65Saat aku dan Mas Fa ke depan, barulah aku mengenali beberapa sosok dari mereka yang merupakan teman-temannya Mas David. Mas Lander yang duduk paling depan bersama Bu Ardila, berdiri dan mengulurkan tangan ketika aku menghampiri mereka. "Akhirnya saya bisa melihat pertunjukan full-mu, Ken. Tadinya mau weekend itu, tapi saya nggak tega ninggalin Bibi yang masih syok," ungkap Bu Ardila saat aku duduk di kursi yang berseberangan dengannya. "Sekarang kondisi Kak Ghifar gimana?" tanyaku. "Udah baikan. Besok insyaallah sudah boleh pulang," jelas Bu Ardila. "Syukurlah." Aku mengalihkan pandangan pada Mas Lander, kemudian bertanya, "Mau ikut main, Mas? Posisi bass kosong." "Boleh, tapi tiga lagu aja, ya. Selanjutnya saya mau jadi penonton aja," sahut Mas Lander. Kami sama-sama berdiri dan melangkah menuju panggung. Mas Lander menyalami Mas Fa dan Mas Steven serta Linda yang sudah tiba terlebih dahulu. Kemudian dia duduk di kursi yang berada di sisi kanan panggung dan mengambil bass.
66Sepanjang pertunjukan malam ini jantungku tak henti-hentinya jumpalitan. Berulang kali aku menyapu wajah-wajah penonton, tetapi sama sekali tidak mengenali orang yang dibilang Kak Carol sebagai pencari bakat terkenal. Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 10 dan itu tandanya kami harus menuntaskan pertunjukan. Setelahnya, seperti biasa kami akan melepas lelah sambil mengganggu Pak Jo di dapur. "Orangnya yang mana sih, Kak?" tanyaku sembari mengenakan jaket jin biru kesayangan. "Di meja ujung, dekat pintu. Sekitar jam delapan dia pulang," jawab Kak Carol sambil mengikat rambutnya berbentuk cepol. "Beneran nggak ngeh aku. Sibuk jaga suara agar nggak fals," imbuhku. "Kamu mana pernah fals, Ken. Beda sama Steven, ngomong aja kadang sumbang," canda Mas Fa. "Jangan gitu, Fa. Kamu juga kalau nyanyi, setelah nada tinggi sering ngambang pas turunnya," balas Mas Steven. "Kalian mau jadi penunggu kafe? Udah mau jam sebelas." Pak Jo menunjuk ke benda bulat di dinding. "Setengah se
67"Keren!" puji para tamu yang kusambut dengan senyuman lebar. "Sedikit info, Kenzo ini penyanyi kafe A di Kemang. Kalian boleh berkunjung ke sana. Hari Senin, Rabu dan Sabtu dia akan melakukan pertunjukan. Kalau Selasa dan Jumat, dia tampil di kelab B, khusus lagu-lagu lawas. Hari Kamis dan Minggu, dia tampil di kelab C. Yang ini semi lawas, karena banyak juga yang muda-muda datang berkunjung," jelas Ijan dengan detail. Aku nyaris terkekeh mendengar penuturan Ijan. Kentara sekali dia menirukan kata-kata Mas Fa yang memang meminta Ijan untuk menjadi asisten khusus asistenku, agar Mas Fa tidak harus sering-sering meninggalkan kafe untuk menemaniku.Anggota kelompok anak muda itu manggut-manggut. Salah seorang dari mereka memintaku untuk berfoto bersama. Aku mengusap wajah dengan tisu agar wajah tidak tampak berminyak, kemudian bergaya dengan santainya meskipun tengah mengenakan celemek cokelat kebanggaan. "Aku kayaknya pernah lihat Kakak deh," ucap perempuan bertubuh mungil yang ba
68Hari demi hari dilewati dengan penuh rasa syukur. Suaraku masih terjaga, demikian pula dengan kondisi badan. Hingga aku bisa tetap beraktivitas keluyuran dari satu tempat ke tempat lain untuk memberikan pertunjukan terbaik setiap malamnya. Kafe kecil sudah kulepas pengelolaannya pada Aleea dan Humaira, dengan Sandy dan Willy yang menjadi penjaga kedua gadis itu dan ketiga perempuan lainnya. Selain itu, hubunganku dengan Aleea juga kian mesra. Meskipun kami sudah tidak bisa berkencan berjam-jam, tetapi setiap Jumat siang sampai sore aku akan mengunjunginya di rumah orang tuanya. Seperti saat ini. Sejak seusai salat Jumat aku langsung berkunjung. Aleea yang tengah libur dari tugas menjaga kafe, menyambutku dengan seteko sirup dingin dan puding buah buatannya dan Bibik. Aleea memang belum mahir memasak, tetapi urusan buat kue dia lumayan berhasil, terutama karena sering mengunjungi mamaku."Malam nanti aku nggak ikut ke club," kata Aleea, sesaat setelah menghabiskan sepiring puding
69"Buatku?" tanyaku saat dia mengulurkan kotak berukuran sedang. "Iyalah. Masa buat Ijan," jawabnya sambil menaikkan alis. "Ulang tahunku masih lama." "Oh, nggak mau?" "Bercanda, Lea." Aku mencolek dagunya, tak peduli Aleea mendelik. "Boleh dibuka sekarang?" tanyaku. "Terserah." "Boleh nggak nih?" "Iya!" "Jangan marah-marah. Nanti banyak kerutan." "Kamu jangan ngoceh mulu!" Aku hendak menjawab, tetapi kemudian diurungkan karena melihatnya tengah mencebik. Terdorong rasa gemas, aku memajukan badan dan menempelkan hidung kami. Aleea menjewer telinga kanan, tak peduli aku meringis. "Jahil!" omelnya sambil mendorongku. "Gemes," sahutku sembari kembali mendekat dan kali ini menyambar bibirnya. Rasa manis dari pelembap bibirnya memancing gairahku kembali merangkak naik dengan tidak sopan. Aleea mengalungkan tangan di leher dan membuatku tak kuasa untuk menekan hasrat serta kian menempelkan tubuh kami. Aku tidak tahu berapa lama kami saling berpagutan, tetapi sebagai lelaki no
70Hari berganti menjadi minggu. Waktu bergulir hingga berubah bulan. Tibalah masanya mengurangi pertunjukan karena aku harus fokus pada ujian akhir semester. Jadwal tampil di kelab dan kafe benar-benar cuma satu hari, yaitu Jumat, Sabtu dan Minggu. Ketiga asisten pemilik kelab dan Mas Fa sepakat untuk meliburkanku selama beberapa hari, dan baru kembali bekerja penuh waktu seusai ujian. Hal itu kugunakan semaksimal mungkin belajar dan mendekati Humaira. Untunglah gadis berjilbab itu selalu senang hati mengajarkan pada teman-temannya yang berotak sedikit lemot.Senin siang seusai ujian hari pertama, aku dan beberapa sahabat berkumpul di rumahnya Humaira. Kafe ditutup sementara dan baru akan dibuka minggu depan. Hal itu sesuai kesepakatan bersama di mana kami harus fokus pada kegiatan kuliah dan menjadikan kafe sebagai aktivitas tambahan, bukan yang utama. "Ya, Allah. Kepalaku ngenyut lihat ini," keluh Ijan sembari menunjuk ke esai bahasa Mandarin yang harus kami kerjakan sebagai lati
71Akhirnya hari yang dinanti-nantikan pun tiba. Jumat sore, aku memacu motor menuju kelab Mas Benigno bersama Ijan. Sesampainya di tempat tujuan, Linda sudah menunggu dengan membawa kostum pesanan yang sengaja dibuat khusus di butik temannya Mbak Yeni. Aku membersihkan wajah dengan tisu basah di toilet, sebelum mengenakan setelan jas non formal biru pas badan. Ijan bersiul sambil mengacungkan jempol, sementara aku menyunggingkan senyuman kala bercermin. Setelahnya, kami keluar dari toilet dan menghampiri Linda yang tengah berias di belakang panggung bersama Mbak Gita dan Mas Jay. Ketiga orang tersebut kompak mengacungkan jempol sebagai tanda memuji. "Bagus, Ken. Nggak kayak jas bapak-bapak," tutur Mas Jay sambil memegangi bagian punggung tanganku. "Bahannya juga halus. Kayak jahitan mahal," sambungnya. "Iya, memang mahal. Aku ngebobol celengan demi beli ini," selorohku. "Nggak mungkin, gajimu nyanyi tiga tempat pasti banyak," sahut Mbak Gita yang membuatku terkekeh. "Ehh, iya, k
72Sabtu pagi ini, aku baru menginjakkan kaki di teras toko kue Mama ketika sebuah mobil sedan putih parkir dan membunyikan klakson. Aku terkejut saat menyadari bila itu adalah Mama Anita dan tentu saja putrinya. Aku menghentikan gerakan membuka pintu toko dan menghampiri untuk menyalami mereka. "Ken, kuenya udah siap?" tanya Mama Anita. "Kue apa, Ma? Ada mesan?" Aku balas bertanya karena memang merasa tidak dititipi orderan oleh beliau. "Belum sih. Tapi Mama baru ingat, hari ini diundang ke acara pengajian tetangga. Nggak bawa apa-apa, kan, nggak enak, lumayan bisa buat tambahan suguhan." "Oh, gitu. Ada, Ma. Lagi di-packing, bentar lagi Papa yang anter. Aku ke sini mau bersih-bersih." "Kubantuin," sahut Aleea. "Nggak usah, aku bisa sendiri. Kamu tunggu aja di dalam," tolakku. Aku membalikkan badan dan jalan ke teras, meneruskan membuka pintu toko serta mendorongnya lebar-lebar. Kemudian berpindah ke motor dan membuka ikatan pada keranjang, lalu mengangkut benda plastik biru ke