Bagaimana rasanya tidak diingat oleh ibu sendiri? Tentu sangat menyakitkan. Apalagi, sang ibu lebih menyayangi anak lain. Hukuman apa yang pantas untuk seorang ibu yang seperti itu?
"Sungguh, maafkan Mama. Barbara terlalu antusias ingin berbagi makanan kesukaannya dengan kalian. Mama sampai lupa tentang alergimu." Setelah menelan udangnya, Barbara ikut bersuara. "Ya, maafkan aku juga, Kakak. Aku sungguh tidak tahu tentang alergimu. Kalau saja aku tahu, aku tidak mungkin mengusulkan ganti menu." Frank tersenyum kecut. Dua orang itu tidak segan-segan mengusik Kara dan si Kembar, tetapi khawatir menyinggung perasaannya. Apa yang sesungguhnya mereka rencanakan? "Jadi, apa kesibukan kalian akhir-akhir ini? Apakah kalian punya andil di perusahaan?" Melanie dan Barbara membeku sejenak. Pengalihan topik itu terlalu mendadak. "Tidak. Perusahaan ayahku adalah perusahaan tambang. Itu bukan bidang wanita." Frank menaikkan alis dan mengangguk misterius. Ternyata sang ibu belum berubah. Cerdas tetapi malas. Hanya ingin hidup senang tanpa mau berusaha. Barbara meniru jejaknya. "Lalu, apa saja yang kalian lakukan sehari-hari?" Melanie tertawa samar. "Kau diam-diam mengawa
Melanie menarik napas dalam-dalam, mengendalikan emosi. "Mama sudah lama tidak berurusan dengan Frank. Bukankah wajar jika Mama lupa tentang alerginya? Fokus Mama selama ini hanya dirimu, Sayang." Perlahan-lahan, kerutan di wajah Barbara memudar. Setelah hatinya melunak, ia mendesah pasrah. "Berarti, kita harus mencari tahu tentang dia dulu?" Melanie mengetuk-ngetuk tangan putrinya. "Mama pernah bercerita tentang standar keluarga Harper, bukan? Bagaimana kalau kamu mencoba untuk memenuhinya?" "Mama menyuruhku untuk kembali kuliah? Atau Mama mau aku bekerja?" Suara Barbara mendadak melengking. "Savior itu perusahaan besar. Tahun-tahun belakangan ini, mereka juga menjajal bidang fashion. Bagaimana kalau kamu mencobanya? Mama akan membujuk Frank untuk memberimu jabatan. Kamu tidak boleh menyia-nyiakannya." Barbara ternganga. "Jabatan apa? Apakah aku bisa? Aku tidak tahu apa-apa soal perusahaan." Sekali lagi, Melanie menepuk punggung tangan putrinya. "Pasti bisa. Kamu itu mewari
"Halo, Menantuku." Melanie berjalan menghampiri. Kara mengulum senyum. Kepalanya mengangguk canggung. "Selamat siang ..., Ma." Lidah Kara terasa pahit. Saat Melanie tiba di hadapannya, ia nyaris melangkah mundur. Tatapan ibu mertuanya seperti seorang pembunuh. "Maaf aku tidak menghadiri pernikahan kalian. Aku tidak mendapat kabar apa-apa saat itu." Melanie mengangkat sebelah alisnya. Lengkung bibir Kara membeku. Selang keheningan sejenak, ia mengangguk. "Ya, tidak apa-apa. Salah kami juga melewatkan Mama dari daftar undangan." Pipi Melanie sedikit berkedut. Ia tidak menduga menantunya berani menjawab seperti itu. "Apa kau punya waktu? Bagaimana kalau kita berbincang di luar? Sejak dulu, aku selalu penasaran seperti apa rasanya mengobrol dengan menantuku." Ajakan itu terdengar seperti tantangan. Kara menerimanya dengan anggukan kecil walau hatinya berdebar hebat. Setibanya di balkon atas, mereka berdua duduk mengapit sebuah meja. "Apakah Mama ingin meminum sesuatu? Teh,
Begitu melewati pintu, langkah kaki Kara langsung melambat. Lengkung bibirnya datar. Deru napasnya tak lagi tertahankan. "Mengapa aku bisa punya ibu mertua semacam itu?" Sambil memejamkan mata, Kara mencoba berdamai dengan perasaannya. Selang beberapa tarikan napas, sebuah suara menyapanya. "Ratu Lebah ...." Kara cepat-cepat membuka mata. "Frank?" "Apa yang kamu lakukan di sini?" Sebelum Frank mencapai pintu, Kara menghampirinya. Tanpa aba-aba, ia mendekap sang suami erat. "Maaf membuatmu menunggu. Aku mencari udara segar sebentar." Alis Frank meninggi. "Kamu mual lagi? Apakah mungkin kamu hamil?" Kara mendesahkan tawa. "Tidak secepat itu, Frank. Sepertinya karena jetlag." "Kalau begitu, bagaimana kalau kita tidur siang saja? Pekerjaan bisa ditunda." Frank menyingkirkan rambut yang menempel di wajah Kara ke belakang telinga. "Benar-benar tidur?" Kara menatapnya curiga. Senyum Frank terkulum. "Mungkin kita bisa sekalian mempercepat proses penambahan anak." Tawa Kara
