59Senin siang menjelang sore, aku dan Mang Jono memacu motor masing-masing menyusuri jalan raya yang cukup padat. Meskipun belum jam pulang kerja, tetapi kendaraan sudah ramai memenuhi jalan raya. Berbekal pengalaman sebagai mantan pembalap, aku bisa mengendarai motor dengan lincah dan khusyuk.Setibanya di kediaman orang tua Willy, sahabatku yang montok itu sudah menunggu di teras. Willy berdiri dan menghampiri serta membantuku menggotong keranjang ke dalam rumah. Kami meletakkan benda penuh kotak kue itu di dekat meja makan dan langsung menyusunnya dengan rapi. Selanjutnya Mang Jono pulang dengan membawa dua keranjang, sedangkan aku menuju rumah Mas Fa. Pria bertubuh sedang itu sedang mengutak-atik gitar kala aku tiba. Mas Fa menengadah dan seketika tersenyum melihat kotak kue berukuran besar yang kukeluarkan dari ransel. "Aku demen kalau mamamu ngirim beginian," ujar Mas Fa sambil mencomot sosis Solo dan membuka plastiknya. "Rasanya beda dari toko lain. Pernah nyoba beli yang di
60Pagi harinya, aku memacu motor dengan kecepatan tinggi hingga tiba di kampus tepat waktu. Ban motor yang bocor sedikit merusak hari hingga aku harus menjadi pembalap dadakan demi tidak terlambat. Dosen yang memasuki ruangan hanya berbeda detik denganku itu sepertinya memang senang memberi kejutan. Pria berambut dua puluh sembilan helai dengan santainya menyuruh kami mengerjakan soal-soal di tiga bab yang belum dipelajari. Tentu saja hal itu membuatku dan teman-teman panik, terutama karena kami bukan pelajar yang baik, alias mengerjakan tugas mepet waktu. Kalau sudah begini, mau tidak mau aku dan ketiga sahabat somplak mendekati Humaira dan Tie yang memang lebih rajin daripada kami. Dalam puluhan menit kemudian kertas kecil beredar dari kursi kami berenam, hingga semua soal selesai dikerjakan tepat waktu. Kala kelas usai, kami serentak menghela napas lega karena masa-masa menegangkan sudah terlewati. "Stres aku kalau ketemu dosen itu. Udahlah irit bicara, ngasih tugas aja terus,
61Mata kuliah hari Rabu ini membuatku senewen. Kedua dosennya sama-sama tidak masuk dan menugaskan asisten masing-masing memberi kami banyak tugas. Kepalaku pusing karena memikirkan cara membagi waktu mengerjakan tugas-tugas di sela-sela pekerjaan. Namun, untunglah kedua peri baik hati memahami masalah dan bersedia membantu mengerjakan satu tugas per orang. Kami beramai-ramai berpindah ke kafe dan menunggu Aleea tiba bersama dua dayang-dayang. Kemudian kami membahas tentang rencana pembukaan kafe awal bulan depan yang berarti dua minggu lagi dari sekarang. "Hari Sabtu nanti, aku jemput Humaira, setelah itu kami sama-sama mendatangi pemilik ruko buat nyerahin biaya sewa untuk enam bulan ke depan. Hari Minggu jam sembilan pagi kita ketemu di depan ruko buat memulai dekorasi," tutur Aleea yang didaulat sebagai pemimpin tim bersama Humaira. "Ijan dan Sandy, Minggu pagi-pagi kalian ke rumahku. Ngangkut cat dan lainnya," pinta Willy yang dibalas anggukan kedua orang tersebut. "Nanti ak
62Jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. Cucuran keringat turun dari kepala sampai punggung. Tenggorokan terasa kering hingga aku harus berulang kali meminum air mineral kemasan. Entah sudah berapa banyak tisu yang dihabiskan Aleea untuk mengusap keringat di wajahku, setelahnya dia mengulaskan senyuman yang membuatku terharu atas perhatiannya. Ijan dan Mas Fa yang mendampingiku di belakang panggung, berulang kali menepuk-nepuk pundak ataupun punggung. Aku tahu itu adalah cara mereka memberikan dukungan karena saat ini aku sangat tegang. Kala Mas Benigno memberi kode dengan tangan, aku berdiri dari kursi tinggi dan mengatur napas terlebih dahulu sebelum mengayunkan tungkai menuju panggung. Aku menyunggingkan senyuman pada para penonton sebagai salam perkenalan, kemudian bersiap-siap mengambil napas untuk melantunkan lagu pertama yang berirama lambat. Sekali-sekali aku mengedarkan pandangan dan berpindah dari sisi kanan ke sisi kiri panggung agar bisa berinteraksi dengan pe
