"Tempat ini sempurna. Terima kasih sudah menyewakan mansionmu kepada Papa kami, Paman," tutur Emily manis.
Rocky terkekeh seperti Sinterklas. "Justru akulah yang berterima kasih. Setelah pernikahan orang tua kalian nanti, tempat ini pasti akan semakin terkenal. Tarifnya bisa kunaikkan dan keuntungannya berlipat ganda."
Frank mendesah samar. "Kau memang tidak pernah berubah, heh?"
"Ya, pebisnis itu selalu fokus pada keuntungan, kecuali untuk urusan pertemanan." Rocky memainkan alis dan menepuk pundak Frank. "Tapi, bukankah kau juga begitu? Kudengar penjualan alat-alat medis Savior meroket, bahkan mengalahkan perusahaan Miller. Kau berniat mengakuisisi mereka, heh?"
Frank melirik Kara sekilas dan tersenyum simpul. "Tidak. Aku tidak berniat mengakuisisi mereka. Hanya mencoba peruntungan di bidang baru."
"Well, kuharap kau tidak mencoba peruntungan di perkebunan. Aku tidak berani membayangkan nasib anggur-anggurku kalau itu terjadi."
“Astaga! Mama cantik sekali!” seru Emily sambil melompat kecil. Gaun mungilnya yang berlapis-lapis jadi mengembang terisi angin. “Emily benar! Mama super cantik! Tapi, kenapa Mama belum mengenakan gaun pengantin? Bukankah acaranya sebentar lagi dimulai?” Kara membelai pipi si Kembar lembut. “Tim videografer belum selesai mendokumentasikan gaun pengantinnya. Mama diminta menunggu sebentar.” Mulut si Kembar membulat. Kepala mereka mengangguk lucu. “Apakah Mama deg-degan? Lihat! Mama akan mengucapkan janji pernikahan dengan pemandangan seindah ini. Kalau aku jadi Mama, aku pasti tidak bisa berhenti menggerakkan jari-jari kakiku.” Emily menunduk, memperagakan apa yang dikatakannya walaupun jemarinya tertutup sepatu. Kara tertawa menyaksikan tingkah putrinya itu. “Ya, jantung Mama berdebar kencang. Mama tidak pernah menyangka akan menikah di tempat seindah ini, bersama Papa kalian.” Sementara Emily tersenyum lebih lebar, Louis menggembungkan pipi. Ia tampak tak setuju. “Tapi kurasa,
“Apakah ini masih kurang hancur?” Isabela menginjak-injak patung itu. Napasnya semakin menderu. “Apa perlu aku membakarnya sampai hangus lalu memberikannya kepada ibu kalian?” “Nona Hall, berhentilah. Apakah kau tidak kasihan pada dirimu sendiri?” desah Kara lirih. “Sadarlah. Belum terlambat untuk kamu memperbaiki semua ini. Maafkan dirimu sendiri dan bukalah lembaran baru. Pikirkan orang tuamu.” Isabela mengibaskan tangan, murka. “Diam! Apa hakmu menyuruhku memaafkan diri sendiri? Memang aku salah apa?” Kara mendesah iba. “Kau tidak akan bisa berubah kalau tidak mau mengaku salah,” tuturnya lemah. Tepat pada saat Isabel hendak menggertak, beberapa orang datang bersama para pengawal. “Maaf membuat Anda menunggu lama, Nona. Tuan Harper meminta kami menyoroti gaun-gaun ini dari segala arah. Kami malah keasyikan.” Isabela tercengang melihat dua maneken busa yang dibalut gaun-gaun indah. Dengan bola mata yang bergetar, ia melihat potongan kain di bawah kakinya. “Ini?” “Sejujurnya, ak
“Louis, apakah gaunku sudah rapi? Aku cantik?” bisik Emily saat mereka sedang bersiap menuju pelaminan. Kepalanya tertunduk, memeriksa juntaian rambut, gaun, dan juga sepatu. Dari bawah kerut alisnya, Louis melirik sang adik. “Emily, kapan kamu bosan bertanya begitu? Aku saja sudah bosan menjawabnya.” “Hanya memastikan saja, Louis. Ini adalah acara yang sangat penting. Kita harus tampil maksimal.” Saat membalas tatapan sang kakak, mulut Emily membulat. “O, dasimu miring.” Dengan sigap, gadis mungil itu meluruskan dasi kupu-kupu milik Louis. “Apakah cincinnya aman?” Sambil agak mendongak, Louis menepuk-nepuk kantong jasnya. “Aman. Kau tenang saja. Aku ini bisa diandalkan.” Tiba-tiba, musik mulai mengalun lembut. Mendengar aba-aba tersebut, si Kembar cepat-cepat meraih pistol pada meja di samping mereka. Sambil berjalan, mereka menebarkan gelembung di udara. Fotografer dan videographer yang mengabadikan momen itu tak henti-hentinya berdecak. Sesampainya di ujung lintasan, Louis den
“Aku masih tidak menyangka Rocky mau mengizinkan kita menginap malam ini. Dia baik sekali,” ujar Kara sembari memasuki kamar pengantin. Frank yang berjalan di belakangnya menutup pintu dengan senyum semringah. “Ya, dia memang baik. Dia mengerti apa yang kumau.” Mata Kara menyipit. Sambil berbalik menghadap sang suami, ia berbisik, “Apa yang kamu mau?” Frank meraih pinggang istrinya yang telah berbalut gaun tidur itu. “Kamu sungguh tidak tahu?” Suaranya tipis dan menggelitik. Bibir Kara mengerut. Sambil memainkan jemarinya di pundak Frank, ia menggeleng lambat. “Kupikir kamu sudah mendapatkan semua yang kamu inginkan. Dukungan dari anak-anak, restu dari Ibu, dan diriku ....” Frank ikut mengulum senyum. Perhalan-lahan, ia menyudutkan Kara ke arah ranjang. Kepalanya menggeleng manja. “Ada satu hal yang belum kudapatkan.” Ia membungkuk dan menggigit telinga Kara. “Malam pengantin kita.” Tawa Kara seketika mengudara. Suaranya ringan dan menggoda. “Kita sudah pernah melakukannya, Fra
“Selesai!” Louis berjalan menghampiri Philip dan mengulurkan kedua tangan. Sang asisten dengan sigap melucuti sarung tinju tuan mudanya. “Terima kasih, Philip.” “Sama-sama, Tuan Kecil.” Pria muda itu menyodorkan botol minum. Louis menyambutnya dengan senyum lebar. ”Philip, menurutmu, apakah Mama dan Papa akan pulang bersama adik kami?” Philip terbelalak. Mulutnya ternganga, kebingungan memilih kata. “Tentu saja belum, Louis,” celetuk Emily seraya menangkap samsak pink mungil-nya agar berhenti berayun. “Induk kucing saja hamil selama 65 hari. Apalagi, manusia. Mama butuh setidaknya 40 minggu sampai melahirkan adik bayi." Bibir Louis pun mengerucut. Alisnya berkerut, pipinya menggembung. “Benar juga. Secepat-cepatnya Papa menanamkan adik bayi dalam perut Mama, dia masih dalam perut hari ini.” Sembari mencopoti sarung tinju Emily, Philip mengulum bibir. Hatinya tergelitik oleh pernyataan balita itu. "Jadi, kalian menginginkan adik laki-laki?" “Aku mau adik perempuan. Tapi
Frank mematung. Keceriaan si Kembar tidak lagi memengaruhinya. Menyaksikan hal itu, Kara yang baru saja turun dari limosin langsung menyentuh pundaknya. “Ada apa, Frank?” Louis dan Emily pun berhenti tertawa. Mereka memeriksa wajah sang ayah, lalu mengikuti arah pandangnya. Si wanita bergaya bangsawan ternyata sudah berhenti dua langkah dari mereka. “Halo, Frank.” Raut wanita itu sangat berbeda dari yang tadi. Alisnya turun dan matanya berkaca-kaca. Frank menelan ludah. Bibirnya bergetar mengumpulkan kata. “Mama?” Semua orang membeku, bahkan si Kembar. Bola mata mereka bergerak-gerak mencari penjelasan. “Mama? Nenek sihir itu memang nenek kita?” desah Louis tipis. Emily cepat-cepat berdesus. Telunjuknya teracung di depan bibirnya yang menguncup. “Jaga bicaramu, Louis.” Sementara itu, Kara mendesah samar. Tanpa menunggu perintah, ia mengambil si Kembar dari lengan Frank. “Kemarilah, Sayang.” Frank menyerahkan dua balita itu dengan tatapan hampa. Ekspresinya datar dan wajahnya a
“Asal kau tahu.” Suara Barbara terdengar lagi. “Selama ini, bukan cuma kamu yang menderita, tapi Mama juga. Dia harus memendam kerinduan dan menahan luka karena tidak bisa berada di dekat putranya. Sekarang, di saat dia memiliki kesempatan untuk kembali padamu, kamu malah mengusirnya? Hatimu itu terbuat dari apa?” Frank merasa udara di sekitarnya lebih berat. Saat ia mengerahkan tenaga ekstra untuk menarik napas, Melanie kembali menyentuh lengannya. “Tolong maafkan adikmu, Frank. Dia tidak bermaksud menyinggungmu. Dia hanya ingin membela Mama.” “Apa yang sebetulnya Mama inginkan? Benarkah Mama datang untuk memperbaiki hubungan?” Suara Frank bergetar. Melanie terdiam sejenak. Matanya menatap Frank dalam-dalam. “Ya,” jawabnya terdengar tulus. “Mama selalu ingin kembali bersamamu, Sayang. Tapi Mama juga tidak bisa meninggalkan keluarga baru Mama. Setiap hari terasa bagaikan siksaan bagi Mama.” Dengan raut pasrah, Melanie menoleh ke arah putrinya. “Akhir-akhir ini, sejak perusahaan
Begitu memasuki mansion, Barbara tak bisa mengatupkan mulut. Decak kagumnya sesekali terlepas, dan matanya tak henti-henti menyoroti setiap sisi yang terlihat menawan. “Mama, kenapa tidak dari dulu kamu membawaku ke sini?” bisiknya sembari menarik lengan baju sang ibu. “Ini jauh lebih mewah dari rumah kita.” Melanie mendekat ke telinga putrinya. “Bersabarlah, Sayang. Nanti, ini juga akan menjadi rumah kita.” “Selamat datang di istana kami!” Emily melompat sembari merentangkan tangan. Barbara spontan memisahkan diri dari sang ibu dan berdeham. “Istana kalian?” Alisnya bergerak naik, sama seperti sebelah sudut bibirnya. “Ya, ini istana Papa, Mama, aku, dan Louis! Kuharap kalian nyaman tinggal di sini.” Emily memiringkan kepala dan memperlebar lengkung bibirnya yang manis. Akan tetapi, Melanie membalasnya dengan senyum sinis. “Siapa namamu, Gadis Kecil?” Mata Louis membulat. “Kamu tidak tahu nama Emily? Apakah kamu juga tidak tahu namaku?” “Kau Louis. Saudaramu baru saja menyebutn
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum