Beranda / Romansa / Love You Aleea / Bab 51 - Bab 60

Semua Bab Love You Aleea : Bab 51 - Bab 60

124 Bab

Disidang

51Seusai makan siang, kami mengikuti acara yang termasuk dalam paket wisata. Kendatipun aku dan teman-teman band merupakan orang luar perusahaan, tetapi kami juga mendapatkan perlakuan yang sama seperti karyawan lainnya. Berbagai acara kami ikuti dengan semangat. Kapan lagi bisa menikmati acara jalan-jalan gratis? Hal inilah yang kukerjakan dengan antusias. Demikian pula dengan teman-teman. Selain rekan-rekan band, aku juga mengajak teman-teman baru untuk membentuk kelompok kecil. Gelak tawa mewarnai acara tersebut hingga matahari nyaris tenggelam yang menandakan waktu berwisata sudah usai. Kami berduyun-duyun menuju resor. Kemudian segera mandi, berganti pakaian dan menunaikan salat Magrib. Setelahnya kami menuju restoran untuk menikmati makan malam, sebelum akhirnya berpindah ke tempat pertunjukan yang dilakukan di luar ruangan. Angin laut berembus kuat. Deburan ombak sekali-sekali terdengar mengiringi kegiatanku dan teman-teman yang tengah berlatih selama beberapa menit, kemudi
Baca selengkapnya

Satu Salam Lima Ribu

52Keempat pria tersebut serentak cengengesan, demikian pula dengan yang lainnya. Tak berselang lama kami diminta untuk berangkat menuju dermaga dengan membawa barang masing-masing. Aku memanggul ransel dan membawa tas berat Aleea di tangan kanan serta tas travelnya Mbak Yeni di tangan kiri. Kelompok kami jalan beriringan menuju dermaga. Sempat berhenti sebentar agar ketua kelompok bisa mengecek anggotanya. Saat kami bergeser sedikit demi sedikit menunggu antrean menaiki kapal, Aleea tergelincir dan nyaris terjatuh. Aku spontan melepaskan tas di tangan kanan dan bergerak cepat menangkapnya hingga tidak terjungkal. "Hati-hati," lirihku. "Papannya licin," sahut Aleea sembari merapikan ikatan rambut. "Sini tasnya, Ken. Kamu tuntun aja Aleea," ujar Jerry sembari mengambil tas yang kuulurkan."Ayo," ajakku sambil memegangi bahu Aleea. "Kakiku sakit." Aleea menunjuk ke pergelangan kaki kanan. Aku berjongkok dan memegangi kakinya dengan hati-hati. "Keseleo kali, ya? Merah nih." ungkapk
Baca selengkapnya

Paket Komplet

53"Sepertinya kamu kurang serius untuk menjadi artis, Kenzo," ucap Om Yoga. "Waktu sudah berjalan tiga bulan, tapi kamu belum ikut kontes ataupun coba mengirimkan demo suara ke produser," sambungnya sambil menatapku yang spontan menelan ludah. "Ehm, iya, Om. Aku mau fokus ke kuliah dulu, dua bulan lagi ujian semester," jelasku, sengaja mengungkapkan kejujuran daripada disalahkan. "Berarti kurangi main." "Siap." "Pas ujian nanti jangan ketemu Lea dulu. Biar kalian sama-sama konsentrasi." Aku mengangguk mengiakan, pasrah pada takdir yang membawa jalan hidupku berliku seperti ini. Percuma saja memprotes, karena akhirnya tetap saja harus mengalah. Lebih baik menurut, mungkin dengan begitu Om Yoga bisa lebih lunak padaku. "Satu lagi, pelajari musik lawas yang top pada masanya. Penikmat kafe live music itu justru lebih royal yang tua-tua dibandingkan seumuran kamu. Bisa merebut simpati mereka jadi fansmu itu bakal lebih bagus." "Maksudnya rock, Om?" "Nggak harus, karena tone suaram
Baca selengkapnya

Diikat

54Sesampainya di restoran yang belum pernah kudatangi sebelumnya, seorang pria tua menyambut kedatangan Om Yoga dengan pelukan hangat. Mereka saling menepuk dan berangkulan dengan wajah semringah, menandakan pertemuan menyenangkan dengan kawan lama. "Ken, kenalin, ini Mas Erwin, papanya Benigno," ungkap Om Yoga. "Malam, Om, perkenalkan, aku Kenzo," ucapku sembari menjabat pria tua berkemeja merah tersebut. "Halo, Kenzo. Nama yang cukup unik," sahutnya. "Boleh saya tahu nama panjangnya apa?" tanyanya seusai berjabatan tangan denganku. "Kenzo Darka." "Darka? Nah, ini beneran unik." Om Erwin menepuk bahu kananku sekali, kemudian berkata, "Kemaren waktu Yoga telepon mau ke sini dan memperkenalkanmu, saya langsung cari info ke Ben, dan dia kasih unjuk video saat kamu perform di resepsi itu," terangnya. Aku yang tidak tahu harus menjawab apa akhirnya hanya mengangguk pura-pura paham padahal sebenarnya bingung. Ketika kedua teman masa lalu itu mengajak kami berpindah ke meja paling de
Baca selengkapnya

Sombong!

55Suasana kelas Sabtu pagi ini ricuh, karena Bu Ardila muncul dengan rambut dipotong pendek dan menggunakan lensa kontak biru. Setelan blazer dan celana panjang hitam garis-garis membalut tubuh langsingnya yang tidak pendek tetapi juga tidak terlalu tinggi. Riasan wajah alami, tetapi lipstik merah kian menyempurnakan penampilan perempuan yang kuketahui berusia dua puluh tujuh tahun tersebut. Statusnya yang masih sendiri membuat Bu Ardila menjadi bahan perbincangan di kampus. Bahkan ada yang menjodohkannya dengan Pak Ricky, dosen berkacamata yang gantengnya selevel denganku. Namun, sepertinya Bu Ardila mengabaikan berbagai omongan dan tetap santai di mana pun dia berada. Bu Ardila juga termasuk dosen yang ramah. Bagiku, berbincang dengan beliau seolah-olah tengah mengobrol dengan kakak yang tidak pernah kumiliki. Cara Bu Ardila memberikan nasihat itu tidak menghakimi ataupun mendikte. Beliau akan bicara dengan santai dan yang diajak berbincang tidak akan menyadari tengah dikhotbahi.
Baca selengkapnya

Kenapa Ditolak?

56Sore harinya, aku tiba di kafe tepat pukul 5. Bang Ali dan Mas Steven telah lebih dulu tiba serta tengah mengecek perpaduan alat musik agar seusai magrib nanti bisa langsung siap dimainkan. "Ken, ada yang nanyain kamu," tutur Linda yang baru saja memasuki ruangan. "Siapa?" tanyaku. "Cowok, rambutnya gondrong." "Mas Ben?" "Nggak tahu, orangnya ada di tempat parkir, di mobil hitam besar." Aku meletakkan gitar ke kursi dan bergegas keluar. Seorang pria melambaikan tangan dari dalam mobil yang sesuai dengan penjelasan Linda. Aku segera menghampiri dan membuka pintu mobil serta masuk. "Masuk, yuk, Mas," ajakku sambil menyalami Mas Benigno. "Saya ada janji sama orang di kafe yang ujung. Kamu, kapan perform lagi di sini?" tanyanya. "Besok sama Rabu." "Ya, udah, besok saya mampir." Mas Benigno mengambil ponsel, kemudian berkata, "Saya kirim file, kamu pelajari lagunya. Jumat jam lima sore saya tunggu di club." Beberapa detik kemudian masuklah pesan dari pria berkemeja hitam ters
Baca selengkapnya

Falsetto Belum Pas

57Matahari nyaris sepenggalah saat aku bangun di Minggu pagi dan itu pun karena pintu kamar digedor Khanza atas suruhan Mama. Aku menggeliat membetulkan posisi tulang punggung yang sempat melengkung lama. Beberapa puluh menit berlalu, aku sudah duduk bersila di sofa ruang tengah sambil memegangi mangkuk berisi bubur kacang hijau buatan Mama sesuai permintaanku saat pulang dini hari tadi. Mama yang baru selesai salat Tahajud sempat membantuku mengunci pintu samping, sebelum kembali ke kamar. "Abang, besok yang nganterin kue ke rumahnya Willy, sanggup sendiri?" tanya Mama sembari duduk di samping kiriku. "Bisa, Ma. Pake dua keranjang," jawabku di sela-sela mengunyah. "Terus Abang balik lagi ke sini balikin keranjang?" Aku terdiam sejenak, kemudian meringis. "Iya, ya? Abang 'kan mau ke kafe, gantiin Linda. Dia Selasa pagi mau sidang." "Berarti sama Mang Jono aja. Biar keranjang dia yang bawa pulang." Aku manggut-manggut. Kemudian melanjutkan acara makan hingga isi mangkuk habis.
Baca selengkapnya

Ragu-ragu Justru Beneran Nggak Nyampe

58Hingga waktu asar tiba aku sudah menyanyikan sepuluh lagu berbeda genre. Tinggal dua lagu lagi yang harus dikuasai, dan aku optimis bisa menyelesaikannya sebelum tampil Jumat mendatang. Setelah mandi, berganti pakaian dan salat Asar, aku berpamitan pada orang rumah, kemudian berangkat menuju kafe. Jalanan Kota Jakarta di sore hari libur ini cukup lengang. Seandainya ini berlaku setiap hari, kemungkinan pengendara akan sangat senang karena tidak harus bermacet-macet. Sesampainya di tempat tujuan, Mas Fa dan Mbak Yeni sudah tiba. Bang Ali dan Kak Carol hari ini dapat jatah libur. Posisi Bang Ali akan digantikan Mas Steven yang cukup piawai memainkan bass. Sedangkan drum dibiarkan kosong, karena aku dan Mas Mono tidak bisa memainkan alat musik itu. Jika dipaksa, mungkin hasilnya akan seperti menabuh beduk masjid. "Mas, aku mau coba lagu ini," ucapku sambil memperlihatkan catatan di layar ponsel. "Boleh, kita latihan dulu," jawab Mas Fa. "Lagunya apa?" tanya Mas Steven. "Forever
Baca selengkapnya

Diserbu tante-tante

59Senin siang menjelang sore, aku dan Mang Jono memacu motor masing-masing menyusuri jalan raya yang cukup padat. Meskipun belum jam pulang kerja, tetapi kendaraan sudah ramai memenuhi jalan raya. Berbekal pengalaman sebagai mantan pembalap, aku bisa mengendarai motor dengan lincah dan khusyuk.Setibanya di kediaman orang tua Willy, sahabatku yang montok itu sudah menunggu di teras. Willy berdiri dan menghampiri serta membantuku menggotong keranjang ke dalam rumah. Kami meletakkan benda penuh kotak kue itu di dekat meja makan dan langsung menyusunnya dengan rapi. Selanjutnya Mang Jono pulang dengan membawa dua keranjang, sedangkan aku menuju rumah Mas Fa. Pria bertubuh sedang itu sedang mengutak-atik gitar kala aku tiba. Mas Fa menengadah dan seketika tersenyum melihat kotak kue berukuran besar yang kukeluarkan dari ransel. "Aku demen kalau mamamu ngirim beginian," ujar Mas Fa sambil mencomot sosis Solo dan membuka plastiknya. "Rasanya beda dari toko lain. Pernah nyoba beli yang di
Baca selengkapnya

Sahabat Somplak

60Pagi harinya, aku memacu motor dengan kecepatan tinggi hingga tiba di kampus tepat waktu. Ban motor yang bocor sedikit merusak hari hingga aku harus menjadi pembalap dadakan demi tidak terlambat. Dosen yang memasuki ruangan hanya berbeda detik denganku itu sepertinya memang senang memberi kejutan. Pria berambut dua puluh sembilan helai dengan santainya menyuruh kami mengerjakan soal-soal di tiga bab yang belum dipelajari. Tentu saja hal itu membuatku dan teman-teman panik, terutama karena kami bukan pelajar yang baik, alias mengerjakan tugas mepet waktu. Kalau sudah begini, mau tidak mau aku dan ketiga sahabat somplak mendekati Humaira dan Tie yang memang lebih rajin daripada kami. Dalam puluhan menit kemudian kertas kecil beredar dari kursi kami berenam, hingga semua soal selesai dikerjakan tepat waktu. Kala kelas usai, kami serentak menghela napas lega karena masa-masa menegangkan sudah terlewati. "Stres aku kalau ketemu dosen itu. Udahlah irit bicara, ngasih tugas aja terus,
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
45678
...
13
DMCA.com Protection Status