Melihat Philip duduk santai menghadap taman, Barbara mendengus. “Heh, bukankah kau digaji mahal? Kenapa kau malah berleha-leha di sini?” Philip tidak menyahut. Tatapannya bahkan tidak beralih dari tablet di tangannya. “Heh! Aku bicara denganmu. Kenapa tidak jawab? Kau bisu, hmm?” Barbara meninggikan suara. Akan tetapi, Philip tetap menganggapnya seolah tidak ada. Kesal, Barbara mengayunkan laptop ke arah lengannya. Kali ini, Philip tidak bisa lagi diam. “Hei, kenapa kau memukulku?” Barbara mengangkat dagu. “Salah sendiri! Dua kali aku mengajakmu bicara, tapi kau tidak menjawab.” “Aku bukan Heh. Namaku Philip. Apakah kau memanggilku barusan? Tidak, bukan? Aku bahkan tidak tahu ada orang bernama Heh di rumah ini.” Barbara terkesiap. “Kau berani membantah? Kau bahkan tidak berbicara formal kepadaku?” Helaan napas tak percaya berembus dari mulutnya. “Kau tidak takut dipecat, hmm? Aku bisa saja melaporkanmu kepada kakakku.” “Laporkan saja. Sekalipun kakakmu marah dan memecatku, aku
“Bocah itu .... Kenapa dia suka sekali mengganggu?” gerutu Frank lesu. “Kurasa dia ingin memberimu portofolionya. Pergilah, Frank. Bicarakan dengannya. Aku bisa mengabari si Kembar kalau kamu terlambat.” Frank menggembungkan pipi, persis seperti Louis yang mengambek. Merasa gemas, Kara menangkupnya sembari tertawa. “Percuma kamu memasang tampang ini. Aku tetap tidak bisa membantumu. Sekarang, sebaiknya kamu temui adikmu. Semakin cepat masalah kalian selesai, semakin cepat kamu bisa bergabung di kolam renang.” “Apakah kamu memakai bikini?” Kara mendesah cepat. “Kamu tidak keberatan jika Philip dan para pengawal melihatku dengan bikini?” “Kalau begitu jangan. Simpan bikinimu untuk berendam bersamaku nanti malam di kolam privat kita.” “Maksudmu bak mandi?” Kara tertawa ringan. “Ya. Aku akan menaburkan bunga di airnya dan menyalakan lilin di sekelilingnya. Kau pasti suka.” “Ya, itu terdengar romantis.” Usai mengecup Frank, Kara beranjak dari ranjang. “Kalau begitu, ayo bergegas.
Melanie mengatupkan mulut rapat-rapat. "Baiklah. Tapi kalau sampai kalian mempermainkan Barbara, Mama tidak akan tinggal diam." Frank tersenyum miring. "Tidak akan terjadi asalkan adik tiriku itu tidak bertingkah." "Oke." Tanpa mengucapkan terima kasih, Melanie berbalik menuju kamarnya sendiri. Frank hanya bisa bergeming menatapnya. Dalam hati, ia merasa bersalah kepada Emily. "Apa?" pekik Emily ketika sang ayah menceritakan tentang asisten barunya. "Bibi menjadi asistenku? Lalu bagaimana dengan Philip?" Sementara sang ibu menggosok rambutnya, Louis mengerucutkan bibir. "Berarti Philip asistenku sepenuhnya." Emily mencebik. Tangannya merapatkan handuk yang membungkus tubuhnya lebih erat. "Tapi aku suka Philip. Aku mau dia tetap menjadi asistenku." Frank tersenyum pahit. "Philip masih asistenmu juga, Tuan Putri. Papa butuh dia untuk mengawasi kinerja bibimu." "Apakah itu berarti Bibi akan berada di ruang kerjaku selama aku sekolah?" Frank berkedip-kedip sejenak. "Kamu tidak
"Baiklah! Aku akan membuatnya. Seratus rumbai, kan?" Barbara mengernyit pasrah. Emily mengangguk dengan senyum lebar. "Benar. Selamat bekerja, Bibi. Selesaikan sebelum waktu pulang karena besok pekerjaannya berbeda lagi." Barbara kembali menganga. Sebelum ia melontarkan komentar, Philip mengeluarkan perkakas dari laci. "Ini. Semoga membantu." Helaan napas berembus cepat dari mulut Barbara. Matanya memerah tetapi malu mengeluarkan air mata. Sepulangnya dari kantor, ia hanya bisa mengadu kepada Melanie. "Mama, anak kecil itu sungguh keterlaluan. Dia menyuruhku membuat 100 rumbai. Mama tahu sesulit apa membuatnya? Manik-maniknya begitu kecil dan licin. Mataku hampir juling!" Barbara menghempas diri di sofa. Melanie dengan sigap mengelus-elus pundaknya. "Tidak apa-apa. Anggap saja itu batu loncatan untuk mendapatkan simpati kakakmu. Lalu kau berhasil menyelesaikan itu?" "Tentu saja tidak! Aku cuma berhasil membuat 30. Itu pun tangan dan leherku sudah pegal." Melanie termenung.