Mari kita coba hadapi dengan cara baik-baik dulu. Btw, terima kasih atas tanggapan kalian! Fansnya Louis dan Emily emang keren-keren. Semoga hari-hari kalian lancar, ya! Sehat selalu, guys! Sampai jumpa besok pagi .... P.S. Kalau review novel ini bisa mencapai 100 review dalam 3 hari, mungkin Pixie akan pertimbangkan update 3 bab per hari. Sekarang baru 32, berarti butuh 68 lagi. :P
Begitu memasuki mansion, Barbara tak bisa mengatupkan mulut. Decak kagumnya sesekali terlepas, dan matanya tak henti-henti menyoroti setiap sisi yang terlihat menawan. “Mama, kenapa tidak dari dulu kamu membawaku ke sini?” bisiknya sembari menarik lengan baju sang ibu. “Ini jauh lebih mewah dari rumah kita.” Melanie mendekat ke telinga putrinya. “Bersabarlah, Sayang. Nanti, ini juga akan menjadi rumah kita.” “Selamat datang di istana kami!” Emily melompat sembari merentangkan tangan. Barbara spontan memisahkan diri dari sang ibu dan berdeham. “Istana kalian?” Alisnya bergerak naik, sama seperti sebelah sudut bibirnya. “Ya, ini istana Papa, Mama, aku, dan Louis! Kuharap kalian nyaman tinggal di sini.” Emily memiringkan kepala dan memperlebar lengkung bibirnya yang manis. Akan tetapi, Melanie membalasnya dengan senyum sinis. “Siapa namamu, Gadis Kecil?” Mata Louis membulat. “Kamu tidak tahu nama Emily? Apakah kamu juga tidak tahu namaku?” “Kau Louis. Saudaramu baru saja menyebutn
"Papa,” Emily mengedipkan matanya yang bulat, “kami sudah melakukan tugas dari Papa. Kami mengantar Nenek Melanie masuk dan menyambutnya. Tapi—" "Dia tidak sopan!" sambar Louis, membuat semua orang terbelalak. "Dia bersikap seolah-olah dialah ratu di istana kita. Padahal, Mama-lah ratu kita." Kara terkesiap. Matanya bergetar mengamati perubahaan ekspresi suaminya. Sebelum Louis melapor lebih panjang, ia cepat-cepat mendesahkan tawa. “Louis, kenapa kamu bicara begitu? Tidak ada ratu di sini. Rumah ini milik kita bersama.” Ia mengelus-elus kepala Louis, berharap emosi putranya itu dapat mereda. “Apakah Mama lupa?” Louis menautkan alis. Binar matanya meredup. “Rumah ini adalah istana kita. Papa adalah raja dan Mama ratunya. Nenek adalah penasihat kerajaan, Emily tuan putri, sedangkan aku panglima perangnya. Aku bertanggung jawab menjaga istana kita dari serangan musuh.” Lengkung bibir Kara terancam rusak. Ia melirik sekilas. Wajah Frank sudah kembali pucat. “Malaikat Kecil, apakah k
“Kenapa bisa ada makhluk-makhluk ini di atas meja?” seru Louis seolah itu hal yang mengerikan. “Di mana roti lapis dan salad ayam kami?” Pelayan yang berjaga langsung tertunduk. Jemarinya mulai saling menggaruk. “M-maaf, Tuan Kecil. Ini permintaan Nyonya Besar.” “Tidak mungkin. Mama tidak mungkin meminta makanan-makanan ini,” cicit Emily seraya merapatkan diri dengan kursi. Matanya tertuju pada seekor lobster dengan mata terpelotot ke arahnya. “Aku yang meminta menu ini,” aku Melanie santai. “Apakah ada masalah? Barbara suka seafood. Ini adalah hidangan yang sempurna untuk merayakan pertemuan kita hari ini.” Semua orang sontak melirik ke arah Frank. Jika Melanie benar-benar menyayangi Frank, bagaimana mungkin dia bisa lupa tentang alergi yang diidap putranya itu? Frank berdeham kecil. Sambil duduk di kursi yang dirasanya terpencil, ia menarik napas berat. “Kalau begitu, silakan mulai makan. Kara, kamu juga suka udang, bukan? Makanlah.” Sedetik kemudian, telunjuknya teracung. Sor
"Sungguh, maafkan Mama. Barbara terlalu antusias ingin berbagi makanan kesukaannya dengan kalian. Mama sampai lupa tentang alergimu." Setelah menelan udangnya, Barbara ikut bersuara. "Ya, maafkan aku juga, Kakak. Aku sungguh tidak tahu tentang alergimu. Kalau saja aku tahu, aku tidak mungkin mengusulkan ganti menu." Frank tersenyum kecut. Dua orang itu tidak segan-segan mengusik Kara dan si Kembar, tetapi khawatir menyinggung perasaannya. Apa yang sesungguhnya mereka rencanakan? "Jadi, apa kesibukan kalian akhir-akhir ini? Apakah kalian punya andil di perusahaan?" Melanie dan Barbara membeku sejenak. Pengalihan topik itu terlalu mendadak. "Tidak. Perusahaan ayahku adalah perusahaan tambang. Itu bukan bidang wanita." Frank menaikkan alis dan mengangguk misterius. Ternyata sang ibu belum berubah. Cerdas tetapi malas. Hanya ingin hidup senang tanpa mau berusaha. Barbara meniru jejaknya. "Lalu, apa saja yang kalian lakukan sehari-hari?" Melanie tertawa samar. "Kau diam-diam mengawa
