“Apakah kalian tidak lelah?” Kara melucuti ransel dari punggung sang putra.
Emily pun menghadapkan punggung kepada Frank agar sang ayah melakukan hal yang sama. “Tidak, Mama. Belajar di sekolah itu menyenangkan. Sama sekali tidak melelahkan,” tuturnya manis.
“Ya, itu seru!”
Kara lanjut melontarkan pujian. Sementara itu, Frank hanya mengangguk-angguk. Benaknya telah terpaku pada hal lain.
Beberapa saat kemudian, pria itu menarik si Kembar ke atas pangkuannya. Jantungnya kini berdebar tak karuan.
“Anak-Anak ..., bisa Papa minta perhatian kalian sebentar? Ada yang harus kita bicarakan.”
Si Kembar kompak mengalihkan pandangan dari Kara. “Apa, Papa?”
“Papa dan Mama sudah sepakat untuk tidak menunda pernikahan lagi.”
Namun, bukannya senang, alis si Kembar malah berkerut.
“Tapi, Papa ..., gaun pengantin Mama masih dalam proses.” Emily tampak khawatir.
“Dan Papa belum menyelesaikan hukuman. Masih ada satu poin d
"Tempat ini sempurna. Terima kasih sudah menyewakan mansionmu kepada Papa kami, Paman," tutur Emily manis.Rocky terkekeh seperti Sinterklas. "Justru akulah yang berterima kasih. Setelah pernikahan orang tua kalian nanti, tempat ini pasti akan semakin terkenal. Tarifnya bisa kunaikkan dan keuntungannya berlipat ganda."Frank mendesah samar. "Kau memang tidak pernah berubah, heh?""Ya, pebisnis itu selalu fokus pada keuntungan, kecuali untuk urusan pertemanan." Rocky memainkan alis dan menepuk pundak Frank."Tapi, bukankah kau juga begitu? Kudengar penjualan alat-alat medis Savior meroket, bahkan mengalahkan perusahaan Miller. Kau berniat mengakuisisi mereka, heh?"Frank melirik Kara sekilas dan tersenyum simpul. "Tidak. Aku tidak berniat mengakuisisi mereka. Hanya mencoba peruntungan di bidang baru.""Well, kuharap kau tidak mencoba peruntungan di perkebunan. Aku tidak berani membayangkan nasib anggur-anggurku kalau itu terjadi."
“Astaga! Mama cantik sekali!” seru Emily sambil melompat kecil. Gaun mungilnya yang berlapis-lapis jadi mengembang terisi angin. “Emily benar! Mama super cantik! Tapi, kenapa Mama belum mengenakan gaun pengantin? Bukankah acaranya sebentar lagi dimulai?” Kara membelai pipi si Kembar lembut. “Tim videografer belum selesai mendokumentasikan gaun pengantinnya. Mama diminta menunggu sebentar.” Mulut si Kembar membulat. Kepala mereka mengangguk lucu. “Apakah Mama deg-degan? Lihat! Mama akan mengucapkan janji pernikahan dengan pemandangan seindah ini. Kalau aku jadi Mama, aku pasti tidak bisa berhenti menggerakkan jari-jari kakiku.” Emily menunduk, memperagakan apa yang dikatakannya walaupun jemarinya tertutup sepatu. Kara tertawa menyaksikan tingkah putrinya itu. “Ya, jantung Mama berdebar kencang. Mama tidak pernah menyangka akan menikah di tempat seindah ini, bersama Papa kalian.” Sementara Emily tersenyum lebih lebar, Louis menggembungkan pipi. Ia tampak tak setuju. “Tapi kurasa,
“Apakah ini masih kurang hancur?” Isabela menginjak-injak patung itu. Napasnya semakin menderu. “Apa perlu aku membakarnya sampai hangus lalu memberikannya kepada ibu kalian?” “Nona Hall, berhentilah. Apakah kau tidak kasihan pada dirimu sendiri?” desah Kara lirih. “Sadarlah. Belum terlambat untuk kamu memperbaiki semua ini. Maafkan dirimu sendiri dan bukalah lembaran baru. Pikirkan orang tuamu.” Isabela mengibaskan tangan, murka. “Diam! Apa hakmu menyuruhku memaafkan diri sendiri? Memang aku salah apa?” Kara mendesah iba. “Kau tidak akan bisa berubah kalau tidak mau mengaku salah,” tuturnya lemah. Tepat pada saat Isabel hendak menggertak, beberapa orang datang bersama para pengawal. “Maaf membuat Anda menunggu lama, Nona. Tuan Harper meminta kami menyoroti gaun-gaun ini dari segala arah. Kami malah keasyikan.” Isabela tercengang melihat dua maneken busa yang dibalut gaun-gaun indah. Dengan bola mata yang bergetar, ia melihat potongan kain di bawah kakinya. “Ini?” “Sejujurnya, ak
“Louis, apakah gaunku sudah rapi? Aku cantik?” bisik Emily saat mereka sedang bersiap menuju pelaminan. Kepalanya tertunduk, memeriksa juntaian rambut, gaun, dan juga sepatu. Dari bawah kerut alisnya, Louis melirik sang adik. “Emily, kapan kamu bosan bertanya begitu? Aku saja sudah bosan menjawabnya.” “Hanya memastikan saja, Louis. Ini adalah acara yang sangat penting. Kita harus tampil maksimal.” Saat membalas tatapan sang kakak, mulut Emily membulat. “O, dasimu miring.” Dengan sigap, gadis mungil itu meluruskan dasi kupu-kupu milik Louis. “Apakah cincinnya aman?” Sambil agak mendongak, Louis menepuk-nepuk kantong jasnya. “Aman. Kau tenang saja. Aku ini bisa diandalkan.” Tiba-tiba, musik mulai mengalun lembut. Mendengar aba-aba tersebut, si Kembar cepat-cepat meraih pistol pada meja di samping mereka. Sambil berjalan, mereka menebarkan gelembung di udara. Fotografer dan videographer yang mengabadikan momen itu tak henti-hentinya berdecak. Sesampainya di ujung lintasan, Louis den
“Aku masih tidak menyangka Rocky mau mengizinkan kita menginap malam ini. Dia baik sekali,” ujar Kara sembari memasuki kamar pengantin. Frank yang berjalan di belakangnya menutup pintu dengan senyum semringah. “Ya, dia memang baik. Dia mengerti apa yang kumau.” Mata Kara menyipit. Sambil berbalik menghadap sang suami, ia berbisik, “Apa yang kamu mau?” Frank meraih pinggang istrinya yang telah berbalut gaun tidur itu. “Kamu sungguh tidak tahu?” Suaranya tipis dan menggelitik. Bibir Kara mengerut. Sambil memainkan jemarinya di pundak Frank, ia menggeleng lambat. “Kupikir kamu sudah mendapatkan semua yang kamu inginkan. Dukungan dari anak-anak, restu dari Ibu, dan diriku ....” Frank ikut mengulum senyum. Perhalan-lahan, ia menyudutkan Kara ke arah ranjang. Kepalanya menggeleng manja. “Ada satu hal yang belum kudapatkan.” Ia membungkuk dan menggigit telinga Kara. “Malam pengantin kita.” Tawa Kara seketika mengudara. Suaranya ringan dan menggoda. “Kita sudah pernah melakukannya, Fra
“Selesai!” Louis berjalan menghampiri Philip dan mengulurkan kedua tangan. Sang asisten dengan sigap melucuti sarung tinju tuan mudanya. “Terima kasih, Philip.” “Sama-sama, Tuan Kecil.” Pria muda itu menyodorkan botol minum. Louis menyambutnya dengan senyum lebar. ”Philip, menurutmu, apakah Mama dan Papa akan pulang bersama adik kami?” Philip terbelalak. Mulutnya ternganga, kebingungan memilih kata. “Tentu saja belum, Louis,” celetuk Emily seraya menangkap samsak pink mungil-nya agar berhenti berayun. “Induk kucing saja hamil selama 65 hari. Apalagi, manusia. Mama butuh setidaknya 40 minggu sampai melahirkan adik bayi." Bibir Louis pun mengerucut. Alisnya berkerut, pipinya menggembung. “Benar juga. Secepat-cepatnya Papa menanamkan adik bayi dalam perut Mama, dia masih dalam perut hari ini.” Sembari mencopoti sarung tinju Emily, Philip mengulum bibir. Hatinya tergelitik oleh pernyataan balita itu. "Jadi, kalian menginginkan adik laki-laki?" “Aku mau adik perempuan. Tapi
Frank mematung. Keceriaan si Kembar tidak lagi memengaruhinya. Menyaksikan hal itu, Kara yang baru saja turun dari limosin langsung menyentuh pundaknya. “Ada apa, Frank?” Louis dan Emily pun berhenti tertawa. Mereka memeriksa wajah sang ayah, lalu mengikuti arah pandangnya. Si wanita bergaya bangsawan ternyata sudah berhenti dua langkah dari mereka. “Halo, Frank.” Raut wanita itu sangat berbeda dari yang tadi. Alisnya turun dan matanya berkaca-kaca. Frank menelan ludah. Bibirnya bergetar mengumpulkan kata. “Mama?” Semua orang membeku, bahkan si Kembar. Bola mata mereka bergerak-gerak mencari penjelasan. “Mama? Nenek sihir itu memang nenek kita?” desah Louis tipis. Emily cepat-cepat berdesus. Telunjuknya teracung di depan bibirnya yang menguncup. “Jaga bicaramu, Louis.” Sementara itu, Kara mendesah samar. Tanpa menunggu perintah, ia mengambil si Kembar dari lengan Frank. “Kemarilah, Sayang.” Frank menyerahkan dua balita itu dengan tatapan hampa. Ekspresinya datar dan wajahnya a
“Asal kau tahu.” Suara Barbara terdengar lagi. “Selama ini, bukan cuma kamu yang menderita, tapi Mama juga. Dia harus memendam kerinduan dan menahan luka karena tidak bisa berada di dekat putranya. Sekarang, di saat dia memiliki kesempatan untuk kembali padamu, kamu malah mengusirnya? Hatimu itu terbuat dari apa?” Frank merasa udara di sekitarnya lebih berat. Saat ia mengerahkan tenaga ekstra untuk menarik napas, Melanie kembali menyentuh lengannya. “Tolong maafkan adikmu, Frank. Dia tidak bermaksud menyinggungmu. Dia hanya ingin membela Mama.” “Apa yang sebetulnya Mama inginkan? Benarkah Mama datang untuk memperbaiki hubungan?” Suara Frank bergetar. Melanie terdiam sejenak. Matanya menatap Frank dalam-dalam. “Ya,” jawabnya terdengar tulus. “Mama selalu ingin kembali bersamamu, Sayang. Tapi Mama juga tidak bisa meninggalkan keluarga baru Mama. Setiap hari terasa bagaikan siksaan bagi Mama.” Dengan raut pasrah, Melanie menoleh ke arah putrinya. “Akhir-akhir ini, sejak perusahaan