63Matahari menyambut Sabtu pagi yang indah. Aku dan Kai menunaikan janji untuk mengajak Khanza jalan-jalan mengelilingi kompleks, sebelum berhenti di depan sebuah toko mainan. Aku memberikan selembar uang biru pada Khanza yang langsung memutari toko dengan semangat. Entah hendak membeli apa si bungsu itu. "Kai, Abang ke toko sebelah, ya. Kamu jagain Khanza," pintaku sembari melangkah ke tempat yang dimaksud. Aku mengamati deretan baju di gantungan, sebelum mengambil sebuah rompi krem dan mengecek harganya. Aku menghitung uang dalam dompet. Setelah dirasa cukup, aku beranjak ke meja kasir untuk menyelesaikan pembayaran. "Cie, belanja dia." Suara seorang pria membuatku spontan menoleh ke belakang dan menyunggingkan senyuman lebar ketika mengenali sosok itu. "Hai, apa kabar?" tanyaku sambil mengulurkan tangan yang dijabatnya tegas. "Kabar baik." Pria itu celingukan, terus bertanya, "Aleea mana? Biasanya kalian barengan terus." "Di rumahnya, Kak. Nggak ada di sini dia." Aku memperh
64Peristiwa tabrak lari yang menimpa Kak Ghifar menjadi trending topik di kampus Senin pagi. Namaku ikut terseret sebagai orang yang membantu Kak Ghifar, bahkan disebut-sebut di grup pesan anggota senat. Aku mengetahui hal ini dari Humaira yang memang cukup dekat dengan Kak Sherly, pacarnya Kak Ghifar yang kebetulan adalah tetangga sebelah kanan rumahnya Humaira. Sepanjang hari aku berpuluh kali membalas sapaan senior dan teman-teman seangkatan serta adik kelas. Walaupun sedikit bingung dengan sikap mereka yang tiba-tiba ramah, tetapi aku menikmati menjadi sorotan. Hitung-hitung latihan menghadapi penggemar. Akan tetapi, hal itu ternyata membuat Aleea senewen. Gadis yang hari ini mengenakan blus hijau muda dengan aksen pita di dekat leher, berulang kali merengut dan menarik tanganku menjauhi para perempuan yang tengah menyapaku. "Jangan terlalu pecicilan!" desis Aleea, sesaat setelah kami duduk di kursi kantin. "Cuma beramah-tamah, Lea. Kali mereka nanti jadi fans," kilahku. "Ya
65Saat aku dan Mas Fa ke depan, barulah aku mengenali beberapa sosok dari mereka yang merupakan teman-temannya Mas David. Mas Lander yang duduk paling depan bersama Bu Ardila, berdiri dan mengulurkan tangan ketika aku menghampiri mereka. "Akhirnya saya bisa melihat pertunjukan full-mu, Ken. Tadinya mau weekend itu, tapi saya nggak tega ninggalin Bibi yang masih syok," ungkap Bu Ardila saat aku duduk di kursi yang berseberangan dengannya. "Sekarang kondisi Kak Ghifar gimana?" tanyaku. "Udah baikan. Besok insyaallah sudah boleh pulang," jelas Bu Ardila. "Syukurlah." Aku mengalihkan pandangan pada Mas Lander, kemudian bertanya, "Mau ikut main, Mas? Posisi bass kosong." "Boleh, tapi tiga lagu aja, ya. Selanjutnya saya mau jadi penonton aja," sahut Mas Lander. Kami sama-sama berdiri dan melangkah menuju panggung. Mas Lander menyalami Mas Fa dan Mas Steven serta Linda yang sudah tiba terlebih dahulu. Kemudian dia duduk di kursi yang berada di sisi kanan panggung dan mengambil bass.
66Sepanjang pertunjukan malam ini jantungku tak henti-hentinya jumpalitan. Berulang kali aku menyapu wajah-wajah penonton, tetapi sama sekali tidak mengenali orang yang dibilang Kak Carol sebagai pencari bakat terkenal. Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 10 dan itu tandanya kami harus menuntaskan pertunjukan. Setelahnya, seperti biasa kami akan melepas lelah sambil mengganggu Pak Jo di dapur. "Orangnya yang mana sih, Kak?" tanyaku sembari mengenakan jaket jin biru kesayangan. "Di meja ujung, dekat pintu. Sekitar jam delapan dia pulang," jawab Kak Carol sambil mengikat rambutnya berbentuk cepol. "Beneran nggak ngeh aku. Sibuk jaga suara agar nggak fals," imbuhku. "Kamu mana pernah fals, Ken. Beda sama Steven, ngomong aja kadang sumbang," canda Mas Fa. "Jangan gitu, Fa. Kamu juga kalau nyanyi, setelah nada tinggi sering ngambang pas turunnya," balas Mas Steven. "Kalian mau jadi penunggu kafe? Udah mau jam sebelas." Pak Jo menunjuk ke benda bulat di dinding. "Setengah se