Melanie menarik napas dalam-dalam, mengendalikan emosi. "Mama sudah lama tidak berurusan dengan Frank. Bukankah wajar jika Mama lupa tentang alerginya? Fokus Mama selama ini hanya dirimu, Sayang." Perlahan-lahan, kerutan di wajah Barbara memudar. Setelah hatinya melunak, ia mendesah pasrah. "Berarti, kita harus mencari tahu tentang dia dulu?" Melanie mengetuk-ngetuk tangan putrinya. "Mama pernah bercerita tentang standar keluarga Harper, bukan? Bagaimana kalau kamu mencoba untuk memenuhinya?" "Mama menyuruhku untuk kembali kuliah? Atau Mama mau aku bekerja?" Suara Barbara mendadak melengking. "Savior itu perusahaan besar. Tahun-tahun belakangan ini, mereka juga menjajal bidang fashion. Bagaimana kalau kamu mencobanya? Mama akan membujuk Frank untuk memberimu jabatan. Kamu tidak boleh menyia-nyiakannya." Barbara ternganga. "Jabatan apa? Apakah aku bisa? Aku tidak tahu apa-apa soal perusahaan." Sekali lagi, Melanie menepuk punggung tangan putrinya. "Pasti bisa. Kamu itu mewari
"Halo, Menantuku." Melanie berjalan menghampiri. Kara mengulum senyum. Kepalanya mengangguk canggung. "Selamat siang ..., Ma." Lidah Kara terasa pahit. Saat Melanie tiba di hadapannya, ia nyaris melangkah mundur. Tatapan ibu mertuanya seperti seorang pembunuh. "Maaf aku tidak menghadiri pernikahan kalian. Aku tidak mendapat kabar apa-apa saat itu." Melanie mengangkat sebelah alisnya. Lengkung bibir Kara membeku. Selang keheningan sejenak, ia mengangguk. "Ya, tidak apa-apa. Salah kami juga melewatkan Mama dari daftar undangan." Pipi Melanie sedikit berkedut. Ia tidak menduga menantunya berani menjawab seperti itu. "Apa kau punya waktu? Bagaimana kalau kita berbincang di luar? Sejak dulu, aku selalu penasaran seperti apa rasanya mengobrol dengan menantuku." Ajakan itu terdengar seperti tantangan. Kara menerimanya dengan anggukan kecil walau hatinya berdebar hebat. Setibanya di balkon atas, mereka berdua duduk mengapit sebuah meja. "Apakah Mama ingin meminum sesuatu? Teh,
Begitu melewati pintu, langkah kaki Kara langsung melambat. Lengkung bibirnya datar. Deru napasnya tak lagi tertahankan. "Mengapa aku bisa punya ibu mertua semacam itu?" Sambil memejamkan mata, Kara mencoba berdamai dengan perasaannya. Selang beberapa tarikan napas, sebuah suara menyapanya. "Ratu Lebah ...." Kara cepat-cepat membuka mata. "Frank?" "Apa yang kamu lakukan di sini?" Sebelum Frank mencapai pintu, Kara menghampirinya. Tanpa aba-aba, ia mendekap sang suami erat. "Maaf membuatmu menunggu. Aku mencari udara segar sebentar." Alis Frank meninggi. "Kamu mual lagi? Apakah mungkin kamu hamil?" Kara mendesahkan tawa. "Tidak secepat itu, Frank. Sepertinya karena jetlag." "Kalau begitu, bagaimana kalau kita tidur siang saja? Pekerjaan bisa ditunda." Frank menyingkirkan rambut yang menempel di wajah Kara ke belakang telinga. "Benar-benar tidur?" Kara menatapnya curiga. Senyum Frank terkulum. "Mungkin kita bisa sekalian mempercepat proses penambahan anak." Tawa Kara
Melihat Philip duduk santai menghadap taman, Barbara mendengus. “Heh, bukankah kau digaji mahal? Kenapa kau malah berleha-leha di sini?” Philip tidak menyahut. Tatapannya bahkan tidak beralih dari tablet di tangannya. “Heh! Aku bicara denganmu. Kenapa tidak jawab? Kau bisu, hmm?” Barbara meninggikan suara. Akan tetapi, Philip tetap menganggapnya seolah tidak ada. Kesal, Barbara mengayunkan laptop ke arah lengannya. Kali ini, Philip tidak bisa lagi diam. “Hei, kenapa kau memukulku?” Barbara mengangkat dagu. “Salah sendiri! Dua kali aku mengajakmu bicara, tapi kau tidak menjawab.” “Aku bukan Heh. Namaku Philip. Apakah kau memanggilku barusan? Tidak, bukan? Aku bahkan tidak tahu ada orang bernama Heh di rumah ini.” Barbara terkesiap. “Kau berani membantah? Kau bahkan tidak berbicara formal kepadaku?” Helaan napas tak percaya berembus dari mulutnya. “Kau tidak takut dipecat, hmm? Aku bisa saja melaporkanmu kepada kakakku.” “Laporkan saja. Sekalipun kakakmu marah dan memecatku, aku
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum