ia nyaris melangkah mundur. Tatapan ibu mertuanya seperti seorang pembunuh. "Maaf aku tidak menghadiri pernikahan kalian. Aku tidak mendapat kabar apa-apa saat itu." Melanie mengangkat sebelah alisnya. Lengkung bibir Kara membeku. Selang keheningan sejenak, ia mengangguk. "Ya, tidak apa-apa. Salah kami juga melewatkan Mama dari daftar undangan." Pipi Melanie sedikit berkedut. Ia tidak menduga menantunya berani menjawab seperti itu. "Apa kau punya waktu? Bagaimana kalau kita berbincang di luar? Sejak dulu, aku selalu penasaran seperti apa rasanya mengobrol dengan menantuku." Ajakan itu terdengar seperti tantangan. Kara menerimanya dengan anggukan kecil walau hatinya berdebar hebat. Setibanya di balkon atas, mereka berdua duduk mengapit sebuah meja. "Apakah Mama ingin meminum sesuatu? Teh,
Begitu melewati pintu, langkah kaki Kara langsung melambat. Lengkung bibirnya datar. Deru napasnya tak lagi tertahankan. "Mengapa aku bisa punya ibu mertua semacam itu?" Sambil memejamkan mata, Kara mencoba berdamai dengan perasaannya. Selang beberapa tarikan napas, sebuah suara menyapanya. "Ratu Lebah ...." Kara cepat-cepat membuka mata. "Frank?" "Apa yang kamu lakukan di sini?" Sebelum Frank mencapai pintu, Kara menghampirinya. Tanpa aba-aba, ia mendekap sang suami erat. "Maaf membuatmu menunggu. Aku mencari udara segar sebentar." Alis Frank meninggi. "Kamu mual lagi? Apakah mungkin kamu hamil?" Kara mendesahkan tawa. "Tidak secepat itu, Frank. Sepertinya karena jetlag." "Kalau begitu, bagaimana kalau kita tidur siang saja? Pekerjaan bisa ditunda." Frank menyingkirkan rambut yang menempel di wajah Kara ke belakang telinga. "Benar-benar tidur?" Kara menatapnya curiga. Senyum Frank terkulum. "Mungkin kita bisa sekalian mempercepat proses penambahan anak." Tawa Kara
Melihat Philip duduk santai menghadap taman, Barbara mendengus. “Heh, bukankah kau digaji mahal? Kenapa kau malah berleha-leha di sini?” Philip tidak menyahut. Tatapannya bahkan tidak beralih dari tablet di tangannya. “Heh! Aku bicara denganmu. Kenapa tidak jawab? Kau bisu, hmm?” Barbara meninggikan suara. Akan tetapi, Philip tetap menganggapnya seolah tidak ada. Kesal, Barbara mengayunkan laptop ke arah lengannya. Kali ini, Philip tidak bisa lagi diam. “Hei, kenapa kau memukulku?” Barbara mengangkat dagu. “Salah sendiri! Dua kali aku mengajakmu bicara, tapi kau tidak menjawab.” “Aku bukan Heh. Namaku Philip. Apakah kau memanggilku barusan? Tidak, bukan? Aku bahkan tidak tahu ada orang bernama Heh di rumah ini.” Barbara terkesiap. “Kau berani membantah? Kau bahkan tidak berbicara formal kepadaku?” Helaan napas tak percaya berembus dari mulutnya. “Kau tidak takut dipecat, hmm? Aku bisa saja melaporkanmu kepada kakakku.” “Laporkan saja. Sekalipun kakakmu marah dan memecatku, aku
“Bocah itu .... Kenapa dia suka sekali mengganggu?” gerutu Frank lesu. “Kurasa dia ingin memberimu portofolionya. Pergilah, Frank. Bicarakan dengannya. Aku bisa mengabari si Kembar kalau kamu terlambat.” Frank menggembungkan pipi, persis seperti Louis yang mengambek. Merasa gemas, Kara menangkupnya sembari tertawa. “Percuma kamu memasang tampang ini. Aku tetap tidak bisa membantumu. Sekarang, sebaiknya kamu temui adikmu. Semakin cepat masalah kalian selesai, semakin cepat kamu bisa bergabung di kolam renang.” “Apakah kamu memakai bikini?” Kara mendesah cepat. “Kamu tidak keberatan jika Philip dan para pengawal melihatku dengan bikini?” “Kalau begitu jangan. Simpan bikinimu untuk berendam bersamaku nanti malam di kolam privat kita.” “Maksudmu bak mandi?” Kara tertawa ringan. “Ya. Aku akan menaburkan bunga di airnya dan menyalakan lilin di sekelilingnya. Kau pasti suka.” “Ya, itu terdengar romantis.” Usai mengecup Frank, Kara beranjak dari ranjang. “Kalau begitu, ayo bergegas.
Melanie mengatupkan mulut rapat-rapat. "Baiklah. Tapi kalau sampai kalian mempermainkan Barbara, Mama tidak akan tinggal diam." Frank tersenyum miring. "Tidak akan terjadi asalkan adik tiriku itu tidak bertingkah." "Oke." Tanpa mengucapkan terima kasih, Melanie berbalik menuju kamarnya sendiri. Frank hanya bisa bergeming menatapnya. Dalam hati, ia merasa bersalah kepada Emily. "Apa?" pekik Emily ketika sang ayah menceritakan tentang asisten barunya. "Bibi menjadi asistenku? Lalu bagaimana dengan Philip?" Sementara sang ibu menggosok rambutnya, Louis mengerucutkan bibir. "Berarti Philip asistenku sepenuhnya." Emily mencebik. Tangannya merapatkan handuk yang membungkus tubuhnya lebih erat. "Tapi aku suka Philip. Aku mau dia tetap menjadi asistenku." Frank tersenyum pahit. "Philip masih asistenmu juga, Tuan Putri. Papa butuh dia untuk mengawasi kinerja bibimu." "Apakah itu berarti Bibi akan berada di ruang kerjaku selama aku sekolah?" Frank berkedip-kedip sejenak. "Kamu tidak
"Baiklah! Aku akan membuatnya. Seratus rumbai, kan?" Barbara mengernyit pasrah. Emily mengangguk dengan senyum lebar. "Benar. Selamat bekerja, Bibi. Selesaikan sebelum waktu pulang karena besok pekerjaannya berbeda lagi." Barbara kembali menganga. Sebelum ia melontarkan komentar, Philip mengeluarkan perkakas dari laci. "Ini. Semoga membantu." Helaan napas berembus cepat dari mulut Barbara. Matanya memerah tetapi malu mengeluarkan air mata. Sepulangnya dari kantor, ia hanya bisa mengadu kepada Melanie. "Mama, anak kecil itu sungguh keterlaluan. Dia menyuruhku membuat 100 rumbai. Mama tahu sesulit apa membuatnya? Manik-maniknya begitu kecil dan licin. Mataku hampir juling!" Barbara menghempas diri di sofa. Melanie dengan sigap mengelus-elus pundaknya. "Tidak apa-apa. Anggap saja itu batu loncatan untuk mendapatkan simpati kakakmu. Lalu kau berhasil menyelesaikan itu?" "Tentu saja tidak! Aku cuma berhasil membuat 30. Itu pun tangan dan leherku sudah pegal." Melanie termenung.
Siang harinya, si Kembar menyerbu masuk ke ruangan Frank. "Papa! Papa!" Tangan mereka terentang lebar dan tawa mereka membahana. Kara yang berjalan di belakang mereka tersenyum melihatnya. Dengan senyum yang serupa, Frank berdiri dari kursinya. "Anak-Anak!" Belum sempat ia melangkah, dua balita itu sudah memeluk kakinya. Tawa mereka semakin menggelitik. "Papa, kami ada tes dadakan tadi. Nilai kami sempurna lagi!" "Padahal soal kami berbeda dari yang lain. Itu lebih sulit, tapi kami tetap bisa mengerjakannya." Sembari terkekeh, Frank mengelus kepala si Kembar. "Bagus, Anak-Anak. Kalian memang hebat. Tapi kalian harus ingat. Ada yang lebih penting dari nilai, yaitu kalian menikmati pembelajarannya." "Kenapa Papa jadi terdengar seperti Mama?" celetuk Louis sambil memiringkan kepala. Frank melirik Kara dengan senyum simpul. "Karena Papa paling banyak menghabiskan waktu bersama Mama. Itulah mengapa kita harus berhati-hati memilih circle. Orang-orang di sekitar kita bisa memenga
"Gawat! Ternyata ini paket Barbara! Dia pasti akan membunuhku kalau tahu aku membuka paketnya." Mata Louis bulat sempurna. Philip mengangkat alis. "Ini milik Barbara?" Louis mengangguk. Melihat ekspresi serius asistennya, ia ikut mengernyit. "Ada apa, Philip?" "Tuan Kecil, mari melaporkan hal ini kepada ayahmu. Bola ini mencurigakan." Louis terkesiap. Ia teringat akan misinya. "Mungkin karena itu Papa mengirimku ke sini!" Secepat kilat, ia menarik tangan Philip, tak peduli dengan gaun yang menjuntai menyapu lantai. "Ayo, Philip! Kita harus bertindak cepat." Setibanya di ruang CEO, Louis berseru, "Papa, lihat apa yang kami temukan! Aku tidak sengaja membuka paket untuk Barbara. Isinya gaun. Saat aku berdiri, ada bola menggelinding. Philip bilang bola itu mencurigakan." Philip meletakkan bola di atas meja. Melihat isinya, Emily ternganga. "Itukah yang Papa bilang tadi? Obat yang harus kucari di tas Bibi?" Frank terdiam sejenak. Setelah membuka bola itu dan menuangkan pil ke